Вы находитесь на странице: 1из 33

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Diare
2.1.1. Pengertian Diare
Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak
normal atau tidak seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume,
keenceran, serta frekuensi lebih dari tiga kali sehari dan pada nenonatus
lebih dari empat kali sehari dengan atau tanpa lendir darah (Hidayat,
2006).
Diare adalah buang air besar yang lunak atau cair dengan frekuensi
3 kali atau lebih per hari. Biasanya merupakan gejala dari infeksi
gastrointestinal yang dapat disebabkan oleh berbagai bakteri, virus
ataupun parasit. Infeksi dapat menular dari makanan ataupun minuman
yang terkontaminasi ataupun melalui personal yang kebersihannya kurang
(Depkes RI, 2011).
Penyakit yang terjadi pada balita yang ditandai dengan buang air
besar dengan frekuensi yang lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali
atau lebih dalam sehari) dengan konsistensi tinja lembek/cair bahkan dapat
berupa air saja (Depkes RI, 2011)
2.1.2. Jenis-Jenis Diare
Penyakit diare dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu berdasarkan
tingkat dehidrasi, berdasarkan lamanya diare dan berdasarkan sudut
pandang klinis praktis.
a. Berdasarkan Tingkat Dehidrasi, diare dibagi menjadi 3
klasifikasi (Kemenkes RI, 2011), yaitu :
1. Diare tanpa dehidrasi

12

Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah


ini atau lebih:
Keadaan Umum : baik
Mata : Normal
Rasa haus : Normal, minum biasa

Turgor kulit : kembali cepat

2. Diare dehidrasi Ringan/Sedang


Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2 tanda
di bawah ini atau lebih:
Keadaan Umum : Gelisah, rewel
Mata : Cekung
Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
Turgor kulit : Kembali lambat
3. Diare Dehidrasi Berat
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih:
Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
Mata : Cekung
Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)
b. Berdasarkan lamanya diare dibagi menjadi :
1. Diare Akut
Diare akut adalah buang air besar yang lembek/cair
bahkan dapat berupa cair saja yang frekuensinya lebih sering
dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari) dan
berlangsung kurang dari 14 hari. (Depkes RI, 2011).
2. Diare Kronik
Diare kronik adalah buang air besar yang cair/lembek
dengan jumlah lebih banyak dari normal dan berlangsung lebih
dari 15 hari. Batasan kronik di Indonesia, dipilih waktu lebih
dari 15 hari. Batasan kronik di Indonesia, dipilih waktu lebih
dari 15 hari agar dokter lebih waspada, serta dapat lebih cepat
menginvestigasi penyebab diare dengan tepat.
13

3. Diare Persisten
Diare persisten adalah diare yang merupakan kelanjutan
dari diare akut biasanya berlangsung 15-30 hari, dan menurut
WHO bahaya utama dari diare persisten adalah malnutrisi,
infeksi usus dan dehidrasi.
c. Berdasarkan Sudut Pandang Klinis Praktis
Menurut Depkes (2011) hal ini praktis untuk pengobatan
dasar diare, dengan mudah dan dapat ditentukan ketika seorang
anak pertama kali diperiksa serta tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium. Ada 4 (empat) jenis klinis penyakit diare
berdasarkan patologi dan perubahan fisiologisnya :
1. Diare akut (termasuk kolera), diare dapat berlangsung
beberapa jam atau beberapa hari, bahaya utamanya adalah
terjadinya dehidrasi, dan akan terjadi penurunan berat badan
jika anak tidak mau makan.
2. Diare berdarah akut, disebut juga disentri, bahayanya adalah
terjadinya kerusakan mukosa usus, sepsis dan gizi buruk
serta dehidrasi
3. Diare persisten, diare dapat berlangsung selama 14 hari atau
lebih, bahaya utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non
usus serius serta dehidrasi
4. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor),
bahaya utamanya adalah infeksi sistemik yang parah,
dehidrasi, gagal jantung dan kekurangan vitamin dan
mineral.
2.1.3. Penyebab Diare
Penyebab diare secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi enam
golongan yaitu (Depkes RI, 2011)
a. Infeksi

14

Diare yang disebabkan karena infeksi paling sering ditemui di


lapangan. Proses ini dapat diawali dengan adanya mikroorganisme
yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang
dalam usus dan mengakibatkan kemampuan fungsi usus. Agen
penyebab penyakit karena infeksi, dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu :
1. Bakteri
Bakteri

penyebab

penyakit

diare,

diantaranya

Shigella,

Salmonella, Eschericia coli (E.Coli), Golongan vibrio, Bacilus


cereus, Clostridium perfringens, Staphylococcus, Camphylo
bacter, serta Aeromonas.
2. Virus
Selain bakteri, virus juga dapat menyebabkan penyakit diare
seperti : Rotavirus, Norwalk dan Norwalk Like serta Adenovirus.
Penyebab utama diare pada balita adalah Rotavirus. Rotavirus
diperkirakan menyebabkan diare pada balita sebesar 20-80% di
dunia, serta merupakan penyebab utama kematian balita diare
(Breese dalam Depkes RI, 2007b). Penularan rotavirus

terjadi

melalui faecal-oral, virus ini menyebabkan diare cair akut dengan


masa inkubasi 24-72 jam, dapat menyebabkan dehidrasi berat yang
berujung pada kematian. Tingginya angka kematian akibat
rotavirus ini tidak dapat diatasi dengan hanya hygiene dan sanitasi
saja.
3. Parasit
Parasit yang menyebabkan diare, diantaranya :
Protozoa seperti : Entamoeba histolityca, Giardia lamblia,
Balantidium coli, Cryptosporidium.

15

Cacing Perut, seperti : Ascaris, Trichuris, Stongloides, dan

Balstissistis huminis
b. Malabsorpsi
Merupakan kegagalan usus dalam

melakukan

absorpsi

yang

mengakibatkan tekanan osmotik meningkat kemudian akan terjadi


pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan
isi rongga usus, atau dapat diartikan dengan ketidakmampuan usus
menyerap zat-zat makanan tertentu sehingga menyebabkan diare
c. Alergi
Yaitu tubuh tidak tahan terhadap makanan tertentu, seperti alergi
terhadap laktosa yang terkandung di dalam susu sapi.
d. Keracunan
Keracunan yang dapat menyebabkan diare dapat dibedakan menjadi
dua yaitu keracunan dari bahan-bahan kimia serta keracunan oleh
bahan yang dikandung dan diproduksi oleh makhluk hidup tertentu
(seperti racun yang dihasilkan oleh jasad renik, algae, ikan, buahbuahan, dan sayur-sayuran).
e. Immunodefisiensi
Immunodefisiensi dapat bersifat sementara (misalnya sesudah infeksi
virus), atau bahkan berlangsung lama seperti pada penderita
HIV/AIDS. Penurunan daya tahan tubuh ini menyebabkan seseorang
lebih mudah terserang penyakit termasuk penyakit diare.
f. Sebab-sebab lain
Berasal dari faktor perilaku yang tidak memberikan

ASI,

menggunakan botol susu, tidak menerapkan kebiasaan mencuci


tangan, penyimpanan makanan yang tidak higienis, dan faktor
lingkungan, yaitu ketersediaan air bersih yang tidak memadai,
kurangnya ketersediaan jamban, kebersihan lingkungan dan pribadi
yang buruk
2.1.4. Cara Penularan Penyakit Diare

16

Berbagai agen penyakit umumnya menumpang pada media udara,


air, pangan, serangga ataupun manusia melalui kontak langsung. Berbagai
agen penyakit beserta medianya disebut sebagai komponen lingkungan
yang memiliki potensi bahaya penyakit (Achmadi.2011). Komponen
lingkungan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit diantaranya adalah air, pangan, serangga, udara dan manusia.
Diare merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, dengan rantai
penularannya melalui media air, makanan, serangga dan manusia (Gambar
2.1)

Gambar 2.1 Perjalanan Penyakit (Achmadi 2011)


Sumber penyakit penyebab diare biasanya masuk ke dalam tubuh manusia
melalui :
a. Makanan dam minuman yang terkontaminasi oleh tinja penderita
diare
b. Tangan yang terkontaminasi agen penyebab diare
c. Air yang terkontaminasi agen penyebab diare
Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area
pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat.
Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran
manusia merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin
diatasi. Karena kotoran manusia (feces) adalah sumber penyebaran
17

penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit bersumber pada


feces dapat melalui berbagai macam jalan/cara (Notoatmodjo.2011).
Hal ini dapat diilustrasikan seperti gambar dibawah ini :

Air
Mati
Tangan
Makanan,
Tinja Gambar 2.2 Skema Penyebaran Penyakit minuman
Dari Tinja (Notoatmodjo,Penjamu
dan sayur(Host)
sayuran
2011)Lalat
Dari skema tersebut tampak jelas bahwa peranan tinja dalam
Air
penyakit sangat besar. Disamping dapat langsung
Tanah
mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, dan sebagainya, juga air,
penyebaran

tanah, serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya) dan bagian-bagian tubuh kita
dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut Tinja (Notoatmodjo.2011)
2.1.5. Epidemiologi Penyakit Diare
Diare merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan
kematian yang tinggi pada balita. Menurut Depkes RI 2011, epidemiologi
penyakit diare dijelaskan sebagai berikut :
a. Penyebaran Kuman Yang Menyebabkan Diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui makanan atau
minuman yang tercemar tinja penderita dan kontak langung dengan
tinja penderita yang lebih dikenal dengan istilah penularan melalui
faecal-oral. Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya diare (Depkes RI, 2011), diantaranya :
1. Tidak memberikan air susu ibu (ASI) secara penuh dari ibu, risiko
untuk menderita diare lebih besar daripada bayi yang diberi ASI
penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar.

18

Karena ASI memiliki banyak kandungan gizi salah satunya adalah


protein utama pada kolostrum adalah imunoglobulin (lgG, lgA, dan
lgM) yang digunakan sebagai zat antibody untuk mencegah dan
menetralisir bakteri, virus, jamur dan parasit yang mengandung dan
dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi khusunya
diare (Roesli, 2012).
2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol susu ini memudahkan
pencemaran oleh kuman, karena botol sulit dibersihkan.
3. Menyimpan makanan masak dalam suhu kamar. Jika makanan
disimpan beberapa jam dalam suhu kamar, makanan akan tercemar
dan kuman akan berkembangbiak.
4. Menggunakan air minum yang tercemar. Air sangat mungkin
tercemar karena air menempuh perjalanan yang cukup panjang dari
sumbernya sampai siap digunakan di tingkat rumah tangga.
Pencemaran pada air, sangat memudahkan penyebaran diare
apalagi air yang tercemar kuman diare tersebut air yang siap untuk
diminum. Pencemaran air minum dirumah dapat terjadi apabila air
minum ditempatkan pada tempat yang tidak bersih, atau tidak
ditutup dengan baik, serta apabila tangan yang tercemar kuman
menyentuh air pada saat mengambil air dari tempatnya.
5. Tidak membiasakan mencuci tangan. Cuci tangan menjadi cara
efektif mencegah penularan penyakit, sebab kuman yang
menempel ditangan menjadi salah satu mata rantai penularan
penyakit. Pada kasus diare kuman-kuman diare ikut keluar bersama
kotoran/feses dan mudah berpindah ke tangan saat penderita cebok.
Bila sesudahnya ia tidak mencuci tangan dengan baik, kuman

19

tersebut bisa berpindah ke benda-benda yang disentuhnya termasuk


makanan/minuman yang mungkin dikonsumsi juga oleh orang lain
(Aldi, 2001).
6. Tidak membuang tinja (termasuk tinja balita) dengan benar. Bendabenda yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang
sudah menderita suatu penyakit tertentu, sudah tentu akan menjadi
penyebab penyakit bagi orang lain (Roesli, 2012).
b. Faktor Penjamu Yang Meningkatkan Kerentanan Terhadap Diare
Beberapa faktor penjamu yang dapat meningkatkan kerentanan
terhadap diare maupun lamanya diare, diantaranya (Depkes RI.2011) :
1. Tidak memperoleh ASI ekslusif serta ASI lanjutan bayi atau balita
dari kuman penyebab diare seperti shigella dan vibrio cholera.
2. Kurang Gizi
Anak-anak yang menderita kurang gizi terutama gizi buruk, akan
meningkatkan berat dan lamanya penyakit, maupun risiko terhadap
kematian karena diare.
3. Campak
Diare dan disentri sering terjadi dan berakibat semakin parah pada
balita atau anak-anak yang menderita campak dalam empat minggu
terakhir. Akibatnya kekebalan tubuh penderita yang menurun, virus
campak menyerang system mukosa tubuh sehingga dapat pula
menyerang system saluran cerna.
4. Imunodefisiensi/Imunosupresi
Keadaan ini mungkin hanya berlangsung sementara, misalnya
sesudah terserang infeksi virus (seperti virus campak) atau
mungkin yang berlangsung lama seperti pada penderita AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). Pada anak yang
mengalami imunosupresi berat, diare dapat terjadi karena kuman
yang tidak patogen dan mungkin juga berlangsung dalam jangka

20

waktu yang lama. Tidak jarang penderita juga mengalami kematian


akibat diare yang disebabkan kuman yang tidak patogen.
c. Faktor Lingkungan Dan Perilaku
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis
lingkungan. Sarana air bersih dan pembuangan tinja, merupakan faktor
dominan terhadap terjadinya penyakit diare. Kedua faktor ini akan
berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Kuman diare yang
mencemari lingkungan ditambah dengan perilaku manusia yang tidak
sehat, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan
terjadinya penyakit diare.
2.1.6. Prinsip Tatalaksana Diare
Kebijakan pengendalian penyakit diare di Indonesia bertujuan untyk
menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare bersama lintas
program lintas sektor terkait (Depkes RI, 2011). Kebijakan tersebut
diantaranya adalah melaksanakan tatalaksana diare yang sesuai standar,
baik di sarana kesehatan maupun di tingkat rumah tangga. Tujuan
penatalaksanaan diare adalah mencegah terjadinya dehidrasi, mencegah
adanya ganguang gizi dan memperpendek lamanya sakit dan mencegah
diare menjadi lebih berat.
Prinsip tatalaksana diare pada balita adalah Lintas Diare (Lima
Langkah Tuntaskan Diare), hal ini telah ditetapkan sebagai prinsip dasar
penatalaksanaan diare atas rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satusatunya cara untuk mengatasi diare, tetapi memperbaiki usus dan
mempercepat penyembuhan diare dan mencegah anak kekurangan gizi
akibat diare menjadi cara untuk mengobati diare (Depkes RI, 2011). Lima
Langkah Tuntaskan Diare (Lintas Diare) yang telah ditetapkan oleh
Kementrian Kesehatan antara lain adalah :

21

a. Berikan Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari
rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila
tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur,
air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang
baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa
mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita
diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa
minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat
pertolongan cairan melalui infus.
Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi :
1. Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda
di bawah ini atau lebih :

Keadaan Umum : baik


Mata : Normal
Rasa haus : Normal, minum biasa
Turgor kulit : kembali cepat

Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi, sebagai


berikut:
Umur < 1 tahun

: - gelas setiap kali

anak mencret
Umur 1 4 tahun

: - 1 gelas setiap kali

anak mencret
Umur diatas 5 Tahun : 1 1 gelas setiap kali
anak mencret

22

2. Diare dehidrasi Ringan/Sedang


Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bilaterdapat 2 tanda di
bawah ini atau lebih:

Keadaan Umum : Gelisah, rewel


Mata : Cekung
Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
Turgor kulit : Kembali lambat

0 Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg


bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti
diare tanpa dehidrasi.
3.

Diare dehidrasi berat


Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda dibawah ini atau
lebih:

Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar


Mata : Cekung
Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera

dirujuk ke Puskesmas untuk di infus.


b. Berikan obat Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang pentingdalam
tubuh. Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide
Synthase), dimana ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan
mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam
epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan
fungsi selama kejadian diare. Pemberian Zinc selama diare terbukti
mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare,mengurangi
23

frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan


kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. (Black, 2003).
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc mempunyai efek
protektif terhadap diare sebanyak 11 % dan menurut hasil pilot study
menunjukkan bahwa Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 %
(Hidayat 1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti ini semua anak
diare harus diberi Zinc segera saatanak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:

Umur < 6 bulan

: tablet ( 10 Mg ) per hari

selama 10 hari

Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari

selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc :
Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matangatau ASI,
sesudah larut berikan pada anak diare.
c. Pemberian ASI / Makanan :

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan


gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh
serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum
ASI harus lebih sering di beri ASI. Anak yang minum susu formula
juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak uis 6 bulan atau lebih
termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan
makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan
lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra
diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.

24

d. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi


Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karenakecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkanoleh bakteri. Antibiotika
hanya bermanfaat padapenderita diare dengan darah (sebagian besar
karena shigellosis), suspek kolera. Obat-obatan Anti diare juga tidak
boleh diberikan padaanak yang menderita diare karena terbukti tidak
bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali muntah berat.
Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan
status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping
yang bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat antiprotozoa digunakan
bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).
e. Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat denganbalita harus diberi
nasehat tentang :
1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas
kesehatan bila :
Diare lebih sering
Muntah berulang
Sangat haus
Makan/minum sedikit
Timbul demam
Tinja berdarah
Tidak membaik dalam 3 hari.
2.2.
Pengetahuan
2.2.1. Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil pengindraan manusia, atau hasil
tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata,
hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang

25

diperoleh indra pendengaran (telinga), dan indra penglihatan (mata)


(Notoatmodjo.2011).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior) dan pengalaman
dari penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoatmodjo.2011).
Pengetahuan tentang diare merupakan serangkaian pemahaman dan
konsep yang telah dimiliki oleh seseorang sehubungan dengan kejadian
diare yang mencakup penyebab diare, pencegahan dan penanganan secara
lengkap. Kejadian diare pada anak balita tidak terlepas dari adanya
pemahaman yang lebih mendalam terhadap orang tua dan terutama pada
ibu sebagian pihak yang terdekat dengan balita. Ibu yang memiliki
pemahaman yang lebih baik terhadap diare tentunya akan memperoleh
berbagai kiat-kiat dalam rangka pencegahan terhadap diare termasuk
penanganan diare jika terjadipada balitanya. Pengetahuan tentang diare
sehubungan dengan adanya informasi yang telah diterima sebelumnya oleh
ibu, dimana informasi tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber baik
melalui media penyuluhan langsung dari tenaga kesehatan maupun dengan
media lain seperti media cetak surst kabar, majalah, buku dll. Sehingga ibu
yang memiliki pengetahuan cukup, tentunya akan memberi indikasi bahwa
upaya penyebaran informasi tentang diare telah dilaksanakan secara
maksimal dan merata di masyarakat. Aspek lain yang juga dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki ibu terutama yang
berhubungan dengan diare adalah tingkat pendidikan yang telah

26

ditamatkan oleh ibu di mana jenjang pendidikan yang semakin tinggi,


pemberian pemahaman dan konsep diare pun semakin lebih baik (Rauf et
al.2013).
2.2.2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo, 2011, pengetahuan mempunyai enam
tingkatan, yaitu :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab
itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b.

Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara

benar

tentang

objek

yang

diketahui,

dan

dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah


paham terhadap objek atau materi

harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,

dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.


c.

Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).


Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
hukum hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam
konteks atau situasi yang lain.
d.

Analisis (Analysis)

27

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau


suatu objek ke dalam komponen komponen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,
seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e.

Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian bagian di dalam suatu bentuk


keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi formulasi
yang ada.
f.

Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian


penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri,
atau menggunakan kriteria kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2011).

28

2.2.3. Pengukuran Pengetahuan


Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan - tingkatan diatas
(Notoatmodjo, 2011).
2.3.
Sikap
2.3.1. Pengertian
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu. Kondisi kehidupan sehari-hari adalah
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap
juga merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap
itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau
tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap
merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2011).
Sikap ibu yang negatif terhadap

kejadian diare pada balitanya

biasanya didasarkan atas pengetahuan yang kurang dimiliki ibu tentang


penanganan diare secara cepat dan tepat. Sebagaimana diketahui bahwa

29

dalam upaya pembentukan sikap harus didasarkan atas adanya pemahaman


yang lebih mendalam dari individu atas suatu objek dan begitu pula pada
ibu dalam rangka pencegahan atau penanganan diare haruslah dilandasi
dengan pengetahuan tentang diare. Kurangnya sikap positif yang dimiliki
oleh ibu terhadap diare akan memberikan dampak pelaksanaan upaya
penanganan diare secara adekuat yang tentunya akan berdampak pada
penurunan status kesehatan balita yang lebih rendah yaitu mengalami
dehidrasi (Rauf et al.2013).
2.3.2. Tingkatan Sikap
Menurut Notoatmodjo (2011) sikap mempunyai 4 tingkatan dari
yang terendah hingga yang tertinggi yaitu :
a.Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnyasikap
orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan danperhatian itu
terhadap ceramah-ceramah.
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila

ditanya,

mengerjakan

dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari


sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan
atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas dari pekerjaan itu
benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi
sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)

30

Pada tingkat ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap
menanggung segala resiko atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya.

2.4.
Perilaku
2.4.1. Pengertian
Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons (Skine
rdalam Notoatmodjo, 2007).
Berdasarkan batasan yang dikemukakan Skinner, perilaku kesehatan
adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan

dengan

sehat-

sakit,

penyakit

dan

faktor-faktor

yang

mempengaruhi kesehatan seperti pelayanan kesehatan, makanan, minuman


dan

lingkungan

(Notoatmojo,

2010).

Berdasarkan

pengertian

di

atasperilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang,


baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati yang berkaitan
denganpemeliharaan dan peningkatan kesehatan
Kurangnya kemampuan/perilaku ibu dalam melaksanakan berbagai
pencegahan dan penanganan diare berdasarkan hasil penelitian memberi
gambaran bahwa upaya penanggulangan diare secara maksimal yang
dengan melibatkan masyarakat belum terlaksana secara maksimal baik
(Rauf et al.2013). Ibu adalah seseorang yang sangat dekat dengan balita
sehingga diperlukan pengetahuan, sikap serta perilaku yang baik dalam
menjaga balita setiap harinya, terutama saat balita sedang sakit atau
terinfeksi suatu penyakit. Tubuh balita masih sangat rentan terhadap unsur

31

asing karena balita belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang memadai.
Pada usia ini, anak masih rawan dengan berbagai gangguan kesehatan,
baik jasmani maupun rohani. Sehingga, jika ibu tidak hati-hati dengan
kebersihan dirinya sendiri, secara tidak langsung ibu memberikan media
penyakit pada tubuh balita. Misalnya saja, setelah kerja seharian ibu lupa
mencuci tangan dan langsung menimang balita. Secara tidak langsung
kuman atau apapun yang menempel pada tangan akan berpindah pada
tubuh balita. Jika tangan ibu mengandung kuman atau bakteri, maka balita
akan mudah terinfeksi suatu penyakit (Sudarmoko, 2011).
2.4.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Green dan Kreuter dalam Notoatmodjo (2011) ,
menganalisis bahwa faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama :
a. Faktor-faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor yang melatarbelakangi perubahan
perilaku yang menyediakan pemikiran rasional atau motivasi terhadap
suatu perilaku. Faktor ini meliputi

pengetahuan, sikap, keyakinan,

kepercayaan, nilai, dan sebagainya.


b. Faktor-faktor pendorong
Faktor pendorong adalah faktor yang mendorong atau memperkuat
terjadinya perilaku. Faktor ini memberikan penghargaan/ insentif untuk
ketekunan atau pengulangan perilaku. Faktor penguat ini terdiri dari
tokoh masyarakat, petugas kesehatan, guru, keluarga dan sebagainya.
c. Faktor-faktor pendukung
Faktor pendukung adalah faktor yang memungkinkan atau yang
memfasilitasi

perilaku

individu

atau

organisasi

termasuk

tindakan/ketrampilan. Faktor ini meliputi ketersediaan, keterjangkauan


sumberdaya pelayanan kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat
danpemerintah dan tindakan yang berkaitan dengan kesehatan.

32

2.5.
Balita
2.5.1. Pengertian Balita
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun
atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun
(Muaris.H, 2006). Menurut Sutomo dan Anggraeni, (2010), Balita adalah
istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5
tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua
untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun
kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting
dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan
di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan
anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan
masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu
seringdisebut golden age atau masa keemasan.
Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah
lima tahun. Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita
merupakan kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA
(Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan
masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian
keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah masa balita,
karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran
sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan
landasan perkembangan berikutnya (Supartini, 2004)

33

Balita merupakan individu yang berumur 0-5 tahun, dengan tingkat


plastisitas otak yang masih sangat tinggi sehingga akan lebih terbuka untuk
proses pembelajaran dan pengayaan (Muslihatan, 2010). Balita merupakan
anak yang usianya berumur antara satu hingga lima tahun. Saat usia balita
kebutuhan akan aktivitas hariannya masih tergantung penuh terhadap
orang lain mulai dari makan, buang air besar maupun air kecil dan
kebersihan diri. Masa balita merupakan masa yang sangat penting bagi
proses kehidupan manusia. Pada masa ini akan berpengaruh besar terhadap
keberhasilan anak dalam proses tumbuh kembang selanjutnya (Kemenkes
RI, 2013).

2.5.2. Perkembangan Balita


Perkembangan

balita

dibagi

menjadi

empat

aspek

yaitu

perkembangan psikologis, perkembangan psikoseksual, perkembangan


sosial dan perkembangan kognitif Berbicara tentang perkembangan balita
banyak kita temui teori yang membahas tentang tumbuh kembang balita
(Muslihatan

2010).

Berikut

merupakan

beberapa

teori

tentang

perkembangan balita menurut Hanneman (2014) berbagai tokoh:


a. Perkembangan psikososial
Perkembangan psikososial pada bayi adalah pada saat masa
percaya dan tidak percaya. Kualitas hubungan antara orang tua dan
balita akan sangat berpengaruh dalam tahap ini. Teori ini berpendapat
masa autonomi atau kebebasan mulai muncul pada usia older dan pada

34

usai ini anak akan mulai menjalin hubungan sosial dengan lingkungan
dan moral.Pada perkembangan moral, hal-hal yang mendorong dalam
menanamkan konsep moral adalah :Berilah pujian, ganjaran atau
sesuatu yang menyenangkan anak, apabila dia melakukan perbuatan
yang baik. Ganjaran ini akan menjadi faktor penguat (reinforcement)
bagi anak untuk mengulangi perbuatan baik tersebut.Berilah
hukuman, apabila dia melakukan perbuatan yang tidak baik.
Hukuman tersebut akan menjadi penguat bagi anak untuk tidak
mengulangi

perbuatan

yang

tidak

baik.Faktor-faktor

yang

menghambat perkembangan psikososial pada masa balita awal


diantaranya adalah apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif,
seperti perlakuan orang tua yang kasar: sering memarahi, acuh tak
acuh, tidak memberikan bimbingan, teladan, pengajaran atau
pembisaaan terhadap balita dalam menerapkan norma-norma baik
agama maupun tatakrama atau budi pekerti; cenderung menampilkan
perilaku maladjustment, seperti bersifat minder, senang mendominasi
orang lain, bersifat egois (Selfish), senang menyendiri / mengisolasi
diri,

kurang

memiliki

perasaan

tenggang

rasa,

dan

kurang

memperdulikan norma dalam berperilaku (Hanneman, 2014)


b. Perkembangan kognitif
Perkembangan

periode

sensorimotor

merupakan

perkembangan tahap pertama dari perkembangan kognitif. Periode


sensorimotor akan berlangsung sampai dengan tahun ke dua kelahiran
dan setelah itu akan beralih pada tahap pemikiran propesional. Tahap

35

ini ditandai dengan penggunaan simbol untuk menunjuk benda,


tempat atau orang dan pada tahap ini anak juga belajar meniru
kegiatan yang dilakukan orang lain.
c. Perkembangan bahasa
Perkembangan bahasa akan sangat diperoleh dalam sekali
waktu namun perkembangan bahasa terjadi secara bertahap. Dalam
perkembangan bahasa dibutuhkan kelengkapan struktur dan fungsi
dari indra pendengaran, pernafasan dan kognitif yang dibutuhkan
untuk berkomunikasi. Perkembangan bahasa antara individu sangat
bervariasi

yang

dipengaruhi

oleh

kemampuan

saraf

dan

perkembangan kognitif masing-masing individu.


d. Perkembangan sensori motor
Perkembangan sensori motor sangat erat kaitannya dengan
dunia bermain anak. Pada saat bermain anak akan menggunakan
kemampuan

otot

dan

persarafannya.

Dengan

semakin

berkembangnnya kemampuan sensori motor, individu akan mulai


mengeksplor lingkungan sekitarnya.
e. Perkembangan motorik kasar
Dalam perkembangan gerak motorik kasar dapat dievaluasi
dari empat posisi yaitu ventral suspension, prone, sitting, dan
standing. Posisi suspension merupakan posisi balita tengkurap dan
berusaha mengangkat pantat.
f. Perkembangan motorik halus

36

Gerak yang melibatkan gerakan bagian tubuh yang


melibatkan otot-otot kecil. Gerak motorik halus dimulai dengan
kemampuan balita untuk menghisap ibu jari. Pada usia tiga bulan
balita mulai menjangka benda-benda yang berada didekatnya.
Kemampuan tersebut terus berkembang sampai pada usia 12 bulan
balita dapat menggambar garis simetris.
2.6.

Karakteristik Responden
a. Umur
Umur termasuk variabel penting dalam mempelajari suatu masalah
kesehatan, karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh, ancaman
kesehatan, dan kebiasaan hidup. Jenis perhitungan umur/usia, antara lain:
1.
Usia kronologis
Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran
seseorang sampai dengan waktu penghitungan usia.
2.
Usia mental
Usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf
kemampuan mental seseorang. Misalkan seorang anak secara kronologis
berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan belum dapat
berbicara dengan kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan yang
setara dengan anak berusia satu tahun, maka dinyatakan bahwa usia
mental anak tersebut adalah satu tahun.
3.
Usia biologis
Usia biologis adalah perhitungan usia berdasarkan kematangan
biologis yang dimiliki oleh seseorang.Menurut Depkes RI (2009):
1) Masa balita
= 0 - 5 tahun
2) Masa kanak-kanak = 5 - 11 tahun
3) Masa remaja Awal
=12 - 1 6 tahun
4) Masa remaja Akhir =17 - 25 tahun
5) Masa dewasa Awal =26- 35 tahun
6) Masa dewasa Akhir =36- 45 tahun
7) Masa Lansia Awal
= 46- 55 tahun
8) Masa Lansia Akhir = 56 - 65 tahun
9) Masa Manula
= 65 - sampai atas

37

b. Pendidikan
Tingkat pendidikan dengan penyebaran penyakit dan kematian. Kelompok
masyarakat yang berpendidikan tinggi cenderung lebih mengerahui caracara mencegah penyakit (Notoatmodjo 2011).
c. Pekerjaan
Pekerjaan secara umum didefinisikan sebagai sebuah kegiatan aktif yang
dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan
untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan sebuah karya bernilai
imbalan dalam bentuk uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan seharihari istilah pekerjaan dianggap sama dengan profesi.

38

2.7.

Penelitian Yang Relevan


Tabel 2.1
Penelitian Yang Relevan

No.

Nama Peneliti

Judul Penelitian
Hubungan Pengetahuan Dan

Metode Penelitian

Hasil analisis ada hubungan antara

Sikap Ibu Tentang Diare


1.

Hasil Penelitian

Avi Rosia Yurita

Dengan Kejadian Diare Pada

observasional analitik dengan

Tahun 2006

Anak Balita Di Desa Gubug

pendekatan cross-sectional

Kecamatan Gubug Kabupaten

tingkat pengetahuan dan sikap ibu


tentang diare dengan kejadian diare
pada anak balita ditunjukkan
dengan hasil nilai p < 0,05

Grobogan

ada hubungan antara pengetahuan


dengan kejadian diare sehingga

Hubungan Antara Pengetahuan


Najamuddin Andi Palancoi

diperlukan pengetahuan dan

Dan Lingkungan Dengan

pemahaman yang mendalam

Kejadian Diare Akut Pada


2.

Fakultas Ilmu Kesehatan

Anak Di Kelurahan

UIN Alauddin Makassar

Pabbundukang Kecamatan

Tahun 2012

Pangkajene Kabupaten

case control study

sehingga tidak terjadi diare,


demikian juga ditunjukkan adanya
hubungan yang signifikan
antara lingkungan dan kejadian

Pangkep

diare
.

39

Hubungan Pengetahuan Ibu

3.

Furi Ainun Khikmah

Tentang Diare Dengan

Fakultas Kedokteran

Kejadian Diare Pada Balita

Universitas

Usia 2-5 Tahun Di Wilayah

Muhammadiyah Surakarta

Kerja Puskesmas Kecamatan

Tahun 2012

Karanganyar Kabupaten

Terdapat hubungan pengetahuan ibu


tentang diare dengan kejadian diare
observasional analitik dengan

pada balita usia 2-5 tahun di

pendekatan cross-sectional

wilayah kerja Puskesmas


Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Karanganyar

Karanganyar

Adanya hubungan pengetahuan,


sikap dan perilaku ibu terhadap
Hartati Rauf, Ardian
Adhiwijaya, St. Aminah

4.

derajat kejadian diare pada balita di


Hubungan Pengetahuan, Sikap

Puskesmas Pattalassang Kabupaten

Dan Perilaku Ibu Terhadap

Takalar merupakan suatu indikator

STIKES Nani Hasanuddin

Derajat Kejadian Diare Pada

Makassar

Balita Di Puskesmas

Tahun 2013

Pattalassang Kabupaten

dengan memiliki kesadaran untuk

Takalar

bertindak dalam rangka

cross sectional study

betapa pentingnya meningkatkan


pengetahuan, sikap dan perilaku

penanggulangan diare baik


pencegahan maupun perawatan
5.

Lina Malikhah, Sari

Gambaran Pengetahuan dan

Metode penelitiannya adalah

40

terhadap diare
53 (60,23%) ibu memiliki

Sikap Ibu dalam Penvegahan

metode deskriptif dengan

pengetahuan baik serta 47 (53,41%)

Fatimah, Bangun

dan Penanggulangan Secara

sampel 88 ibu yang memiliki

ibu memiliki sikap yang favorable

Simangunsong

Dini Kejadian Diare Pada

balita menggunakan

(mendukung) terhadap pencegahan

Tahun 2012

Balita di Desa Hegarmanah

proportionate random

dan penanggulangan secara dini

Jatinangor

sampling

kejadian diare pada balita.


Perilaku yang meliputi hubungan
pengetahuan Ibu dengan kejadian
diare didapat p-value = 0,150

Hubungan Perilaku Ibu

sehingga tidak ada hubungan

Dengan Kejadian Diare


6.

Maria Sri Hartati


Tahun 2010

dengan kejadian diare pada Balita,

Pada Balita Di Wilayah Kerja


Puskesmas Cibolerang

Cross Sectional

Bandung

sedangkan sikap dengan p-value


= 0,004 dapat disimpulkan ada
hubungan dengan kejadian diare
pada Balita, dan untuk tindakan
dengan p-value = 0,003
disimpulkan ada hubungan dengan

7.

Cross Sectional

kejadian diare pada Balita


dari 87 responden yang diteliti,

Novie E Mauliku dan

Hubungan Antara Faktor

Eka Wulansari

Perilaku Ibu Dengan Kejadian

diperoleh data bahwa ibu yang

Tahun 2008

Diare Pada Balita Di

mempunyai balita dan menderita

41

diare sebanyak 49 orang (56,3%),


ibu yang pengetahuannya kurang
sebanyak 52 orang (59,8%), ibu
Puskesmas Batujajar

yang mempunyai sikap positif

Kabupaten Bandung Barat

sebanyak 46 orang (52,9%) dan ibu


yang mempunyai perilaku baik
sebanyak 44 orang (50,6%).
Tingkat pengetahuan Ibu itu baik di
tingkat SMA dikarenakan responden

8.

Stephany Y. Motto
Nurhayati Masloman
Jeannete Ch. Manoppo
Tahun 2012

Instrument berupa kuisioner

paling banyak adalah lulus SMA,

Tingkat Pengetahuan Ibu

untuk menilai tingkat

dan disarankan agar instansi yang

Tentang Diare Pada Anak Di

pengetahuan dan kemudian

terkait dapat memberikan

Puskesmas Bahu Manado

secara deskriptif dalam bentuk

penyuluhan lebih banyak tentang

tabel

pentingnya pengetahuan tentang


diare.

9.

Endah Purbasari
Tahun 2009

Tingkat Pengetahuan, Sikap,

Cross Sectional

Hasil penelitian ini adalah tingkat

Dan Perilaku Ibu Dalam

pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu

Penanganan Awal Diare Pada

dalam penanganan awal diare pada

42

Balita Di Puskesmas

balita di Puskesmas Ciputat pada

Kecamatan Ciputat, Tangerang

bulan September tahun 2009 adalah

Selatan, Banten Pada Bulan

cukup.

September

Hubungan tingkat pengetahuan ibu

10.

Hubungan antara tingkat

tentang diare pada balita dengan

pengetahuan ibu tentang diare

nilai korelasi diperoleh X2 hitung

Maryatun A.;

dengan kejadian diare pada

WahyuPurwaningsih
Tahun 2004

anak balita wilayah kerja

observasional dengan
pendekatan cross sectional

Puskesmas Setabelan Kota


Surakarta

0,412 dan signifikan P: 0.377


dengan 0,05 yang berarti tidak
adahubungan antara tingkat
pengetahuan ibu tentang diare
dengan kejadian diare pada balita.

43

2.8.

Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian ini dibuat berdasarkan teori Notoatmodjo, 2011

menyatakan, L.Green menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat


kesehatan. Bahwa seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,
yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk oleh 3 faktor,
adalah faktor predisposisi yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,
nilai-nilai, faktor pendorong yaitu sikap dan perilaku petugas kesehatan
sedangkan faktor pendukung seperti fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan
Gambar 2.3
Kerangka Teori terkait Faktor Penentu yang Dapat Mempengaruhi Perilaku
Kesehatan
Faktor Predisposisi:

Pengetahuan
Sikap
Kepercayaan
Keyakinan
Nilai-Nilai
Faktor Pendorong:
Perilaku

Sikap dan perilaku petugas


kesehatan

Kesehatan

Faktor Pendukung:
Fasilitas-fasilitas Kesehatan
Sumber: Teori Notoatmodjo, 2011.

44

Вам также может понравиться