Вы находитесь на странице: 1из 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic Hypertrophy (BPH)
adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari elemen seluler prostat.
Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul dari proliferasi epitel dan stroma,
gangguan diprogram kematian sel (apoptosis), atau keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona periuretra
dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran prostat yang dapat
menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses
penuaan pada pria yang tergantung pada hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT).
Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini
meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011).
Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan Bladder
Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Ini juga sering
disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang digunakan. Pernyataan ini tumpang
tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT
mengalami BPH. Sekitar setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi
menunjukkan LUT berat. (Detters, 2011).
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang air kecil yang
tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk buang air kecil), atau polakisuria
(sensasi buang air kecil yang tidak puas). Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin
dapat terjadi acute urine retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan
untuk operasi korektif, gagal ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih,
atau gross hematuria. (Detters, 2011).
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH. Selain
itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH yang tidak diobati dan
risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi korektif meningkat. (Detters, 2011).
Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami kewaspadaan pada
komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati dengan terapi medis pada awalnya.

Transurethral resection of the prostate (TURP) dianggap standar kriteria untuk


menghilangkan BOO yang disebabkan BPH. Namun, ada minat yang cukup besar dalam
pengembangan terapi minimal invasif untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek
samping. (Detters, 2011)
1.2 Tujuan Penulisan
1.

Tujuan Umum

Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia
2.

Tujuan Khusus

a.

Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat

Hiperplasia.
b.

Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat

Hiperplasia.
c.

Mampu membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat

Hiperplasia.
d.

Mampu melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan Benigna

Prostat Hiperplasia.
e.

Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat

Hiperplasia.
1.3 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus Lengkap ini adalah :
1.

Menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa mengenai penanganan

keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia.


2.

Memberikan motivasi bagi semua perawat untuk melaksanakan asuhan keperawatan

pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian BPH


BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih
tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran
urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar
prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan
pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars
Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo,
2000, hal 74).

2.2 Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat
dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen.
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5-reduktase
diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat
ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat
dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor
membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA
untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa
sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan
bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian
estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian

tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang
mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu :
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab
seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem
dapat berproliferasi dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral
Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat
tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan
bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi
testoteron menjadi estrogen. (Sjamsuhidayat, 2005).
2.3

Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior

buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa 20gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya
Basuki (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi

tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam
sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu mRNA

di

dalam

sel-sel

kelenjar

prostat

untuk

mensintesis

protein

sehingga

terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.


Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadiresistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan
serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase
penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada
hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi
terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi,
pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan
yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga
sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan


tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
PATHWAY

2.4

Tanda dan Gejala

1. Gejala iritatif meliputi :


a.
b.
c.
d.

Peningkatan frekuensi berkemih


Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
Nyeri pada saat miksi (disuria)

2. Gejala obstruktif meliputi :


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Pancaran urin melemah


Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
Kalau mau miksi harus menunggu lama
Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
Urin terus menetes setelah berkemih
Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena

penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,
frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh waktu
miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran
refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan
pielonfritis, hidronefrosis.
2.5

Pemeriksaan Penunjang

Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :

1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pencitraan1). Foto
polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa
prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan
BPH adalah :
1) Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2) Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari
retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

2.6
1.

Penatalaksanaan Medis
Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan

sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS 7 atau Madsen Iversen 9),
dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol
periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak
terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan
malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan antara lain :
a.
b.
c.
d.
2.

Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).


Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi miksi).
Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.

Tatalaksana Invasif

Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma. Indikasi
absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Sisa kencing yang banyak


Infeksi saluran kemih berulang
Batu vesika
Hematuria makroskopil
Retensi urin berulang
Penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral Resection of the

Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang
dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek
pada TURP antara lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah.
Komplikasi jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila volume
prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu
keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan
teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang
ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang

tidak bisa dipecah dengan litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) /
volume prostat lebih dari 100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)

3.

Terapi Obat dan Implikasi Keperawatan

1.

Medical Treatment

Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :


a.

Penghambat adrenergik alfa

Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan
kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars prostatika,
sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat, contohnya Prazosin,
Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah
karena penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung
tersumbat, dan lemah.

b.

Penghambat enzim 5 reduktase

Obat ini menghambat kerja enzim 5 reduktase sehingga testosteron tidak diubah menjadi
DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein terhambat.
Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara lain melemahkan
libido, dan menurunkan nilai PSA.
c.

Phytoterapi

Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum Africanum, Urtica
Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan Secale cereale.
Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga
mempengaruhi kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu antiestrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat proliferasi sel
prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher
vesika.(Sjamsuhidajat, 2004)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A.

Pengkajian

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali
masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan
lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a.

Pengumpulan data

Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :


a.

Identitas klien

Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa /
ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin
dalam hal ini klien adalah laki laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak
dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
b.

Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang
berhubungan dengan spasme buli buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu
diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ),
rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan,
lama, kekerapan (time).
c.

Riwayat penyakit sekarang

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms
( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada
sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat menimbulkan
keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang.
d.

Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang
perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi
Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah
( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan
pembedahan terdahulu.
e.

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti : Hipertensi, Diabetes
Mellitus, Asma perlu digali .
f.

Riwayat psikososial

Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan interaksi
pasca tindakan TURP.

g.

Pola pola fungsi kesehatan

1)

Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.

Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca
TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli buli memerlukan penggunaan anti
spasmodik sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
2)

Pola nutrisi dan metabolisme

Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus .
3)

Pola eliminasi

Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat terjadi bila
terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di
lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
4)

Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter
selama 6 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama
traksi masih diperlukan.
5)

Pola tidur dan istirahat

Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan
istirahat.
6)

Pola kognitif perseptual

Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami


gangguan pasca TURP.
7)

Pola persepsi dan konsep diri

Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca
TURP.
8)

Pola hubungan dan peran

Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan
dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat.
9)

Pola reproduksi seksual

Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999:
36 j ).
10) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi
pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres
tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya .
h.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan didasarkan pada sistem sistem tubuh antara lain :

1)

Keadaan umum

Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila terjadi shock.
Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan
dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam
sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
2)

Sistem pernafasan

Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan pernapasan kecuali
bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
3)

Sistem sirkulasi

Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk
mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk
mengetahui masukan dan haluaran.
4)

Sistem neurologi

Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa karena
pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
5)

Sistem gastrointestinal

Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 : 40) . Kaji
bising usus dan adanya massa pada abdomen .
6)

Sistem urogenital

Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat terjadi bila
kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat
menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,
1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan
selama 6 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
7)

Sistem muskuloskaletal

Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter tidak boleh
fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).

i.

Pemeriksaan penunjang

1)

Laboratorium

Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu diulang secara
berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan darah
dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi
bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera
diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur
urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).

a)

Uroflowmetri

Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas ( Lab /
UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b)

Analisa dan sintesa data

Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut dirumuskan
ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH
pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan
cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang
pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .

B.
1.

Diagnosa keperawatan
Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli : reflek spasme otot

sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.


2.

Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan .

3.

Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP).

4.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli buli.

5.

Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan anastesi .

( Marilynn, E.D, 2000 : 683 )


C.

Rencana Keperawatan

1.

Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan anastesi.

a.

Tujuan

Pola napas tetap efektif


b.

Kriteria hasil

Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas normal, melakukan
batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.
c.

Rencana tindakan dan rasional

1)

Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.

Rasional: memaksimalkan ekspansi paru.


2)

Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam.

Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.


3)

Kaji bunyi napas tiap 4 jam.

Rasional: Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim medis.
4)

Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis.

5)

Pantau

dan

laporkan

gejala

gangguan

pertukaran

gas

kacau.

Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas.


6)

Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi nyeri.

Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan latihan batuk dan
napas dalam secara efektif.
2.

Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah

berlebihan.

a.

Tujuan

Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.


b.

Kriteria hasil

Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer
teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
c.

Rencana tindakan dan rasional

1)

Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.

Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan


bekuan darah dan pembenaman kateter pada distensi buli-buli.
2)

Pantau masukan dan haluaran cairan.

Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.


3)

Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut.

Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal.
Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi /
evaluasi medik.
4)

Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan darah.

Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.


5)

Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.

Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang sendiri.


6)

Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan

darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.
7)

Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.

Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral.


8)

Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali kontraindikasi.

Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris. Awasi dengan ketat karena
dapat mengakibatkan intoksikasi cairan.
9)

Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema.

Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat dan peningkatan
kapsul prostat dengan resiko perdarahan.
10) Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah.
Rasional

berguna

dalam

evaluasi

kehilangan

darah/kebutuhan

penggantian.

Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit.

3.

Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan

irigasi (TURP).
a.

Tujuan

Keseimbangan cairan tetap terpelihara.


b.

Kriteria hasil

Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar penuh, berorientasi, dan
menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik.
c.

Rencana tindakan dan rasional

1)

Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia.

Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.


2)

Pantau masukan dan haluaran tiap 4 8 jam.

Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.


3)

Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim medis.

Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.


4)

Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika diinstruksikan.

Rasional: mencegah terjadinya retensi

4.
a.

Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.


Tujuan

Retensi urin teratasi.


b.

Kriteria hasil

Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku peningkatan kontrol buli-buli.


c.

Rencana tindakan dan rasional

1)

Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya.

Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin.


2)

Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara konstan selama 24 jam pertama.

Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi
kateter / aliran urin.
3)

Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi.

Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin.
4)

Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala retensi.

Rasional: deteksi dini terjadinya retensi.


5.
a.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli buli.


Tujuan

Infeksi dicegah.
b.

Kriteria hasil

Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda infeksi.


c.

Rencana tindakan dan rasional

1)

Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun dan

air, berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter.


Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut.
2)

Ambulasi dengan kantung drainase dependen.

Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan bakteri ke dalam buli buli.
3)

Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.

Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini.


4)

Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik berhubungan dengan peningkatan resiko


pada prostatektomi.
D.

Evaluasi

Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan keperawatan melalui
proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy berdasarkan tujuan
pemulangan adalah :
1.

Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.

2.

Cairan terpenuhi secara adekuat

3.

Cairan tubuh tidak berlebihan

4.

Tidak terjadi retensi urine

5.

Risiko infeksi dihindari.


BAB III
TINJAUAN KASUS

Pada tanggal 02 September 2013 Tn.M dibawa ke RSUD JOMBANG ,Pasien datang dengan
keluhan tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Pada awalnya pasien

mengeluh susah BAK, disertai nyeri pada perut dan tidak mampu duduk. Pasien juga
terkadang demam. Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan diagnosa BPH

A.

PENGKAJIAN

1.

Identitas

a.

Klien

Nama

: Tn. M

Umur

: 68 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Suku/Bangsa : Sumatera/Indonesia
Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Pendidikan

: SD

Alamat

: Jl. KP. Duku/Keb. Lama

Tanggal Masuk RS

: 02 September 2013

Diagnosa Medis

: Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )

No. MR

: 01175903

b. Penanggung Jawab
Nama

: Tn. J

Umur

: 28 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku/Bangsa : Sumatera/Indonesia
Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Pendidikan

: SMK

Alamat

: Jl. KP. Duku/Keb. Lama

Hubungan

: Anak

2.

Riwayat Perawatan

a.

Keluhan Utama

b.

Riwayat Penyakit

1)

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.

Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi sejak 6 tahun yang lalu.
Pasien pernah berobat ke Puskesmas Kebayoran Lama dan diberikan kaptopril.

2)

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
Pada awalnya pasien mengeluh susah BAK, disertai nyeri pada perut dan tidak mampu
duduk. Pasien juga terkadang demam. Pasien dibawa ke Rumah Sakit dan dipasang selang
kateter agar BAK lancar.

3)

Riwayat Kesehatan Keluarga

Pasien menyatakan tidak ada keluarga yang memilki penyakit sama seperti yang dialami
pasien.
3.

Observasi dan Pemeriksaan Fisik

a.

Keadaan Umum

Pasien tampak lemah. Nyeri sedang ( skala 5 dari 1 10 ), komunikasi baik, terpasang infus
di lengan kanan. Terpasang selang kateter.
b.

Tanda Tanda Vital

36,8 C

88 x/menit

TD

160/80 mmHg

RR

22 x/menit

HR

: 90 x/menit

c. Pemeriksaan Fisik Persistem


Sistem Pernafasan
Hidung simetris, pernafasan cuping hidung tidak ada, perdarahan hidung tidak ada,bentuk
dada simetris, batuk tidak ada. Frekwensi pernafasan 22x/menit, pola pernafasan teratur,
wheezing tidak ada
Sistem Kardiovaskuler
Konjungtiva tidak anemis, edema tidak ada, tekanan darah 160/80 mmHg, akral hangat,
Sistem Persyarafan
Kesadaran lemah, komunikasi baik, kepala simetris, mata simetris, pergerakan bola mata
normal, Nervus cranial : N1; klien mampu mencium bau, N2; klien mampu membaca tulisan,
N3; bola mata simetris, klien mengangkat kelopak mata, N4; klien mampu menggerakan bola
mata.
Sistem endokrin
Pertumbuhan dan perkembangan fisik tak ada kelainan, proporsi dan posisi tubuh tegap,
ukuran kepala dan ektremitas simetris seimbang, polidipsi tidak ada, poliphagi tidak ada,

poliuri tidak ada, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid


Sistem integument
kulit bersih, turgor kulit baik, luka/lesi tidak ada, eritema tidak ada,
Sistem muskuloskeletal
Tidak mampu duduk, deformitas tidak ada, fraktur tidak ada, atrofi tidak ada, pembesaran
tulang tidak ada, terpasang infus di lengan kanan
Sistem Pencernaan
Bentuk

bibir

simetris,

tidak

ada

lesi,

mukosa

mulut

normal,

muntah

tidak

ada,menelan/mengunyah baik, bentuk perut normal, benjolan diperut tidak ada, pembesaran
hepar tidak ada, nyeri perut seperti ditusuk dan panas saat hendak dan sedang BAK.
Sistem reproduksi
pembengkakan tidak ada, benjolan tidak ada, nyeri tidak ada, terpasang kateter
Sistem perkemihan
Klien terpasang kateter, jumlah urine 700 CC ( tampungan kateter ), warna urine kuning
keruh, bau khas urine, tidak bisa BAK sejak 6 bulan
4.
a.

Pola Fungsi Kesehatan


Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit

Pasien menyatakan menerima penyakitnya dan menjalani dengan ikhlas. Pasien yakin akan
sembuh.
b.

Fungsi Kesehatan
No

Pola Fungsi Kesehatan

Sebelum Sakit

Ketika Sakit

.
1.

Nutrisi Metabolisme
a.

Frekuensi

3 kali/hari

3 kali/hari

b.

Nafsu makan

Kuat

Kuat

c.

Jenis makanan

Makanan berlemak

Diit bubur

2.

d.

Jenis minuman

Kopi, air putih

Air putih, teh

e.

Jumlah makanan

1-2 porsi/makan

1 porsi/makan

f.

Jumlah minuman

1,5 Liter/hari

< 1 liter/hari

g.

Kebiasaan minum

Harus ada kopi

h.

Kebiasaan makan

Makanan berlemak

i.

Berat badan

70 kg

68 kg

j.

Tinggi badan

168 cm

168cm

k.

Diit khusus

Pola Tidur Istirahat


a.

Malam

8 9 jam

8 9 jam

b.

Siang

3 jam

3 jam

c.

Kebiasaan sebelum tidur

Masalah/keluhan

: Saat sakit pasien menyatakan tidak ada masalah dengan pola

asupan kebutuhan nutrisi. Pasien tidak menyukai makanan yang disediakan RS.
c.

Kognitif

Pasien mengetahui penyakitnya saat sudah dirawat di RS. Namun pasien menyatakan tidak
terlalu cemas.
d.

Persepsi diri / konsep diri

Pasien memiliki kepercayaan akan mampu sembuh dari penyakit yang sedang dideritanya
saat ini.
e.

Peran / hubungan

Pasien merupakan seorang ayah dan kepala keluarga. Pasien memiliki hubungan yang baik
terhadap keluarga dan orang sekitarnya.

f.

Koping Toleransi stress

Pasien ramah dan mudah diajak bicara. Pasien banyak tidur dalam keseharian.
g.

Nilai Pola keyakinan\

Pasien memiliki kepercayaan dan yakin akan kesembuhannya.

5.

Psikososial Spiritual

Hubungan dengan keluarga :


Pasien memiliki hubungan yang baik terhadap keluarganya. Keluarga pasien juga sangat
mendukung proses keperawatan yang diterima pasien.
Hubungan dengan teman/petugas kesehatan :
Baik, pasien berinteraksi secara baik dan ramah.
Pasien beragama islam Menjalankan ibadah

6.

Data Penunjang ( Lab, Foto Rontgen, Pemeriksaan Diagnostik, dll )

USG :

Hipertrofi Prostat ( volume +/- 37 CC )


Kista Ginjal Kiri
Buli = sam. Neurosen bladder

7.

Terapi dan Implikasi Keperawatan

Ranitidin 2 x 1 amp
Ceftriaxon 1 x 2 gr

Ketorolac 1 x 1 amp
Infus NaCl : RL 30 tpm
Parasetamol 500 mg 1 x1

DIAGNOSA KEPERAWATAN
NS.
DIAGNOSIS :
(NANDA-I)

DEFINITION:

DEFINING
CHARACTE
RISTICS

ASSESSMENT

RELATED
FACTORS:

Gangguan Eliminasi Urine (00016)

Disfungsi pada eliminasi urin

Disuria
Sering berkemih
Anyang-anyangan
Inkontinensia
Nokturia
Retensi
Dorongan

Obstruksi anatomic
Penyebab multiple
Gangguan sensori motorik
Infeksi saluran kemih
Subjective data entry

Pasien mengeluh susah BAK, disertai


nyeri pada perut dan tidak mampu duduk.

Objective data entry

Pasien tampak lemah


Nyeri pada perut (Skala 5)
Klien terpasang kateter
Jumlah urine 700 CC ( tampungan

kateter )
Warna urine kuning keruh, bau khas urine

Ns. Diagnosis (Specify):

DIAGNOSIS

Gangguan eliminasi urin


Client
Diagnostic
Statement:

Related to:
Infeksi saluran kemih

INTERVENSI KEPERAWATAN
NANDA: Nursing
Diagnosis 2012-2014

Nursing Outcomes

Nursing Interventions

Classification (NOC)

Classification (NIC)

Gangguan Eliminasi
Urine

Setelah dilakukan tindakan

0590. Urinary Elimination

keperawatan selama . x

Management

Defenisi : Disfungsi pada


eliminasi urine

24 jam klien akan:

Batasan Karakteristik :

Nursing Care Plan / Intervensi

Disuria
Sering berkemih
Anyang-anyangan
Inkontinensia
Nokturia
Retensi
Dorongan

Faktor yang berhubungan:

1. pantau eliminasi

0410. Urinary

urne meliputi

Elimination, yang

frekuensi,

dibuktikan dengan indikator

konsistensi, bau,

sebagai berikut:

volume dan warna,

(1-5 = tidak pernah, jarang,

jika perlu.
2. Kumpulkan

kadang-kadang, sering, atau

spesimen urine

selalu)

tengah untuk

Kriteria Hasil :

urinalsis, jika perlu.


3. Anjarkan pasien
tentang tanda dan

Obstruksi anatomic
Penyebab multiple
Gangguan sensori
motorik
Infeksi saluran kemih

Klien tidak

gejala infeksi

mengalami retensi

saluran kemih
4. Instruksikan pasien

Klien dapat

dan keluarga untuk

berkemih setiap 3 jam

mencatat haluaran

Klien tidak kesulitan

pada saat berkemih

urine, bila
diperlukan
5. Instruksikan pasien
untuk berespons

Klien dapat bak

segera terhadap

dengan berkemih

kebutuhan eliminasi,
jika perlu
6. Ajarkan pasien
untuk minum 200
ml cairan pada saat
makan, di antara
waktu makan, dan di
awal petang
7. Rujuk ke dokter jika
terdapat tanda dan
gejala infeksi
saluran kemih

IMPLEMENTASI
Diagnosa
Keperawatan
Gangguan

Tgl/jam

Tindakan

04-09-

1. Memantau eliminasi urine


2. Memberikan instruksi pasien dan keluarga

eliminasi urine 2013/


07.00

untuk mencatat haluaran urine


3. Menginstruksikan pasien untuk berespons
segera terhadap kebutuhan eliminasi
4. Mengajarkan pasien untuk minum 200 ml
cairan pada saat makan, di antara waktu

paraf

makan, dan di awal petang

EVALUASI
Hari / Tanggal

No.

Evaluasi

04 - 09- 2013

DX
1

S
O
A
P

Paraf

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena adanya penyumbatan
jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang menyebabkan ketidakmampuan
seseorang untuk berkemih secara normal.
Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan bersih. Hal ini
menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga menutupi saluran kemih yang
menghambat proses pengeluaran urine.
Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta kebersihan alat kelamin.
Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.

B. Saran
Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja akan lebih baik jika
pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian melakukan aktivitas seperti olahraga
terbukti dapat mengurangi persentase mengidap BPH.

DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam
Terbitan (KTD): Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

Вам также может понравиться