Вы находитесь на странице: 1из 23

PENGGUNAAN KADAVER

SEBAGAI MEDIA
PEMBELAJARAN
KELOMPOK 6 :
1.Amanda dewi kharisma
2.Lailatul maghfiroh
3.Rizky miftaqul jannah
4.m.isfannur r.
5.Putri andriani
6.Elis agustin

Definisi Cadaver (Bedah Mayat)


bedah mayat sering disebut otopsi atau dalam bahasa arab disebut
dengan jirahah attayrih. istilah otopsi jika ditelusuri berasal dari bahasa
yunani yang berarti "melihat dengan mata sendiri"
Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah
mayat, karena ada suatu maksud atau kepentingan tertentu.
Jadi, bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang,
walaupun hanya sekedar mengambil barang dari tubuh (perut) mayat
itu. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat.
Apalagi yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan
penegakan hukum.

TUJUAN BEDAH MAYAT (KADAVER)


Di zaman sekarang ini pengetahuan autopsi dengan berbagai
kepentingannya pun dapat diketahui dari aspek tujuannya di dunia
kedokteran. Ditinjau dari aspek tujuannya bedah mayat terbagi
menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
1.Autopsi anatomis
Adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang
diperoleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan yang
lainnya sebagai bahan praktikum tentang teori ilmu tubuh manusia
(anatomi).

2. Autopsi klinis
Adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit
setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter. Pembedahan
ini dilakukan dengan tujuan mengetahui secara mendalam sifat
perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif
terlebih dahulu, serta untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit
yang belum diketahui secara sempurna selama ia sakit.

3. Autopsi forensic
Adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan mencari
hukum dari suatu peristiwa yang terjadi misalnya
pembunuhan,bunuh diri atau kecelakaan.

ALASAN YG MELANDASI DILAKUKANNYA


PEMBEDAHAN MAYAT
1. Untuk kepentingan penegakkan hukum
Penyelesaian kejahatan terutama yang berkaitan dengan tubuh dan
nyawa tidak selalu dapat diselesaikan oleh ilmu hukum sendiri. Dapat
dikatakan seperti itu karena memang obyek kejahatannya adalah tubuh
dan nyawa manusia, sedangkan tubuh dan nyawa manusia adalah
kajian bidang ilmu kedokteran. Dengan demikian seringkali untuk
kepentingan pembuktian dan penyelidikan sebab-sebab kematian, ilmu
hukum meminta bantuan kepada bidang kedokteran.

2.Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat


Jika seorang ibu yang akan melahirkan meninggal dunia, sementara di dalam tubuhnya terdapat
bayi yang masih hidup, maka dalam kondisi seperti ini tim dokter berusaha menyelamatkan bayi
yang masih hidup tersebut dengan cara membedah perut mayat, karena satu-satunya cara yang
dapat diharapkan untuk menyelamatkan bayi tersebut adalah dengan cara demikian.
3.Untuk mengeluarkan benda berharga dari mayat
Apabila seseorang menelan sesuatu yang bukan miliknya, misalnya menelan permata orang lain
yang sangat berharga yang mengakibatkan ia meninggal dunia, selanjutnya pemilik barang
tersebut menuntut agar permata tersebut dikembalikan kepadanya, maka tidak ada cara lain yang
ditempuh kecuali dengan membedah mayat itu untuk mengeluarkan permata tersebut dari
jasadnya.

4.Untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran


Di dalam dunia kedokteran, para dokter untuk mengetahui suatu penyakit yang belum diketahui
dengan sempurna selama penderita sakit, ketika ia mati untuk tujuan penelitian kedokteran
dipandang perlu melakukan penyelidikan yang intensif guna memastikan jenis penyakit tersebut,
penyebabnya dan cara mengatasinya. Tindakan yang dilakukan terhadap si mayat adalah dengan
memotong bagian tubuh tertentu untuk dijadikan sampel penelitian yang akan diperiksa di
laboratorium.

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bedah


Mayat
1.Untuk kepentingan penegakkan hukum
Autopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan dengan maksud
untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya disebut juga obductie. Di dalam alQuran maupun al-Hadits tidak ditemukan anjuran yang tegas untuk melaksanakan
autopsi untuk keperluan-keperluan tertentu. Namun tindakan untuk melakukan
autopsi terhadap mayat, terutama untuk kepentingan pembuktian di pengadilan
semangatnya dapat diselaraskan dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 58.
Artinya : Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil.

Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan autopsi mayat yang digunakan sebagai
pembuktian hukum di pengadilan dengan menggunakan teori Qawaid al-Fiqhiyah dapat
diterapkan kaidah-kaidah berikut:
A.Kaidah pertama

Bedah mayat dalam hukum Islam diperbolehkan dengan tujuan untuk memelihara
kemaslahatan masyarakat atau menolak kemudaratan yang bersifat publik, seperti tindak
pidana pembunuhan. Dengan kata lain, autopsi yang mendatangkan kemudaratan khusus
(karena merusak mayat), boleh dilakukan untuk melindungi masyarakat dari kemudaratan
yang lebih besar, yakni bebasnya seorang pembunuh karena tidak terbukti jika tindakan
autopsi tidak dilakukan. Di dalam hukum Islam, suatu tindakan yang dilandasi oleh
alasan untuk menjamin keamanan dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih
diutamakan daripada orang yang sudah mati.

B.Kaidah kedua

Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persoalan darurat itu membolehkan sesuatu yang semula
diharamkan. Berangkat dari fenomena di atas, maka autopsi forensik sangat
penting kedudukannya
sebagai metode membantu pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan
melaksanakan autopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab kematian,
cara kematian, dan saat kematian korban.
C.Kaidah ketiga

Kaidah keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya. Maksudnya kaidah ini adalah
hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat yang bersifar perorangan

Dari kaidah-kaidah di atas, dapat dipahami bahwa autopsi untuk kepentingan penegakkan hukum itu
karena keperluan yang berada pada level hajat statusnya diperbolehkan di dalam hukum Islam.
2. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat

Dari tujuan atau motivasi di atas tidak ada didapatkan dalil dari Al-Quran dan Al-Hadits
yang menyatakan larangan atau suruhan untuk melakukan tindakan autopsi terhadap mayat
dalam kondisi demikian. Namun pada prinsipnya ajaran Islam memberi tuntutan kepada umatnya
untuk berijtihad dalam sesuatu masalah yang tidak ada nash-nya, sebagaimana firman
Allah al-Quran surat al-Hajj ayat 78 yang berbunyi:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.

Dalam menentukan status hukum masalah autopsi untuk menyelamatkan


janin yang masih hidup di dalam rahim mayat dapat diterapkan kaidah-kaidah
fiqhiyah berikut :
A.Kaidah Pertama :

Dengan kaidah tersebut dapat dipahami bahwa apabila dua mafsadah bertemu
dalam suatu waktu, dan kedua mafsadah itu saling bertentangan, maka harus
diperhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang
lebih ringan mudaratnya.

B.Kaidah kedua

Jika kedua kaidah di atas diaplikasikan dalam kasus autopsi untuk menyelamatkan janin yang masih hidup
dalam perut, maka pilihan yang harus diambil adalah kemaslahatan orang yang hidup. Artinya
kemaslahatan janin harus lebih diutamakan dari pada orang yang mati (mayat).
C.Kaidah ketiga

Yang dipahami dari kaidah ketiga ini, dalam melakukan autopsi dibolehkan hanya sebatas
keperluan yang ada hubungan dengan keperluan untuk menyelamatkan janin.
D.Kaidah Kempat :
Dalam melakukan bedah terhadap mayat yang mengandung janin yang masih hidup, tidak
boleh berlebihan atau tidak boleh membedah bagian yang tidak ada kaitannya dengan
hajat tersebut.
Dari kaidah di atas dipahami apabila melampaui kebutuhan yang menjadi
hajat maka hukum bedah
mayat menjadi haram.

3.Autopsi yang bertujuan untuk mengeluarkan benda yang berharga dari mayat
Pada bagian terdahulu telah diuraikan contoh kasus ini, yakni seseorang menelan sesuatu yang bukan
miliknya yang mengakibatkan ia meninggal dunia, selanjutnya pemilik menuntut agar barang yang ada
diperut mayat dikembalikan kepadanya.
Dalam hal seperti di atas tidak ada cara lain yang bisa ditempuh kecuali dengan membedah mayat itu
untuk mengeluarkan barang yang ada di perut mayat. Melihat persoalan seperti kasus di atas, perlu
ditentukan status hukum bedah mayat tersebut apakah dibolehkan atau diharamkan. Berdasarkan ajaran
Islam haram hukumnya seseorang menguasai suatu barang yang bukan haknya. Tindakan yang demikian
akan menjadi ganjalan bagi orang yang mati di alam sesudah kematiannya karena ia masih terkait dengan
hak orang lain.

Dengan pendekatan menggunakan Qawaid al-Fiqhiyyah terhadap persoalan di atas, status hukum
bedah mayat dapat ditentukan menggunakan kaidah yang sama seperti di atas, antara lain:
A.Kaidah Pertama :

B.Kaidah kedua

Kasus di atas adalah kasus artinya, mengambil darurat yang lebih ringan di antara dua
pilihan
yang sama-sama darurat. Darurat pertama adalah keharaman merusak mayat
berhadapan
dengan darurat kedua, yaitu kesengsaraan si mayat jika barang diperutnya tidak
diambil dan dikembalikan kepada pemiliknya dengan cara dibedah.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa boleh hukumnya bahkan wajib
hukumnya membedah mayat apabila dalam perutnya terdapat batu permata orang lain dan tidak
diwajibkan bila batu permata atas miliknya sendiri.

4.Bedah mayat untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran


Menurut Umar Hubais mempelajari ilmu kedokteran adalah wajib atau fadhu kifayah bagi umat Islam,
karena Rasulullah sendiri berobat, memberi obat serta menganjurkan untuk berobat.
Salah satu bagian ilmu kedokteran yang sangat penting adalah ilmu bedah. Ilmu ini menghajatkan
pengetahuan yang luas dan dalam tentang anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Untuk mengembangkan
ilmu ini maka penyelidikan terhadap organ tubuh manusia menjadi sesuatu yang tidak mungkin
dihindarkan, jika perlu mengadakan pembedahan dan pemeriksaan tubuh mayat, memeriksa susunan
syaraf, dan rongga perut. Hal yang demikian dimaksudkan agar seorang tenaga medis (dokter) dapat
menunaikan tugas profesionalnya dengan baik, memberikan pengobatan dan menyembuhkan penyakit
yang diderita pasien. Untuk keperluan tersebut, para dokter dan mahasiswa kedokteran kadang-kadang
membutuhkan mayat sebagai sarana penelitian untuk pengembangan ilmu kedokteran. Yang menjadi
masalah apakah tindakan bedah mayat untuk kepentingan penelitian dan ilmu itu dibolehkan atau
diharamkan dalam ajaran Islam.

Pendapat Para Ulama tentang Bedah


Cadaver
1. Imam Ahmad bin Hambali
Seorang yang sedang hamil dan kemudian dia meninggal dunia,
maka perutnya tidak boleh, kecuali sudah diyakini benar, bahwa
janin itu masih hidup.
2. Imam Syafii
Jika seorang hamil, kemudian dia meinggal dunia, dan ternyata
janinnya masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk
mengeluartkan janinnya. Begitu juga hukumnya, kalau dalam
perut si mayat itu ada barang yang berharga.

3. Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia dan di dalam perutnya
ada barang berharga, maka mayat itu harus di bedah,
baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain.
Tetapi tidak perlu (tidak boleh dibedah), kalau hanya
untuk mengeluarkan janin yang diperkirakan masih
hidup.
4. Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka
perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu.

5. Imam Ahmad Bin Hanbal dan kalangan Mazhab Maliki


perut mayat tidak boleh dibedah hal ini didasarkan sabda
Rasullullah SAW, yang mengatakan bahwa memecah tulang
mayat sama haramnya dengan memecah tulang manusia hidup
(HR. Abu Dawud dari Aisyah binti Abu Bakar dengan sanad syarat
muslim). hal ini seiring dengan kewajiban terhadap mayat, yakni
memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan
sebagai penghormatan bagi mayat.

ketetapan Majma' Fiqih islami


Majma' Fiqih Islami sebuah institusi para ulama dunia yang berada
dibawah bendera Rabithah 'Alam Islami dalam sidang di Makkah AlMukharomah pada tanggal 17 oktober 1987 telah mengeluarkan
ketetapan tentang masalah kadaver:
1. Dibolehkan melakukan otopsi terhadap mayat selama bertujuan
untuk kepastian tuduhan ynag bersifat kriminal untuk mengetahui
penyebab kematian seseorang. hal itu apabila hakim kesulitan untuk
memastikan penyebab kematian kecuali dengan hanya jalan otopsi
saja. kepastian tentang penyebab suatu penyakit yang hanya bisa
dibuktikan lewat otopsi demi untuk mendapatkan kejelasan penyakit
tersebut serta menemukan obat penangkalnya. untuk pengajaran
kedokteran dan pembelajarannya yaitu seperti yang dilakukan di
fakultas-fakultas kedokteran.

2. bila otopsi itu bertujuan untuk pembelajaran, maka harus mengacu


kepada hal-hal brikut ini: bila jasad itu milik orang yang diketahui
identitasnya maka dibutuhkan izinnya sebelum meninggal atau izin
keluarga ahli warisnya dan tidak boleh mengotopsi orang yang
darahnya terlindungi (muslim atau kafir zimmy) kecuali dalam
keadaan darurat. wajib melakukan otopsi dalam kadar yang minimal
atas tidak merusak jasat mayat. mayat wanita tidak boleh diotopsi
kecuali oleh dokter wanita juga kecuali bila memamng sama sekali
tidak ada dokter wanita.
3. wajib dalam segala keadaan untuk menguburkan kembali semua
jasat yang telah diotopsi.

Kesimpulan
Dari semua penjelasan di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
sesorang yang sudah meninggal dunia boleh dibedah (diotopsi) mayatnya, hal itu
dikarenakan :
Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat
Untuk mengeluartkan benda yang berharga dari tubuh mayat
Untuk kepentingan penegakan hukum
Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran
meskipun ada pendapat ulama yang mengharamkan kadaver namun mayoritas
ulama memperbolehkan kadaver dengan tujuan otopsi anatomis, klinis dan
forensik.

TERIMAKASIH

Вам также может понравиться