Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh:
Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD
3
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Assalaamu’alaikum warrahmatullaahi wabarakaatuh
Judul ini sengaja saya pilih setelah cukup lama saya berkontemplasi,
merefleksi setiap langkah perjalanan hidup saya dalam memahami ilmu,
menelaah, mengaplikasikan, bahkan mendiseminasikannya kepada para
mahasiswa, teman sejawat, dan berbagai kalangan. Ini juga menjadi bagian
panjang dari perjalanan saya menyerap ilmu farmakoepidemiologi, yang
ternyata tidak pernah berujung, menembus batas waktu, jarak, dan ruang
4
yang tak berdinding. Dimensi ilmu yang demikian luas dan tak bertepi membuat
saya merasa semakin jauh dari sempurna. Pengetahuan yang bisa saya serap
ternyata hampir tidak berarti dibandingkan dengan kekayaan ilmu yang ada
di alam semesta ini. Saya menyadari, bahwa semakin banyak saya
memperoleh ilmu, semakin kelihatan kecil dan terbatas kemampuan saya.
Allah maha besar dengan segala karuniaNya.
dan berhasil melahirkan Food, Drug, and Cosmetic Act di Amerika Serikat.
Melalui undang-undang ini maka setiap pengembangan obat baru secara
mutlak harus melalui uji toksisitas pra klinik pada hewan uji.
Subacute myelo-optic neuropathy (SMON) yang mematikan akibat
kliokinol, baru ditemukan sekitar tahun 1970an atau 40 tahun setelah obat
tersebut diproduksi. Masih pada dekade 1970an, dunia juga digemparkan
dengan banyak ditemukannya kejadian adenokarsinoma serviks dan vagina
pada bayi perempuan yang lahir dari ibu yang menggunakan dietilstilbestrol
selama masa kehamilannya. Sekali lagi, ini baru terdeteksi 20 tahun setelah
obat tersebut dipasarkan dan merenggut ratusan nyawa tak berdosa.
kejang, dan stroke pada ibu yang menkonsumsi bromokriptin pasca persalinan.
Fluoxetine, salah satu obat unggulan di bidang psikiatri, ternyata memberi
efek dorongan bunuh diri pada penggunanya. Dexfenfluramin, suatu
antiobesitas, sempat menjawab kegalauan sebagian besar penduduk dunia
yang mengalami masalah dengan pola makan yang tak tertahankan. Sayangnya,
obat ini ternyata menyebabkan terjadinya lesi katup jantung (Conolly et al.,
1997). Obat-obat tersebut di atas selanjutnya ditarik dari peredaran di berbagai
belahan dunia, meskipun di beberapa negara lainnya tetap saja dipasarkan
seperti layaknya tidak pernah terjadi apapun sebelumnya.
Zelnorm (berisi tegaserod), diklaim sangat mujarab untuk mengatasi
irritable bowel syndrome dan disetujui FDA pada bulan Juli 2002. Bahkan
di tahun 2004 obat ini juga mendapat ijin untuk mengatasi konstipasi kronik.
Hanya dalam tempo tidak lebih dari 3 tahun dilaporkan bahwa penggunaan
tegaserod berkaitan dengan kelainan kardiovaskular yang serius. Delapan
bulan yang lalu, tepatnya 30 Maret 2007, tegaserod dihentikan peredarannya
oleh FDA, meskipun secara fantastik telah menembus pasar di 55 negara di
dunia (US-FDA, 2007).
Cisaprid, suatu obat gastrointestinal, terpaksa dihentikan peredarannya
di seluruh Amerika Serikat (Smalley et al., 2000), Eropa (Ferriman, 2000),
dan Canada (Anonymous, 2001) karena menyebabkan terjadinya aritmia
jantung dan telah merenggut lebih dari 386 nyawa pengguna obat ini di seluruh
dunia. Sayangnya, obat ini tetap boleh diresepkan di Indonesia untuk ketentuan
khusus. Suatu bukti bahwa masih ada para dokter yang merasa kehilangan
kepercayaan diri manakala suatu obat harus dihentikan peredarannya. Padahal
mereka mengetahui bahwa risiko yang diakibatkan oleh cisaprid jauh melebihi
manfaatnya.
Perilaku semacam ini ternyata banyak ditemui di kalangan dokter, yang
secara mudah meresepkan obat-obat baru tanpa terlebih dahulu memahami
sifat obat secara rinci apalagi mempelajari hasil-hasil uji klinik yang menyertainya
dari waktu ke waktu. Jangankan mengetahui farmakologi obat dan profil
farmakokinetikanya, isi kandungan obatpun banyak yang tidak mengetahui.
Nama dagang ternyata lebih enak untuk dilafal, sedangkan isi obat biarlah
para farmakolog yang menghapal. Demikian mungkin yang terjadi.
9
hubungan antara dosis dan respons, dan dosis yang masih dapat ditoleransi,
Uji farmakokinetika juga dilakukan untuk mengetahui nasib obat di dalam
tubuh setelah pemberiannya. Pada uji ini dapat diketahui kapan suatu obat
diabsorpsi, didistribusikan ke seluruh tubuh, dimetabolisme, dan diekskresikan.
Oleh sebab itu parameter kinetikpun digunakan seperti kadar puncak (Cmax),
waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak (tmax), waktu paruh
(t1/2), tetapan kecepatan eliminasi (Kel), area di bawah kurva (area under
the curve/AUC) dan metabolit aktif yang dapat ditemukan dalam darah. Waktu
paruh, misalnya, sangat penting diketahui antara lain untuk menetapkan frekuensi
pemberian obat dalam sehari.
Tahap selanjutnya adalah uji klinik fase II, dilakukan pada penderita
dengan diagnosis yang sesuai untuk indikasi obat, tetapi dengan jumlah subyek
yang terbatas. Tujuan utamanya adalah mengetahui hubungan dosis dan efek
obat pada penderita/pasien. Jika hasil uji klinik fase I dan II secara meyakinkan
memberi petunjuk tentang khasiat obat, maka tahap berikutnya adalah
melakukan uji klinik fase III atau uji klinik acak terkendali (RCT). Tahap ini
menjadi bagian paling utama dari pengembangan obat karena pengujian
dilakukan secara cermat pada penderita, dengan skala yang lebih besar.
Berbagai variabel yang berpengaruh terhadap outcome dikendalikan secara
seksama, dan menggunakan parameter-parameter yang obyektif. Tujuannya
adalah untuk membuktikan bahwa jika terjadi perbaikan pada penderita, hal
ini benar-benar disebabkan oleh obat uji, bukan variabel-variabel yang lain.
Setelah mendapat persetujuan (approval) dan obat diperbolehkan
beredar di pasaran, industri farmasi sebenarnya masih memiliki kewajiban
untuk melakukan uji klinik fase IV atau Post Marketing Surveillance (PMS).
Farmakoepidemiologi menyoroti PMS ini secara khusus, karena merupakan
mekanisme penapisan terakhir untuk menjamin keamanan obat pada populasi.
Ini mengingat pada uji klinik fase III (RCT) data tentang jenis dan angka
kejadian efek samping hanya diperoleh dari subyek yang memenuhi kriteria
inklusi saja, sehingga belum mewakili gambaran efek samping pada populasi
yang sebenarnya. Peran PMS ini sangatlah besar karena efek samping yang
serius umumnya baru terdeteksi pada fase ini. Penarikan obat dari pasaran
umumnya didasarkan pada hasil uji klinik fase IV ini.
12
obat yang mengandung PPA. Kepanikan hanya terjadi sesaat, dan PPA pun
tetap digelontor di pasaran melalui obat-obat flu dalam dosis yang lebih kecil.
Dan risiko stroke pun diserahkan sepenuhnya pada pengguna obat flu yang
mengandung PPA.
Hal lain yang lebih mengejutkan di awal tahun 2007 ini adalah bahwa
sebagian besar obat bebas (over the counter) yang ada di pasaran ternyata
tidak memiliki bukti manfaat dan keamanan yang dapat diandalkan, khususnya
untuk anak di bawah usia 12 tahun. Sebagian besar uji klinik menunjukkan
bahwa efek obat batuk dan pilek (antara lain berisi ekspektoran, antihistamin,
dan dekongestan) tidak lebih baik dibanding plasebo jika diberikan pada
anak (Sharfstein, et al., 2007).
Sementara di Amerika Serikat sendiri sejak Januari 2000 dilaporkan lebih
dari 750.000 pengaduan berkaitan dengan penggunaan obat batuk dan flu
pada anak. Dalam kurun waktu 2004-2005 saja ada lebih dari 1500 kasus
kunjungan ke unit gawat darurat yang berkaitan dengan penggunaan obat
batuk dan flu pada anak (Anonymous, 2005). Salah satu di antaranya adalah
terjadinya aritmia jantung akibat dekongestan, halusinasi akibat antihistamin,
serta penurunan kesadaran dan ensefalopati akibat penggunaan antitusif. US-
FDA pun mencatat lebih dari 123 kematian pada anak di bawah usia 6 tahun
yang berkaitan dengan penggunaan obat batuk dan flu, yaitu akibat dosis
yang berlebihan, cara dan frekuensi penggunaan yang keliru, atau terjadi
interaksi antar obat yang diminum (FDA, 2007).
Hal ini dapat terjadi mengingat hingga tahun 2000 penggunaan obat pada
anak umumnya hanya didasarkan pada data pasien dewasa. Yang dilakukan
selama ini hanyalah menyesuaikan dosis menjadi seperempat hingga separuh
dosis dewasa, bukannya didasarkan pada hasil uji klinik secara khusus pada
pasien anak. Mengantisipasi permasalahan yang semakin besar, US-FDA pada
18 dan 19 Oktober 2007 yang lalu menggagas pertemuan untuk menelaah
penggunaan obat-obat flu pada anak yang diwakili oleh the Pediatric
Committee dan the Nonprescription Drug Advisory Committee. Sepuluh
hari sebelum pertemuan dilaksanakan, beberapa industri farmasi di Amerika
Serikat secara serentak menarik produk-produk obat flu untuk anak di bawah
usia 2 tahun (Joshua, et al., 2007) Hasil pertemuan tersebut kemudian
menyepakati untuk menelaah ulang penggunaan obat flu pada anak, khususnya
15
di bawah usia 2 tahun. Sebagian besar kemudian melabel ulang obat flu yang
mengandung antihistamin, dengan peringatan “tidak digunakan untuk
menidurkan anak”. Satu bukti lagi menghadang dihadapan kita, bahwa
penggunaan obat flu pada anak di bawah 2 tahun selama ini sama sekali tidak
didasarkan pada hasil penelitian yang valid, apalagi menggunakan kaidah uji
klinik yang baku untuk populasi anak.
gejala batuk dan pilek. Pada dewasa, risiko terjadinya efek samping pada
kelompok yang mendapat antibiotika hampir dua kali lebih besar daripada
kelompok yang mendapat plasebo (Kenealy, 2005). Namun demikian bukti
ilmiah inipun tidak menyurutkan para dokter untuk tetap meresepkan
antibiotika.
Ketika obat penghambat COX-2 mulai diperkenalkan di awal tahun 2000,
dunia kedokteran merasa lega karena telah datang obat pahlawan untuk terapi
arthritis rhematoid jangka panjang yang aman. Bagaimana tidak, selama ini
terapi rhematoid arthritis umumnya lebih bertumpu pada penggunaan AINS,
yang risiko efek sampingnya tidak ringan, yaitu perdarahan gastrointestinal.
Rofecoxib (suatu penghambat COX-2), secara meyakinkan menunjukkan
risiko perdarahan gastrointestinal yang lebih rendah dibanding AINS
(Bombardier et al., 2000). Melalui studi meta analisis yang melibatkan lebih
dari 28.000 pasien, rofecoxib juga mampu menepis isu efek samping
kardiovaskuler (Konstam et al., 2001). Namun, praktisi medik sempat gundah
ketika di pertengahan tahun 2002 suatu meta analisis pada lebih dari 200.000
subyek menunjukkan peningkatan risiko penyakit jantung koroner jika
rofecoxib digunakan pada dosis lebih dari 25 mg (Ray et al., 2002). Badai
berikutnya pun menerpa lebih dahsyat ketika di awal tahun 2004 studi yang
melibatkan lebih dari 39.000 subyek secara meyakinkan menemukan bahwa
risiko kardiovaskuler pada pengguna rofecoxib hampir 2 kali lebih besar
daripada AINS (Juni et al., 2004). Rofecoxib pun tumbang. Tepat tanggal
30 September 2004, obat ini ditarik dari peredaran di seluruh dunia oleh
produsennya. Sekali lagi, bukti ilmiah sehebat apapun, ia tidak pernah kekal,
suatu saat pasti rapuh dan akhirnya mati ditelan jaman.
internet, namun kendala biaya, bahasa, perangkat komputer dan fasilitas akses
internet tampaknya belum akan teratasi hingga 10-15 tahun ke depan. Tenaga
profesional kesehatan yang tinggal di daerah terpencilpun akan semakin
terisolasi dari kebaharuan bukti ilmiah dan ini akan semakin menjauhkan
mereka dari konsep-konsep farmakoterapi berbasis bukti yang mutakhir.
Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai
peluang untuk secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi tentang
produk obat mereka. Informasi ini umumnya unbalanced, cenderung
misleading atau dilebih-lebihkan, dan lebih berpihak pada kepentingan
komersial. Penggunaan informasi seperti ini jika ditelan begitu saja akan sangat
berisiko dalam proses terapi (Mulrow & Oxman, 1997).
Keterbatasan informasi inilah yang dalam perkembangan penggunaan obat
sering menjadikan off-label use of drug sangat marak dalam praktek sehari-
hari. Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yang
direkomendasikan. Obat yang sering digunakan secara off label antara lain
adalah antihistamin, antikonvulsan, antibiotika, serta obat batuk dan flu.
Berbagai obat kardiovaskuler pun tergolong sangat sering digunakan secara
off label, antara lain adalah antiangina, antiaritmia, dan antikoagulan.
Gabapentin yang hanya diindikasikan untuk adjunctive therapy pada partial
seizures dan untuk postherpetic neuralgia ternyata telah digunakan secara
off label untuk kondisi lainnya, termasuk di antaranya monoterapi pada
epilepsi, restless leg syndrome, bipolar disorder, migrain, dan kejang karena
gejala putus alkohol (Radley et al., 2006).
Penggunaan obat di luar dosis yang direkomendasikan, termasuk pula
dalam kategori ini. Praktek-praktek kefarmasian di apotek juga terlalu banyak
yang tergolong dalam off label use. Menggerus tablet untuk dijadikan puyer,
kapsul, bahkan sirup untuk sediaan anak, atau menggerus tablet atau kaplet
untuk dijadikan salep dan krim adalah bentuk off label use yang sangat umum
ditemukan, terjadi secara turun menurun, berlangsung puluhan tahun, tanpa
ada yang sanggup menghentikannya. Melestarikan penyimpangan, menikmati
kekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan, tampaknya sudah menjadi bagian
dari hedonisme peresepan. Yang satu mengajarkan dan yang lain mengamini
sambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasikan informasi
yang tidak berbasis bukti. Menulis resep seolah telah menjadi prosesi ritual,
19
yang tampaknya tidak bisa (tidak perlu) dikoreksi. Tulisan yang sulit dibaca
seolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan. Padahal bahaya mengintai
di mana-mana. Resep yang sulit dibaca akan membuat pembacanya (asisten
apoteker dan apoteker) mencoba menduga, menebak, dan akhirnya
memaksakan diri untuk menerjemahkannya dalam bahasa sendiri yang dapat
berdampak fatal jika keliru. Terlalu banyak nama dagang obat yang mirip
satu sama lain, tetapi isinya sama sekali berbeda. Losec® yang berisi
omeprazole (untuk gangguan lambung) sering keliru dibaca sebagai Lasix®
yang berisi furosemida (diuretika). Feldene® yang merupakan suatu AINS
sering keliru terbaca sebagai Seldane® yang berisi terfenadine (suatu
antihistamin). Sotatic® yang berisi metoclopramide (obat antimuntah) telah
sering keliru dibaca menjadi Cytotec® (berisi misoprostol), yang dapat
menyebabkan terjadinya aborsi jika diberikan pada ibu hamil.
Kebiasaan keliru menuliskan aturan resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1)
seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti menjadi diminum tiap 8 jam.
Demikian juga untuk obat yang diberikan 2 kali sehari, seharusnya ditulis
diminum tiap 12 jam dan seterusnya. Menulis resep dalam bentuk campuran
(beberapa jenis obat digerus dijadikan satu sediaan puyer atau bahkan sirup)
perlu segera dikoreksi, karena termasuk off label use. Jika praktek-praktek
primitif semacam ini tetap saja dipertahankan maka keselamatan pasien
(patient safety) tentu akan menjadi taruhannya.
spesifik dan adekuat harus menjadi komitmen semua dokter. Para dokter
dan tenaga profesional kesehatan juga harus secara konsisten menerapkan
konsep-konsep patient safety, yang mengisyaratkan setiap tindakan medik
dan terapetik selain efikasius juga harus aman. Jika karena keterbatasan yang
ada membuat seorang dokter tidak yakin akan hasil terapi yang diberikan,
paling tidak ia harus yakin bahwa terapi yang diberikan tidak akan mencederai
atau mencelakakan pasien. “Primum non nocere; First, do no harm”.
dan terima kasih atas setiap dorongan, nasehat, dan masukan yang sangat
berharga bagi perjalanan hidup saya.
Ucapan terima kasih juga secara khusus ingin saya sampaikan kepada
dr. Sri Endarini, MPH, Direktur Utama RSUP Dr. Sardjito yang telah banyak
memberikan keteladanan kepada saya tentang bagaimana membangun
kepemimpinansebuahrumahsakityangdemikianbesardankomplekssecara
arif. Terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap Direktur RSUP Dr.
Sardjito beserta jajarannya atas kepercayaan yang diberikan kepada saya
selamaini.
Kepada dr. Widyastuti Suroyo, MPH, Dr. Philip Stokoe, PhD, Dirjen
POM, Departemen Kesehatan RI, Badan POM, PMPK FK UGM khususnya
kepada Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, Dinas Kesehatan Propinsi
dan Kabupaten/Kotamadya, World Bank, Asia Development Bank, dan
USAID, saya mengucapkan terima kasih.
SuhuA. Suharyanto selama lebih dari 15 tahun telah mengajarkan kepada
saya sikap-sikap keteladanan seorang ksatria Shao Lin yang berjiwa teguh,
tangguh, dan berkarakter tetapi bersikap welas asih. Beliau beserta Subo
Emy selalu menjadi pelita bagi perjalanan hidup saya selama ini. Kepada dr.
Johan Kurnianda SpPD, HONK saya ucapkan terima kasih yang tak
terhingga. Semua jasa dan kebaikan beliau akan selalu saya ingat dalam hati
sanubari saya.
Ucapan terima kasih secara khusus juga ingin saya sampaikan kepada
ibu Nani dan Bapak Dr (Hon) Sutiyoso, Ibu dan Bapak H. Fauzi Bowo,
GubernurDKIyangtelahbanyakmembantudanmemberiharapanbarudalam
hidup saya. Demikian juga kepada segenap staf YKI Wilayah DKI Jakarta,
Ibu Suharto, dr. Ulfana, dr. Yati dan Ibu Neneng..
Kepada kepala Bagian Farmakologi FK UGM Dr. Mustofa Apt, MKes,
beserta segenap staf, Prof. dr. Ngatidjan MSc, SpFK, Dr. Med. dr.
Widharto, SpFK, dr. Budhiarto (alm), Dr. Med. dr. IndwianiAstuti, dr. Setyo
Purwono, SpPD, Dra. Erna Kristin, MSi, Dra. Yuliastuti, MKes, Dra. Maulina
Dyah, MKes, dr. Eti Nurwening, MKes, dr. Jarir Atthobari, PhD, dr. Woro
Rukmi, MKes, dan dr. Dwi Aris Agung, saya ucapkan terima kasih yang
tiadaterkiraataskepercayaandanketulusanuntukmengusulkansayamenjadi
Guru Besar di bidang Farmakologi. Ucapan terima kasih juga saya haturkan
23
kepada Prof dr. Iwan Darmansyah SpFK(K) dan Prof. Dr. dr. Herry
Sastramiharja SpFK(K).
Kepada almarhum eyang Kismosedewo, terima kasih yang tulus atas
setiap pelajaran hidup yang telah Eyang berikan kepada saya. “Jadilah dokter
yangbaik,tetapijanganlahmencarikekayaandarimenolongorangyangsakit”,
pesan Eyang ini senantiasa saya ingat.
Tiada ungkapan yang lebih baik dan layak yang bisa saya haturkan kepada
almarhum ayah saya R. Oetomo Moestidjo yang banyak memberikan makna
dan keteladanan dalam hidup saya. Terima kasih ayah, semoga Allah SWT
menempatkanmu secara layak di sisiNya. Ibunda Sri Hartati, seorang ibu
sejati yang senantiasa menjadi ibu sekaligus teman, bak dian yang tak kunjung
padam di sanubari saya. Terima kasih ibu, doamu siang dan malam, puasa
dan laku prihatinmu telah mewujudkan sesuatu yang tidak pernah saya impikan
sebelumnya, menjadi Guru Besar di Universitas yang sangat terhormat ini.
Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada Keluarga Besar
Kismosedewo, yang selalu saya banggakan. Almarhum Om dan tante Wibowo
adalah figur seorang pemimpin dermawan dan berbudi luhur yang telah banyak
memberi suri tauladan bagi saya saat saya mempersiapkan diri melanjutkan
program S2.
Kepada saudara-saudara saya, Mbak Ida dan mas Hari, mas Bambang
dan mbak Ade, mbak Ratna dan mas Dadik, mbak Ita dan mas Untung, Yanti
dan Agung beserta semua keponakan yang sangat saya cintai, terima kasih
atas semua dorongannya selama ini. Kepada bapak Mertua Prof M. Ramlan
beserta almarhumah ibu Harni, saya mengucapkan terima kasih atas semua
bimbingannya selama ini. Demikian pula kepada kakak ipar saya mas Adi
dan mbak Rini, mas Wiwik dan mbak Titi, serta putra-putrinya.
Penghargaan dan ungkapan terima kasih setinggi-tingginya juga saya
sampaikan kepada istri saya tercinta dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD yang
dengan segala pengertian, perhatian, kesetiaan, pengorbanan, kerelaan, dan
ketulusikhlasan telah memberikan dorongan serta mendampingi saya siang
dan malam, dalam suka dan duka selama lebih dari 18 tahun. Kepada anak
semata wayang saya, Putri Karina Larasati, terima kasih atas segala kesabaran,
pengorbanan, pengertian dan kehangatan yang selalu engkau berikan. Petuah
seorang anak yang tak terduga sering menyadarkan saya betapa sering hari-
24
hari ceriamu tidak terdampingi oleh bapak yang selalu sibuk. Semoga engkau
menjadi putri yang solehah, bermartabat, rendah hati, berjiwa sosial, dan
berbudi luhur, serta bermanfaat bagi keluarga, agama, dan masyarakat.
Meskipun ingin rasanya saya menyampaikan ucapan terima kasih dengan
menyebut satu per satu orang ataupun lembaga, namun hanya ruang dan
waktulah yang membatasi saya. Pada kesempatan yang amat berbahagia ini
saya berdoa semoga buah amalan kebaikan bapak, ibu, dan saudara sekalian
kepada saya dilipatgandakan oleh Allah SWT. Akhir kata, teriring ungkapan
mohon maaf apabila ada banyak hal yang mungkin kurang berkenan atas
pidato pengukuhan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adams Jr., H.P., Brott, T.G., Crowell, R.M., Furlan, A.J., Gomez, C.R., Grotta,
J. et al., 1994. Guidelines for the management of patients with acute
ischemic stroke. A statement for healthcare professionals from a special
writing group of the Stroke Council, American Heart Association.
Circulation 90: 1588–1601.
AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality), 2003. Effect of
supplemental use of antioxidants vitamin C, vitamin E, and coenzyme Q10
for the prevention and treatment of cancer. Evidence Report/Technology
Assessment no. 75. AHRQ Publication no. AHRQ 03-E047.
Anderson, G.L., Judd, H.L., Kaunitz, A.M., et al., 2003. Effects of estrogen
plus progestin on gynaecologic cancers and associated diagnostic
procedures: the Women’s Health Initiative randomized trial. JAMA 290:
1739–1748.
Anonymous, 2001. Lessons from cisapride (Editorial). CMAJ 164(9): 1269.
Anonymous, 2007. Infant deaths associated with cough and cold medications-
two states, 2005. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 56: 1-4.
Antes, G. 1998. Evidence-based medicine. Internist 39: 899–908.
Austin, P.C., Mamdani, M.M., Tu, K., Jaakkimainen, L., 2003. Prescriptions
for estrogen replacement therapy in Ontario before and after publication
of the Women’s Health Initiative Study. JAMA 289: 3241–3242.
25
Bjelakovic, G., Nikolova, D., Gluud, et al. 2007. Mortality in randomized trials
of antioxidant supplements for primary and secondary prevention.
Systematic review and meta analysis. JAMA 297: 842-857.
Bombardier, C., Laine, L., Reicin, A., et al., 2000. Comparison of upper
gastrointestinal toxicity of rofecoxib and naproxen in patients with
rheumatoid arthritis. N.Engl.J.Med 343: 1520-1528.
Clark, T.E., Edom, N., Larson, J., 2001. Thalomid® capsules: A review of the
first 18 months of spontaneous postmarketing adverse event surveillance,
including off-label prescribing. Drug Safety 24: 87–117.
Conolly, H.M, Crary, J.L., McGoon, M.D., 1997. Valvular heart disease
associated with fenfluramine-phentermine. N.Engl.J.Med. 337: 581-588.
Culpepper, L, Gilbert, T.T., 1999. Evidence and primary care: Evidence and
ethics. Lancet 353: 829-831.
D’Amato, R.J., Loughnan, M.S., Flynn, E., Folkman, J., 1994 Thalidomide is
an inhibitor of angiogenesis. Proc Natl Acad Sci USA 91: 4082–4085.
Dwiprahasto, I. dan Kristin, E., 2003. Improving the use of antibiotics in primary
health centres through a problem-based learning pharmacotherapy training
approach. B.I.Ked. 35(3): 112-120
Dwiprahasto, I., 2004. Ketersediaan obat di kabupaten dan mutu peresepan di
pusat pelayanan kesehatan primer. B.I.Ked. 36(2): 89-96.
Dwiprahasto, I., 2006. Peningkatan mutu penggunaan obat di puskesmas melalui
pelatihan berjenjang pada dokter dan perawat. JMPK 9(2): 94-101.
Facklam, H., Facklam, M., 1992. Healing Drugs: The History of
Pharmacology. Facts on File, Inc., New York.
Ferriman, A., 2000. UK license for cisapride suspended. BMJ 321: 259.
Freed, C.R., Greene, P.E., Breeze, R.E., et al., 2000. Transplantation of
embrionic dopamine neurons for severe Parkinson’s disease. N.Engl.J.
Med. 344: 710–719.
Furlan. A.J., Cavalier, S.J., Hobbs, R.E.., 1982. Hemorrhage and anticoagulation
after nonseptic embolic brain infarction. Neurology 32: 280–282.
Grady, D., Herrington, D., Bittner, V., et al., 2002. Cardiovascular disease
outcomes during 6.8 years of hormone therapy: Heart & Estrogen/progestin
Replacement Study follow-up. JAMA 288: 49–57.
Josefson, D., 2002. Doctors warned to be wary of new drugs. BMJ 324 (7346):
1113.
Juni, P., Nartey, L., Reichenbach, S., Sterchi, R., Dieppe, P.A., Egger, M.,
2004. Risk of cardiovascular events and rofecoxib: cumulative meta-
analysis. Lancet 364(9450): 2021-2029.
26
Straus, S.E., Richardson, W.S., Glasziou, P., Haynes, R.B., 2005. Evidence-
Based Medicine. How to Practice and Teach EBM. 3rd Ed. Elsevier,
Edinburgh.
Strom, B.L. and Kimmel, S.E., 2006. Textbook of Pharmacoepidemiology.
John Wiley & Sons, Chischester.
International Stroke Trial Collaborative Group, 1997. The International Stroke
Trial (IST): a randomised trial of aspirin, subcutaneous heparin, both, or
neither among 19435 patients with acute ischaemic stroke. Lancet 349:
1569-1581.
US-FDA, 2007. FDA Announces Discontinued Marketing of GI Drug,
Zelnorm, for Safety Reasons. http://www. fda.gov/cder/drug/advisory/
tegaserod.htm, Diakses tgl 3 November 07.
Weatherall, M., 1990. In Search of a Cure: A History of Pharmaceutical
Discovery. New York, Oxford University Press.
28
RIWAYAT HIDUP
Pendidikan:
1980 – 1987 Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran UGM
1990 – 1992 MMedSc in Pharmacoepidemiology, Newcastle University,
New South Wales, Australia
1997 - 2001 PhD, London School of Hygiene and Tropical Medicine,
England.
Riwayat Pekerjaan:
1. Wakil Dekan Bidang Akademik & Kemahasiswaan FK UGM (2004-
sekarang)
2. Ketua, Komite Sistem Informasi, Universitas Gadjah Mada (2006-sekarang)
3. Ketua, Pengurus Besar (PB) Ikatan Farmakologi Indonesia (IKAFI) (2006-
sekarang)
4. Ketua, Komite Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta (2004-sekarang)
5. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Perhimpunan Rumah
Sakit Indonesia (PERSI) (2006-sekarang)
6. Director, Clinical Epidemiology & Biostatistics Unit (CE&BU) FK UGM/
RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta (2000-2006)
29
Penghargaan Akademik:
1. Beasiswa International Development Program, Australia
2. Beasiswa University Research for Graduate Education, Centre for Tropical
Medicine
3. Dosen Teladan UGM 1997