Вы находитесь на странице: 1из 4

Kronologis Penyerbuan Densus 88 Versi Keluarga

Tersangka Teroris
Nama saya Kartini Panggabean, kelahiran 20 Februari 1980. Panggilan saya Cici,
anak-anak memanggil saya Ummi. Saya adalah isteri dari Ustadz Ghozali, anak-
anak memanggilnya Buya, saya memanggilnya Bang Jali. Saya tinggal bersama
suami saya di di Jalan Bunga Tanjung Gang Sehat, saya bersama Bang Jali tinggal
bersama empat anak kami. (Umar Shiddiq, Raudah Atika Husna dan Ahmad Yasin
dan Fathurrahman).

Bang Jali lahir tahun 1963, tamat SD 1971. Kemudian bang Jali Masuk SMP
Muhammadiyah di Sei. Sikambing Medan. Bang Jali tidak tamat SMP, berhenti
karena protes terhadap sekolah SMP di Indonesia memakai celana pendek (tidak
menutup aurat) Secara otodidak Bang Jali belajar menulis. Dia menjadi kolumnis
tetap di beberapa surat kabar yang terbit di Medan. Kemudian Bang Jali ke Malaysia
selama 10 tahun. Aktif menjadi wartawan di majalah Islam. Tahun 1996-2000 bang
Jali pulang ke Indonesia menetap di Medan membuka kursus komputer, kemudian
ke Malaysia lagi pada tahun 2000-2004 bekerja sebagai penulis buku di beberapa
penerbitan. Sejak 2004-2010 menetap di Tanjungbalai sebagai penulis buku-buku
agama yang produktif dan semua diterbitkan di Malaysia, lebih kurang 50 judul
buku. Ada satu judul buku yang diterbitkan di di Indonesia Selain menulis, Bang Jali
juga berprofesi sebagai pengobat tradisional (bekam). Bang Jali juga mengisi
pengajian.

Sejak satu bulan terakhir (bulan Agustus 2010), Bang Jali tidak pergi ke mana-mana,
atas permintaan saya selaku Ummi anak-anak, alasan saya karena saya sedang
hamil tua, hari-hari menjelang persalinan sudah kian dekat. Saya meminta Bang Jali
untuk menemani saya melahirkan. Begitu pun, seingat saya Bang Jali sekali ada
pergi ke Medan awal Agustus ke Medan, itu pun karena menjenguk ibunya di salah
satu rumah sakit di Medan. Saya melahirkan anak putera saya yang keempat pada
tanggal 28 Agustus 2010 (usianya 3 minggu).

Sejak saya melahirkan bayi yang kami beri nama Fathurrrahman Ramadhan itu,
Bang Jali juga tidak ada pergi ke mana-mana karena saya tidak ada teman di
rumah.

Di saat waktu Maghrib, hari Minggu sekitar jam 18.45 WIB menjelang Senin malam,
tanggal 19 September 2010. Saya, bayi saya, dua perempuan dewasa (istri Abu dan
teman Deni), Buya, Dani, Deni, Alek, Abdullah dan 2 orang lagi anak tamu.(salah
satu dari dua perempuan dewasa). Jadi, ada di dalam rumah tersebut 10 orang,
terdiri dari 5 laki-laki dewasa, 3 perempuan dewasa, 3 anak-anak. Saat adzan
Maghrib terdengar, Bang Jali bersiap-siap melaksanakan sholat Maghrib berjamaah.
Bang Jali, Deni, Deden, Alek, Abu mengambil wudhu. Saya bilang kepada Bang Jali,
1
Buya bajunya diganti saja, basah kena air wudhu. Saya berada di ruang tamu,
menyusukan anak saya Fathur.

Bersama saya dua perempuan dewasa. di dekat pintu depan rumah, pintu rumah
kami hanya di depan, rumah kami tidak ada pintu belakang. Saya memanggil ketiga
anak untuk pulang ke rumah, karena sudah masuk waktu Maghrib. Bang Jali dan
empat temannya mulai melaksanakan sholat Maghrib berjamaah dengan Bang Jali
sebagai imamnya. Mereka sholat di ruang belakang dekat dapur.

Dani, usianya sekitar dua puluh lima tahun tahun adalah murid mengaji Bang Jali.
Kerjanya sehari-hari menjahit gorden, dia tinggal di Tanjung Balai. Dani membawa
dua orang temannya, Alek (30 tahun) dan Deni (20 tahun) ke rumah. Bang Jali
sebelumnya tidak mengenal kedua orang itu. Sejak saat itu, Deni dan Alek
menginap di rumah. Tapi Dani tidak menginap di rumah. sedangkan alek dan deni
saya tidak mengenalnya. Mengenai Abu, atau Abdullah (35 tahun), saya tidak jelas
orang mana berasalnya. Jadi Deni dan Alek sudah menginap 2 minggu di rumah
kami, kedatangan mereka ke Tanjungbalai karena rencana mau cari kerja, saat itu
mau hari hari raya. Bang Jali bilang ini sudah dekat hari raya, tidak mungkin ada
kerjaan. Tunggulah habis hari raya. Jadi mereka di rumah kerjanya hanya makan
tidur. Seingat saya selama ini tidak ada kegiatan yang mencurigakan.

Tiba-tiba sebuah mobil datang, terdengar suara dari luar ada orang berteriak,
"keluar!" Saat itu ketiga anak saya masih bermain di rumah tetangga. Saya mau
memanggil anak-anak untuk pulang, saya pun berjalan menuju pintu depan rumah.
Saya menyuruh mereka masuk, tapi mereka tidak mau masuk, saya sempat melihat
wajah mereka seperti ketakutan. Saya terkejut karena pas saya di depan pintu saya
lihat sudah turun dari mobil 30 orang bersenjata. Anak-anak saya diam tak
bersuara. Densus 88 langsung saja menerobos masuk ke dalam rumah dengan
bersenjata. Mereka semuanya ada sekitar 30 orang membawa senjata. Mereka dari
samping sebagian, masuk ke dalam rumah sebagian, sambil melepaskan tembakan.

Saya sambil menggendong bayi saya, dua perempuan dewasa serta anak-anaknya
ditodongkan senjata sama Densus 88. Sepasang daun pintu rumah kami ditunjang
(ditendang) sama Densus 88. Tidak ada baku tembak, tidak ada perlawanan dari
dalam rumah, karena Bang Jali sedang sholat, sedang membaca surah al-Qur'an
sehabis membaca surah al-Fatihah. Tiba-tiba tiga makmum (Alek, Deni dan Dani)
keluar dari shaff (membatalkan sholat mereka) karena mendengar suara ribut
tembakan dan segera mengetahui datangnya orang-orang bersenjata. Alek, Dani
dan Deni lari menuju kamar mandi. Alek keluar dengan membobol seng (atap)
kamar mandi. Orang-orang yang sudah masuk rumah menembaki mereka Deni dan
Dani ditembaki secara membabi buta sewaktu mereka di depan kamar mandi.

Saya, dua perempuan dewasa yang bersama saya, bayi saya yang berumur 20 hari,
2
dan anak tetangga yang balita itu menyaksikan kejadian itu. Jadi dua orang
ditembak di kamar mandi, satu orang lagi lari. Bang Jali dan seorang makmumnya,
Abu masih tetap melanjutkan sholat, walaupun orang-orang bersenjata itu sudah
masuk ke dalam rumah, di ruang belakang dekat dapur. Bang Jali tetap melanjutkan
membaca surah al-Qur'an. Tapi orang-orang bersenjata itu langsung menarik paksa
Bang Jali, sholat Bang Jali dihentikan secara paksa. Buya ditunjangi (ditendang) saat
sholat kemudian dipijak-pijak (diinjak-injak) hingga babak belur. Saya kasihan
melihat Bang Jali karena saat itu dia sedang sakit batuk. Bang Jali diseret sama
Densus, bang Jali tak henti-hentinya meneriakkan takbir, Allahu Akbar, Allahu akbar.

Saya masih dalam todongan senjata bersama dua perempuan dan tiga anak-anak.
Kami langsung disuruh ke rumah tetangga sambil ditodong. Saya digiring ke rumah
tetangga sambil ditodong senjata, di rumah tetangga. Anak-anak saya dari tadi
memang berada di situ. Saya dan anak-anak saya bisa mengintip (melihat dari sela-
sela atau lobang) kejadian yang terjadi di rumah kami dari rumah tetangga. Anak-
anak saya berteriak-teriak tidak tak henti-hentinya. "Ummi, Ummi itu Buya, itu
Buya." Anak-anak memberitahu saya mereka melihat Buya mereka dipijak-pijak
(diinjak-injak). Mereka menembaki rumah kami dengan membabi buta, walaupun
saya sangat yakin Bang Jali tidak ada senjata. Bang Jali hanya terus bertakbir,
Allahu akbar, hanya itu yang bisa Bang Jali lakukan. Mereka menembaki saja walau
tidak ada perlawanan. Dari luar mereka menembaki, di dalam juga menembaki,
mereka dalam waktu satu jam itu menembak terus dengan membabi buta.

Tiba-tiba ada yang menggiring saya keluar, saya dibawa ke mobil Densus 88. Saya
terus menengok (melihat) ke arah Bang Jali tapi sudah tidak terlihat. Saya tengok
(lihat) suami kawan saya (Abu) dibawa ke mobil tak berapa lama. Densus
membentak saya menanya saya di mana tas Bang Jali. Saya jawab (katakan),
"Tengok saja sendiri." Mereka semua penakut, saya yang disuruh mengambil tas
Bang Jali, mereka takut granat, padahal tidak apa-apa di tas Bang Jali.

Satu jam kemudian polisi (dari Polresta Tanjung Balai) datang ke sana, polisi pun
rupanya tahu apa-apa mengenai kejadian itu. Densus pergi begitu saja. Saya tidak
tahu informasi ke mana Bang Jali dibawa, apakah Bang Jali dibawa ke Medan atau
ke mana. Dari pihak Polres malah menanyakan sama saya ke mana Bang Jali
dibawa Densus. Saya dinaikkan ke mobil Patroli Polresta Tanjungbalai dibawa ke
kantor Polresta Tanjungbalai. Saya tidak dikasih pulang ke rumah.

Esok hari, tanggal 20 September, saya masih tidak dikasih pulang. Sebagian besar
anggota Polres Tanjung Balai memperlakukan saya dengan baik, mereka kasihan
melihat saya karena menengok anak saya kecil (bayi), tapi ada juga polisi di sini
yang jahat dan memperlakukan saya sewenang-wenang. Saya ingin tahu kabar
suami saya. Saya lihat ada koran, saya ambil untuk saya baca. Polisi berpakaian
preman itu merampas koran itu dari tangan saya. Hati saya sangat sakit, tapi saya
3
diam saja. Kapolresta baik sama saya. Dia menanyakan saya, apakah mau pulang
ke rumah mengambil baju? Saya sudah bilang sama penyidik cemana ini, Pak, kalau
saya masuk tahanan jelas status saya, tapi di sini saya tidak jelas sebagai apa, saya
tidak tahu apa-apa. Kata penyidik tunggu kabar dari Medan saja, baru saya kasi
informasi di sini.

Saya sedih karena Bang Jali tak bisa dijumpai, karena dia sudah babak belur dipijak-
pijak dua puluhan orang. Mereka main serbu saja, mereka itu begitu datang tak ada
basa-basi lagi. Dinding rumah kami rusak. Polisi pun tidak boleh lewat-lewat di situ
selama satu jam itu. Padahal kan semua pakai peraturan. Polresta Tanjungbalai
membantu saya mempertemukan saya dengan keluarga saya agar anak-anak saya
yang empat orang tidak tinggal di tahanan. Saya dipinjamkan telepon sama Polisi
untuk menelepon adiknya agar saya bisa menitipkan anak-anak saya kepada
keluarga kecuali yang bayi tetap bersama saya, karena dia masih saya susukan
umurnya kan baru 3 Minggu.

Pada 20 September 2010 sekitar jam 9.00 WIB pagi saya pertama kali menghubungi
keluarga. Saya mengasih tahu, saya sekarang di Polresta Tanjung Balai, tidak boleh
keluar dari sini karena saya kata polisi dijadikan saksi. Adik saya ke ke Tanjung
Balai hari Senin, 20 September itu juga, adik saya menjenguk saya. Kondisi saya
sudah beberapa hari tetap tak jelas, tidak dikasih pulang, padahal saya sudah di
BAP hari Minggu sampai sekarang tidak keluar-keluar. Tidak jelas, tidak boleh
pulang, soalnya tidak ada yang mau datang menjenguk saya, adik saya pun hanya
datang untuk mengambil si Umar, dibawa ke sana, kasihan bang Jali. Di sini saya
bayi saya tidur dan hidup di sebuah ruangan yang menyerupai gudang kertas-
kertas, hanya beralas tikar plastik, kasihan Fathur (bayi saya), baru 3 minggu
usianya.

Narasumber:

Kartini Panggabean (semoga Allah melindunginya), istri ustadz Khairul Ghozali


(semoga Allah merahmatinya) yang dituduh sebagai teroris oleh Densus 88.

Sumber:

1. Tim Kuasa Hukum Ustadz Khairul Ghozali,

2. Keluarga, yakni adik Ustadz Khairul Ghozali (Ustadz DR. Adil Akhyar, SH, MH,
LLM dan Ahmad Sofian, SH, MA serta abang Ustadz Khairul Ghozali,
DR.Ikhwan), www.starberita.com, FB Jufri Bulian Ababil

Вам также может понравиться