Вы находитесь на странице: 1из 2

Posisi Hisab dalam Penentuan

Awal Ramadhan
Ustadz, bagaimanakah posisi hisab dalam penentuan awal
bulan Ramadhan?

Jawab :

Hisab (al-hisab al-falaki) adalah perhitungan astronomis


yang terkait dengan benda-benda angkasa, seperti bulan,
matahari, dll. Tujuan hisab adalah menentukan berbagai hal
yang terkait dengan benda angkasa, termasuk waktu-waktu
ibadah, misal : awal bulan qamariyah, waktu shalat, arah
kiblat, waktu gerhana matahari, waktu gerhana bulan, dsb.
Pertanyaannya, dapatkah hisab dijadikan penentu untuk
memasuki awal bulan Ramadhan (mengawali puasa)?

Ada dua pendapat ulama. Pertama, pendapat jumhur ulama


Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa
hisab bukan penentu masuknya awal Ramadhan. (Al-
Mabsuth, 3/85; Mawahib Al-Jalil, 3/289; Al-Majmu’, 6/289-
290; Al-Mughni, 4/338). Kedua, pendapat sebagian ulama
bahwa hisab boleh menjadi penentu awal Ramadhan,
seperti Mutharrif bin Abdullah Asy-Syakhir (tabi’in), Ibnu
Suraij (ulama mazhab Syafii), Ibnu Qutaibah, Syaikh
Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain. (Yusuf Al-Qaradhawi,
Fiqh Al-Shiyam, hal. 26; Sami Al-Qudumi, Bayan Hukm
Ikhtilaf Al-Mathali` wa Al-Hisab Al-Falaki, hal. 40; Abdul
Majid Al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah,
hal. 153).

Pendapat pertama berdalil dengan hadis-hadis yang


menyebutkan masuknya awal Ramadhan hanyalah dengan
rukyatul hilal, bukan dengan hisab. Misalnya sabda Nabi
SAW,”Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan
berbukalah (berhari raya) kamu karena melihat dia [hilal].”
(HR Bukhari no 1776, Muslim no 1809, At-Tirmidzi no 624,
An-Nasa`i no 2087). Hadis ini dengan jelas menunjukkan
penentuan awal Ramadhan hanya dilakukan dengan
rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) baik dengan mata
telanjang (bil ‘ain al-bashariyah) maupun dengan alat
pembesar/pendekat, semisal teleskop. Jadi, penentuan awal
Ramadhan tidak dapat dengan hisab.

Sedang pendapat kedua berdalil antara lain dengan hadis


Nabi SAW,”Janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihat
hilal, dan janganlah kamu berbuka hingga kamu melihat
hilal. Jika pandanganmu terhalang mendung, maka
perkirakanlah dia (faqduru lahu).” (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut pendapat kedua, sabda Nabi SAW faqduru lahu
(perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah
“perkirakanlah hilal itu dengan ilmu hisab.” (faqduru
dzalika bi hisab manazil al-qamar). (Abdul Majid Al-Yahya,
Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah, hal. 153).

Menurut kami, pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah


pendapat jumhur ulama. Alasannya, sabda Nabi
“perkirakanlah” (faqduru lahu), artinya yang tepat bukanlah
“hitunglah dengan ilmu hisab”, melainkan
“sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”
sebagaimana disebutkan dalam hadis lain. Memang hadits
faqduru lahu ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat
ditafsirkan “perkirakanlah dengan hisab”. Namun terdapat
hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna
terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud
hadits yang mujmal. Menurut ilmu ushul fiqih, makna yang
mujmal (faqduruu lah), hendaknya diartikan berdasarkan
hadits yang mubayyan. Jadi hadits faqduruulah artinya
adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan
bulan), bukan fahsubuu (hisablah). Kesimpulannya, yang
menjadi penentu masuknya awal Ramadhan adalah
rukyatul hilal saja, bukan hisab. Wallahu a’lam [ ]

Вам также может понравиться