Вы находитесь на странице: 1из 10

Etika Bisnis: Lapindo Brantas dan HIT

Tuesday, 27 June 2006 11:43


Beberapa waktu belakangan ini setidaknya ada dua berita yang membuat kita
mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua dunia yang berlainan. Pertama,
melubernya lumpur dan gas panas di Porong, Sidoarjo yang disebabkan oleh eksploitasi gas
PT Lapindo Brantas. Kedua, produsen obat anti nyamuk HIT, PT Megahsari Makmur
ketahuan memakai bahan pestisida yang bisa menyebabkan kanker pada manusia di dalam
produk barunya, walau zat tersebut sudah dilarang penggunaannya sejak tahun 2004 lalu.

Dalam kasus pertama, bencana tersebut telah menyebabkan dampak negatif yang luar biasa
bagi penduduk dan aktivitas perekonomian di daerah sekitarnya. Tercatat ratusan penduduk
sekitar harus mengunjungi rumah sakit, sementara perusahaan tersebut terkesan lebih
memperdulikan penyelamatan atas aset-asetnya dibanding berusaha mengatasi masalah
lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya. Kalau pun pada akhirnya PT Lapindo Brantas
bersedia memberikan ganti rugi, terdapat kesan hal tersebut dilakukan dengan terpaksa setelah
adanya desakan dari berbagai pihak, termasuk wakil presiden M. Jusuf Kalla. Sementara pada
kasus HIT, walau perusahaan tersebut sudah meminta maaf dan mulai menarik produknya dari
pasaran, terdapat kesan permintaan maaf tersebut dilakukan dengan setengah hati.

Sebelum kedua kejadian tersebut, kita pernah mendengar kasus pemakaian formalin pada
makanan dan pembuatan sambal terasi dengan memakai belatung busuk. Karena dalam kasus-
kasus tersebut terlihat jelas bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba,
wajar bila kita berkesimpulan bahwa di dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan
hanyalah bersikap baik dan sopan kepada para pemegang saham.

Mengapa pandangan tersebut bisa tumbuh subur? Apakah memang benar etika dan
kepentingan perusahaan tidak bisa disatukan?

Memang harus diakui kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal
untuk para shareholders-nya. Fokus tersebut membuat perusahaan yang berpikiran jangka
pendek berupaya dengan segala cara melakukan apa saja untuk menaikkan keuntungan.
Tekanan kompetisi karena globalisasi dan konsumen yang semakin rewel sering dijadikan
alasan.

Akan tetapi, beberapa akademisi dan praktisi bisnis belakangan ini melihat adanya hubungan
sinergis antara etika dan kepentingan perusahaan. Menurut pandangan tersebut, justru di era
kompetisi yang ketat ini, etika korporasi mampu menciptakan reputasi baik yang bisa
dijadikan keunggulan bersaing (competitive advantage) yang sulit untuk ditiru oleh para
pesaing.

Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson & Johnson (J&J)
memangani kasus keracunan Tylenol di tahun 1982. Pada kasus tersebut, tujuh orang
dinyatakan mati secara misterius setelah mengkonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah
diselidiki, ternyata Tylenol tersebut mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih
dilakukan untuk mengetahui siapakah pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31
juta botol Tylenol di pasaran dan mengeluarkan pengumuman secara nasional agar para
konsumen berhenti mengkonsumsi produk tersebut sampai ada pengumuman lebih lanjut. J&J
juga bekerjasama dengan pihak kepolisian, FBI dan FDA (BPOM-nya Amerika Serikat) untuk
menyelidiki kasus tersebut. Hasil penyelidikan membuktikan kasus keracunan tersebut
disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida tersebut ke dalam botol-botol Tylenol.

Biaya yang dikeluarkan oleh J&J dalam kasus tersebut lebih dari US$ 100 juta. Namun karena
kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan tersebut berhasil
membangun reputasi bagus yang masih dipercayai sampai saat ini. Begitu kasus tersebut
diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup yang lebih aman dan
produk tersebut segera kembali menjadi pemimpin pasar. Secara jangka panjang, filosofi J&J
yang meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan perusahaan justru berbuah
keuntungan yang lebih besar kepada perusahaan.

Berkaca pada beberapa contoh kasus di atas, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara
pandang lama yang melihat etika dan bisnis berasal dari dua dunia yang berbeda. Penerapan
standar etika yang tinggi di perusahaan sebenarnya mampu memberikan keuntungan dalam
dua hal sekaligus. Selain untuk membangun corporate image dan reputasi yang bagus,
perusahaan juga bisa memandang penerapan standar etika yang tinggi sebagai bagian dari risk
management untuk mengurangi resiko jangka panjang perusahaan.

Doug Lennick dan Fred Kiel (2005) dan buku mereka Moral Intelligence, menyimpulkan
bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan
moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Tentu saja yang penting untuk
diperhatikan di sini adalah penekanan terhadap kata jangka panjang. Para pemilik modal dan
manajer perusahaan yang berpikiran pendek tentu sulit menerima logika ini karena beretika
dalam bisnis jarang memberikan keuntungan segera. Karena itu, sistem organisasi terutama
sistem insentif harus mempertimbangkan pencapaian prestasi jangka panjang dan penerapan
nilai-nilai etika sebagai salah satu faktor penilaian dan promosi. Sistem audit dan kontrol juga
harus diperketat untuk mendeteksi secepat mungkin penyimpangan yang terjadi dan
menghukum para pelanggar etika tanpa memandang bulu. Kepemimpinan yang menjunjung
tinggi etika dan memberi teladan jelas sangat dibutuhkan juga. Tanpa hal-hal seperti itu, etika
dalam perusahaan hanyalah omong kosong.

Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, pasar modal, badan-badan pengawasan,


LSM, media, dan konsumen yang kritis sangat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan
standar etika bisnis di Indonesia. Sangat disesalkan, misalnya, kasus penggunaan bahan
berbahaya pada obat anti-nyamuk HIT hanya mendapatkan porsi berita ala kadarnya dan
seolah-olah berhenti begitu saja.
Kasus Etika Bisnis Perusahaan

Kasus manipulasi laporan keuangan

Manipulasi laporan keuangan PT KAI

Dalam kasus tersebut, terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan


keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor
dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode
etik profesi akuntansi.

Skandal Enron, Worldcom dan perusahaan-perusahaan besar di AS

Worldcom terlibat rekayasa laporan keuangan milyaran dollar AS. Dalam


pembukuannya Worldcom mengumumkan laba sebesar USD 3,8 milyar antara
Januari 2001 dan Maret 2002. Hal itu bisa terjadi karena rekayasa akuntansi.

Penipuan ini telah menenggelamkan kepercayaan investor terhadap korporasi AS


dan menyebabkan harga saham dunia menurun serentak di akhir Juni 2002. Dalam
perkembangannya, Scott Sullifan (CFO) dituduh telah melakukan tindakan kriminal
di bidang keuangan dengan kemungkinan hukuman 10 tahun penjara. Pada saat itu,
para investor memilih untuk menghentikan atau mengurangi aktivitasnya di bursa
saham.

Kasus Product Recall

Kasus Tylenol Johnson & Johnson

Kasus penarikan Tylenol oleh Johnson & Johnson dapat dilihat sebagai bagian dari
etika perusahaan yang menjunjung tinggi keselamatan konsumen di atas segalanga,
termasuk keuntungan perusahaan. Johnson & Johnson segera mengambil tindakan
intuk mengatasi masalahnya. Dengan bertindak cepat dan melindungi kepentingan
konsumennya, berarti perusahaan telah menjaga trust- nya.

Kasus obat anti nyamuk Hit

Pada kasus Hit, meskipun perusahaan telah meminta maaf dan berjanji untuk
menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang
kandungannya bisa menyebabkan kanker tersebut terkesan tidak sungguh-sungguh
dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.

Kasus Baterai laptop Dell


Dell akhirnya memutuskan untuk menarik dan mengganti baterai laptop yang
bermasalah dengan biaya USD 4,1 juta. Adanya video clip yang menggambarkan
bagaimana sebuah note book Dell meledak yang telah beredar di internet membuat
perusahaan harus bergerak cepat mengatasi masalah tersebut.

Dari ketiga kasus di atas, Hit merupakan contoh yang kurang baik dalam menangani
masalahnya. Paradigma yang benar yaitu seharusnya perusahaan memperhatikan
adanya hubungan sinergi antara etika dan laba. Di era kompetisi yang ketat ini,
reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang harus dipertahankan.
Dalam jangka panjang, apabila perusahaan meletakkan keselamatan konsumen di
atas kepentingan perusahaan maka akan berbuah keuntungan yang lebih besar bagi
perusahaan.

Dugaan penggelapan pajak

IM3 diduga melakukan penggelapan pajak

dengan cara memanipulasi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai


( SPT Masa PPN) ke kantor pajak untuk tahun buku Desember 2001 dan Desember
2002. Jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, dapat direstitusi atau
ditarik kembali. Karena itu, IM3 melakukan restitusi sebesar Rp 65,7 miliar.

750 penanam modal asing (PMA) terindikasi tidak membayar pajak dengan cara
melaporkan rugi selama lima tahun terakhir secara berturut-turut. Dalam kasus ini
terungkap bahwa pihak manajemen berkonspirasi dengan para pejabat tinggi negara
dan otoritas terkait dalam melakukan penipuan akuntansi.

Manajemen juga melakukan konspirasi dengan auditor dari kantor akuntan publik
dalam melakukan manipulasi laba yang menguntungkan dirinya dan korporasi,
sehingga merugikan banyak pihak dan pemerintah. Kemungkinan telah terjadi
mekanisme penyuapan (bribery) dalam kasus tersebut.

Pihak pemerintah dan DPR perlu segera membentuk tim auditor independen yang
kompeten dan kredibel untuk melakukan audit investigatif atau audit forensik untuk
membedah laporan keuangan dari 750 PMA yang tidak membayar pajak. Korporasi
multinasional yang secara sengaja terbukti tidak memenuhi kewajiban ekonomi,
hukum, dan sosialnya bisa dicabut izin operasinya dan dilarang beroperasi di negara
berkembang.

Etika terhadap komunitas masyarakat


Tindakan Kejahatan Korporasi PT. Lapindo Brantas (Terhadap Masyarakat dan
Lingkungan Hidup di Sidoarjo, Jawa Timur)

Telah satu bulan lebih sejak terjadinya kebocoran gas di areal eksplorasi gas PT.
Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo. Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah,
membumbung tinggi sekitar 10 meter.

Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan
warga. tak kurang 10 pabrik harus tutup, 90 hektar sawah dan pemukiman
penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, demikian juga dengan tambak-
tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena
semua tergenang lumpur panas.

Perusahaan terkesan lebih mengutamakan penyelamatan asset-asetnya daripada


mengatasi soal lingkungan dan social yang ditimbulkan. Namun Lapindo Brantas
akhirnya sepakat untuk membayarkan tuntutan ganti rugi kepada warga korban
banjir Lumpur Porong, Sidoarjo. Lapindo akan membayar Rp2,5 juta per meter
persegi untuk tanah pekarangan beserta bangunan rumah, dan Rp120.000 per meter
persegi untuk sawah yang terendam lumpur.

Etika terhadap buruh dan pekerja

BenQ, Kasus Pailit Dalam Ekonomi Global

Merjer bisnis telepon genggam perusahaan BenQ dan Siemens menjadi BenQ-
Mobile awalnya bagai angin harapan, terutama bagi para pekerja pabrik di Jerman.
Namun karena penjualan tidak menunjang dan banyak produk yang dipulangkan
oleh pembelinya karena bermasalah, akibatnya dua pabrik BenQ, di Meksiko dan
Taiwan, terpaksa ditutup. Karena itu BenQ melakukan restrukturisasi dan mem-
PHK sejumlah pekerja.Hal ini sangat merugikan pihak buruh dan karyawan. Para
pekerja merasa hanya dijadikan bahan mainan perusahaan yang tidak serius.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas kita tahu bahwa petilaku etis dan kepercayaan (trust) dapat
mempengaruhi operasi perusahaan. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu:

1. Berkaca dari beberapa contoh kasus di atas, kita dapat melihat etika dan bisnis
sebagai dua hal yang berbeda. Memang, beretika dalam berbisnis tidak akan
memberikan keuntungan dengan segera, karena itu para pelaku bisnis harus belajar
untuk melihat prospek jangka panjang.

2. Keunci utama kesuksesan bisnis adalah reputasinya sebagai pengusaha yang


memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.

3. Kemajuan teknologi informasi khususnya internet telah menambah kompleksitas


kegiatan “public relation” dan “crisis management” perusahaan.

4. Product recall dapat dilihat sebagai bagian dari etika perusahaan yang
menjunjung tinggi keselamatan konsumen. Dalam jangka panjang, etika semacam
itu justru akan menguntungkan perusahaan.

5. Perilaku tidak etis khususnya yang berkaitan dengan skandal keuangan berimbas
pada menurunnya aktivitas dan kepercayaan investor terhadap bursa saham dunia
yang mengakibatkan jatuhnya harga-harga saham.

6. Sanksi hukuman di Indonesia masih lemah jika dibandingkan dengan sanksi


hukuman di AS. Di Amerika, pelaku tindakan criminal di bidang keuangan dikenai
sanksi hukuman 10 tahun penjara sedangkan di Indonesia hanya diberi sanksi
teguran atau pencabutan izin praktek.
Lumpur Lapindo, Bencana Alam atau Kesalahan Manusia?
Diterbitkan Agustus 3, 2009 Artikel Dosen Ditutup
Tag:lumpur Lapindo, Rudiansyah

Oleh Rudiansyah

Bermula dari keikutsertaan penulis dalam mengikuti international seminar on environmental


law development and reform of asian countries, Canada, Australia; comparative perspective,
Malang 25-27 February 2008 yang diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta. Setiap
peserta dari beberapa negara misi yang bersamaan yaitu “ Selamatkan Lingkungan “ and “ I
Save the Word “ …

Diantara acara pembahasan dan diskusi tentang lingkungan dari aspek hukum dari beberapa
negara yang hadir, kami mengadakan kunjungan langsung ke lokasi Lapindo Brantas Inc di
Kecamatan Porong,Sidoarjo. Semua peserta langsung menyaksikan kedahsyatan luapan
lumpur, mereka terpaku bercampur haru, seperti tak percaya dengan fakta di depan mata.
Bahkan diantara peserta seakan sejenak bertanya dalam hati inikah Lumpur Asli Produksi
Indonesia plesetannya Lapindo.

Dari peristiwa yang ada di depan mata, kami memiliki sebuah buku yang memiliki nilai
sejarah yang cukup tinggi karena dari buku itu terdapat banyak informasi tentang Lapindo
dengan segala sesuatu tentang lumpur dan desa serta manusia juga tak lupa harta benda. Buku
berjudul Bernapas Dalam Lumpur. Penulisnya adalah Muhammad Mirdasyi seorang pakar
dan pejuang lumpur, diberi gelar pakar karena ia selalu menjadi nara sumber utama setiap
forum (seminar dan sejenisnya) yang bertemakan Lumpur Lapindo. Didaulat sebagai
pejuang, karena ia tak pernah letih memperjuangkan aspirasi warga menuntut perlakuan yang
layak dan manusiawi sebagai korban Lumpur Lapindo. Berjuang selaku Sekretaris Pansus
Lumpur Lapindo Jatim, sekaligus sebagai Pribadi, ternyata dahsyatnya luberan semburan
panas Lumpur Lapindo yang tak pandang bulu, rupanya telah menenggelamkan rumah
Mirdasyi sendiri, tepatnya di Peruntas I Blok G-5/4 Porong. Dari sebuah tulisan buku tersebut
mengemukakan tentang “ Sidoarjo 30 tahun lagi “ 30 tahun lagi ? bila benar prahara ini 30
tahun lagi, sungguh suatu yang tidak bisa kita bayangkan dampaknya.

Jangankan 30 tahun baru setahun saja prahara itu sudah Mampu membariskan sebuah deret
ukur penderitaan yang luar biasa menggenaskan; tenggelamnya 10.426 rumah, 33 Sekolah, 4
perkantoran pemerintah, 23 pabrik, 65 tempat ibadah, 3 pondok pesantern, dan sekitar 680
hektar sawah serta 7000 areal tambak terancam, hektar 2 ribuan warga kehilangan pekerjaan
dan 15 ribuan jiwa menuai ketidakpastian di bantaran pengunggsian.

Mengikuti gagasan Dudley Seers (1969), bahwa sesungguhnya tujuan pokok pembangunan
adalah demi mengakomodasi kepentingan martabat manusia dan kesejahteraan masyarakat.
Tidak dibenarkan sebuah aktivitas yang dikerjakan oleh tertentu meneggelamkan kelompok
lain. Pembangunan sejatinya telah dinilai gagal ketika ketimpangan, penganguran, dan
kemiskinan masih akrab dalam proses pembangunan itu sendiri.
Dalam kasus Lapindo, yang oleh banyak pengamat disebutkan sebagai peristiwa alam,
ternyata apa yang terjadi. Pada kasus tersebut bukanlah peristiwa yang singgah tanpa sebab
yang mendahuluinya. Kita mungkin bisa menyebut perisiwa itu sebagai bencana alam. Akan
tetapi, lebih dari itu Itu adalah dampak dari proses eksploitasi yang berlebihan.

Kasus tersebut kiranya cukup membuktikan tentang hilangnya sebuah etika pembangunan
karena pembangunanyang terlalu hiperpragmatis, sebuah pembangunan yang hanya
berprinsip bahwa pembangunan hanya untuk mengejar keuntungan atau sekedar bisnis
semata.

Pertanyaan yang menyeruak kemudian, adalah lantas dimana peran negara? Dalam konteks
ini, negara harus mampu menjalankan fungsinya dalam melindung kepentingan rakyat
sebagai cermin komitmen sosialnya yang pada kenyataannya kini banyak tersisih. Pada titik
ini, secara minimal peran negra adalah membatasi pengaruh ekspansi korporasi besar yang
merugikan kepentingan publik dengan memproduksi kebijakan dan regulasi yang bisa
mengurung keserakahan modal.

Upaya kuratif ini, penulis yakini merupakan misi etis negara untuk melayani kaumnya yang
sering takluk karena dipaksa bertarung dengan kekuatan modal. Dengan memanifestasikan
nilai etis yang inheren dalam setiap proses pembangunan, secara tidak langsung itu
merupakan tindakan protektif dari negara untuk menjaga agar rakyat tidak tersisih dari
program pembangunan.

Drama getir beserta aplikasi mengerikan dari beberapa proyek pembangunan oleh korporasi
besar (konglomerat), seperti dalam kasus Lapindo. Pada kasus itu tampaknya cukup
menunjukkan tentang lenyapnya landasan etis dan poros kesejahteraan sosial dari ranah
kebijakan publik pada proses pembangunan. Dari hal tersebut, ada dua hal yang penulis
yakini penting dan mendesak untuk diinjeksikan dalam setiap proses pemba ngunan untuk
mencapai cita-cita kesejahteraan sosial.

Pertama mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yg memberi nisbah secara


proposional bagi seluruh rakyat. Dalam pengertian ini, setiap strategi dan kebijakan
pembangunan harus mencerminkan pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga setiap hasil yang
diperoleh benar-benar jatuh dan dinikmati kepada sebagian besar masyarakat yang hanya
dibuka untuk memfasilitasi sebagian pelaku ekonomi misalnya, dengan sendirinya harus
minggir.

Modal dengan segenap pirantinya tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa koridor aturan main
yang mengawalnya. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menimbulkan kerusakan yang tak
terperikan. Apa yang terjadi pada kasus semburan lumpur Lapindo tampaknya merupakan
pelajaran yng sangat berharga.

Kedua. Pembangunan harus memberi penekanan terhadap penciptaan fasilitas ruang publik
yang ditujukan bagi sebagian besar rakyat yang terpuruk dalam proses pembangunan.
Langkah ini ditempuh dengan asumsi bahwa setiap proses pembangunan betapa pun baiknya
pasti selalu menyisakan sebagian besar rakyat dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Dengan langkah diatas, diharapkan wajah pembangunan di Indonesia, yang sering kali masih
mengantarkan ketimpangan sosial dalam dosis yang cukup tinggi, bisa diminimaliasi. Dalam
tataran yang lebih tinggi, detak filsafat politik keadialan sosial sebagai tujuan akhir proses
pemba ngunan tak asing lagi bagi masyarakat di negeri ini.

Dengan demikian, apa pun bentuk strategi pembangunan yang diambil, pada level mana ia
dijalankan, serta siapa yang menjalankan nya, satu hal yang pasti, landasan dan legitimasi etis
harus menjadi ruh utama yang melandasinya. Tanpa itu, wajah pembangunan tak akan lagi
menyisakan muka manusianya.

Pakem pragmatisme dalam pembangunan memang penting, karena lewat itulah ukuran dan
penetapan kebijakan dapat diukur. Namun, tujuan pragmatis tersebut pada akhirnya harus
dituntun pada akhirnya harus dituntun agar penerapannya tidak bersinggungan dengan
kepentingan etis, yakni mewujudkan keadilan sosial.

Tentang penulis:
Rudiansyah SH MSi, dosen Fakultas Hukum Universitas Palembang. Email:
rudiansyah_fh@yahoo.com

Daftar Bacaan

 Hardjasoemantri koesnadi. Tata Hukum lingkungan Di Indonesia, Grafindo


Jogyakarta 2002
 Mirdasy muhammad, Bernapas dalam Lumpur Lapindo. Mirdasy Institut Public
policy. Tahun 2007
 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Perspektif Antropologi
Hukum, Penerbit Uniersitas Negeri Malang (UM Press) 2006
 Ihromi T.O. Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia,
2001
 Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Nomor. 13 tahun 1997

Вам также может понравиться