Вы находитесь на странице: 1из 25

Aspek Medikolegal pada Pembuatan Surat

Pengantar Pasien Status Tahanan


Kelompok F2
Yogi Himawan

102011188

Finta Lidanang

102012004

Anita Angkawinata

102012142

Agusdianto Bello C.A.P

102012222

Ajeng Aryuningtyas

102012259

Andry Susanto

102012371

Nyimas Amelia

102012406

Alif Faisal

102012503

Angelina Massaya

102012516

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No. 6. Jakarta Barat.

_________________________________________________________________________

Pendahuluan
Latar Belakang
Kedokteran adalah satu profesi yang didasari dengan profesionalisme, yaitu sikap
kompetensi dan wewenang yang sesuai waktu juga tempat, bertanggungjawab ,etis sesuai
etika profesi. Profesi ini harus dikerjakan dengan standard dalam bidang kesehatan dan
diperlukan adanya sikap altruis (rela berkorban).
Dalam pengambilan keputusan sebagai tenaga medis pun kita perlu mempelajari
tentang etika yang merupakan disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya
suatu tindakan perbuatan seseorang/ institusi dilihat dari moralitas. Di dalam menentukan
tindakan di bidang kesehatan medis, perlu dipertimbangkan tentang kebutuhan pasien, namun
keputusan tetap harus didasarkan pada hak-hak asasi pasien.
1

Isi
Skenario IV.
Seorang laki-laki, pasien lama anda, datang ke tempat praktek anda dengan baik
seperti biasanya, dan kemudian meminta tolong kepada anda melakukan sesuatu.
Kakak kandungnya saat ini sedang diperiksa oleh kejaksaan karena diduga telah
melakukan tindak pidana korupsi, dengan status tahanan. Ia sebenernya menderita penyakit
jantung yang telah lama dideritanya, penyakit lever, dan penyakit pada lutut kanannya
(osteochondritis genu) sehingga ia mengalami hambatan dalam berjalan. Pasien lama anda
tersebut menunjukan kepada anda data-data medik dari kakaknya. Pasien lama anda tersebut
mendengar bahwa di Jepang terdapat seorang Profesor ortopedi mahir dalam menangani
penyakit lututnya. Oleh karena itu ia meminta kepada anda untuk dapat membuatkan surat
pengantar berobat ke Profesor di Jepang tersebut.
Etika Kedokteran
Dalam bidang kedokteran, etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk
atau benar salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat
dari moralitas. Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik
dan buruknya perilaku manusia terutamanya apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran
yang berhadapan dengan pasien:

Etika normative, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku
ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang
bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan

kerangka tindakan yang akan diputuskan.1


Etika deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap
dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil
keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.

Kode Etik Kedokteran Internasional terkandung kewajiban umum, kewajiban


terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya,
Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran
Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam
membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya
2

suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics)
dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran
etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dibersamakan
dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip
menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain.
Keadaan terakhir disebut dengan prima facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia
mengacu kepada 4 kaidah dasar moral (sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau
bioetika), juga prima facie dalam penerapan praktiknya.

Prinsip-Prinsip Etika Profesi.Beauchamp and childress (1994) menguraikan bahwa untuk


mencapai suatu keputusan etis diperlukan empat kaedah dasar moral dan beberapa rules
dibawahnya, yaitu:1
Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditunjukan kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya
terjaga keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah bersikap ramah atau
menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajibannya. Tindakan konkrit dari beneficience
meliputi mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain), menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia dan memandang
pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter dan mengusahakan agar
kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya.
Selain itu,

prinsip ini juga meliputi paternalisme bertanggung jawab/berkasih

sayang,menjamin kehidupan baik, pembatasan goal based, maksimalisasi pemuasan


kebahagiaan / preferensi pasien dan minimalisasi akibat buruk. Prinsip ini menekankan
kewajiban menolong pasien gawat darurat, menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan,
tidak menarik honorarium di luar kepantasan, maksimalisasi kepuasan tertinggi secara
keseluruhan, mengembangkan profesi secara terus-menerus, memberikan obat berkhasiat
namun murah. Paling utama, prinsip ini menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita
harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain.
3

Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah memperlakukan
semua pasien sama dalam kondisi yang sama.Tindakan konkrit yang termasuk justice
meliputi memberlakukan segala sesuatu secara universal, mengambil porsi terakhir dari
proses membagi yang telah ia lakukan, memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi
dalam posisi yang sama dan menghargai hak sehat pasien (affordability, equality,
accessibility, availability, quality)
Prinsip ini menerapkan supaya menghargai hak hukum pasien dan hak orang lain,
menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan), tidak membedakan pelayanan
pasien atas dasar SARA, status sosial, dan tidak melakukan penyalahgunaan, memberikan
kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien.Kewajiban mendistribusi keuntungan
dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil, dan mengembalikan hak kepada pemiliknya
pada saat yang tepat dan kompeten
Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau do not
harm.Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi menolong pasien emergensi seperti
kondisi mengobati pasien yang luka, tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia),
tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien, tidak memandang pasien hanya sebagai
objek dan mengobati secara tidak proporsional. Prinsip ini melindungi pasien dari serangan
dan terhindar dari melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan
yang merugikan pihak pasien/ keluarganya.
Prinsip autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights
to self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk hidup
yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri).Tindakan konkrit dari
autonomi meliputi menghargai hak menentukan nasibnya sendiri, tidak mengintervensi
pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif), berterus terang, menghargai privasi,
menjaga rahasia pasien, menghargai rasionalitas pasien dan melaksanakan informed consent.
Prinsip ini juga menekankan supaya tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien,
mencegah pihak lain ,mengintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk keluarga
pasien sendiri, sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi dan tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien.
4

Etika dalam profesi diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan
bersama kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan
orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil
yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai
nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat
umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Sorotan
masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi
yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang
dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut.
1,4

Tujuan Kode Etik Profesi bertujuan untuk menjunjung tinggi martabat profesi, Untuk
meningkatkan pengabdian para anggota profesi, Meningkatkan layanan di atas keuntungan
pribadi ,untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota. Selain itu, untuk
meningkatkan mutu profesi, untuk meningkatkan mutu organisasi profesi dan mempunyai
organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.2
Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsipprinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam
menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari
segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis.Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter.
Pembuatan keputusan etik terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler, dan
Winslade mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam
pelayanan klinik, yaitu:
a. Medical indication. Pada topik ini dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang
sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi
medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kadiah beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang
selayaknya disampaikan kepada pasien pada informed consent.

b. Patient preferences. Pada topik ini kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang
manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy.
Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap
dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak
kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dan lain-lain.
c. Quality of life. Topik ini merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu,
memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
d.

prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non-maleficence, dan autonomy.


Contextual features. Dalam topik ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis
yang mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya, dan faktor hukum.1,3

Rahasia Kedokteran
Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai
norma dasar yang melindungu hubungan dokter dan pasien. Sesuai dengan sumpah dokter,
kode etik kedokteran internasional, dan peraturan oemerintah no.10 tahun 1966 yang
mengatur kewajiban simpan rahasia kedokteran oleh seluruh tenaga kesehatan. Namun dalam
PP ini diberikan pengecualian apaiba terdapat Peraturan Perundang-undangan (PP) yang
sederajat atau lebih tinggi (UU), dalam pasal 48 ayat (2):5

Untuk kepentingan kesehatan pasien


Untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
Permintaan pasien sendiri
Berdasarkan ketentuan undang-undang

Peraturan lain yang membenarkan pembukaan rahasia kedokteran antara lain adalah
ketentuan pasal 50 KUHAP, pasal 51 KUHAP, pasal 48 KUHAP, dan pasal 49 KUHAP.
Dalam permenkes no.749a, rekam medis boleh dibuka untuk pendidikan dan penelitian.
Dalam kaitannya dengan keadaan memaksa, dikenal dua keadaan yaitu:5

Overmacth: pengaruh daya paksa yang memadai


Noodtoeestand: keadaan yang memaksa
Dapat diakibatkan pertentangan antara dua kepentingan hukum, pertentangan antara
kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dan pertentangan antara dua kewajiban
hukum. Salah satu contoh noodtoestand adalah kasus dokter yang menemukan child
abuse yang berat dan dicurigai akan bertambah parah dihari kemudian.

Untuk memahami rahasia jabatan ditilik dari sudut hukum,tingkah laku seorang dokter dibagi
menjadi 2 jenis :
1. Tingkah laku dalam keadaan khusus
Menurut hukum, setiap warga Negara dapat dipanggil oleh pengadilan untuk didengar
sebagai saksi.Selain itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat dipanggil sebagai
ahli. Dengan demikian, dapatlah terjadi, bahwa seorang yang mempunyai keahlian,
umpamanya seorang dokter, dipanggil sebagai saksi, sebagai ahli sekaligus sebagai
saksi ahli.3
2. Tingkah laku yang bersangkutan dalam pekerjaan sehari-hari
Dalam hal ini yang harus diperhatikan ialah :
a. Pasal 322 KUHP yang berbunyi :
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan
atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu ia diwajibkan
untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana perkara paling lama sembilan
bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah
(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang yang tertentu,maka perbuatan itu
hanya dituntut atas pengaduan orang tersebut.
Sebagai saksi atau saksi ahli mungkin sekali ia diharuskan memberi keterangan tentang
seorang yang sebelum itu telah menjadi pasien yang diobatinya. Ini berarti ia seolah-olah
diharuskan melanggar rahasia pekerjaannya. Kejadian ini bertentangan dan dapat dihindarkan
karena adanya hak undur diri seperti yang tercantum dalam pasal 277 reglemen Indonesia
yang diperbaharui, bunyinya :
(1) Barang siapa yang martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta mengundurkan ddari memberi
penyaksian, akan tetapi hanya dan terutama mengenai hal yang diketahuinya
dan dipercayakan kepadanya karena martabatnya, pekerjaannya atau
jabatannya itu.
Dalam pasal 48 undang-undang No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pada
paragraph 4 mengenai rahasia kedokteran, dinyatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpang rahasia kedokteran. Rahasia
kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan aparatur
penegak hukum dalam rangka penegakan hukumn permintaan pasien sendiri atau berdasarkan
ketentuan undang-undang.3
Kewajiban seorang dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran telah diatur dalam,4
A.

PP.No.10 tahun 1966.


7

1. Pasal 1 PP No 10/1966. Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala


sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau
selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
2. Pasal 2 PP No 10/1966. Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orangorang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila sautu peraturan lain yang sederajat
atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan lain.
3. Pasal 3 PP No 10/1966. Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam
pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksan,
pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan.
4. Pasal 4 PP No/1966.Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia
yang tidak atau dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri
kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasakan pasal UU tentang
tenaga kesehatan.
5. Pasal 5 PP No 10/1966. Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan
oleh mereka yang disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat
mengambil tindakan-tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.
B.

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)6


1. Pasal 7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
2. Pasal 12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pada dasarnya rahasia kedokteran harus tetap disimpan walaupun pasien tersebut telah
meninggal. Rahasia kedokteran ini begitu dijunjung tinggi dalam masyarakat, sehingga
walaupun dalam pengadilan meminta seorang dokter untuk membuka rahasia kedokteran,
seorang dokter memiliki hak tolak (verschoningsrecht).
Hak ini telah diatur dalam pasal 170 KUHAP, yang menentukan bahwa mereka yang
diwajibkan menyimpan rahasia pekerjaan/jabatan dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi. Namun ayat kedua dari pasal 170 KUHAP tersebut
membatasi hak tolak sesuai dengan pertimbangan hakim. Hal ini tentunya diterapkan bila
kepentingan yang dilindungi pengadilan lebih tinggi dari rahasia kedokteran.2

Informed Consent
Informed yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan
consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung
pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Informed consent
dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko
yang berkaitan dengannya. Tiga elemen Informed consent,
A. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa
konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa
sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa baik
informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar,
Pertama, Standar Praktik Profesi. Bahwa kewajiban memberikan informasi dan
kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas
tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak
sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna (menurut
medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
Kedua, Standar Subyektif. Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang
dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk
pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual
dianut oleh pasien.
Terakhir, Standar pada Reasonable Person. Standar ini merupakan hasil kompromi
dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah
memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.5

B. Threshold elements
Sifat element ini lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang
kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan
medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut
kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang

penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu


(keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai
usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang
dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa
sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.2,4
C. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya. 2,4 Consent dapat
diberikan :
a. Dinyatakan (expressed) secara lisan atau tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan
apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif
atau

yang

beresiko

mempengaruhi

kesehatan

penderita

secara

bermakna.Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa


semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied). Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan
maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan
jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis
inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya adalah
seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika
akan diambil darahnya.
Tujuan Pelaksanaan Informed Consent.
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis
(pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk melindungi pengguna jasa
tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang,
tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis,
serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau over utilization yang
sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya

10

Selain itu, dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis
dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar
profesi medik.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut, penghormatan terhadap harkat dan martabat
pasien selaku manusia, promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Selain itu,
untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien dan menghindari
penipuan dan misleading oleh dokter.
Fungsi lain adalah dapat mendorong diambil keputusan yang lebih rasional,
mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan serta sebagai suatu
proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan. 2 Suatu informed consent
baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut seperti
keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter, kompetensi pasien dalam
memberikan persetujuan dan kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan
persetujuan.
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent
melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal
dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada
pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau
keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan
medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
A. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3
ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis
yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah

11

sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
B. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif
dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
C. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.5,6
Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan

medis

yang

merugikan

pasien,

maka

sudah

dapat

dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum
berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan
berat. Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis
belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.7
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari
informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan
secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian
yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent
ini.2,4
12

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;Aspek Hukum Pidana, informed
consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan,
tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin
dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak
pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Aspek Hukum
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (PerMenKes) No.
290 Tahun 2008 (6)
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran
adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif
yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di

13

luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya,
mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan
(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas.
Persetujuan dan Penjelasan
Pasal 2
(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan
yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan
setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan
setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Pasal 4
(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
(2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.

14

(3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Pasal 5
(1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
(2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
(3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum
dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang
mengakibatkan kerugian pada pasien
Penjelasan
Pasal 7
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau
keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan
kepada keluarganya atau yang mengantar.
(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan.
Pasal 8
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi:
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding;

15

c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan


kedokteran;
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik,
ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan
tindakan yang direncanakan.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat
risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)
(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).
Pasal 9
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan
bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman.
(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam
berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan
mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima
penjelasan.
(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter
atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan
didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
16

Pasal 10
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi
yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang
merawatnya.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan
penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada
dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.
(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan
yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.
(2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan dasar daripada persetujuan.
Pasal 12
(1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
(2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan,
dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga
terdekat.
Yang Berhak Memberikan Persetujuan
Pasal 13
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.
(2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan.
Ketentuan Pada Situasi Khusus
Pasal 14
(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support)
pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari
tim dokter yang bersangkutan.
17

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah
dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan
tindakan kedokteran tidak diperlukan.
Penolakan Tindakan Kedokteran
Pasal 16
(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga
terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.
(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis.
(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
tanggung jawab pasien.
(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan
hubungan dokter dan pasien.
Tanggung Jawab
Pasal 17
(1) Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung
jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran.
(2) Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan
kedokteran.
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 18
(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait
sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Pasal 19

18

(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai
dengan kewenangannya masing-masing
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
Ketentuan Penutup
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Pemeriksaan Kesehatan dalam Tahanan7
Keadaan Psikologi
Kemampuan untuk berbicara (Fitness to be stand trial)
Sidang yang dilaksanakan pengadilan harus berlangsung secara tertib. Orang-orang
yang berada di ruang siding tanpa terkecuali harus bersikap tenang dan sopan, harus mampu
menaati peraturan yang berlaku. Terperiksa, baik dalam kedudukan sebagai erdakwa,
penggugat, saksi, ataupun kedudukan yang lain harus pula mampu menaati peraturan
tersebut, dalam arti di dalam siding terperiksa harus mampu untuk duduk tenang dan sopan
selama waktu yang relative lama serta harus mampu berkomunikasi secara baik wajar dan
sopan.
Sidang pengadilan merupakan tempat berkomunikasi dimana mereka yang terlibat
saling bertanya jawab. Tanya jawab harus berlangsung tertib, dengan harapan hakim dapat
memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya sehingga dapat mengambil
keputusan hokum yang tepat, objektiv dan adil. Dilain pihak dimaklumi bahwa situasi sidang
pengadilan bagi terperiksa sangat menekan (stressfull). Tidak diharapkan, selama sidang dan
setelah sidang, akibat rasa tertekan terperiksa menjadi sakit atau penyakitnya menjadi berat
atau penyakit yang sudah sembuh dapat kambuh kembali.
Dengan uraian di atas, apabila seseorang (terperiksa) akan diajukan ke sidang
pengadilan terlebih dahulu harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut
19

Apakah sidang dapat dilaksanakan (applicable)? Sidang dapat dilaksankan


apabila terperiksa dapat menaati peraturan ketertiban sidang. Sidang tidak
mungkin dilaksanakan apabila terperiksa gelisah, tidak dapat duduk tenang,
harus dalam posisi berbaring, misalnya karena s\cedera tulang punggung atau

harus diinfus, atau terperiksa berbicara tidak terkendali.


Apakah sidang tidak berbahaya (harmful) bagi terperiksa? Sidang tidak dapat
dilaksankan apabila suasana sidang terlalu menekan sehingga terperiksa dapat

menjadi sakit atau bahkan meninggal.


Apakah sidang bermanfaat (beneficial)? Sidang merupakan arena Tanya jawab
dimana semua pihak berusaha mengemukakan informasi menurut visi mereka
masing-masing, agar dapat dipergunakan hakim untuk dapat mengambil
keputusan . diharapkan dalam Tanya jawab, pterperiksa dapat mengerti apa
yang ditanyakan padanya dan dapat mengemukakan pendapat yang dapat
dipahami oleh orang lain. Dengan demikian pemeriksaan mengenai
kemampuan seseorang untuk diajukan di sidang pengadilan (fitness to stand
trial) memerlukan pemeriksaan tentang kemampuan terperiksa untuk menaati
peraturan sidang dan bahwa sidang tidka membahayakan bagi terperiksa.

Penentuan mengenai kecakapan untuk bertanya jawab (competence to be interviewed)


dapat dinilai dari kemampuan terperiksa memahami kedudukan dirinya dan memahami
situasi lingkungannya. Ia harus mengetahui kedudukannya dalam sidang (sebagai saksi,
sebagai terdakwa, atau sebagai penggugat). Ia juga harus mengetahui persoalan yang
dihadapinya (perkaranya) dan mampu mengusahakan pembelaan atau mampu minta
pertolongan seseorang untuk minta pembelaan persoalannya. Selain itu ia juga harus
memahami siatuasi lingkungannya. Dalam arti bahwa ia memahami ia berada di ruang sidnag
pengadilan berhadapan dengan hakim, jaksa, penasehat hokum, dan lain-lain.
Dalam sidang terperiksa harus mampu berkomunikasi dengan baik. Kemampuan
berkomunikasi ini dapat kita nilai dengan cara penilaian kemampuan untuk mengemukakan
ide atau pendapat yang dapat dipahami oleh orang lain; serta dapat memahami idea atau
pendapat orang lain dengan wajar dan baik. Apabila terperiksa dapat memenuhi ketentuanketentuan tersebut di atas, ia dianggap cakap dan layak untuk diajukan ke sidang pengadilan (
competence and fit to stand trial). Mungkin seseorang dianggap tidak cakap dan tidak layak,
yang dapat bersifat permanen/ temporer dalam keadaan tidak cakap dan tidak layak yang
bersifat sementara maka terperiksa dapat terlebih dulu diterapi dan diajukan ke sidang
pengadilan setelah sembuh. Sering pula terperiksa tidak menjadi sakit, tetapi dalam sidang
20

menjadi sangat tertekan sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Dalam keadaan
seperti ini terperiksa dapat didampingi oleh seseorang yang ditunjuk atau disetujui oleh
hakim.
Pemeriksaan tentang kecakapan untuk bertanya jawab dan kelayakan untuk diajukan
disidang (fitness to stand trial) dapat merupakan pemeriksaan satu paket, dapat pula
merupakan dua pemeriksaan sendiri-sendiri.8
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tahanan ditujukan untuk memeriksa apakah tahanan tersebut benar
dalam keadaan sakit dan membutuhkan pengobatan segera. Dalam hal ini dokter harus
memeriksa langsung tahanan tersebut. Selanjutnya dianalisis apakah penyakitnya harus
mendapat rujukan keluar negeri. Hal ini tergantung dengan keputusan hakim.
Fitness to stand trial dan Fitness to be detained
Kapasitas yang harus dimiliki seseorang untuk dapat dikatakan kompeten
memberikan kesaksian di pengadilan adalah mampu mengamati, mengingat dan
berkomunikasi tentang peristiwa yang dipertanyakan, serta memahami sifat dan dampak dari
sumpah yang diucapkannya (be capable of observing, remembering, and communicating
about events in question, understand the nature of an oath).
Kompetensi yang lebih tinggi kualitasnya harus dimiliki oleh seseorang yang akan
diinterogasi sebagai tersangka (competence to be interviewed, competence to be detained)
ataupun diperiksa di sidang pengadilan sebagai terdakwa (competence to stand trial).
Perasaan moral masyarakat menyatakan bahwa individu yang tidak dapat memahami sifat
dan obyektif persidangan yang melawannya, tidak mampu berkonsultasi dengan penasehat
hukumnya dan tidak mampu membantu persiapan pembelaan atas dirinya, dianggap tidak
layak untuk diadili.7
Di dalam jurisprudensi kasus Dusky vs US (1960) dikatakan bahwa test (untuk
menguji kompetensi untuk diajukan ke pengadilan) harus dapat menentukan apakah ia saat
ini memiliki kemampuan yang memadai untuk berkonsultasi dengan penasehat hukumnya
dengan tingkat penalaran yang memadai dan pemahaman yang memadai tentang fakta dalam
persidangan tersebut. Dalam praktek, Chiswyck (1990) merumuskan kapasitas yang harus
dimiliki adalah sebagaimana dikutip oleh Zapata

sewaktu mengomentari pemeriksaan atas

Pinochet, yaitu : (1) memberi instruksi kepada penasehat hukum, (2) melakukan pembelaan

21

atas tuduhan, (3) menantang keberadaan seseorang anggota juri tertentu, dan (4) memahami
bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan.
Penentuan kompetensi biasanya melalui tiga tahap prosedur dimulai dengan tahap
pencetus. Baik jaksa penuntut umum maupun pembela, ataupun hakim dapat mencetuskan
persoalan kompetensi terdakwa. Akibatnya, begitu isu kompetensi diajukan di pengadilan,
maka siapa pun tidak diperbolehkan mengabaikannya ditinjau dari prinsip fair-trial.
Seorang atau sebaiknya tim dokter yang independen segera dibentuk untuk menilai keadaan
kesehatan jiwa terdakwa. Dalam hal ini terdapat dua hal yang perlu dicatat, yaitu unsur
prosedural dan unsur substantif.
Dalam kaitannya dengan prosedur, kata independen di atas berarti bahwa dokter
tersebut bukanlah dokter pengobat (treating / attending physicians), melainkan dokter yang
khusus ditunjuk untuk menilai (assessing / advising physicians). Demikian pula pemeriksaan
yang dilakukan haruslah pemeriksaan psikiatris yang impartial. Secara substantif, kompetensi
yang dipertanyakan adalah kompetensi terdakwa pada saat ini dan bukan kompetensi pada
saat melakukan tindak pidana.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur hal di atas, sementara
berbagai negara membuat ketentuan yang jelas dan cukup rinci. Dikatakan bahwa selanjutnya
akan digelar suatu formal hearing (tertulis), dimana pada saat tersebut peran ahli psikiatri
sangatlah penting. Bila ia mengatakan bahwa terdakwa mungkin inkompetent (is likely to be
incompetent), maka biasanya akan digelar suatu competency hearing. Competency hearing
dapat diadakan kapan saja dalam suatu rangkaian persidangan. Psikiater pemeriksa terdakwa
akan menjadi saksi ahli utama dalam competency hearing, namun tidak menutup
kemungkinan diajukannya saksi dan atau ahli lain oleh jaksa penuntut umum ataupun oleh
pembela. Dalam hal kemudian diputuskan bahwa terdakwa tidak kompeten untuk diajukan ke
pengadilan, maka ia dimasukkan ke dalam suatu institusi atau dirawat selama satuan waktu
tertentu untuk memperoleh observasi dalam rangka re-evaluasi secara berkala. Ia dapat
dibebaskan dari ketentuan observasi apabila ia dinyatakan kompeten dan konsekuensinya
diajukan ke pengadilan atau perkaranya dihentikan secara resmi.10

Penutup
Kesimpulan
22

Disini yang harus dijaga oleh seorang dokter adalah untuk tetap menjaga rahasia
kedokteran ialah pertama-tama dokter harus menjelaskan kepada pasien bahwa pengobatan
penyakit tersebut sebenarnya tidak sulit. Dokter memegang prinsip rahasia kedokteran pasien,
maka dokter tidak boleh membocorkan apapun yang dialami pasien kepada siapapun
termasuk kepada sang istri. Dokter seharusnya hanya bisa menyarankan agar pasien berusaha
jujur dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan nya,tetapi semua keputusan tetap di
tangan pasien tersebut,karena dokter tidak bisa memaksa sesuai hak Autonomy seorang
pasien dan sesuai rahasia jabatan kedokteran.
Dalam kasus ini, pasien harus mendapatkan kebenaran kejaksaan dengan mengikuti
prosedur yang benar untuk mendapatkan pengobatan di luar negeri. Sebagai dokter, data-data
medis harus dipastikan kebenaran sakitnya, sebelum mengusulkan surat rujukan ke manamana dokter sama ada di dalam atau di luar negeri sesuai dengan KUHP pasal 269.

23

Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Pustaka Dwipar; Jakarta: 2007. h. 8-12,30-32,535,62-7,77-9
2. Budiyanto arif,Widiatmaka Wibisana,dkk .Peraturan Perundang-Undangan Bidang
Kedokteran edisi 2. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;1994 h 20-36
3. Peraturan

perundang-undangan

bidang

kedokteran.

cetakan

kedua.

Bagian

Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 1994, hal


17
4. Kode

Etik

Kedokteran.

http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-

indonesia. 18 Januari 2009.Diunduh 4 Januari 2016.


5. Samil, Suprapti R. Etika kedokteran indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2001.
6. Rekam

Medis dan

Informed

Consent.http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/b6fa37a62692182ad455b08bac8
ac3d8bc639f55.pdf. 27 April 2009. Diunduh 4 Januari 2016.
7. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia. dikti.go.id.
2006. Diunduh 4 Januari 2016.

24

8. Ciccone JR. Competence to stand trial: efforts to clarify the concept and improve
clinical evaluations of criminal defendants. Current Opinion in Psychiatry 1999, 12:
647-651.
9. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. 4Jan-2016. Diunduh dari http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/
1312.
10. Darmabrata W, Nurhidayat AW. Psikiatri forensik. Jakarta: EGC; 2003.h. 28-31

25

Вам также может понравиться

  • Sumber
    Sumber
    Документ6 страниц
    Sumber
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Gis156 Slide Esophageal Disease
    Gis156 Slide Esophageal Disease
    Документ35 страниц
    Gis156 Slide Esophageal Disease
    Wilhelm Heinlein
    Оценок пока нет
  • Portofolio ISIP GEA
    Portofolio ISIP GEA
    Документ5 страниц
    Portofolio ISIP GEA
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Tugas Asean
    Tugas Asean
    Документ6 страниц
    Tugas Asean
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Artikel Evprog Amelia
    Artikel Evprog Amelia
    Документ15 страниц
    Artikel Evprog Amelia
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Virgoun
    Virgoun
    Документ2 страницы
    Virgoun
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Elips
    Elips
    Документ1 страница
    Elips
    Tati Adda Untukmoew
    100% (1)
  • Otopsi
    Otopsi
    Документ12 страниц
    Otopsi
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Mind Map
    Mind Map
    Документ1 страница
    Mind Map
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Asam Folat
    Asam Folat
    Документ5 страниц
    Asam Folat
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Virgoun
    Virgoun
    Документ2 страницы
    Virgoun
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Virgoun
    Virgoun
    Документ2 страницы
    Virgoun
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Virgoun
    Virgoun
    Документ2 страницы
    Virgoun
    mel291012
    Оценок пока нет
  • PHBS
    PHBS
    Документ9 страниц
    PHBS
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Lepra Makalah
    Lepra Makalah
    Документ16 страниц
    Lepra Makalah
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Sumber
    Sumber
    Документ21 страница
    Sumber
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Lepra Kulit
    Lepra Kulit
    Документ17 страниц
    Lepra Kulit
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Lapkas Stase Mata
    Lapkas Stase Mata
    Документ10 страниц
    Lapkas Stase Mata
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Asam Folat
    Asam Folat
    Документ5 страниц
    Asam Folat
    mel291012
    Оценок пока нет
  • PBL Blok 5
    PBL Blok 5
    Документ12 страниц
    PBL Blok 5
    mel291012
    Оценок пока нет
  • PHBS
    PHBS
    Документ9 страниц
    PHBS
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Definisi Asma Dam Etiologi
    Definisi Asma Dam Etiologi
    Документ2 страницы
    Definisi Asma Dam Etiologi
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Resep Martabak Manis
    Resep Martabak Manis
    Документ1 страница
    Resep Martabak Manis
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Kelelahan Otot
    Kelelahan Otot
    Документ8 страниц
    Kelelahan Otot
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Lirik Amelia
    Lirik Amelia
    Документ1 страница
    Lirik Amelia
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Yg Ini Bismillah
    Yg Ini Bismillah
    Документ12 страниц
    Yg Ini Bismillah
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Tips Untuk Membuat Selai Nanas Untuk Kue Nastar Selai Nanas
    Tips Untuk Membuat Selai Nanas Untuk Kue Nastar Selai Nanas
    Документ2 страницы
    Tips Untuk Membuat Selai Nanas Untuk Kue Nastar Selai Nanas
    sila
    Оценок пока нет
  • Blok 11 Lohhhh
    Blok 11 Lohhhh
    Документ11 страниц
    Blok 11 Lohhhh
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Tumbuh Kembang
    Tumbuh Kembang
    Документ11 страниц
    Tumbuh Kembang
    mel291012
    Оценок пока нет
  • Imunisasi Terjadwal
    Imunisasi Terjadwal
    Документ7 страниц
    Imunisasi Terjadwal
    mel291012
    Оценок пока нет