Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
http://warsa.wordpress.com
Malam minggu, sepanjang jalan besar yang menghubungkan jalan utama Kota S
dengan lokasi yang akan dijadikan terminal begitu ramai. Di pinggir jalan
bergerombol muda-mudi duduk dekat dan di atas sadel motor. Berpegangan dan
saling menyandarkan bahu pun ada. Di bawah siraman lampu penerangan jalan
umum, bunga-bunga be aneka ibarat lukisan di atas kanvas. Beberapa warung
kecil, sederhana, kesannya dibuat alakadarnya berderet di pinggir jalan dekat
bakal terminal.
Warung itu selalu ramai. Para pemuda kampung sering terlihat mangkal di sana.
Sambil menyeruput kopi panas mereka menonton televisi di warung itu. Syamsu
seorang lelaki kurus kerempeng itu kemarin baru saja membeli sebuah televisi
untuk warungnya itu. Istrinya mendukung betul terhadap suaminya.
'' JIka kita menaruh televisi disini'' Katanya sambil menunjuk sudut atas warung,
'' orang-orang akan semakin senang berkunjung ke warung kita.'' lanjutnya
kepada istrinya.
Maka dibelilah televisi itu dari toko loakan di pusat kota, walau murah asalkan
ada gambar, tivinya warna dan masih layak ditonton, begitu pikirnya.
Semakin ramailah warung Syamsu. Lebih ramai lagi jika ada pertandingan sepak
bola. Para pengunjung sering bertaruh dan judi ketika menonton sepakbola. JIka
ada gol yang masuk bersorak sorailah kubu yang menang.
'' Mana temanmu yang satu itu?'' tanya Syamsu kepada Bohel, '' hmm.. Ya si
Adul namanya..!''
'' Akang belum tahu?'' Bohel memegang ujung gelas berisi kopi panas. '' si Adul
telah keluar dari geng kami, dia sekarang lebih sering menghabiskan malam
mengajI di surau bersama Kyai Ahmad.''
'' Oalaa, mau jadi guru ngaji ya, bocah gemblung itu?'' Syamsu menepak
jidatnya sendiri.
'' Katanya sich mau tobat. Sering dia ngajak ke kami untuk menunaikan sholat
dan ikut pengajian di surau itu. Dan lambat laun hubungan kami pun semakin
renggang. Beberapa dari kami bahkan sering menyebutnya, calon guru ngaji sok
suci.''
'' Ajaklah sesekali calon guru ngaji itu ke sini lagi. Biar dia ngaji disini. Sambil
membaca kitab ini.'' Kata Syamsu sambil menunjuk kartu domino.
Warung itu semakin ramai saja, apalagi sekarang setiap malam orang sudah
bisa menggelar judi kartu secara terang- terangan. Beberapa wanita genit pun
setiap malam duduk-duduk disana, mereka menunggu pelanggan yang rata-rata
adalah para sopir truk. Transaksi pun sering dilakukan di kamar warung itu, dan
Syamsu dapat uang sewa kamar. Orang-orang yang berjudi pun biasa memberi
uang kepada Syamsu sebagai sewa tempat untuk berjudi.
Satu tahun saja, Syamsu sudah bisa merehab rumahnya. Keuntungan yang
didapat semakin besar saja sebanding dengan semakin ramainya warung itu
digunakan tempat berjudi dan bertaruh.
Aparat kelurahan dan polisi sebenarnya bukan tidak pernah memberi peringatan
kepada Syamsu tentang hal ini. Namun karena kebebalan orang-oranglah judi
dan taruhan tetap digelar. Dua kamar itu pun jadi semakin ramai dengan
desahan-desahan birahi, orang-orang berjalan dan bertindak masing-masing
saja, berjalan di jalur yang akan dilaluinya.
'' Sebesar apa pun kemampuan kita untuk menghancurkan kemaksiatan, bahwa
kemaksiatan sama sekali tidak akan pernah hilang di ramainya kehidupan , dia
hanya akan bisa dihindari dan dijauhi saja.'' Ucap Adul kepada beberapa
kawannya.
'' Begitulah, bagi Allah bisa saja dengan mudah memberi peringatan kepada kita
jika nasihat dari orang-orang baik sudah kurang dihormati. Dan kita akan
mendapatkannya juga walau tidak melakukan kesalahan itu.'' Adul berkata di
hadapan orang-orang. Syamsu dikelilingi oleh mereka, demamnya semakin
tinggi. Semua mengira malam ini sang malaikat maut akan menjemputnya. Tapi
dugaan itu salah.
Satu bulan kemudian. Syamsu telah sembuh dari sakitnya. Dia sedang duduk di
depan warung. Di hadapannya segelas kopi panas mengepul.
'' Hebat sekali doa si Adul itu.'' Bisiknya pada diri sendiri. Dia memijat keningnya
sendiri. Beberapa pengunjung berdatangan satu persatu. televisi dinyalakan,
orang-orang menggelar tikar siap main kartu. Semakin malam semakin ramai.
'' Hahaha, satu bulan saja kedai ini tidak buka, penat benar hidup ini!''
Saat ini, di kampung itu, jika kita lewat ke sana. Kita akan melihat seorang lelaki
memakai peci putih, seperti haji, berpidato entah kepada siapa, di belokan jalan
menuju ke jalan besar dekat terminal. Sesekali dia tertawa melengking,
menangis haru, berpidato lagi. Sampai seorang wanita datang dan mengajaknya
pulang. Orang itu menurut saja, tapi sesekali dia melakukan sujud selama
dituntun oleh wanita itu.
'' Warungku...!'' Kata orang itu, sambil menunjuk sebuah bangunan megah di
dekat bakal terminal. Sebuah café mewah telah berdiri sejak satu bulan terakhir.
'' warungku...!!!'' teriakannya semakin keras. '' warungku..!!!''