Вы находитесь на странице: 1из 4

BAHASA GAUL, EKSPRESI SETIAP ZAMAN

“Aktingnya lebay banget, ya. Plis, deh!”


Kalimat seperti itu kerap kita dengar (bahkan mungkin kita ucapkan). Istilah lebay
mengacu pada sikap yang berlebihan atau dilebih-lebihkan. Beberapa waktu sebelumnya,
Anda juga pasti pernah mendengar penggunaan kalimat: “Secara gitu loh..!”, atau “Ya...
iyalah, masa, ya, iya, dong!” Kemudian untuk kata sapaan, mungkin ada salah satu
teman memanggil Anda, ”Hai, Cyin..., mau ke mana, Cyin?” Kata sapa ’Cyin’ ini
kependekan dari ’cinta’, dipenggal menjadi ’cin’ yang dalam penulisannya sering kali
ditambahkan huruf y.
Kemudian ada kata ’rempong’ yang berarti ribet, ’kepo’ untuk orang yang selalu ingin
tahu urusan orang lain. Atau, kata yang disingkat seperti ’pintok’ (pindah tongkrongan),
’mager’ (malas gerak) yang biasanya untuk menunjukkan orang tersebut sedang tidak
ingin pergi ke mana-mana.
Alay sendiri belum bisa dipastikan asal-usulnya. Ada yang bilang, ’anak lebay’, anak
kelayapan’, tapi yang paling populer ’anak layangan’, merujuk dari gaya anak kampung
yang rata-rata berambut merah dan berkulit gelap karena terlalu sering main layangan.
Ivan Lanin, penulis Kateglo (kamus, tesaurus dan glosarium) bahasa Indonesia,
mengatakan, alay mungkin lebih bisa dipahami jika diambil dari pengertian anak lebay,
untuk menggambarkan perilaku remaja sekarang yang lebay, agar terlihat beda dan unik.
”Asal kata alay ini awalnya untuk menyebut anak-anak yang menuliskan kata-kata secara
berlebihan dan ’ajaib’. Misalnya, dengan menggabungkan pola huruf besar-huruf kecil,
digabungkan dengan angka, dan disingkat-singkat. Itulah yang disebut beberapa orang
sebagai bahasa alay, yang jika dibaca lebih mirip ‘bahasa planet’,” kata Ivan.
Ciri-ciri bahasa alay tampak dalam bahasa tulis, misalnya, kata yang disingkat seenaknya,
seperti ’lagi apa?’ menjadi ’gi pha?’ atau ’bosen banget, nih’ menjadi ’bosen beud, nih’,
memakai simbol tambahan seperti “h@lowww p@ k@baR L0e?” Atau, seperti yang
pernah ditulis Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring, di salah satu status
twitter-nya, “T3T4p OptImI5, 54l1ng M3nGHarG4i, 54I1Ng M3mAhAm1 Utk
k3B41Kan. 5ukSES BuAT sEMu4! S4lam 53mAn6at!” (Dibaca: ”Tetap optimis, saling
menghargai, saling memahami untuk kebaikan. Sukses buat semua! Salam semangat!”).
Raditya Dika, penulis yang terkenal di kalangan anak muda, mengaku sering menemukan
gaya alay tersebut di blog pribadinya. Seperti, “h4i kak, lam ken4l... leh nAnya gak?
Maaaacieeeh bgt.” Radit awalnya pusing saat membacanya. Ia juga membayangkan,
menulisnya juga pasti ribet, karena mencampur angka dan huruf. “Bahasa ini memang
ajaib banget, bukannya praktis malah ribet. Selain itu, banyak pemenggalan kata yang
aneh. ’Boleh’ jadi ’leh’. Saya bingung menjawabnya. Masa saya jawab ’o eh’!” ujar
Radit.
Ivan berkomentar, bahasa sebenarnya merupakan alat pergaulan. Bahasa selalu
berkembang dari masa ke masa. Sekarang yang jadi tren adalah bahasa alay. Bahasa gaul
sendiri, kata Ivan, sudah ada sejak dulu. Kita mengenalnya dengan sebutan bahasa
prokem. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia awalnya berasal dari bahasa
Indonesia yang mengalami penyimpangan pemakaian kata oleh kaum remaja pada saat
itu.
Masih ingat kata ‘akika’ (saya) atau “titi dj” (hati-hati di jalan)? Ini contoh bahasa gaul
yang dipopulerkan Debby Sahertian di akhir era ’90-an. Atau kata ’ajojing’ yang
merupakan akronim dari ayo joget jingkrak-jingkrak. Ivan mengamati, munculnya bahasa
gaul umumnya diciptakan oleh komunitas tertentu sebagai alat berkomunikasi secara
rahasia. Mereka dengan kreatif merancang kata-kata baru.
Contohnya, bahasa gaul dari kode rahasia komunitas, misalnya ’dagadu’ yang berarti
matamu. Kata ini berasal dari bahasa walikan, menggunakan rumusan dari aksara Jawa: h
n c r k d t s w l, yang disilang dengan: p dh j y ny m g b th ng. Contohnya, kata matamu,
penggunaan huruf m diganti dengan huruf d, sedangkan huruf t diubah menjadi g.
Bahasa kode lain, yang pernah populer dulu, misalnya, kata yang ditambahi akhiran ’se’.
Seperti, ’jamse’ (jam), ’kapse’ (kapan), dan sebagainya. Atau bahasa yang dibalik,
misalnya, salam nakam (malas makan), naracap (pacaran), dan naparas (sarapan).
BIANGNYA: REMAJA & TEKNOLOGI
Bahasa alay ini membudaya terutama di kalangan remaja. Mereka dengan sesuka hati
membuat perbendaharaan kata sendiri. Berkembangnya teknologi komunikasi juga turut
memengaruhi perilaku berbahasa. Media komunikasi baru, seperti SMS, chatting, atau
media sosial, menjadi ajang penyebaran bahasa gaul. Bahasa yang kemudian tak hanya
digunakan oleh kalangan remaja saja, tetapi juga menyebar pada kaum dewasa dan
masyarakat luas.

Pengajar program studi bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,


Universitas Indonesia, Dr. Felicia N. Utorodewo, mengatakan, “Fenomena ini memang
tren yang dipopulerkan oleh para ABG. Tetapi, jangan salah, teman-teman saya yang
usianya tidak muda pun menggunakan bahasa gaul,” ungkapnya.
Ivan berpendapat, menurutnya, faktor keterbatasan di ponsel (seperti menulis SMS) dan
media sosial (misalnya, twitter), yang membatasi maksimal 140 karakter, mau tidak mau
menuntut orang untuk menyesuaikan diri dan kreatif. Contoh bahasa SMS, misalnya
’dmn’ (di mana), ’t4’ (tempat), kpn (kapan), ’boljug’ (boleh juga).”

Sama halnya dengan bahasa alay, bahasa penyingkatan jarang digunakan dalam
percakapan. “Ini hanya praktik penulisan saja,” tutur Ivan, yang aktif menulis Wikipedia
Bahasa Indonesia ini. Penggunaan bahasa gaul yang tidak digunakan dalam percakapan,
misalnya, kata ’yukz’, ’bangetz’, dan ’pliz’.

Ivan menambahkan, sebuah milis atau komunitas daring (online) biasanya memiliki
kebiasaan khas. Misalnya, sapaan ’Gan’ dalam kalimat, “Apa kabar, Gan?” Kata ’Gan’
merupakan kependekan dari kata ’juragan’, yang diperkenalkan oleh laman komunitas
kaskus. Kata ’nuju’ yang berarti numpang jualan, ’OOT’ berarti out of topic, dan
sebagainya, umum digunakan di milis.

Fakta unik yang membuktikan bahasa alay ini fenomenal adalah munculnya laman alay
text generator (http://alaygenerator.co.cc/). Laman ini bisa menerjemahkan bahasa
Indonesia baku menjadi bahasa alay. Ada pula laman twit4lay,
(http://twit4lay.apps.arkalogic.com), yakni generator untuk twitter bagi mereka yang
ingin update tweet dengan bahasa alay. Saat Anda memakai aplikasi ini, secara otomatis
bahasa Indonesia baku yang Anda ketik berubah menjadi bahasa alay.

MENGACAUKAN BAHASA INDONESIA?


Memang, bagi sebagian orang, cara membaca tulisan alay tentu sangat mengganggu.
Butuh waktu lebih lama untuk mencerna maksud sebuah kalimat dalam bahasa alay.
Belum lagi pemenggalan atau penyingkatan yang tidak umum. Banyak juga orang yang
menganggap bahasa alay mengacaukan kaidah berbahasa. Reaksi ini antara lain terlihat
lewat munculnya grup antialay di facebook.

Menurut Ivan, bahasa alay atau bahasa gaul apa pun seharusnya tidak dianggap ancaman
yang merusak kaidah berbahasa. Sebaliknya, bahasa alay justru memperkaya bahasa
Indonesia. Ia mencermati, perkembangan bahasa Inggris jauh lebih cepat ketimbang
bahasa Indonesia. Sehingga, bahasa Inggris menjadi kaya akan kosakata baru.

“Seperti munculnya kata infotainment, edutainment, dan sebagainya, turunan dari kata
entertainment. Belum lagi kata-kata baru yang muncul dari twitter, seperti tweeple,
twitlebritis, dan banyak lagi. Bahasa Indonesia sebaiknya juga berkembang seperti itu.
Mungkin sekarang bisa menjadi kata baru, seperti ngoprol atau nge-tweet,” ujarnya. Ivan
menyebut ngoprol untuk menggambarkan aktivitas di laman media sosial koprol,
sedangkan nge-tweet untuk aktivitas di twitter.

Senada dengan Ivan, Felicia mengatakan, fenomena bahasa gaul yang muncul dalam
masyarakat tak usah dikhawatirkan, karena sifatnya musiman. Apa yang muncul
sekarang, bukan tak mungkin nantinya akan tenggelam dengan sendirinya. “Bahasa gaul
ini bersifat main-main, bukan perkembangan bahasa. Lebih tepatnya tren yang sifatnya
rekreatif,” jelasnya.

Masalahnya, kata Felicia, penggunaan bahasa gaul sering tidak pada tempatnya, terutama
para remaja. “Celakanya, remaja kadang tak bisa membedakan cara penulisan yang harus
menggunakan kaidah, seperti menulis tugas, mengirim SMS untuk guru atau orang tua.
Bahasa alay sah digunakan hanya dalam pergaulan sehari-hari,” kata Felicia.

Bagaimana dengan penulisan karya fiksi chicklit yang sering kali menggunakan ragam
bahasa gaul? Raditya mengatakan, “Saya rasa chicklit tidak mengesampingkan kaidah
EYD, tetapi hanya menyerap istilah gaul di kalangan anak muda. Pembacanya juga
kebanyakan anak muda. Jika menggunakan bahasa baku, kadang-kadang pesannya malah
tidak sampai,” jelasnya.

Felicia menambahkan, “Bahasa gaul membuat kegiatan komunikasi menjadi lebih


menyenangkan, lucu, seru, tidak jadul, dan tidak garing tentunya. Variasi-variasi bahasa
ini sebaiknya tidak dikecam. Jika orang membuat novel remaja atau lagu menggunakan
bahasa yang kaku, siapa yang mau membeli?”

Ia menambahkan, dalam menggunakan bahasa nonformal juga ada etikanya. Masalahnya,


di bahasa nonformal ini sering kali terjadi penghilangan kata yang mengakibatkan
perubahan makna. Misalnya, ‘‘Kamu bebek?’’ Sekilas cara penulisannya benar, namun
artinya jadi lain. Seharusnya ditulis, “Kamu mau bebek?”

Lalu, bagaimana sebaiknya berbahasa yang baik di dunia maya? Menurut Ivan, ada dua
hal yang harus diperhatikan. Pertama, etika dalam materi. Maksudnya, etika berbicara
seperti dalam dunia nyata, tak menggunakan kata-kata kasar atau merendahkan martabat
orang lain.

“Kita harusnya punya kesadaran bahwa apa yang kita tulis di media daring akan
ditampilkan secara terbuka dan dibaca banyak orang sehingga harus memperhatikan
norma sosial yang berlaku,” ujar Ivan.

Kedua, etika dalam cara penulisan. “Sayangnya, belum ada penyeragaman bahasa
penyingkatan maupun bahasa alay. Misalnya, kata ’jangan’ itu sebaiknya disingkat ’jg’
atau ’jgn’? Selama orang yang menerima pesan bisa mengerti, cara penulisan disingkat
atau alay tidak menjadi masalah. Menulis dengan simbol atau karakter yang aneh-aneh,
tetapi tidak bisa dimengerti, kan repot,” terangnya.

Mengenai tweet berbahasa alay dari Tifatul Sembiring, Ivan menanggapi dengan positif.
“Hal itu menggambarkan, ia menggunakan bahasa bukan alat untuk jaim. Sebaliknya,
twitter diperlakukan sebagai media santai yang tidak bisa dia lakukan ketika berbicara di
depan public ujarnya .

Penulis: Afra R. Arumdati

[Dari femina 7 / 2010]

Вам также может понравиться