Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic Hypertrophy (BPH)
adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari elemen seluler prostat.
Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul dari proliferasi epitel dan stroma,
gangguan diprogram kematian sel (apoptosis), atau keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona periuretra
dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran prostat yang dapat
menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses
penuaan pada pria yang tergantung pada hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT).
Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini
meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011).
Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan Bladder
Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Ini juga sering
disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang digunakan. Pernyataan ini tumpang
tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT
mengalami BPH. Sekitar setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi
menunjukkan LUT berat. (Detters, 2011).
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang air kecil yang
tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk buang air kecil), atau polakisuria
(sensasi buang air kecil yang tidak puas). Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin
dapat terjadi acute urine retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan
untuk operasi korektif, gagal ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih,
atau gross hematuria. (Detters, 2011).
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH. Selain
itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH yang tidak diobati dan
risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi korektif meningkat. (Detters, 2011).
Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami kewaspadaan pada
komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati dengan terapi medis pada awalnya.
Tujuan Umum
Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia
2.
Tujuan Khusus
a.
Hiperplasia.
b.
Hiperplasia.
c.
Hiperplasia.
d.
Prostat Hiperplasia.
e.
Hiperplasia.
1.3 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus Lengkap ini adalah :
1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat
dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen.
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5-reduktase
diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat
ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat
dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor
membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA
untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa
sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan
bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian
estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian
tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang
mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu :
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab
seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem
dapat berproliferasi dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral
Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat
tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan
bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi
testoteron menjadi estrogen. (Sjamsuhidayat, 2005).
2.3
Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa 20gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya
Basuki (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam
sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu mRNA
di
dalam
sel-sel
kelenjar
prostat
untuk
mensintesis
protein
sehingga
2.4
penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,
frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh waktu
miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran
refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan
pielonfritis, hidronefrosis.
2.5
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :
1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pencitraan1). Foto
polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa
prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan
BPH adalah :
1) Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2) Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari
retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
2.6
1.
Penatalaksanaan Medis
Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan
sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS 7 atau Madsen Iversen 9),
dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol
periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak
terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan
malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan antara lain :
a.
b.
c.
d.
2.
Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma. Indikasi
absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang
dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek
pada TURP antara lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah.
Komplikasi jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila volume
prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu
keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan
teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang
ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang
tidak bisa dipecah dengan litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) /
volume prostat lebih dari 100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)
3.
1.
Medical Treatment
Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan
kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars prostatika,
sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat, contohnya Prazosin,
Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah
karena penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung
tersumbat, dan lemah.
b.
Obat ini menghambat kerja enzim 5 reduktase sehingga testosteron tidak diubah menjadi
DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein terhambat.
Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara lain melemahkan
libido, dan menurunkan nilai PSA.
c.
Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum Africanum, Urtica
Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan Secale cereale.
Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga
mempengaruhi kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu antiestrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat proliferasi sel
prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher
vesika.(Sjamsuhidajat, 2004)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A.
Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali
masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan
lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a.
Pengumpulan data
Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa /
ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin
dalam hal ini klien adalah laki laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak
dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
b.
Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang
berhubungan dengan spasme buli buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu
diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ),
rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan,
lama, kekerapan (time).
c.
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms
( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada
sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat menimbulkan
keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang.
d.
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang
perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi
Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah
( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan
pembedahan terdahulu.
e.
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti : Hipertensi, Diabetes
Mellitus, Asma perlu digali .
f.
Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan interaksi
pasca tindakan TURP.
g.
1)
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca
TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli buli memerlukan penggunaan anti
spasmodik sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
2)
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus .
3)
Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat terjadi bila
terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di
lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
4)
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter
selama 6 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama
traksi masih diperlukan.
5)
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan
istirahat.
6)
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca
TURP.
8)
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan
dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat.
9)
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999:
36 j ).
10) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi
pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres
tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya .
h.
Pemeriksaan fisik
1)
Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila terjadi shock.
Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan
dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam
sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
2)
Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan pernapasan kecuali
bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
3)
Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk
mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk
mengetahui masukan dan haluaran.
4)
Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa karena
pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
5)
Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 : 40) . Kaji
bising usus dan adanya massa pada abdomen .
6)
Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat terjadi bila
kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat
menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,
1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan
selama 6 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
7)
Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter tidak boleh
fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).
i.
Pemeriksaan penunjang
1)
Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu diulang secara
berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan darah
dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi
bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera
diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur
urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
a)
Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas ( Lab /
UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b)
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut dirumuskan
ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH
pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan
cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang
pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .
B.
1.
Diagnosa keperawatan
Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli : reflek spasme otot
3.
Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP).
4.
5.
Rencana Keperawatan
1.
a.
Tujuan
Kriteria hasil
Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas normal, melakukan
batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.
c.
1)
Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam.
Rasional: Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim medis.
4)
5)
Pantau
dan
laporkan
gejala
gangguan
pertukaran
gas
kacau.
Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi nyeri.
Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan latihan batuk dan
napas dalam secara efektif.
2.
berlebihan.
a.
Tujuan
Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer
teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
c.
1)
Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal.
Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi /
evaluasi medik.
4)
Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan darah.
Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan
darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.
7)
Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris. Awasi dengan ketat karena
dapat mengakibatkan intoksikasi cairan.
9)
Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat dan peningkatan
kapsul prostat dengan resiko perdarahan.
10) Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah.
Rasional
berguna
dalam
evaluasi
kehilangan
darah/kebutuhan
penggantian.
3.
Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan
irigasi (TURP).
a.
Tujuan
Kriteria hasil
Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar penuh, berorientasi, dan
menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik.
c.
1)
Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim medis.
Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika diinstruksikan.
4.
a.
Kriteria hasil
1)
Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi
kateter / aliran urin.
3)
Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin.
4)
Infeksi dicegah.
b.
Kriteria hasil
1)
Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun dan
Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan bakteri ke dalam buli buli.
3)
Evaluasi
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan keperawatan melalui
proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy berdasarkan tujuan
pemulangan adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
Pada tanggal 02 September 2013 Tn.M dibawa ke RSUD JOMBANG ,Pasien datang dengan
keluhan tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Pada awalnya pasien
mengeluh susah BAK, disertai nyeri pada perut dan tidak mampu duduk. Pasien juga
terkadang demam. Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan diagnosa BPH
A.
PENGKAJIAN
1.
Identitas
a.
Klien
Nama
: Tn. M
Umur
: 68 Tahun
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan
: SD
Alamat
Tanggal Masuk RS
: 02 September 2013
Diagnosa Medis
No. MR
: 01175903
b. Penanggung Jawab
Nama
: Tn. J
Umur
: 28 Tahun
Suku/Bangsa : Sumatera/Indonesia
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan
: SMK
Alamat
Hubungan
: Anak
2.
Riwayat Perawatan
a.
Keluhan Utama
b.
Riwayat Penyakit
1)
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi sejak 6 tahun yang lalu.
Pasien pernah berobat ke Puskesmas Kebayoran Lama dan diberikan kaptopril.
2)
Pasien datang dengan keluhan tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
Pada awalnya pasien mengeluh susah BAK, disertai nyeri pada perut dan tidak mampu
duduk. Pasien juga terkadang demam. Pasien dibawa ke Rumah Sakit dan dipasang selang
kateter agar BAK lancar.
3)
Pasien menyatakan tidak ada keluarga yang memilki penyakit sama seperti yang dialami
pasien.
3.
a.
Keadaan Umum
Pasien tampak lemah. Nyeri sedang ( skala 5 dari 1 10 ), komunikasi baik, terpasang infus
di lengan kanan. Terpasang selang kateter.
b.
36,8 C
88 x/menit
TD
160/80 mmHg
RR
22 x/menit
HR
: 90 x/menit
bibir
simetris,
tidak
ada
lesi,
mukosa
mulut
normal,
muntah
tidak
ada,menelan/mengunyah baik, bentuk perut normal, benjolan diperut tidak ada, pembesaran
hepar tidak ada, nyeri perut seperti ditusuk dan panas saat hendak dan sedang BAK.
Sistem reproduksi
pembengkakan tidak ada, benjolan tidak ada, nyeri tidak ada, terpasang kateter
Sistem perkemihan
Klien terpasang kateter, jumlah urine 700 CC ( tampungan kateter ), warna urine kuning
keruh, bau khas urine, tidak bisa BAK sejak 6 bulan
4.
a.
Pasien menyatakan menerima penyakitnya dan menjalani dengan ikhlas. Pasien yakin akan
sembuh.
b.
Fungsi Kesehatan
No
Sebelum Sakit
Ketika Sakit
.
1.
Nutrisi Metabolisme
a.
Frekuensi
3 kali/hari
3 kali/hari
b.
Nafsu makan
Kuat
Kuat
c.
Jenis makanan
Makanan berlemak
Diit bubur
2.
d.
Jenis minuman
e.
Jumlah makanan
1-2 porsi/makan
1 porsi/makan
f.
Jumlah minuman
1,5 Liter/hari
< 1 liter/hari
g.
Kebiasaan minum
h.
Kebiasaan makan
Makanan berlemak
i.
Berat badan
70 kg
68 kg
j.
Tinggi badan
168 cm
168cm
k.
Diit khusus
Malam
8 9 jam
8 9 jam
b.
Siang
3 jam
3 jam
c.
Masalah/keluhan
asupan kebutuhan nutrisi. Pasien tidak menyukai makanan yang disediakan RS.
c.
Kognitif
Pasien mengetahui penyakitnya saat sudah dirawat di RS. Namun pasien menyatakan tidak
terlalu cemas.
d.
Pasien memiliki kepercayaan akan mampu sembuh dari penyakit yang sedang dideritanya
saat ini.
e.
Peran / hubungan
Pasien merupakan seorang ayah dan kepala keluarga. Pasien memiliki hubungan yang baik
terhadap keluarga dan orang sekitarnya.
f.
Pasien ramah dan mudah diajak bicara. Pasien banyak tidur dalam keseharian.
g.
5.
Psikososial Spiritual
6.
USG :
7.
Ranitidin 2 x 1 amp
Ceftriaxon 1 x 2 gr
Ketorolac 1 x 1 amp
Infus NaCl : RL 30 tpm
Parasetamol 500 mg 1 x1
DIAGNOSA KEPERAWATAN
NS.
DIAGNOSIS :
(NANDA-I)
DEFINITION:
DEFINING
CHARACTE
RISTICS
ASSESSMENT
RELATED
FACTORS:
Disuria
Sering berkemih
Anyang-anyangan
Inkontinensia
Nokturia
Retensi
Dorongan
Obstruksi anatomic
Penyebab multiple
Gangguan sensori motorik
Infeksi saluran kemih
Subjective data entry
kateter )
Warna urine kuning keruh, bau khas urine
DIAGNOSIS
Related to:
Infeksi saluran kemih
INTERVENSI KEPERAWATAN
NANDA: Nursing
Diagnosis 2012-2014
Nursing Outcomes
Nursing Interventions
Classification (NOC)
Classification (NIC)
Gangguan Eliminasi
Urine
keperawatan selama . x
Management
Batasan Karakteristik :
Disuria
Sering berkemih
Anyang-anyangan
Inkontinensia
Nokturia
Retensi
Dorongan
1. pantau eliminasi
0410. Urinary
urne meliputi
Elimination, yang
frekuensi,
konsistensi, bau,
sebagai berikut:
jika perlu.
2. Kumpulkan
spesimen urine
selalu)
tengah untuk
Kriteria Hasil :
Obstruksi anatomic
Penyebab multiple
Gangguan sensori
motorik
Infeksi saluran kemih
Klien tidak
gejala infeksi
mengalami retensi
saluran kemih
4. Instruksikan pasien
Klien dapat
mencatat haluaran
urine, bila
diperlukan
5. Instruksikan pasien
untuk berespons
segera terhadap
dengan berkemih
kebutuhan eliminasi,
jika perlu
6. Ajarkan pasien
untuk minum 200
ml cairan pada saat
makan, di antara
waktu makan, dan di
awal petang
7. Rujuk ke dokter jika
terdapat tanda dan
gejala infeksi
saluran kemih
IMPLEMENTASI
Diagnosa
Keperawatan
Gangguan
Tgl/jam
Tindakan
04-09-
paraf
EVALUASI
Hari / Tanggal
No.
Evaluasi
04 - 09- 2013
DX
1
S
O
A
P
Paraf
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena adanya penyumbatan
jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang menyebabkan ketidakmampuan
seseorang untuk berkemih secara normal.
Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan bersih. Hal ini
menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga menutupi saluran kemih yang
menghambat proses pengeluaran urine.
Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta kebersihan alat kelamin.
Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.
B. Saran
Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja akan lebih baik jika
pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian melakukan aktivitas seperti olahraga
terbukti dapat mengurangi persentase mengidap BPH.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam
Terbitan (KTD): Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.