Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ANALISIS DATA
PENDAHULUAN
9.1
Untuk membantu mendalami materi bahan ajar ini disarankan untuk
mempelajarinya secara cermat, baik secara mandiri maupun kelompok menelaah
sumber-sumber buku yang relevan untuk membantu pemahaman Anda.
Setelah mengkaji secara saksama uraian materi pada unit ini, selanjutnya Anda
diminta untuk mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat di masing-masing sub unit,
membaca rangkuman, dan mengerjakan soal-soal tes formatif yang disediakan di
bagian akhir tiap-tiap subunit. Pedoman jawaban latihan telah tersedia pada masing-
masing subunit, demikian halnya kunci jawaban tes formatif juga telah disediakan di
bagian akhir unit ini. Namun demikian, Anda diminta untuk menjawab soal-soal
latihan dan soal-soal tes formatif secara mandiri terlebih dahulu sebelum
mencocokkannya dengan pedoman jawaban latihan ataupun kunci jawaban tes formatif
yang telah disediakan.
9.2
SUBUNIT 1
Pada bagian ini akan dibahas topik pengolahan dan analisis data secara
sederhana, penafsiran, dan penggunaan hasil analisisnya. Dalam proses analisis ini
ditempuh tahap pengolahan, penafsiran, dan pelaporan hasil analisis beserta
tahap-tahap lainnya. Namun, dalam realitasnya seringkali tahap-tahap ini tidak
tuntas dilakukan. Peneliti (guru) cenderung hanya mengumpulkan data, menskor,
dan mengadministrasikannya. Tindak lanjut dari data yang diperoleh ini tidak
dilakukan.
Setelah data terkumpul, data tersebut harus diolah, ditafsirkan, dan baru
kemudian dilaporkan. Jadi, pengolahan data penting dilakukan, karena data yang
terkumpul melalui berbagai alat pengumpul data (instrument) masih berupa data
mentah.
Dalam pembahasan berikut, secara urut akan dipaparkan beberapa sub
topik. Pertama, teknik penyekalaan. Kedua, penormaan. Ketiga, pensetaraan.
Keempat, batas-batas atau kriteria kelulusan. Kelima, penyajian data. Keenam,
analisis tendensi sentral. Ketujuh, analisis variabilitas. Untuk melengkapi proses
pengolahan data tes hasil belajar, akan dibahas pula penggunaan hasil penilaian,
seperti penentuan lulus-tidak lulus, penentuan kelas perbaikan-pengayaan, atau
bahkan penentuan, apakah program pengajaran tertentu perlu diteruskan, direvisi,
atau dibatalkan.
1. Teknik Penyekalaan
Jika kita mendengar kata skala, yang terbayangkan dalam benak kita ialah
adanya jarak antar obyek (titik) yang sama atau lajur-lajur yang dipergunakan
untuk menentukan tingkatan atau banyaknya sesuatu (misalnya, rentang skala
gaji/upah) atau perbandingan ukuran besar (misalnya, dalam kasus skala pada
peta).
9.3
Skala adalah rentang skor atau data yang dibuat penyelenggara tes (tester)
sebagai ukuran ke posisi mana peserta tes (testee atau siswa) ditempatkan sesuai
dengan hasil pekerjaannya. Misalnya, skala pada Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
mahasiswa. Penyekalaan ini bersifat relatif dan subyektif, karena ditentukan oleh
tester dan dapat berubah sesuai dengan sifat obyek yang dinilai.
Dalam pengukuran kependidikan dan pembelajaran, masalah skala ini
sebenarnya masih menjadi perdebatan banyak pakar. Contohnya, apakah angka
nol (0) bersifat mutlak? Jika kita memberikan skor 0 (nol) atas seseorang, apakah
berarti orang (siswa) yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan atau
ketrampilan sama sekali? Barangkali, kalau kita maksudkan bahwa 0 (nol) dalam
pengertian skor mentah, pengertian 0 (nol) cukup jelas, karena dikenakan kepada
sejumlah soal yang diujikan. Dalam kaitan ini, 0 (nol) berarti bahwa dari sejumlah
soal yang diujikan (misalnya, 10 soal) tidak ada satu soal pun yang dapat dijawab
secara benar (salah semua). Namun, jika skala tersebut diimplementasikan
terhadap jarak skor (nilai) yang diberikan, maka ketidakjelasan akan kembali
dihadapi. Pertanyaannya adalah apakah jarak antara skor 5 (lima) dan 6 (enam)
sama dengan 6 dan 7, apakah sama dengan 8 dan 9, atau 9 dan 10? Pertanyaan ini
berlaku pula terhadap skala IPK mahasiswa yang ditetapkan, misalnya seperti
berikut.
Tabel 9.1
Penetepan Skala Penilaian IPK
(dalam bentuk Huruf)
Contoh lainnya dapat pula dilihat dari penetapan kriteria kelulusan suatu mata
kuliah, seperti berikut.
9.4
Tabel 9.2
Penetepan Skala Penilaian Kelulusan
Mata Kuliah
Rentang Konversi
Huruf Kategori Status Kelulusan
Skor Angka
80-100 A Sangat Baik 4 Lulus
70-79 B Baik 3 Lulus
60-69 C Cukup Baik 2 Lulus
50-59 D Buruk 1 Tidak Lulus
00-494 E Sangat Buruk 0 Tidak Lulus
Jika kita mengamati skala dalam tabel 9.1 maupun tabel 9.2, maka secara
jujur kita mengatakan bahwa angka atau skor tersebut tidak lebih dari sekedar
“permainan judi” dari para pelakunya (pengajar dan peserta ajar) yang amat
misteri, karena di lain tempat mungkin rentang skalanya tidak sama. Misalnya,
untuk nilai huruf A dibedakan A dan A-, untuk B ada B+, B, dan B-, dan
seterusnya. Padahal skala yang ditentukan tersebut kemudian merupakan dasar
untuk menentukan nasib seseorang.
Skala yang dipergunakan amat bervariasi. Skala tersebut akan sangat
dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang paling kritis adalah
antara angka yang mendekati keputusan, apakah seseorang layak mendapat E atau
D, D atau C, C atau B, serta B atau A? Misalnya, seseorang mendapat skor 69,20;
apakah akan diberikan nilai B ataukah tetap C? Seseorang yang mendapatkan skor
79 apakah akan tetap mendapat nilai B (sama dengan seseorang yang mendapat
skor 70) ataukah akan mendapatkan nilai A? Di sinilah tampak, betapa skala
tersebut pada kasus-kasus tertentu sangat dekat, tetapi kasus lainnya menjadi
sangat jauh, karena relativitas faktor penafsiran.
Secara umum, dalam pengukuran terdapat empat macam klasifikasi skala
atau data yang biasa digunakan analisis hasil tes. Pertama, skala atau data
Nominal. Kedua, skala atau data Ordinal. Ketiga, skala atau data Interval.
Keempat, skala atau data Rasio.
9.5
Skala atau data Nominal tidak memiliki karakteristik kuantitatif. Skala ini
hanya merupakan lambang semata (numeral; bukan number). Misalnya, nomor
kendaraan bermotor, nomor rumah, nomor telepon, nomor pemain, nomor urut
siswa dalam daftar hadir, dll.
Skala atau data Ordinal sudah mempunyai pengertian tinggi rendah
sesuatu (bersifat diskrit). Misalnya, pemberian rangking atau peringkat nilai rapor,
predikat kejuaraan (juara pertama, kedua, ketiga, dst.), atau predikat siswa teladan
(teladan I, II, III, dst.). Peringkat I maksudnya jelas lebih tinggi daripada
peringkat II, peringkat II lebih tinggi daripada peringkat III, dan seterusnya.
Namun dalam skala ordinal ini, jarak antara satu peringkat dengan peringkat
lainnya tidak sama. Bisa jadi peringkat I memperoleh nilai rata-rata 9,00,
peringkat II = 8,52, tetapi peringkat III = 7,11. Jadi, jarak satu dengan lainnya
tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu kelipatan (dikali/dibagi), ditambah, atau
dikurang.
Skala atau data Interval adalah skala yang sudah mempunyai makna hitung
(kuantitatif). Skala ini mempersyaratkan satuan atau unit pengukuran harus sama
dan teruji, seperti derajat, cm, kg, dll. Seorang siswa yang tingginya 167 cm dapat
dikatakan lebih tinggi 2 cm daripada siswa lain yang tingginya 165 cm. Begitu
pula dengan ukuran berat badan. Orang yang beratnya 100 kg sama dengan dua
kali berat orang lain yang berbobot 50 kg. Orang yang mempunyai suhu badan 38
derajat lebih panas 1 derajat daripada orang lain yang bersuhu badan 37 derajat.
Skala atau data Rasio mempunyai ciri-ciri skala interval dan sudah
mempunyai 0 (nol) mutlak. Misalnya, 0 (nol) dalam skala Termometer Kalvin
berarti sudah tidak ada panas lagi (molekul-molekul sudah tidak bergerak lagi).
Nol berarti “tidak ada sama sekali”. Jika ketidakhadiran siswa dalam satu minggu
sama dengan 0 (nol) persen, itu berarti bahwa selama satu minggu semua siswa
hadir di sekolah.
Persoalan pengukuran kependidikan atau pembelajaran, karena kita tidak
mempunyai unit satuan ukuran yang tetap atau baku (seperti kg, derajat, yard,
dll.). Persoalan ini dapat dilihat dari beragamnya standar pengukuran antar-guru
antar-mata pelajaran, antar-sekolah, antar-daerah, apalagi antar-negara. Misalnya,
9.6
angka 7 (tujuh) sering lebih bermakna sebagai lambang yang mempunyai berbagai
interpretasi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab berbedanya penafsiran
masyarakat. Pengaruhnya bahkan terkadang sangat merugikan. Contohnya, dalam
penerimaan karyawan, ada instansi yang menetapkan syarat IPK 3,00 dari suatu
perguruan tinggi, tetapi hanya 2,75 untuk perguruan tinggi lainnya. Bahkan ada
lembaga yang sama sekali tidak mau menerima lulusan suatu perguruan tinggi
karena tidak percaya terhadap sistem penilaian (termasuk penskalaan) di
perguruan tinggi tersebut. Kasus penerimaan siswa baru berdasarkan hasil ujian
nasional juga merupakan contoh penerapan ilusi skala penilaian.
9.7
Jika dikonversikan ke dalam rentang skala 0-10 (simbol “n”), maka
pelaksana tes (tester) atau guru dapat menggunakan formula sebagaimana
diterapkan pada bagian berikut.
n=
∑skor
Total Skor
Keterangan:
n = skor jadi
∑=
Konversi selengkapnya dari skor atau data mentah ke dalam skor jadi (n)
bagi setiap peserta tes menurut skala 0-10 dapat dicontohkan sebagaimana
tercantum pada Tabel 9.4.
Tabel 9.4
Konversi Skor atau Data Mentah (Hasil Tes)
ke Nilai Berskala 0-10 (lihat table 9.3)
Jumlah Skor Nilai Skala Jumlah Skor Nilai Skala Jumlah Skor Nilai Skala
Benar 0-10 Benar 0-10 Benar 0-10
32 10,0 21 6,6 10 3,1
31 9,7 20 6,3 9 2,8
30 9,4 19 5,9 8 2,5
29 9,1 18 5,6 7 2,2
28 8,8 17 5,3 6 1,9
27 8,4 16 5,0 5 1,6
26 8,1 15 4,9 4 1,3
25 7,8 14 4,4 3 0,9
24 7,5 13 4,1 2 0,6
23 7,2 12 3,8 1 0,3
22 7,2 11 3,4 0 0,0
Perlu pula dikemukakan bahwa taraf kesukaran dari setiap soal untuk tes
yang berbeda sangat bervariasi. Oleh karena itu skor mentah pada tes yang satu
dengan tes yang lain tidak dapat dijadikan patokan ukuran taraf kemampuan yang
sama.
9.8
3. Persentase Penguasaan Bahan
9. Penormaan
9.9
Istilah yang biasanya dipergunakan dalam kaitan ini adalah “skor mentah
(angka hasil tes) tidak mempunyai makna, kecuali kalau disertai data pendukung
yang memungkinkan seseorang membuat interpretasi terhadap skor tersebut”.
Dengan perkataan lain, skor mentah tidak berbunyi jika tidak dimaknai. Data
pendukung dimaksud antara lain adalah data deskriptif tentang tes, seperti jumlah
soal, waktu pengerjaan tes, reliabilitas tes, galat baku tes, validitas tes,
interkorelasi antar-bagian tes, dan skor jabaran kalau yang dilaporkan bukan skor
mentah.
Dari kasus-kasus tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang perlu
menjadi perhatian kalangan pendidik. Pertama, pengolahan hasil tes atau
pengukuran hendaknya dilakukan secara benar, sehingga dapat dibaca oleh orang
lain (orangtua, masyarakat, lembaga pemakai lulusan) sebagai data yang akurat
dan berlaku umum. Kedua, pengolahan hasil tes atau pengukuran hendaknya
disertai dengan penafsiran yang dapat dipahami dan sesuai dengan teknik dan
kriteria yang tepat. Ketiga, pengolahan dan penafsiran haruslah obyektif dan
bermakna setara dengan lembaga lain atau yang berlaku umum.
Untuk mengatasi masalah penafsiran hasil yang berbeda-beda, maka
penormaan hasil tes menjadi amat penting. Penormaan yang dilakukan terhadap
kelompok peserta tes disebut data normatif. Data normatif akan menentukan
posisi dan kompetensi seseorang dalam kelompok norma. Misalnya, jika
mempergunakan norma jenjang persentil (0-100), maka jika siswa memperoleh
hasil tes sama dengan 80, pada tingkat sekolah ia berada pada persentil ke-68
untuk level sekolah, persentil ke-77 untuk norma daerah, dan persentil ke-85
untuk norma nasional. Di samping untuk penentuan posisi relatif seseorang di
dalam norma kelompok, data normatif juga berguna untuk membuat keputusan
tentang siswa (testee) yang bersangkutan dan memahami kompetensi peserta tes
terhadap dimensi yang diukur dalam tes.
Di Indonesia, norma-norma yang biasanya dipergunakan adalah: (1)
norma nasional; (2) norma daerah atau regional (propinsi atau kabupaten/kota; (3)
norma sekolah. Penyusunan norma nasional merupakan yang tersulit dilakukan,
karena banyaknya aspek yang harus dipertimbangkan, seperti aspek geografis,
9.10
demografis, budaya, manajemen pendidikan, dll. Penyusunan norma daerah relatif
lebih mudah, apalagi norma sekolah, karena semakin sempit cakupannya berarti
semakin sederhana aspek-aspek yang memerlukan pertimbangan.
skor
Nilai siswa = ×10
total skor
Sebagai contoh, jika seorang siswa memperoleh skor 28, maka nilai yang
diperoleh siswa berarti:
28
Nilai siswa = ×10 = 6,22
45
Nilai 6,22 tersebut di atas selalu diputuskan lulus atau tuntas. Cara yang
demikian menggambarkan bahwa tester tidak mempunyai patokan atau norma
kelulusan. Penentuan kelulusan sebaiknya menggunakan Penilaian Acuan Patokan
(PAP) atau Penilaian Acuan Normatif (PAN).
PAP diterapkan dengan menetapkan terlebih dahulu patokan kelulusan
sebelum tes diadakan (berdasarkan kriteria tertentu). Batas lulus atau ketuntasan
yang termasuk kelompok PAP adalah batas lulus atau ketuntasan purposif. PAN
mengisyaratkan penggunaan nilai rata-rata dan simpangan baku (standar deviasi).
Batas lulus atau ketuntasan yang termasuk dalam kelompok ini adalah: (1) batas
9.11
lulus ideal; dan (2) batas lulus atau ketuntasan aktual. Ketiga batas lulus ini akan
dipaparkan secara singkat seperti berikut.
9.12
Batas lulus atau ketuntasan aktual mempersyaratkan skor peserta tes telah
tersedia (aktual) atau sudah diketahui. Misalnya, diperoleh data hasil tes dari 10
peserta (siswa) sebagai berikut: Ardy = 27, Anny = 16, Betty = 37, Beni = 26,
Dina = 20, Dona = 19, Ester = 22, Ferdy = 33, Gunawan = 40, dan Soni = 29.
Dengan menggunakan rumus yang sama dengan batas lulus ideal (
X +0,25 SD ), maka batas lulus atau ketuntasan aktual dapat dicari (dengan
contoh data tersebut). Langkah-langkah yang harus ditempuh seperti berikut.
1). Membuat tabel kerja, seperti yang dicontohkan dengan Tabel 9.5.
Tabel 9.5
Contoh Tabel Kerja Perhitungan Rata-rata dan
Simpangan Baku (SD) Aktual
Keterangan:
Simpangan (X - x ) merupakan selisih skor (X) dengan
rata-rata ( x =26,9), yang cara kerjanya akan
diterangkan pada langkah ke-2). Kuadrat simpangan (X -
x )2 dicari dengan mengkuadratkan setiap simpangan
x=
∑skor
∑testee
9.13
Dengan menggunakan data tabel 9.5, diketahui jumlah skor (Σ X) = 269,
sedangkan jumlah testee atau peserta tes = 10. Kemudian, berdasarkan rumus di
atas, maka rata-rata aktual dapat dihitung seperti berikut:
269
x= = 26,9
10
3). mencari Simpangan Baku atau Standar Deviasi (SD) aktual, dengan
menggunakan rumus seperti berikut.
S D=
∑ ( X - x) 2
n
Keterangan:
SD = Standar Deviasi; Σ (X- x ) = jumlah kuadrat simpangan; dan n =
jumlah testee (siswa).
569
SD = = 56,9 = 7,54
10
9.14
6. Penyajian Skor/Data
Skor yang diperoleh peserta tes (testee) dan belum diolah disebut skor mentah
(perhatikan kembali uraian sebelumnya). Skor mentah ini perlu dianalisis, agar dapat
dibaca dan bermakna bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Analisis skor sampai
berbentuk suatu nilai yang digunakan bagi suatu keperluan dalam membuat
pertimbangan dimulai dengan menyusun atau menyajikan skor tersebut,
menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan, dan akhirnya memberikan suatu
pertimbangan.
Penyajian skor mentah dapat menggunakan tabel (daftar nilai) yang sudah
tersusun (distribusi frekuensi) atau tabel data mentah dan/atau dapat pula
menggunakan gambar-gambar visual berbentuk grafik.
Tabel 9.6
Data (Skor) Mentah yang Belum Diurut
dan Sudah Diurut
Skor yang Belum Skor yang Sudah
Diurut Diurut
34 33
87 34
65 54
54 56
71 65
56 71
33 87
Contoh lain, adalah berupa skor hasil tes pelajaran IPA dan Matematika bagi sepuluh
siswa.
Tabel 9.7
Skor Hasil Tes Pelajaran
9.15
IPA dan Matematika
Skor Skor
No Nama Siswa
IPA Matematika
1 Astuti 80 7
2 Asni 71 8
3 Bahrudin 62 8
4 Benny 75 7
5 Bestari 63 5
6 Cecep 47 5
7 Dedi 75 7
8 Domi 77 9
9 Emy 67 6
10 Lani 78 9
Rata-rata 69,5 7,1
b. Grafik
9.16
30
25
20
Skor 15
10
5
0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43
No. Urut Siswa
Bagan 9.1
Contoh Diagram Batang
(Hasil Tes Pelajaran Bahasa Indonesia)
30
25
20
Skor
15
10
5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
No. Urut Siswa
Bagan 9.2
Contoh Diagram Garis
(Hasil Tes Pelajaran Matematika)
9.17
Seperti telah disinggung sebelumnya, untuk membuat lingkaran
diperlukan jangka dan untuk mengukur besarnya sudut diperlukan busur derajat.
Jangka digunakan untuk membuat bangun datar lingkaran.
Sebagai contoh, seorang guru akan membuat diagram lingkaran yang
menggambarkan tingkat keberbakatan melukis siswa. Kategori penilaiannya ada
lima, yaitu: Sangat Rendah (SR) sebanyak 2 orang, Rendah (R) 10 orang, Sedang
(S) 15 orang, Tinggi (T) 20 orang, dan Sangat Tinggi (ST) 3 orang. Secara
keseluruhan ada 50 orang siswa.
Untuk maksud tersebut di atas, masing-masing tingkat dihitung proporsi
(persentasenya), dengan formula: jumlah per tingkatan dibagi total siswa (50), dan
dikalikan 100 persen. Hasilnya, Sangat Rendah 4 persen (2/50 x 100), Rendah 20
persen, Sedang 30 persen, Tinggi 40 persen, dan Sangat Tinggi 6 persen.
Langkah berikutnya, membagi sudut lingkaran (360 derajat) secara
proporsional, dengan formula: persentase setiap tingkatan dikalikan 360.
Hasilnya, Sangat Rendah (SR) membentuk sudut sebesar 14 derajat (4% x 360),
Rendah (R) 72 derajat, Sedang (S) 108 derajat, Tinggi (T) 144, dan Sangat Tinggi
(ST) 22 derajat. Untuk membagi besaran sudut lingkaran inilah kemudian
digunakan busur derajat.
Bagan 9.3. ini adalah diagram lingkaran yang dibuat berdasarkan data di
atas. Namun demikian, dalam praktiknya diagram lingkaran pun sering
divariasikan dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi, sehingga muncul
istilah diagram “kue tart”, “kue pie”, dll.
9.18
Sangat Rendah
Sangat Tinggi 4%
6% Rendah
20%
Tinggi
40%
Sedang
30%
Bagan 9.3
Contoh Diagram Lingkaran
(Jenjang Pendidikan Orangtua Siswa)
7. Tendensi Sentral
9.19
Bagan 9.4
Contoh Kurva Normal
Bagan 9.5
Contoh Kurva Juling Kiri dan
Juling Kanan
9.20
pelajaran IPA = 80 (dalam skala 0-80), maka rata-rata = 69,5 berada jauh di atas
rata-rata ideal (40 atau ½ x skor tertinggi). Namun demikian, jika skor tertinggi =
100, maka rata-rata sebesar 69,5 berada dekat dengan rata-rata ideal (sebesar 50
atau ½ x 100).
Kedua, mengetahui kedudukan individu terhadap kelompok. Dari skor
tersebut di atas (tabel 9.7) diketahui ada 4 orang peserta tes yang mendapat skor di
bawah rata-rata, yakni: Bahrudin (skor = 62), Bestari (63), Cecep (47), dan Emy
(67). Namun demikian, jika dibandingkan dengan rata-rata ideal (40 atau ½ x 80),
maka semua peserta tes berada di atas rata-rata ideal.
Cara menghitung rata-rata ( X ) dapat menggunakan formula sebagai
berikut.
X =
∑X
N
Keterangan:
Σ X = jumlah semua skor (80+71+62+ … +78) = 695
N = jumlah peserta tes (10 orang)
695
Dari tabel 9.7., maka diperoleh rata-rata atau X = = 69,5
10
b. modus
9.21
Tabel 9.8
Contoh Tabel Kerja Mencari Modus
Berdasarkan tabel 9.8 maka dapat diketahui bahwa skor yang paling
banyak frekuensinya atau paling sering muncul adalah 25. Dengan demikian
modus untuk kelompok data ini adalah 25.
9.22
Tabel 9.9
Contoh Tabel Kerja Mencari Median
8. Variabilitas
9.23
skornya antara 3 sampai dengan 10 (3,4,6,7,8,9,10). Dengan data ini terlihat
bahwa kemampuan peserta dalam mengerjakan tes IPA lebih “homogen”
dibandingkan kemampuannya mengerjakan tes Matematika.
Tabel 9.10
Contoh Skor dan Rata-rata Hasil Tes
IPA dan Matematika
Skor Skor
No Nama Siswa
IPA Matematika
1 Astuti 7 7
2 Asni 7 8
3 Bahrudin 8 8
4 Benny 7 10
5 Bestari 6 9
6 Cecep 7 4
7 Dedi 6 3
8 Domi 7 7
9 Emy 7 8
10 Lani 8 6
Jumlah (Σ ) 70 70
Rata-rata 7 7
a. rentang (range)
Rentang atau range adalah jarak antara “skor tertinggi dengan skor
terendah” (SkT - SkR). Dalam contoh data tabel 9.10, skor tertinggi (SkT) hasil tes
Matematika adalah 10, sedangkan skor terendahnya (SkR) adalah 3. Dengan
demikian, rentang atau range untuk hasil tes Matematika ini = 10-3 atau 7.
Simpangan Baku atau standar deviasi (biasa disingkat dengan “SD” atau “S”)
adalah ukuran jarak antara sekumpulan skor dengan angka rata-ratanya (mean).
9.24
Simpangan baku sekelompok skor menunjukkan sebaran skor, makin kecil
simpangan bakunya, berarti kumpulan skor itu mengumpul dekat skor rata-rata.
Rumus yang lazim digunakan adalah:
S D=
( X - x) 2
N
Untuk memperdalam pengetahuan tentang simpangan baku (SD)
pelajari juga kembali tatacara mencari batas lulus aktual, yang dicontohkan
dalam tabel 9.5 sebelumnya. Langkah pertama yang harus dikerjakan adalah
menyiapkan tabel kerja (seperti contoh tabel 9.11), kemudian cari nilai rata-
rata. Berikutnya, cari selisih setiap skor dengan rata-rata. Selisih masing-
masing skor ini kemudian dikuadratkan, dan dijumlahkan hasil
pengkuadratannya. Barulah kemudian, dikonversikan ke dalam rumus.
Tabel 9.11
Contoh Tabel Kerja Menghitung
Simpangan Baku
4
SD = = 0,4 = 0,63
10
Simpangan baku (SD) sebesar 0,63 menunjukkan bahwa besarnya
simpangan sekumpulan skor dari rata-rata (7) adalah sebesar 0,63. Selanjutnya,
9.25
simpangan baku ini dapat digunakan untuk menentukan batas lulus, dengan
menggunakan formula: x + 0,25 SD.
Berdasarkan data tabel 9.11., diketahui rata-rata = 7 dan SD = 0,63.
Dengan demikian, jika hasil tes IPA akan dikonversikan ke dalam skala 0-10
dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti berikut.
Bagan 9.6
Skala Konversi Skor Tes (Data Mentah)
ke Skala 0-10
Skala dalam bagan 9.6 ini adalah skala 0-10. Jadi, dengan angka konstan
yang ditetapkan sebesar 0,25 dalam rumus batas lulus, ditambahkan 0,50 ke kiri-
kanan (yaitu selisih +0,25 dengan -0,25) mulai dari titik 0 (nol). Jika dimasukkan
ke dalam rumus batas lulus ( x + 0,25 SD), maka dapat dibuat daftar konversi
skor ke nilai standar seperti berikut.
Tabel 9.12
Daftar Konversi Nilai Berskala 10 dengan
Mean dan Simpangan Baku
Masukan x Standar
Rumus Hasil Keterangan
dan SD 10
M+2,25 SD 7+2,25 x 0,63 8,4 10
M+1,75 SD 7+1,75 x 0,63 8,1 9
M+1,25 SD 7+1,25 x 0,63 7,8 8
M+0,75 SD 7+0,75 x 0,63 7,5 7
M+0,25 SD 7+0,25 x 0,63 7,2 6 Bata lulus Aktual
M-0,25 SD 7-0,25 x 0,63 6,8 5
M-0,75 SD 7-0,75 x 0,63 6,5 4
M-1,25 SD 7-1,25 x 0,63 6,2 3
M-1,75 SD 7-1,75 x 0,63 5,9 2
9.26
M-2,25 SD 7-2,25 x 0,63 5,7 1
c. varians
S2 =
∑( X − x) 2
N −1
Kedua konsep ini saling dipertukarkan, dalam arti jika diketahui SD maka SD2pun
diketahui, sebaliknya jika diketahui SD2 akan diketahui pula SD. Misalnya,
simpangan baku (SD) yang diperoleh 6,3; maka variansnya adalah (6,3)2 = 39,69.
Sebaliknya, jika yang dihitung adalah variansnya, misalnya 7,5; maka SD = √7,5
atau 2,79.
d. skor baku
Skor baku dipakai antara lain untuk membandingkan dua skor atau lebih
yang menggunakan standar skor atau skala yang berbeda. Misalnya, dalam kasus
tabel 9.7 sebelumnya, skor hasil tes IPA menggunakan skala 0-100 sedangkan
9.27
Matematika menggunakan skala 0-10. Dalam kasus demikian, tester atau guru
yang misalnya, ingin membandingkan skor Bestari dalam mata pelajaran IPA dan
Matematika harus mengkonversikan terlebih dahulu skor-skor mereka ke dalam
skor baku.
Skor baku yang seringkali digunakan dalam kegiatan pengukuran dan
penilaian adalah “skor-Z (Z-score)” dan “skor-T (T-score)”. Prosedur
memperoleh Z-score dan T-score akan dipaparkan sebagai berikut.
1). Z-score
X −x
Z − score =
SD
63 − 69 ,5
Z −score = = −0,68
9,55
Sementara itu, Z-score Bestari untuk tes Matematika dihitung sebagai berikut.
5 − 7,1
Z −score = = −3,3
0,63
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Z-score IPA Bestari lebih baik dari
skor Matematikanya (-0,68 berbanding -3,3).
2). T-score
X −x
T − score = x10 + 50
SD
9.28
Untuk kasus Bestari (seperti contoh data di atas), dapat dihitung T-
score untuk yang bersngkutan. T-score IPA = (-0,68 x 10)+50 = 43,2. T-score
Matematika = (-3,3 x 10)+50 = 17. Dengan data ini dapat disimpulkan bahwa
T-score IPA Bestari lebih baik dibandingkan T-score Matematikanya (43,2 >
17).
Latihan
Hitunglah beberapa ukuran yang lazim dilakukan tentang hasil tes belajar di
sekolah sebagai berikut:
1. batas kelulusan ideal;
2. membuat daftar distribusi frekuensi tunggal/bergolong;
3. mencari: rata-rata, modus, median, range, simpangan baku, varians, Z-score,
dan T-score
1. Cobalah Anda gunakan dokumen tes hasil belajar di sekolah Anda sendiri..
Mintakan kesediaan salah seorang guru di sana untuk meminjamkan lembar
jawaban ulangan umum semester yang sudah dikoreksi (sudah ada skor
mentahnya).
2. Pilih salah satu mata pelajaran, kemudian gunakanlah skor-skor yang telah ada
itu untuk melatih ketrampilan Anda dalam menentukan:
3. Cermati contoh-contoh penggunaan rumus dalam uraian materi subunit 1.
4. Lakukanlah perhitungan: (1) batas kelulusan ideal; (2) membuat daftar
distribusi frekuensi tunggal/bergolong; (3) mencari rata-rata, modus, median,
range, simpangan baku, varians, Z-score, dan T-score.
RANGKUMAN
9.29
Dalam melakukan penskalaan hasil pengukuran terdapat beberapa jenis
yang umum digunakan, yaitu: (1) skala nominal; (2) skala ordinal; (3) skala
interval; dan (4) skala rasio. Sementara itu, untuk melakukan penormaan terdapat
pula beberapa macam norma, yakni: (1) norma nasional; (2) norma daerah; dan
(3) norma sekolah. Selanjutnya, dalam menentukan batas kelulusan biasa dipakai
tiga macam batas lulus, yakni: (1) batas lulus purposif; (2) batas lulus ideal; dan
(3) batas lulus aktual.
Untuk menyajikan data hasil pengukuran dapat dilakukan dalam bentuk
tabel/daftar, yakni: (1) daftar frekuensi tunggal: (2) daftar frekuensi bergolong.
Selain itu, hasil pengukuran dapat pula disajikan dalam bentuk berbagai grafik,
seperti: (1) grafik batang atau histogram; (2) grafik garis (poligon); (3) grafik
lingkaran; dengan berbagai variasinya.
Adapun ukuran-ukuran tendensi sentral yang lazim digunakan adalah: (1)
rata-rata atau mean; (2) modus; (3) median. Untuk ukuran-ukuran variabilitas
biasa digunakan antara lain: (1) range atau rentang; (2) simpangan baku atau
standar deviasi; (3) varians. Sementara itu, skor baku yang biasa digunakan dalam
bidang pengukuran dan penilaian adalah: (1) Z-score; dan (2) T-score.
TES FORMATIF 1
9.30
C. lintas regional
D. nasional
3. Apakah yang menjadi dasar penentuan batas lulus purposif atau Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM)?
A. kompleksitas materi, nisbah guru-siswa, serta sarana dan prasarana
B. kompleksitas materi, sarana dan prasarana, dan usia rata-rata siswa
C. kompleksitas materi, nisbah guru-siswa, dan kondisi siswa,
D. kompleksitas materi, kondisi siswa, serta sarana dan prasarana
4. Berikut ini terdapat data hasil pengukuran pada mata pelajaran IPS.
6 7 6 5 5 6 6 6 5 6 6 6 4 4 4 3 50
2 2 8 2 7 2 5 9 1 0 4 1 4 9 4 9
6 3 4 5 3 5 2 7 5 6 3 5 6 3 4 2 24
1 0 2 0 0 5 9 1 3 2 4 5 7 3 1 2
Dengan rentangan skor 0-80 dan kriteria kelulusan ≥ 60% dalam menentukan
batas lulus purposif atau KKM, siswa yang mendapat skor berapakah yang
akan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan/keberhasilan?
A. 0 s.d. 48
B. 0 s.d. 80
C. 48 s.d. 72
D. 48 s,d, 80
5. Dengan menggunakan data pada nomor soal 4 di atas, tentukan batas lulus
ideal?
A. 3,33
B. 13,33
C. 43,33
D. 53,33
6. Grafik yang dibuat dengan membuat tarikan garis lurus antara satu titik
dengan titik lainnya disebut …
A. histogram
B. poligon
C. pie chart
D. kurva
9.31
7. Berapakah rata-rata dari data hasil pengukuran pada soal nomor 4 di atas?
A. 47,00
B. 50,23
C. 50,82
D. 72,00
8. Berapakah modus dari data hasil pengukuran pada soal nomor 4 di atas?
A. 22
B. 52
C. 62
D. 72
9. Tentukan Standar Deviasi (SD) dari data pada soal nomor 4 di atas!
A. 14,21
B. 14,32
C. 18,18
D. 50,23
10. Hitunglah Z-score untuk siswa yang mendapat skor = 69 dari data pada soal
nomor 4 di atas!
A. 1,27
B. 1,69
C. 14,32
D. 18,18
Rumus Perhitungan:
9.32
1. Skor 90 – 100 berarti Sangat Baik
2. Skor 80 – 89 berarti Baik
3. Skor 70 – 79 berarti Cukup Baik
4. Skor 0 – 69 berarti Kurang
SUB UNIT 2
Kegiatan belajar dalam sub unit 2, khusus menganalisis hasil PTK yang
diperoleh melalui penggunaan instrumen non-tes, seperti hasil observasi. Sub unit
ini bertujuan untuk memaksimalkan perbaikan proses pembelajaran melalui PTK.
Secara rinci kegiatan belajar dalam sub unit ini diharapkan dapat menentukan
apakah:
1. Telah terjadi perbaikan proses dan hasil belajar dengan dilaksanakan-nya
PTK.
2. Sejauh mana telah terjadi perbaikan.
3. Perbaikan tersebut dapat disempurnakan lagi.
9.33
Dalam sub unit ini pembahasan akan difokuskan pada analisis hasil PTK.
Kegiatan analisis atau refleksi semestinya berlangsung selama proses
pembelajaran, tetapi paling tidak, analisis dilaksanakan pada setiap akhir
pembelajaran ataupun akhir pelaksanaan PTK.
Diharapkan, setelah mempelajari modul ini guru diharapkan mampu:
a. Menganalisis data hasil observasi pemanfaatan waktu belajar bagi peserta
didiknya.
b. Menerapkan hasil analisis pelaksanaan PTK mengenai pemanfaatan waktu
belajar dari berbagai aspek proses pembelajaran
c. Menganalisis data hasil observasi pengembangan proses berpikir tinggi dalam
pembelajaran yang dilaksanakan di kelas.
d. Menerapkan hasil analisis pelaksanaan PTK mengenai proses berpikir tinggi
dalam pembelajaran di kelas.
e. Menganalisis data hasil observasi pengembangan nilai dan sikap
f. Menerapkan hasil analisis pelaksanaan PTK dalam pembelajaran untuk
mengembangkan proses berpikir tinggi pada peserta didik.
Untuk mencapai tujuan di atas, di bawah ini akan diuraikan bagaimana
pelaksanaan analisis hasil PTK tentang pemanfaatan waktu belajar, proses
berpikir tinggi dalam pembelajaran, dan pengembangan nilai dan sikap dalam
proses pembelajaran.
9.34
Dengan memperhatikan pelaksanaan PTK, data yang dikumpulkan
1. Dalam satu rentang waktu ada beberapa aspek kegiatan yang dapat
dipertimbangkan pada waktu observasi.
2. Pelaksanaan tes formatif tidak hanya dilakukan pada akhir pembelajaran,
tetapi sepanjang proses pembelajaran, yaitu di antara tes awal dan akhir
pertemuan berupa tes lisan, sedangkan pada akhir pembelajaran dilakukan
tertulis (mungkin waktunya berkisar 6 menit).
3. Presentasi penggunaan waktu belajar disesuaikan dengan alokasi waktu
setiap mata pelajaran.
Bila kriteria keberhasilan pemanfaatan waktu belajar minimal 75%,
sedangkan selama proses pembelajaran dilaksanakan tes formatif sebanyak 6 x
selama proses pembelajaran. Kegiatan tes tersebut merupakan nilai tambahan
keberhasilan pemanfaatan waktu belajar. Dalil pelaksanan tes menyebutkan
bahwa makin sering diberi tes makin membawa dampak positif bagi siswa.
Misalnya: data persentase penggunaan waktu belajar dari 80 menit yang
diperoleh terdiri dari:
2
1) Pengadministrasian siswa dan pengumpulan PR= x 100% = 2,50%
80
50
2) Pelaksanaan proses pembelajaran = x 100% = 62,50%
80
13
3) Mencatat pelajaran = x 100% = 16,25%
80
14
4) Melasanakan tes formatif = x 100% = 17,50%
80
9.35
1
5) Lain-lain = x 100% = 1,25%
80
Kalau kriteria keberhasilan belum memenuhi kriteria minimal 75%, maka
guru harus merenungkan kembali, kegiatan yang mana yang harus dikurangi
waktunya pada pembelajaran berikut :
a. Kegiatan pengadministrasian kelas dan pengumpulan PR sudah
sangat umum sehingga tidak mungkin dikurangi waktunya.
b. Kegiatan mencatat dapat dikurangi dengan memadatkan materi
catatan atau difoto copy, dibagikan kepada siswa, kemudian siswa diberi
waktu membacanya.
c. Melaksanakan tes formatif dapat dikurangi waktunya.
d. Kegiatan lain-lain sudah sangat minim tidak mungkin dikurangi
waktunya.
Berdasarkan hasil renungan (refleksi) pelaksanaan PTK agar waktu
digunakan mencapai 75% untuk pembelajaran, guru harus merencanakan
pemanfaatan waktu belajar yang disempurnakan pada pertemuan berikutnya.
Demikian juga pelaksanaan tes formatif, terutama tes tertulis, juga menjadi
kriteria keberhasilan PTK. Misalnya, rata-rata siswa memanfaatkan waktu
dicantumkan minimal 80% dengan 5 butir tes formatif. PTK dikatakan berhasil
dilaksanakan kalau setiap butir disediakan 20% dari waktu yang disediakan
(80%) rata-rata siswa menjawab dengan tepat 4 butir pernyataan.
Tabel 9.13
Format Observasi Proses Berpikir Tinggi
dalam Pembelajaran
9.36
Sajian data di atas dapat ditafsirkan sebagai berikut :
1. Melatih jenjang proses berpikir yang lebih tinggi tidak lepas dari proses
berpikir yang rendah (untuk melatih C3 harus mengetahui C2 dan C1). Hal ini
tampak dari adanya lebih dari satu centang pada saat yang sama.
2. Waktu untuk mengembangkan / melatih C4 : 4 menit atau 10%.
3. Waktu untuk mengembangkan / melatih C5 : 6 menit atau 15%.
4. Waktu untuk mengembangkan /melatih C6 : 0 menit atau 0%.
Dalam waktu 4 menit belajar melatih C4 (10%) dan selama 6 menit
melatih C5 (15%) atau (10%+15%)=25% digunakan untuk mengembangkan
proses belajar tinggi. Walaupun belum mencakup C6 (0 menit atau 0%).
Sebagai awal pelaksanaan PTK dengan tujuan mengembangkan proses
berpikir tinggi, penggunaan waktu 22,5% sudah memadai, dengan catatan pada
pertemuan selanjutnya proporsi waktu untuk ini supaya terus ditingkatkan. Oleh
karena itu, guru sebagai pelaksana PTK perlu berlatih untuk mengembangkan atau
melatih proses berpikir tinggi dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Pengembangan proses berpikir tinggi C4 (analisis) , C5 (evaluasi), C6 (Kreasi) tidak
semudah pengembangan C1 (ingatan) C2 (pemahaman) dan C3 (aplikasi) . Pada tahap awal
pengembangan proses berpikir tinggi, cukup diperhatikan banyaknya waktu untuk
mengembangkan C4, C5, dan C6. Selajutnya setelah guru memiliki keterampilan
dan kualitas materi yang disajikan harus diperhatikan. memperbanyak latihan
9.37
mengembangkan proses berpikir tinggi, yaitu C4, C5, selanjutnya guru mulai
mengembangkan C6.
Mendapat hasil yang akurat mengenai pengembangan nilai dan sikap tidak
mungkin kalau hanya dengan rekaman suara, karena pengembangan nilai dan
sikap dapat dikembangkan guru melalui penampilan diri pribadi
di dalam kelas. Berikut ini adalah hasil observasi
selama 40 menit dalam pelaksanaan PTK yang
bertujuan menanamkan nilai dan sikap yang
diwajibkan dalam tindakan guru pada saat pelaksanaan
pembelajaran dengan menggunakan metode mengajar
diskusi kelompok.
Tabel 9.14
Format Observasi Penampilan Diri Pribadi Siswa
dalam Kelas
9.38
Proses pembelajaran yang menggunakan metode diskusi membawa dampak
pada pengembangan nilai sikap berikut :
1). Selama pembelajaran telah dibina / dikembangkan sikap: bekerja sama,
toleransi, tanggung jawab, disiplin dan menghargai waktu, pengembangan
wawasan kognitif dan keterampilan berkomunikasi, (keterampilan berdiskusi,
berbahasa Indonesia) keterampilan memimpin dan sebagainya. Sikap yang
dikembangkan lebih besar menekankan pada kerjasama, diikuti toleransi,
tanggung jawab, kemudian disiplin. Hal ini sangat tergantung pada materi
bahasan dan metode yang digunakan guru.
2). Pelatihan kerja sama dan toleransi terjadi pada saat diskusi kelompok
disediakan waktu yang telah ditentukan.
3). Pengembangan nilai dan sikap, memerlukan waktu yang jauh lebih banyak
dari pengembangan kognitif dan keterampilan. Oleh karena itu pengembangan
nilai dan sikap harus dilaksanakan pada setiap pertemuan dengan peserta
didik. Jadi tanggung jawab semua guru bukan tanggung jawab agama dan
guru pendidikan kewarganegaraan saja.
4). Masing-masing kelompok menyajikan hasil diskusinya, dan pada saat ini
dikembangkan/dibina disiplin, tanggung jawab, dan menghargai waktu yang
telah disediakan.
5). Pada lima menit terakhir, guru selain membuat kesimpulan tentang materi
diskusi juga berusaha menanamkan betapa pentingnya kelima jenis sikap yang
setiap hari di atas.
9.39
6). Pada bagian catatan dikemukakan hal-hal yang tidak dapat direkam dalam
rekaman suara tetapi dapat diobservasi, karena hal tersebut melekat pada diri
guru tersebut. Ini merupakan contoh riel yang dapat dilihat siswa setiap hari,
jadi merupakan panutan siswa.
Kriteria keberhasilan untuk upaya meningkatkan kualitas kepribadian tidak
dapat diukur pada akhir jadwal pelajaran karena nilai dan sikap yang dilatihkan
belum tentu sudah menjadi kepribadian peserta didik. Diharapkan pada akhir catur
wulan atau akhir tahun ajaran dampak kepribadian ini sudah dapat diukur.
Semua guru tidak lepas dari tugas membawa siswa menjadi terampil sesuai
dengan mata pelajaran yang menjadi tanggungjawabnya. Pelaksanaan PTK
tentang keterampilan dalam proses pembelajaran dapat diobservasi seperti melihat
keberadaan pengembangan proses berpikir. Karena itu pengembangan kualitas
keterampilan dalam pembelajaran harus menjadi prioritas. Kualitas hasil
keterampilan sepadan dengan kualitas atau cara yang dilatihkan baik
menggunakan alat maupun melihat kombinasi bahan yang digunakan dalam
proses pembelajaran. Untuk mengobservasi keterampilan guru dalam proses
pembelajaran dapat menggunakan contoh format observasi seperti Tabel 9.15.
Tabel 9.15
Format Observasi Keterampilan Proses Pembelajaran
Keberadaan Kualitas
No. Kegiatan
Ya Tidak Baik Cukup Kurang
1. Memilih alat yang diperlukan …..... …….. …….. …….. ……..
Menggunakan alat
a .…………………………. …..... …….. …….. …….. ……..
b. ………… …….. …….. …….. …….. ……..
………………. …….. ……. …….. …….. ……..
c …………………………. …...... …….. …….. …….. ……..
d.…………………………. . …….. …….. …….. ……..
2. e …………………………. .......... …….. …….. …….. ……..
Menyelesaikan tugas .
(hasil akhir) ..........
3. .
Latihan
9.40
Lakukan observasi terhadap seorang teman guru yang sedang melakukan
pembelajaran.
1. Amati mengenai pemanfaatan waktu belajar di kelas dan hitung pengalokasian
waktunya.
2. hitung hasil tes formatif yang dilaksanakannya dalam pembelajaran tersebut;
3. Amati dan caat pemunculan kemampuan berpikir tinggi yang muncul, dan
4. Amati dan catat penampakan sikap positif siswa dalam pembelajaran tersebut.
9.41
RANGKUMAN
TES FORMATIF 2
9.42
4. Penggunaan waktu yang efektif untuk “mengawali pembelajaran” (A),
“kegiatan inti” (B), dan “menutup pembelajaran” (C) dapat diformulasikan ...
10. Penilaian akhir tentang sikap dan perilaku siswa untuk melakukan seluruh
proses pendidikan dan pembelajaran dilakukan..
9.43
A. setiap akhir pertemuan harian
B. setiap akhir upacara bendera
C. setiap akhir bulan
D. setiap akhir semester
Rumus Perhitungan:
9.44
DAFTAR PUSTAKA
Agus Irianto, (2004). Statistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Prenada
Media.
Asmawi Zainul dan Noehi Nasution, (1997), Penilaian Hasil Belajar. Jakarta:
PAU-Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Ditjen Dikti
Depdikbud.
Kemmis, S., Mc Taggart, R., (1992). The Action Research Planner Victioria :
Deaken University.
Suke Silverius, (1991). Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta:
Gramedia.
9.45
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
Tes Formatif 1
1. B. Skala atau data ordinal dipakai untk menunjukkan posisi siswa
dibandingkan siswa lain dari yang tertinggi sampai dengan yang
terendah, atau sebaliknya.
2. A. Ketentuan yang berlaku untuk sekolah yang bersangkutan saja
dikategorikan norma lokal.
3. D. Batas lulus purposif ditentukan dengan mempertimbangan kondisi
obyektif di setiap sekolah; jika kompleksitas materinya tinggi, potensi
siswa bagus, dan sarana/prasarana sangat memadai maka batas lulus
mungkin tinggi, tetapi kondisi sebaliknya yang ditemukan maka batas
lulusnya mungkin akan rendah.
4. C. Enam puluh persen (60%) dari 80 adalah: [(60 x 80) : 100] atau sama
dengan 48.
5. C. Batas lulus ideal = {(½ x 80)} + [0,25 x {1/3 x (1/2 x 80)}] = 40 +
{0,25 x (1/3 x 40) = 40 + (0,25 x 13,33) = 40 + 3,33 = 43,33.
6. B. Poligon dibuat dengan menghubungkan satu titik dengan titik lain
dengan garis lurus.
7. C. Jika seluruh data (angka) pada soal nomor 4 dijumlahkan dan hasilnya
dibagi dengan 34 (jumlah datanya) maka hasilnya = 50,82.
8. C. Modus artinya data (angka) yang paling banyak muncul. Jika Anda
perhatikan, 62 merupakan angka yang pemunculannya paling banyak (3
kali), kan?
9. B. Jika setiap data (angka) dalam soal nomor 4: (a) dikuadratkan: 62
menjadi 3844; 72 = 5184, ... dst. s.d. (angka terakhir) yaitu 24 = 576;
kemudian dijumlahkan dan dibagi 34. Lalu, (b) semua angka (tanpa
dikuadratkan) dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan 34, dan
hasilnya dikuadratkan. Seterusnya, hasil pengurangan antara (a) dan (b)
ditarik akarnya maka akan diperolah hasil = 14,32 (lihat juga rumus
dan langkah pengerjaan dalam uraian).
10 A. Anda tahu, bahwa rata-rata untuk data dalam soal nomor 4 adalah 50,82
. (lihat jawaban soal nomor 7), Standar Deviasi atau SD = 14,32 (lihat
jawaban soal nomor 9). Nah, jika [(69 – 50,82) : 14,32] maka hasilnya
adalah: 18,18 : 14,32 atau sama dengan 1,27. Benar, kan!
9.46
Tes Formatif 2
1. B. Tes formatif merupakan tes yang digunakan untuk menilai kegiatan
pembelajaran yang sedang berlangsung. Jika pelajaran sudah berlalu
mungkin pos-tes atau sumatif, sedangkan jika dilakukan sebelumnya
disebut pre-tes.
2. A. Jika seorang guru menghabiskan waktu lebih lama untuk suatu kegiatan
diasumsikan bahwa keberhasilannya akan menjadi tinggi. Selaiknya,
jika waktu yang digunakan lebih singkat, maka kemungknan
berhasilnya pun menjadi lebih rendah.
Porsi penggunaan waktu dan keberhasilan guru untuk suatu kegiatan
3. D. Persen berarti “per seratus”. Misalnya, jika waktu terpakai 20 menit,
sedangkan total waktu yang dialokasikan = 70 menit, maka persentase
pemakaian waktunya adalah [(20 : 70) x 100 %] atau 0,28 x 100 % =
28, tepatnya 28 persen (ditulis: 28%).
4. B. Waktu untuk kegiatan inti (B) seyogyanya lebih banyak dibandingkan
kegiatan pembuka/awal (A) maupun akhir/penutup (C).
5. D. Tingkatan berpikir dalam ranah kognitif (Cognitive) terdiri atas 6
jenjang (dari terendah sampai tertinggi disimbolkan dengan: C1, C2,
C3, C4, C5, dan C6). Dengan demikian, jika dipilah berpikir tingkat
rendah dan tinggi, 3 jenjang terbawah masuk kategori berpikir rendah
(C1, C2, dan C3), sedngkan 3 jenjang teratas (C4, C5, dan C6) masuk
kategori berpikir tingkat tinggi.
6. B. C1 = pengetahuan/ingatan; C2 = pemahaman, C3 = aplikasi, C4 =
analisis, C5 = evaluasi, dan C6 = kreasi.
7. C. C3 = aplikasi atau kemampuan mengalikasikan (menerapkan) suatu
konsep, teori, dalil, dan hukum ke dalam situasi lain. Misalnya
membuat contoh penerapan hukum DM setelah dijelaskan maksud
hukum tersebut oleh guru.
8. B. Menurut Taksonomi Bloom, hasil belajar mencakup Kognitif
(kemampuan berpikir), Afektif (bersikap menurut nilai tertentu), dan
Psikomotor (dapat mempraktikkan dengan tindakan nyata)
9. D. Tugas kelompok membuka peluang siswa berdiskusi dalam
9.47
mennyelesaikan tugasnya, sejak dari merencanakan, melaksanakan,
maupun mereview hasil pekerjaannya.
10 D. Karena beban belajar siswa di sekolah dibagi menurut per semester,
. maka akhir semester merupakan waktu terminal untuk menilai seluruh
proses pendidikan dan pembelajaran, yang kemudian dapat dijadikan
masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan program/kegiatan
semester berikutnya.
9.48
GLOSARIUM
Alokasi waktu pembelajaran adalah jumlah jam atau menit yang disediakan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pelaksanaan pembelajaran
Analisis data adalah menguraikan suatu data atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan,
proses pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan
kebenarannya,
Data atau skor mentah adalah data yang sudah terkumpul namun belum diolah.
Median adalah nilai tengah dari suatu array (sekumpulan data yang disusun
secara berurutan dari yang terbesar ke yang terkecil, atau sebalikna)
Modus adalah nilai yang mempuyai frekuensi kemunculan paling besar atau
paling sering dari suatu kumpulan data.
9.49
Poligon adalah suatu grafik yang berbentuk garis dari frekuensi kelas yang diplot
terhadap tanda kelas.
Range adalah selisih antara bilangan terbesar dan bilangan terkecil dalam
himpunan tersebut.
Rata-rata atau mean adalah nilai tipikal atau representatif dari suatu kumpulan
data.
Standar Deviasi atau SD adalah akar kuadrat rata-rata dari deviasi terhadap mean
atau deviasi akar rata-rata dari kuadrat.
9.50