Вы находитесь на странице: 1из 4

Bergeserkah Arah Kiblat?

Oleh: KH. Ilya Asyhari Nawawi


Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU)
Kabupaten Grobogan

Sekitar limatahun yang lalu saya pernah mengiblatkan sebuah masjid yang sedang
dipugar, dan arah kiblat dalam prespektif penulis, berbeda dengan kiblat yang lama.
Rupaya waktu itu orang yang menyuruh saya tidak rembukan dulu dengan sesepuh
desa tersebut. Akhirnya kiblat hasil pengukuran saya tidak jadi dipakai karna sang
tetua desa meyakini kiblat lama sudah benar. Apalagi pembuatnya dikenal sebagai
auliya.
Saat berbincang-bincang tentang keadaan masjid, ada salah satu warga yang
menyatakan begini ; "Katanya gempa bumi bisa merobah arah kiblat. Nah,
bagaimana kalau kita katakan saja bahwa kiblat masjid telah berobah karna gempa
bumi, sehingga tidak menyinggung tetua desa tersebut". Saat itu dengan tegas saya
jawab, tidak!. Karena menurut saya gempa bumi tidak akan merobah kiblat.
Kini saat seorang ilmuwan mempublikasikan bahwa gempa di Ceeli menggeser tempat
disana sekitar 3 meter, kemudian di Aceh sekitar 3 – 5 meter, banyak orang-orang
yang yang saya kira bukan ahlinya berkomentar bahwa kiblat bergeser disebabkan
gempa, bahkan wakil ketua MUI Ali Musthofa Yakub berkomentar bahwa kiblat
bergeser 30 cm. Yang tau tentang ilmu ukur pasti bertanya-tanya bagaimana cara
mengukurnya bisa menemukan angka 30 cm itu mengingat pengukur sudut bukanlah
centi melainkan derajat. Pertanyaannya sekarang, benarkah kiblat dapat bergeser
disebabkan gempa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut sebenarnya kita hanya membutuhkan logika
yang sederhana saja, coba saja kita bandingkan arah kiblat untuk dua kotayang
berbeda. Misalnya Kota Purwodadi dan Kota Semarang, maka akan kita dapatkan
bahwa selisih kiblat kedua kota tersebut sangat sedikit sekali, sekitar 10 daqiqoh atau
1/6 (0.16) derajat, padahal jarak kedua kota sekitar 60 km. Atau kita bisa perhatikan
data geografis dipeta-peta atau tabel-tabel buku falak, pada wilayah terkecil untuk
peta yang sudah dianggap lengkap adalah kecamatan, dalam artian data geografis
satu titik bisa untuk menentukan arah kiblat wilayah seluas satu kecamatan, yang
boleh jadi radiusnya lebih dari 20 km, dari sini bisa kita ambil jawaban bahwa
pergeseran geografis 5 meter bahkan seandainya bergeser 1 km tidak mempengaruhi
kiblat.
Jadi menurut hemat penulis, fenomena tentang pergeseran kiblat ini memang sengaja
di ciptakan agar pengukuran yang dilakukan oleh para peneliti bisa diakui oleh semua
pihak, tetapi hal itu justru melahirkan keresahan di masyarakat. Lebih
membingungkan lagi disusul adanya fatwa MUI yang bertolak belakang dengan para
peneliti tersebut. Setelah melihat keresahan masyarakat dalam menanggapi isu
bergesernya Kiblat, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat menyikapinya dengan
mengeluarkan Fatwa Nomor 3 Tahun 2010 tentang Kiblat Indonesia yang disahkan
pada 1 Februari 2010, dan dibacakan dalam konferensi pers pada 22 Maret 2010.
Dalam fatwa tersebut, ada tiga ketentuan hukum, Pertama, kiblat bagi orang yang
shalat dan dapat melihat Ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (Ainul
Ka’bah). Kedua, kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka,bah adalah
arah Ka’bah (jihat al Ka’bah). Ketiga, letak geografis Indonesia yang berada di bagian
timur Ka’bah, maka kiblat umat Islam di Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Kelihatannya fatwa ini tidak ada masalah karena memang ada ulama' yang
berpendapat demikian meskipun bukan pendapat yang sahih. Menurut madzhad
Syafi'i yang mu'tamad, ketika sholat kita harus menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul
Ka’bah), bagi yang dekat harus dengan yakin, dan bagi yang jauh cukup dengan Dzon.
Fatwa MUI ini menjadi kontra produktif manakala digunakan oleh orang-orang yang
tasahhul (meremehkan) ibadah, sehingga hanya demi agar pantas dengan denah
ruangan, masjid sengaja dibangun tidak menghadap Ainul Ka'bah padahal ia tahu
arah Kiblat yang sebenarnya.
Benarkah kita boleh menghadap Jihah Ka'bah. padahal kita tahu atau meyakini arah
sebenarnya? Sebenarnya kalau melihat ijma' ulama tentang wajibnya menghadap
Kiblat bagi orang yang melihat Ka’bah, kita bisa mengambil keseimpulan bahwa
kewajiban asli adalah menghadap Ainul Ka’bah, sedangkan dicukupkannya jihah oleh
sebagian ulama' untuk orang yang jauh dari Ka’bah adalah karna sulitnya menghadap
Ainul Ka’bah, sehingga apabila seseorang dengan ilmu pengetahuannya meyakini
suatu titik adalah arah Ka’bah ia dan orang yang mempercayainya tidak boleh
berpaling pada titik yang lain, kesimpulan tersebut bisa diambil dari pendapat-
pendapat ulama' tentang tingkatan ijtihad dalam mencari arah yaitu bisa lewat angin,
bintang, matahari, dan jarum kompas. Orang yang bisa berijtihad mencari arah
menggunakan matahari atau jarum kompas tidak boleh berijtihad menggunakan angin
dan lain sebagainya yang tingkat keakuratannya kurang tepat.
Apakah masjid yang ketika diteliti ulang kiblatnya kurang tepat, harus dirobah atau
diberi garis sof.? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa mengkaji ibaroh kitab Syarh
Bahjah dibawah ini :
‫ما‬
َ‫ك‬َ‫ف‬َ ‫ي‬َ‫ت‬
ّ َ ‫و‬ْ‫ه أ‬ُ‫د‬
ْ‫ي‬ِ ‫ل‬
َ ْ ‫ن‬
َ ْ‫فإ‬َ ‫ح‬ِ‫ل‬
ّ‫ل‬َ‫كا‬
ْ َ ‫فا‬ ً‫ر‬
ِ‫عا‬َ ‫ة‬ً‫ق‬
َ‫ث‬ِ ‫دا‬ً‫ه‬ِ‫ت‬
َ‫م‬ْ ‫د‬
ُ َ‫ل‬ّ‫ق‬
َ ‫د‬ِ‫ها‬َ‫ت‬ِ‫ج‬
ْ‫ل‬ِ‫ن ا‬
ْ‫ع‬َ ‫زا‬ً‫ج‬
ِ‫عا‬ َ ‫ن‬َ‫كا‬ َ ْ
‫فإن‬َ
َِ
‫ة‬ ‫عب‬
ْ‫ك‬َ‫ل‬
ْ‫ف ا‬ ِ ‫ل‬َ‫قي‬ِ ‫ما‬ َ ‫ل‬ُ‫ث‬ْ‫م‬
ِ‫و‬َ ، ‫د‬ ُ‫عي‬ِ‫ي‬ُ‫و‬
َ ‫ء‬َ‫شا‬َ ‫ف‬َ‫ي‬
ْ‫ك‬َ ‫ت‬ِ‫ق‬
ْ‫و‬َ‫ل‬
ْ‫ق ا‬ِ‫ضي‬ِ ‫د‬َ‫ن‬ْ‫ع‬
ِ ‫لي‬ّ‫ص‬َ‫ي‬
ُ‫ف‬َ ‫د‬
ُ‫ه‬ِ‫ت‬
َ‫ل‬ْ‫ي ا‬
ُ َ‫ت‬
ّ َ ‫ذا‬ َ‫إ‬
ُ‫يو‬
‫ز‬ ُ ‫ل‬
َ َ‫و‬َ ، ‫ه‬ ُ‫ر‬
ّ‫ق‬َ‫و أ‬ ْ‫ه أ‬ ِ‫ي‬
ْ‫ل‬َ‫لى إ‬ ّ‫ص‬َ ‫م‬َ‫ل‬
ّ‫س‬َ‫و‬
َ ‫ه‬ِ‫ي‬ْ‫ل‬
َ‫ع‬َ ‫ل‬
ُ‫لى ا‬
ّ ّ‫ص‬
َ ‫ه‬ُ‫ن‬ّ‫دا أ‬ ً‫حا‬َ‫و آ‬ْ‫ل‬
َ‫و‬َ ، ‫ت‬َ‫ب‬
َ‫ث‬َ ‫ما‬ َ‫في‬ ِ ُ
‫قال‬َ‫ي‬ُ
ِ‫ري‬
‫ب‬ ِ‫ما‬َ ‫ف‬ ِ ‫ل‬ُ‫قا‬
َ‫ي‬ُ ‫ذا‬ َ‫ك‬
َ‫و‬َ ‫أ‬ٍ‫ط‬َ‫خ‬
َ ‫لى‬ َ‫ع‬َ ‫ر‬ّ‫ق‬
ِ‫ي‬ُ ‫ل‬َ ‫م‬َ‫ل‬
ّ‫س‬َ‫و‬
َ ‫ه‬ِ‫ي‬
ْ‫ل‬َ‫ع‬
َ ‫ل‬ُ‫لى ا‬
ّ ّ‫ص‬
َ ‫ه‬ُ‫ن‬ّ‫ل‬
َ ‫قا ؛‬
ِ ً‫ل‬
َ‫ط‬ْ‫م‬
ُ ‫ه‬ِ‫في‬ِ ‫د‬ُ‫ها‬ َ‫ت‬
ِ‫ج‬ْ‫ل‬
ِ‫ا‬
‫ها‬
َ‫في‬ ِ ‫ز‬ُ‫يو‬ُ ‫م‬
َ ْ‫ع‬
َ‫ن‬َ ، ‫ف‬ ٍ‫ر‬ِ‫عا‬َ ‫ن‬ِ‫ع‬ْ‫ط‬
َ ‫ن‬ ْ‫م‬
ِ ‫ت‬ْ‫م‬َ‫ل‬
ِ‫س‬َ‫و‬
َ ‫ي‬َ‫م‬
ِ‫ل‬ِ‫س‬
ْ‫ل‬ُ‫ن ا‬
ْ ْ‫م‬
ِ ‫ن‬ٌ‫رو‬ُ‫ق‬ُ ‫با‬َ ‫شأ‬
ِ َ‫ن‬َ ‫ن‬
ْ‫بأ‬ِ ‫ة‬ِ‫د‬
َ‫م‬َ‫ت‬َ‫ع‬
ْ‫ل‬ُ‫ي ا‬
ْ َ‫م‬
ِ‫ل‬ِ‫س‬
ْ‫ل‬ُ‫ا‬
ْ
ًَ
‫ة‬ ‫جه‬
ِ ‫ل‬َ ‫فا‬ ً‫را‬َ‫ن‬
ِ‫د ا‬
ْ ُ‫ها‬َ‫ت‬ِ‫ج‬
ْ‫ل‬ِ‫ق ا‬ ِ‫تي‬ِ‫ع‬َ‫ل‬
ْ‫ر ا‬ َ‫ص‬
ْ‫م‬ِ ‫ع‬ِ‫م‬
ِ‫جا‬َ‫و‬َ ‫م‬
ِ‫شا‬ّ‫وال‬ َ ‫ة‬
ِ‫ف‬َ‫كو‬ُ‫ل‬
ْ‫وا‬َ ‫س‬ِ‫د‬
ِ‫ق‬ْ‫ل‬
َ‫ت ا‬
ْ ِ‫ي‬
ْ‫ب‬َ ‫ب‬َ‫را‬ َ‫م‬ْ ْ
ِ ‫لو‬َ‫و‬
َ ،
‫ )شرح البهجة‬، ‫ة‬ ِ‫ه‬
َ‫ل‬ِ‫ف ا‬
ْ ِ ‫ل‬ّ‫ع إ‬ َ‫ط‬
ْ‫ق‬َ‫ل‬
ْ‫ب ا‬ ُ‫ج‬
ِ‫يو‬ُ ‫ل‬َ ‫و‬َ‫ه‬
ُ‫و‬َ ، ‫د‬ٍ‫ها‬َ‫ت‬ِ‫ج‬
ْ‫ن ا‬ْ‫ع‬َ ‫ل‬ّ‫ب إ‬ْ‫ص‬
َ‫ن‬ْ‫ت‬
ُ ‫ل‬ْ ‫نا‬
َ َ‫ل‬
ّ َ ‫؛‬
ِ
‫(الكتبة الشاملة‬166 ‫ ص‬3 ‫الوردية ج‬

"Apabila seseorang tidak bisa ijtihad, maka ia mengikuti mujtahid yang tahu dan
terpercaya seperti juru mudi perahu, apabila tidak menemukan mujtahid atau ia ragu,
maka hukum orang itu seperti mujtahid yang ragu maka ia boleh solat setelah waktu
hampir habis dan menghadap kemana ia suka dan wajid qodlo' (mengulang solatnya).
Hukumnya seperti arah yang dikatakan menuju ka'bah adalah arah yang telah
ditetapkan oleh beliau nabi Saw, walaupun hanya berbentuk hadis Ahad beliau Saw
pernah Sholat pada arah tersebut atau beliau Saw telah Iqrar, maka tidak boleh lagi
Ijtihad pada apa yang telah ditetapkan oleh beliau Saw sacara mutlaq, karna beliau
Saw tidak akan Iqrar pada sesuatu yang salah. Begitu pula kita tidak boleh Ijtihad
pada Mihrab umat Islam yang telah dibuat panutan seperti Mihrab yang telah
melewati beberapa kurun dan selamat dari kritikan orang-orang Alim, benar..didalam
masalah mihrab kaum muslimin walaupun itu mihrabrabnya Baitul Maqdis,
Kuffah, Syam dan Masjid Jami' Mesir kita masih boleh Ijtihad sudut kemiringannya
tidak boleh ijtihad didalam Jihah / arahnya karna masjid-masjid tersebut tidak didirikan
kecuali dengan Ijtihad, dan Ijtihad itu tidak bisa memberi kepastian kebenaran kecuali
tentang jihah / arahnya saja. (Syarah bahjah juz.3 hal 166.)
Kalau kita cermati ibaroh diatas bisa diambil kesimpulan bahwa kita masih boleh
ijtihad sudut kemiringan di masjid-masjid lama selain yang ditetapkan oleh beliau Nabi
Saw, hampir semua kitab yang penulis ketahui ibarohnya menggunakan kata yajuzu "
boleh". Jadi sebenarnya tidak ada perintah untuk ijtihad / meneliti kiblat masjid yang
sudah berdiri.
Kalau kita melihat kalimat terahir dari ibaroh diatas "karna masjid-masjid tersebut
tidak didirikan kecuali dengan Ijtihad, dan Ijtihad itu tidak bisa memberi kepastian
kebenaran kecuali tentang jihah / arahnya saja". Bisa diambil kesimpulan
Pertama, Sebuah masjid tidak boleh didirikan kecuali dengan Ijtihad
Kedua,Sebuah Ijtihad hanya memberi kepastian kebenaran tentang arah (jihah)
Penelitian yang dilakukan seorang peneliti namanya juga ijtihad, maka kekuatannya
juga sama dengan ijtihad yang dilakukan oleh pendiri masjid tersebut

‫الجتهاد ل ينقض بالجتهاد‬


"sebuah ijtihad tidak bisa dirombak dengan ijtihad"
Jadi meneurut penulis tidak ada keharusan membenarkan atau memberi garis sof
pada masjid lama yang telah didirikan menggunakan ijtihad dikarenakan adanya
penelitian/ijtihad baru yang berbeda, kecuali kalau ijtihad lama jelas salahnya yang
kesalahan ini bisa diketahui oleh masyarakat umum seperti salah jihahnya.. Wallahu
‘Alam

----Email Diteruskan----

Dari: ilyaasyhari@yahoo.com
Kepada: abdarif_ah@yahoo.com
Kepada: abdarif_ah@yahoo.com
Email Keluar: Kam, 17 Jun 2010 20:55 PDT
Judul: Kiblat

Bergeserkah Arah Kiblat?


Oleh: KH. Ilya Asyhari Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU)
Kabupaten Grobogan

Sekitar lima tahun yang lalu saya pernah mengiblatkan sebuah masjid yang
sedang dipugar, dan arah kiblat dalam prespektif penulis, berbeda dengan kiblat yang
lama. Rupaya waktu itu orang yang menyuruh saya tidak rembukan dulu dengan
sesepuh desa tersebut. Akhirnya kiblat hasil pengukuran saya tidak jadi dipakai karna
sang tetua desa meyakini kiblat lama sudah benar. Apalagi pembuatnya dikenal
sebagai auliya.
Saat berbincang-bincang tentang keadaan masjid, ada salah satu warga yang
menyatakan begini ; "Katanya gempa bumi bisa merobah arah kiblat. Nah,
bagaimana kalau kita katakan saja bahwa kiblat masjid telah berobah karna gempa
bumi, sehingga tidak menyinggung tetua desa tersebut". Saat itu dengan tegas saya
jawab, tidak!. Karena menurut saya gempa bumi tidak akan merobah kiblat.
Kini saat seorang ilmuwan mempublikasikan bahwa gempa di Ceeli menggeser
tempat disana sekitar 3 meter, kemudian di Aceh sekitar 3 – 5 meter, banyak orang-
orang yang yang saya kira bukan ahlinya berkomentar bahwa kiblat bergeser
disebabkan gempa, bahkan wakil ketua MUI Ali Musthofa Yakub berkomentar bahwa
kiblat bergeser 30 cm. Yang tau tentang ilmu ukur pasti bertanya-tanya bagaimana
cara mengukurnya bisa menemukan angka 30 cm itu mengingat pengukur sudut
bukanlah centi melainkan derajat. Pertanyaannya sekarang, benarkah kiblat dapat
bergeser disebabkan gempa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut sebenarnya kita hanya membutuhkan
logika yang sederhana saja, coba saja kita bandingkan arah kiblat untuk dua kota
yang berbeda. Misalnya Kota Purwodadi dan Kota Semarang, maka akan kita dapatkan
bahwa selisih kiblat kedua kota tersebut sangat sedikit sekali, sekitar 10 daqiqoh atau
1/6 (0.16) derajat, padahal jarak kedua kota sekitar 60 km. Atau kita bisa perhatikan
data geografis dipeta-peta atau tabel-tabel buku falak, pada wilayah terkecil untuk
peta yang sudah dianggap lengkap adalah kecamatan, dalam artian data geografis
satu titik bisa untuk menentukan arah kiblat wilayah seluas satu kecamatan, yang
boleh jadi radiusnya lebih dari 20 km, dari sini bisa kita ambil jawaban bahwa
pergeseran geografis 5 meter bahkan seandainya bergeser 1 km tidak mempengaruhi
kiblat.
Jadi menurut hemat penulis, fenomena tentang pergeseran kiblat ini memang
sengaja di ciptakan agar pengukuran yang dilakukan oleh para peneliti bisa diakui
oleh semua pihak, tetapi hal itu justru melahirkan keresahan di masyarakat. Lebih
membingungkan lagi disusul adanya fatwa MUI yang bertolak belakang dengan para
peneliti tersebut. Setelah melihat keresahan masyarakat dalam menanggapi isu
bergesernya Kiblat, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat menyikapinya dengan
mengeluarkan Fatwa Nomor 3 Tahun 2010 tentang Kiblat Indonesia yang disahkan
pada 1 Februari 2010, dan dibacakan dalam konferensi pers pada 22 Maret 2010.
Dalam fatwa tersebut, ada tiga ketentuan hukum, Pertama, kiblat bagi orang
yang shalat dan dapat melihat Ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (Ainul
Ka’bah). Kedua, kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka,bah adalah
arah Ka’bah (jihat al Ka’bah). Ketiga, letak geografis Indonesia yang berada di bagian
timur Ka’bah, maka kiblat umat Islam di Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Kelihatannya fatwa ini tidak ada masalah karena memang ada ulama' yang
berpendapat demikian meskipun bukan pendapat yang sahih. Menurut madzhad
Syafi'i yang mu'tamad, ketika sholat kita harus menghadap ke bangunan Ka’bah
(ainul Ka’bah), bagi yang dekat harus dengan yakin, dan bagi yang jauh cukup dengan
Dzon.
Fatwa MUI ini menjadi kontra produktif manakala digunakan oleh orang-orang
yang tasahhul (meremehkan) ibadah, sehingga hanya demi agar pantas dengan
denah ruangan, masjid sengaja dibangun tidak menghadap Ainul Ka'bah padahal ia
tahu arah Kiblat yang sebenarnya.
Benarkah kita boleh menghadap Jihah Ka'bah. padahal kita tahu atau meyakini
arah sebenarnya? Sebenarnya kalau melihat ijma' ulama tentang wajibnya
menghadap Kiblat bagi orang yang melihat Ka’bah, kita bisa mengambil keseimpulan
bahwa kewajiban asli adalah menghadap Ainul Ka’bah, sedangkan dicukupkannya
jihah oleh sebagian ulama' untuk orang yang jauh dari Ka’bah adalah karna sulitnya
menghadap Ainul Ka’bah, sehingga apabila seseorang dengan ilmu pengetahuannya
meyakini suatu titik adalah arah Ka’bah ia dan orang yang mempercayainya tidak
boleh berpaling pada titik yang lain, kesimpulan tersebut bisa diambil dari pendapat-
pendapat ulama' tentang tingkatan ijtihad dalam mencari arah yaitu bisa lewat angin,
bintang, matahari, dan jarum kompas. Orang yang bisa berijtihad mencari arah
menggunakan matahari atau jarum kompas tidak boleh berijtihad menggunakan angin
dan lain sebagainya yang tingkat keakuratannya kurang tepat.
Apakah masjid yang ketika diteliti ulang kiblatnya kurang tepat, harus dirobah
atau diberi garis sof.? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa mengkaji ibaroh kitab
Syarh Bahjah dibawah ini :
ِ ‫ق اْلَوْق‬
‫ت‬ ِ ‫ضي‬ ِ ‫عْنَد‬ ِ ‫صّلي‬ َ ‫جَتِهُد َفُي‬
ْ ‫حّيَر اْلُم‬
َ ‫حّيَر َفَكَما إَذا َت‬ َ ‫جْدُه َأْو َت‬ِ ‫ن َلْم َي‬
ْ ‫ح َفِإ‬
ِ‫ل‬ ّ ‫عاِرًفا َكاْلَم‬
َ ‫جَتِهًدا ِثَقًة‬
ْ ‫جِتَهاِد َقّلَد ُم‬
ْ ‫ن اِل‬ ْ‫ع‬ َ ‫جًزا‬ِ ‫عا‬َ ‫ن‬ َ ‫ن َكا‬ ْ ‫َفِإ‬
‫جِتَهاُد ِفيِه‬
ْ ‫جوُز اِل‬ ُ ‫ َوَل َي‬، ‫صّلى إَلْيِه َأْو َأَقّرُه‬َ ‫سّلَم‬ َ ‫عَلْيِه َو‬َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫حاًدا َأّنُه‬ َ ‫ َوَلْو آ‬، ‫ت‬َ ‫ َوِمْثُل َما ِقيَل ِفي اْلَكْعَبِة ُيَقاُل ِفيَما َثَب‬، ‫شاَء َوُيِعيُد‬ َ ‫ف‬َ ‫َكْي‬
ْ ‫ت ِم‬
‫ن‬ ْ ‫سِلَم‬
َ ‫ن َو‬ َ ‫سِلِمي‬ ْ ‫ن اْلُم‬ْ ‫ن ِم‬
ٌ ‫شَأ ِبَها ُقُرو‬ َ ‫ن َن‬
ْ ‫ن اْلُمْعَتَمَدِة ِبَأ‬
َ ‫سِلِمي‬ْ ‫ب اْلُم‬ِ ‫حاِري‬ َ ‫طٍأ َوَكَذا ُيَقاُل ِفي َم‬َ‫خ‬ َ ‫عَلى‬ َ ‫سّلَم َل ُيِقّر‬ َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫طَلًقا ؛ َِلّنُه‬
ْ ‫ُم‬
‫ب إّل‬ ْ ‫ص‬َ ‫جَهًة ؛ َِلّنَها َلْم ُتْن‬ ِ ‫حَراًفا َل‬ ِ ‫جِتَهاُد اْن‬
ْ ‫ق اِل‬ ِ ‫صَر اْلَعِتي‬ ْ ‫جاِمِع ِم‬ َ ‫شاِم َو‬ ّ ‫س َواْلُكوَفِة َوال‬ِ ‫ت اْلَمْقِد‬ِ ‫ب َبْي‬
َ ‫حَرا‬ ْ ‫ َوَلْو ِم‬، ‫جوُز ِفيَها‬ ُ ‫ َنَعْم َي‬، ‫ف‬ ٍ ‫عاِر‬
َ ‫ن‬ِ ‫طْع‬
َ
‫( المكتبة الشاملة‬166 ‫ ص‬3 ‫ )شرح البهجة الوردية ج‬، ‫جَهِة‬ ِ ‫طَع إّل ِفي اْل‬ ْ ‫ب اْلَق‬
ُ ‫ج‬
ِ ‫ َوُهَو َل ُيو‬، ‫جِتَهاٍد‬ ْ ‫نا‬
ْ‫ع‬ َ

"Apabila seseorang tidak bisa ijtihad, maka ia mengikuti mujtahid yang tahu
dan terpercaya seperti juru mudi perahu, apabila tidak menemukan mujtahid atau ia
ragu, maka hukum orang itu seperti mujtahid yang ragu maka ia boleh solat setelah
waktu hampir habis dan menghadap kemana ia suka dan wajid qodlo' (mengulang
solatnya). Hukumnya seperti arah yang dikatakan menuju ka'bah adalah arah yang
telah ditetapkan oleh beliau nabi Saw, walaupun hanya berbentuk hadis Ahad beliau
Saw pernah Sholat pada arah tersebut atau beliau Saw telah Iqrar, maka tidak boleh
lagi Ijtihad pada apa yang telah ditetapkan oleh beliau Saw sacara mutlaq, karna
beliau Saw tidak akan Iqrar pada sesuatu yang salah. Begitu pula kita tidak boleh
Ijtihad pada Mihrab umat Islam yang telah dibuat panutan seperti Mihrab yang telah
melewati beberapa kurun dan selamat dari kritikan orang-orang Alim, benar.. didalam
masalah mihrab kaum muslimin walaupun itu mihrabrabnya Baitul Maqdis, Kuffah,
Syam dan Masjid Jami' Mesir kita masih boleh Ijtihad sudut kemiringannya tidak boleh
ijtihad didalam Jihah / arahnya karna masjid-masjid tersebut tidak didirikan kecuali
dengan Ijtihad, dan Ijtihad itu tidak bisa memberi kepastian kebenaran kecuali
tentang jihah / arahnya saja . (Syarah bahjah juz.3 hal 166.)
Kalau kita cermati ibaroh diatas bisa diambil kesimpulan bahwa kita masih
boleh ijtihad sudut kemiringan di masjid-masjid lama selain yang ditetapkan oleh
beliau Nabi Saw, hampir semua kitab yang penulis ketahui ibarohnya menggunakan
kata yajuzu " boleh". Jadi sebenarnya tidak ada perintah untuk ijtihad / meneliti kiblat
masjid yang sudah berdiri.
Kalau kita melihat kalimat terahir dari ibaroh diatas " karna masjid-masjid
tersebut tidak didirikan kecuali dengan Ijtihad, dan Ijtihad itu tidak bisa memberi
kepastian kebenaran kecuali tentang jihah / arahnya saja". Bisa diambil kesimpulan
Pertama, Sebuah masjid tidak boleh didirikan kecuali dengan Ijtihad
Kedua, Sebuah Ijtihad hanya memberi kepastian kebenaran tentang arah (jihah)
Penelitian yang dilakukan seorang peneliti namanya juga ijtihad, maka
kekuatannya juga sama dengan ijtihad yang dilakukan oleh pendiri masjid tersebut

‫الجتهاد ل ينقض بالجتهاد‬


"sebuah ijtihad tidak bisa dirombak dengan ijtihad"
Jadi meneurut penulis tidak ada keharusan membenarkan atau memberi garis
sof pada masjid lama yang telah didirikan menggunakan ijtihad dikarenakan adanya
penelitian/ijtihad baru yang berbeda, kecuali kalau ijtihad lama jelas salahnya yang
kesalahan ini bisa diketahui oleh masyarakat umum seperti salah jihahnya.. Wallahu
‘Alam

Вам также может понравиться