Вы находитесь на странице: 1из 12

Bandar Lampung, 3 September 2010

Ref.No.: 09-11/SK/2010

Kepada Yth,
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Jl. T.Nyak Arief No.219
Banda Aceh

Subjek : Fisiologi& Patologi Tindak Pidana Kehutanan

Dengan Hormat,
Bersama surat ini kami sampaikan sumbang saran dan masukan / pencerahan, sebagai bentuk kongkrit dari
kepedulian kami terhadap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Semoga masukan dan saran ini dapat
menjadi bahan untuk menghadapi kasus sejenis.

1. Mengapa terjadi multitafsir dalam menghadapi permasalahan hukum khususnya dalam era otonomi
daerah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004?

Jawab :
Dalam perspektif UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, mengamanatkan kepada pemerintah
daerah untuk mengatur kebijakan desentralisasi namun tanpa diberi rambu-rambu sehingga pada
gilirannya muncul peraturan organik yang menyimpang jauh baik esensi Undang-undang pokoknya
termasuk belum harmonisnya berbagai peraturan perundang-undangan baik yang diterbitkan oleh
pemerintah pusat maupun daerah sehingga menimbulkan konflik dan pendapat yang berbeda. Namun
bagaimanapun juga pemerintahan yang baik (good governance/berhoorlijke bestuur) merupakan isu
yang utama dalam pengelolaan administrasi pemerintahan sekarang ini.

2. Dalam era otonomi terlihat adanya kemauan politik Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian
kewenangan ke daerah dengan diterbitkannya Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000, pertanyaannya adalah
apakah ijin pemanfaatan dan pengelolaan hutan tersebut sudah seluruhnya dilimpahkan ke daerah
Kabupaten sebagai daerah otonom?

Jawab :
Didalam Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 sebenarnya tidak jelas mengatur kewenangan pemberian ijin
kepada Bupati. Hanya didalam prakteknya, pemberian ijin tersebut dapat dilakukan oleh Bupati selaku
Kepala Daerah yang memiliki hak otonom, namun yang jelas pengesahan RKL dan RKT menjadi
kewenangan pejabat teknis di daerah, yang merupakan derevatif dari ijin yang sudah diterbitkan oleh
Bupati
3. Fakta yang ada, terdapat PP No. 34 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang pada intinya
mengatur mengenai Tata Kelola Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan
dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pertanyaannya adalah apakah dengan sendirinya terbitnya PP No. 34
Tahun 2002 ini membatalkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman?

Jawab :
PP No. 34 Tahun 2002 tidak secara otomatis membatalkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000, mengingat
PP No. 34 Tahun 2002 tidak terkait dengan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000. dalam PP No. 34 Tahun
2002 diatur mengenai tata cara memperoleh hak pengelolaan hutan melalui proses pelelangan, tidak lagi
melalui permohonan. Sedangkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 mengatur mengenai kewenangan
Kepala Daerah (Bupati) memberikan ijin pengelolaan hutan.

4. Fakta yang ada, terbitnya Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2003 tanggal 5 Februari 2003 tentang
Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman Melalui
Penawaran Dalam Pelelangan yang mencabut Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman
Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman, apakah secara otomatis ijin-ijin
pengelolaan hutan yang telah diberikan oleh Kepala Derah (Bupati) sebelumnya menjadi batal?

Jawab :
Sesuai asas hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu nullum delictum nulla poena sine
praevia lege, tidak dikenal asas berlaku surut (retroaktif) jadi artinya ijin-ijin tersebut tetap sah
(vermodenrechtmatigheid) sepanjang belum ada peraturan yang setingkat atau yang lebih tinggi,
yang secara tegas membatalkan ijin tersebut (lex a priory derogat lex postiory).

5. Fakta yang ada, dalam ijin pengelolaan hutan, misalnya HTI, ijin yang diberikan oleh Menteri selaku
pejabat yang memiliki otoritas, diikuti oleh RKL dan RKT, pertanyaannya siapa yang berwenang
mengesahkan RKT dan RKL tersebut?

Jawab :
Sesuai dengan aturan positif yang ada, RKL dan RKT disahkan oleh pejabat daerah melalui mekanisme
yang telah diatur dalam aturan baku di daerah, yang merupakan kewenangan Kepala Dinas Kehutanan
(teknis) Kabupaten atau Kota setempat yang memiliki tanggung jawab. Kepala Dinas Propinsi
mengesahkan RKT tersebut atas dasar laporan dari pejabat teknis di Kabupaten sebagai bentuk
pengawasan / kontrol (preventieve toezicht) dan dalam aturan bakunya yang dituangkan dalam
Kepmenhut No. 151/KPDS-II/2003 tanggal 2 Mei 2003 ini, pejabat kepala dinas berwenang mengesahkan
RKT, dan bila tidak disahkan RKT tersebut dengan sendirinya sah dalam 30 hari, ada maupun tidak ada
pengesahan dari kepala dinas propinsi setempat, jadi artinya pengesahan RKT ini hanya bersifat
administratif sebagai fungsi kontrol dan pengendalian terhadap ijin-ijin yang diberikan kepada pihak
pengelola hutan secara berkesinambungan

6. Fakta yang ada, terdapat RKT yang disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah, apakah ini dapat
dibenarkan?

Jawab :
Gubernur Kepala Daerah selaku pemegang otoritas setempat, sebagai Kepala Daerah yang memiliki
tanggung jawab penuh terhadap semua aparat bawahannya, yang dikenal dengan asas ordonantur dan
asas delegatoir, sebagian kewenangan Gubernur yang dilimpahkan kepada pejabat teknis dibawahnya
yakni kepala dinas untuk melaksanakan tugas dan kewenangan berdasarkan struktur daerah, maka bila
pejabat teknis tidak cakap (unbevoegheid) dalam melaksanakan tugas pelaksanaan kewenangan ini,
maka Gubernur dapat mengambilalih sesuai dengan kewenangan yang melekat, dengan catatan harus
adanya alasan-alasan khusus dan telaahan staf yang mengkaji suatu keadaan dan Gubernur
berkewajiban untuk mengambil tanggung jawab ini dan ini semua dengan mekanisme dan prinsip-prinsip
yang ada dalam kepemerintahan yang bersih (good corporate governance)

7. Bilamana terdapat penyimpangan di dalam pengesahan RKT ini apakah termasuk ranah pidana?

Jawab :
Setiap tahapan pelaksanaan tugas-tugas kepemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada
masyarakat memang rawan tindak pidana korupsi oleh pejabat (ambtenaar) yang memiliki kewenangan
yang dapat saja disalahgunakan (de tournement de pouvoir) atau (misbruik van gezag) mengingat
khususnya mengenai RKT ini, tidak ada biaya yang ditimbulkan dalam pelayanan ini sebagai biaya jasa,
sehingga kemungkinan terjadi penyuapan (Omkopping) atau gratifikasi. Bila terjadi hal seperti ini,
adalah merupakan kewenangan aparat penyidik, namun kesalahan atau kelalaian ataupun kesengajaan
pelanggaran dalam pengesahan RKT tersebut masuk pada ranah administratif yang merupakan
kewenangan Menteri terkait untuk melakukan tindakan hukum administratif atauGubernur selaku atas
langsung, dan dalam kasus ini bukan kewenangan aparat penyidik kasus pidana

8. Apakah aparat penyidik Polri, Kejaksaan, ataupun KPK dapat menyelidiki / menyidik kasus
pengesahan RKT ini?

Jawab :
RKT adalah ranah hukum administratif (administratieve rechtspraak) jadi tidak ada kewenangan
aparat penyidik untuk menyidik kasus pengesahan RKT. Penyelidikan dapat saja dilakukan oleh aparat
penyidik Polri, Kejaksaan atau KPK, namun tetap harus dibatasi oleh aturan hukum positif bilamana ada
bukti ataupun informasi dalam pemberian ijin ataupun pengesahan RKT ini, pejabat (ambtenaar) terkait
melakukan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power atau Misbruik Van Gezag / Detournement
de pouvoir) dalam bentuk menerima gratifikasi maka peristiwa hukum ini menjadi ranah hukum pidana
yang dapat disidik oleh aparat penyidik Polri, Kejaksaan atau KPK

Kesimpulan / Saran

Dari penjelasan tersebut diatas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penegak hukum melihat dengan Dengan diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan


oleh instansi yang berwenang, dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya.
2. Penegak hukum melihat dengan kata lain tidak ada alasan bagi pelanggar hukum untuk
menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak mengetahui hukum atau
peraturannya.
3. Penegak hukum melihat Posisi/kedudukan dan kegiatan keseharian kita sangat rawan terjerat
tindak pidana kehutanan.

Semoga pemahaman terhadap Tindak Pidana Kehutanan dapat dipahami dengan baik. Demikianlah saran dan
masukan kami buat sebagai bentuk kongkrit sumbangan pemikiran kami yang peduli dengan Instansi ini.
Semoga bermanfaat bila perlu informasi lebih lanjut dengan senang hati kami dapat dikunjungi melalui
website kami pada Lampung@rspforensicauditor.com atau menghubungi contact person kami di nomor :
0721-254651 (sdr. Mahfuza), Kami akan memberikan bantuan secara Cuma-Cuma. Terlampir kami
serahkan profil kantor hukum & track records kami dalam bentuk CD.

Hormat kami,
Independent Legal Auditors
ROBIN SULAIMAN & PARTNERS

Dr. Robintan Sulaiman, SH., MH., MA., MM Mahfuza, SH


C :my.doc/Sk-RSP/2010. Doc

CC : - Biro Hukum
- file
Bandar Lampung, 3 September 2010
Ref.No.: 09-12/SK/2010

Kepada Yth,
Gubernur Sumatra Utara
Jl. P. Diponegoro No.3
Medan

Subjek : Fisiologi& Patologi Tindak Pidana Kehutanan

Dengan Hormat,
Bersama surat ini kami sampaikan sumbang saran dan masukan / pencerahan, sebagai bentuk kongkrit dari
kepedulian kami terhadap Provinsi Sumatra Utara. Semoga masukan dan saran ini dapat menjadi bahan
untuk menghadapi kasus sejenis.

1. Mengapa terjadi multitafsir dalam menghadapi permasalahan hukum khususnya dalam era otonomi
daerah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004?

Jawab :
Dalam perspektif UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, mengamanatkan kepada pemerintah
daerah untuk mengatur kebijakan desentralisasi namun tanpa diberi rambu-rambu sehingga pada
gilirannya muncul peraturan organik yang menyimpang jauh baik esensi Undang-undang pokoknya
termasuk belum harmonisnya berbagai peraturan perundang-undangan baik yang diterbitkan oleh
pemerintah pusat maupun daerah sehingga menimbulkan konflik dan pendapat yang berbeda. Namun
bagaimanapun juga pemerintahan yang baik (good governance/berhoorlijke bestuur) merupakan isu
yang utama dalam pengelolaan administrasi pemerintahan sekarang ini.

2. Dalam era otonomi terlihat adanya kemauan politik Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian
kewenangan ke daerah dengan diterbitkannya Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000, pertanyaannya adalah
apakah ijin pemanfaatan dan pengelolaan hutan tersebut sudah seluruhnya dilimpahkan ke daerah
Kabupaten sebagai daerah otonom?

Jawab :
Didalam Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 sebenarnya tidak jelas mengatur kewenangan pemberian ijin
kepada Bupati. Hanya didalam prakteknya, pemberian ijin tersebut dapat dilakukan oleh Bupati selaku
Kepala Daerah yang memiliki hak otonom, namun yang jelas pengesahan RKL dan RKT menjadi
kewenangan pejabat teknis di daerah, yang merupakan derevatif dari ijin yang sudah diterbitkan oleh
Bupati
3. Fakta yang ada, terdapat PP No. 34 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang pada intinya
mengatur mengenai Tata Kelola Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan
dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pertanyaannya adalah apakah dengan sendirinya terbitnya PP No. 34
Tahun 2002 ini membatalkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman?

Jawab :
PP No. 34 Tahun 2002 tidak secara otomatis membatalkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000, mengingat
PP No. 34 Tahun 2002 tidak terkait dengan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000. dalam PP No. 34 Tahun
2002 diatur mengenai tata cara memperoleh hak pengelolaan hutan melalui proses pelelangan, tidak lagi
melalui permohonan. Sedangkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 mengatur mengenai kewenangan
Kepala Daerah (Bupati) memberikan ijin pengelolaan hutan.

4. Fakta yang ada, terbitnya Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2003 tanggal 5 Februari 2003 tentang
Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman Melalui
Penawaran Dalam Pelelangan yang mencabut Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman
Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman, apakah secara otomatis ijin-ijin
pengelolaan hutan yang telah diberikan oleh Kepala Derah (Bupati) sebelumnya menjadi batal?

Jawab :
Sesuai asas hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu nullum delictum nulla poena sine
praevia lege, tidak dikenal asas berlaku surut (retroaktif) jadi artinya ijin-ijin tersebut tetap sah
(vermodenrechtmatigheid) sepanjang belum ada peraturan yang setingkat atau yang lebih tinggi,
yang secara tegas membatalkan ijin tersebut (lex a priory derogat lex postiory).

5. Fakta yang ada, dalam ijin pengelolaan hutan, misalnya HTI, ijin yang diberikan oleh Menteri selaku
pejabat yang memiliki otoritas, diikuti oleh RKL dan RKT, pertanyaannya siapa yang berwenang
mengesahkan RKT dan RKL tersebut?

Jawab :
Sesuai dengan aturan positif yang ada, RKL dan RKT disahkan oleh pejabat daerah melalui mekanisme
yang telah diatur dalam aturan baku di daerah, yang merupakan kewenangan Kepala Dinas Kehutanan
(teknis) Kabupaten atau Kota setempat yang memiliki tanggung jawab. Kepala Dinas Propinsi
mengesahkan RKT tersebut atas dasar laporan dari pejabat teknis di Kabupaten sebagai bentuk
pengawasan / kontrol (preventieve toezicht) dan dalam aturan bakunya yang dituangkan dalam
Kepmenhut No. 151/KPDS-II/2003 tanggal 2 Mei 2003 ini, pejabat kepala dinas berwenang mengesahkan
RKT, dan bila tidak disahkan RKT tersebut dengan sendirinya sah dalam 30 hari, ada maupun tidak ada
pengesahan dari kepala dinas propinsi setempat, jadi artinya pengesahan RKT ini hanya bersifat
administratif sebagai fungsi kontrol dan pengendalian terhadap ijin-ijin yang diberikan kepada pihak
pengelola hutan secara berkesinambungan

6. Fakta yang ada, terdapat RKT yang disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah, apakah ini dapat
dibenarkan?
Jawab :
Gubernur Kepala Daerah selaku pemegang otoritas setempat, sebagai Kepala Daerah yang memiliki
tanggung jawab penuh terhadap semua aparat bawahannya, yang dikenal dengan asas ordonantur dan
asas delegatoir, sebagian kewenangan Gubernur yang dilimpahkan kepada pejabat teknis dibawahnya
yakni kepala dinas untuk melaksanakan tugas dan kewenangan berdasarkan struktur daerah, maka bila
pejabat teknis tidak cakap (unbevoegheid) dalam melaksanakan tugas pelaksanaan kewenangan ini,
maka Gubernur dapat mengambilalih sesuai dengan kewenangan yang melekat, dengan catatan harus
adanya alasan-alasan khusus dan telaahan staf yang mengkaji suatu keadaan dan Gubernur
berkewajiban untuk mengambil tanggung jawab ini dan ini semua dengan mekanisme dan prinsip-prinsip
yang ada dalam kepemerintahan yang bersih (good corporate governance)

7. Bilamana terdapat penyimpangan di dalam pengesahan RKT ini apakah termasuk ranah pidana?

Jawab :
Setiap tahapan pelaksanaan tugas-tugas kepemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada
masyarakat memang rawan tindak pidana korupsi oleh pejabat (ambtenaar) yang memiliki kewenangan
yang dapat saja disalahgunakan (de tournement de pouvoir) atau (misbruik van gezag) mengingat
khususnya mengenai RKT ini, tidak ada biaya yang ditimbulkan dalam pelayanan ini sebagai biaya jasa,
sehingga kemungkinan terjadi penyuapan (Omkopping) atau gratifikasi. Bila terjadi hal seperti ini,
adalah merupakan kewenangan aparat penyidik, namun kesalahan atau kelalaian ataupun kesengajaan
pelanggaran dalam pengesahan RKT tersebut masuk pada ranah administratif yang merupakan
kewenangan Menteri terkait untuk melakukan tindakan hukum administratif atauGubernur selaku atas
langsung, dan dalam kasus ini bukan kewenangan aparat penyidik kasus pidana

8. Apakah aparat penyidik Polri, Kejaksaan, ataupun KPK dapat menyelidiki / menyidik kasus
pengesahan RKT ini?

Jawab :
RKT adalah ranah hukum administratif (administratieve rechtspraak) jadi tidak ada kewenangan
aparat penyidik untuk menyidik kasus pengesahan RKT. Penyelidikan dapat saja dilakukan oleh aparat
penyidik Polri, Kejaksaan atau KPK, namun tetap harus dibatasi oleh aturan hukum positif bilamana ada
bukti ataupun informasi dalam pemberian ijin ataupun pengesahan RKT ini, pejabat (ambtenaar) terkait
melakukan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power atau Misbruik Van Gezag / Detournement
de pouvoir) dalam bentuk menerima gratifikasi maka peristiwa hukum ini menjadi ranah hukum pidana
yang dapat disidik oleh aparat penyidik Polri, Kejaksaan atau KPK

Kesimpulan / Saran

Dari penjelasan tersebut diatas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:

4. Penegak hukum melihat dengan Dengan diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan


oleh instansi yang berwenang, dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya.
5. Penegak hukum melihat dengan kata lain tidak ada alasan bagi pelanggar hukum untuk
menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak mengetahui hukum atau
peraturannya.
6. Penegak hukum melihat Posisi/kedudukan dan kegiatan keseharian kita sangat rawan terjerat
tindak pidana kehutanan.

Semoga pemahaman terhadap Tindak Pidana Kehutanan dapat dipahami dengan baik. Demikianlah saran dan
masukan kami buat sebagai bentuk kongkrit sumbangan pemikiran kami yang peduli dengan Instansi ini.
Semoga bermanfaat bila perlu informasi lebih lanjut dengan senang hati kami dapat dikunjungi melalui
website kami pada Lampung@rspforensicauditor.com atau menghubungi contact person kami di nomor :
0721-254651 (sdr. Mahfuza), Kami akan memberikan bantuan secara Cuma-Cuma. Terlampir kami
serahkan profil kantor hukum & track records kami dalam bentuk CD.

Hormat kami,
Independent Legal Auditors
ROBIN SULAIMAN & PARTNERS

Dr. Robintan Sulaiman, SH., MH., MA., MM Mahfuza, SH


C :my.doc/Sk-RSP/2010. Doc

CC : - Biro Hukum
- file
Bandar Lampung, 3 September 2010
Ref.No.: 09-13/SK/2010

Kepada Yth,
Gubernur Riau
Jl. Jend. Sudirman No.460
Pekanbaru

Subjek : Fisiologi& Patologi Tindak Pidana Kehutanan

Dengan Hormat,
Bersama surat ini kami sampaikan sumbang saran dan masukan / pencerahan, sebagai bentuk kongkrit dari
kepedulian kami terhadap Provinsi Riau. Semoga masukan dan saran ini dapat menjadi bahan untuk
menghadapi kasus sejenis.

1. Mengapa terjadi multitafsir dalam menghadapi permasalahan hukum khususnya dalam era otonomi
daerah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004?

Jawab :
Dalam perspektif UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, mengamanatkan kepada pemerintah
daerah untuk mengatur kebijakan desentralisasi namun tanpa diberi rambu-rambu sehingga pada
gilirannya muncul peraturan organik yang menyimpang jauh baik esensi Undang-undang pokoknya
termasuk belum harmonisnya berbagai peraturan perundang-undangan baik yang diterbitkan oleh
pemerintah pusat maupun daerah sehingga menimbulkan konflik dan pendapat yang berbeda. Namun
bagaimanapun juga pemerintahan yang baik (good governance/berhoorlijke bestuur) merupakan isu
yang utama dalam pengelolaan administrasi pemerintahan sekarang ini.

2. Dalam era otonomi terlihat adanya kemauan politik Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian
kewenangan ke daerah dengan diterbitkannya Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000, pertanyaannya adalah
apakah ijin pemanfaatan dan pengelolaan hutan tersebut sudah seluruhnya dilimpahkan ke daerah
Kabupaten sebagai daerah otonom?

Jawab :
Didalam Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 sebenarnya tidak jelas mengatur kewenangan pemberian ijin
kepada Bupati. Hanya didalam prakteknya, pemberian ijin tersebut dapat dilakukan oleh Bupati selaku
Kepala Daerah yang memiliki hak otonom, namun yang jelas pengesahan RKL dan RKT menjadi
kewenangan pejabat teknis di daerah, yang merupakan derevatif dari ijin yang sudah diterbitkan oleh
Bupati
3. Fakta yang ada, terdapat PP No. 34 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang pada intinya
mengatur mengenai Tata Kelola Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan
dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pertanyaannya adalah apakah dengan sendirinya terbitnya PP No. 34
Tahun 2002 ini membatalkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman?

Jawab :
PP No. 34 Tahun 2002 tidak secara otomatis membatalkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000, mengingat
PP No. 34 Tahun 2002 tidak terkait dengan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000. dalam PP No. 34 Tahun
2002 diatur mengenai tata cara memperoleh hak pengelolaan hutan melalui proses pelelangan, tidak lagi
melalui permohonan. Sedangkan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 mengatur mengenai kewenangan
Kepala Daerah (Bupati) memberikan ijin pengelolaan hutan.

4. Fakta yang ada, terbitnya Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2003 tanggal 5 Februari 2003 tentang
Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman Melalui
Penawaran Dalam Pelelangan yang mencabut Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman
Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman, apakah secara otomatis ijin-ijin
pengelolaan hutan yang telah diberikan oleh Kepala Derah (Bupati) sebelumnya menjadi batal?

Jawab :
Sesuai asas hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu nullum delictum nulla poena sine
praevia lege, tidak dikenal asas berlaku surut (retroaktif) jadi artinya ijin-ijin tersebut tetap sah
(vermodenrechtmatigheid) sepanjang belum ada peraturan yang setingkat atau yang lebih tinggi,
yang secara tegas membatalkan ijin tersebut (lex a priory derogat lex postiory).

5. Fakta yang ada, dalam ijin pengelolaan hutan, misalnya HTI, ijin yang diberikan oleh Menteri selaku
pejabat yang memiliki otoritas, diikuti oleh RKL dan RKT, pertanyaannya siapa yang berwenang
mengesahkan RKT dan RKL tersebut?

Jawab :
Sesuai dengan aturan positif yang ada, RKL dan RKT disahkan oleh pejabat daerah melalui mekanisme
yang telah diatur dalam aturan baku di daerah, yang merupakan kewenangan Kepala Dinas Kehutanan
(teknis) Kabupaten atau Kota setempat yang memiliki tanggung jawab. Kepala Dinas Propinsi
mengesahkan RKT tersebut atas dasar laporan dari pejabat teknis di Kabupaten sebagai bentuk
pengawasan / kontrol (preventieve toezicht) dan dalam aturan bakunya yang dituangkan dalam
Kepmenhut No. 151/KPDS-II/2003 tanggal 2 Mei 2003 ini, pejabat kepala dinas berwenang mengesahkan
RKT, dan bila tidak disahkan RKT tersebut dengan sendirinya sah dalam 30 hari, ada maupun tidak ada
pengesahan dari kepala dinas propinsi setempat, jadi artinya pengesahan RKT ini hanya bersifat
administratif sebagai fungsi kontrol dan pengendalian terhadap ijin-ijin yang diberikan kepada pihak
pengelola hutan secara berkesinambungan

6. Fakta yang ada, terdapat RKT yang disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah, apakah ini dapat
dibenarkan?
Jawab :
Gubernur Kepala Daerah selaku pemegang otoritas setempat, sebagai Kepala Daerah yang memiliki
tanggung jawab penuh terhadap semua aparat bawahannya, yang dikenal dengan asas ordonantur dan
asas delegatoir, sebagian kewenangan Gubernur yang dilimpahkan kepada pejabat teknis dibawahnya
yakni kepala dinas untuk melaksanakan tugas dan kewenangan berdasarkan struktur daerah, maka bila
pejabat teknis tidak cakap (unbevoegheid) dalam melaksanakan tugas pelaksanaan kewenangan ini,
maka Gubernur dapat mengambilalih sesuai dengan kewenangan yang melekat, dengan catatan harus
adanya alasan-alasan khusus dan telaahan staf yang mengkaji suatu keadaan dan Gubernur
berkewajiban untuk mengambil tanggung jawab ini dan ini semua dengan mekanisme dan prinsip-prinsip
yang ada dalam kepemerintahan yang bersih (good corporate governance)

7. Bilamana terdapat penyimpangan di dalam pengesahan RKT ini apakah termasuk ranah pidana?

Jawab :
Setiap tahapan pelaksanaan tugas-tugas kepemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada
masyarakat memang rawan tindak pidana korupsi oleh pejabat (ambtenaar) yang memiliki kewenangan
yang dapat saja disalahgunakan (de tournement de pouvoir) atau (misbruik van gezag) mengingat
khususnya mengenai RKT ini, tidak ada biaya yang ditimbulkan dalam pelayanan ini sebagai biaya jasa,
sehingga kemungkinan terjadi penyuapan (Omkopping) atau gratifikasi. Bila terjadi hal seperti ini,
adalah merupakan kewenangan aparat penyidik, namun kesalahan atau kelalaian ataupun kesengajaan
pelanggaran dalam pengesahan RKT tersebut masuk pada ranah administratif yang merupakan
kewenangan Menteri terkait untuk melakukan tindakan hukum administratif atauGubernur selaku atas
langsung, dan dalam kasus ini bukan kewenangan aparat penyidik kasus pidana

8. Apakah aparat penyidik Polri, Kejaksaan, ataupun KPK dapat menyelidiki / menyidik kasus
pengesahan RKT ini?

Jawab :
RKT adalah ranah hukum administratif (administratieve rechtspraak) jadi tidak ada kewenangan
aparat penyidik untuk menyidik kasus pengesahan RKT. Penyelidikan dapat saja dilakukan oleh aparat
penyidik Polri, Kejaksaan atau KPK, namun tetap harus dibatasi oleh aturan hukum positif bilamana ada
bukti ataupun informasi dalam pemberian ijin ataupun pengesahan RKT ini, pejabat (ambtenaar) terkait
melakukan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power atau Misbruik Van Gezag / Detournement
de pouvoir) dalam bentuk menerima gratifikasi maka peristiwa hukum ini menjadi ranah hukum pidana
yang dapat disidik oleh aparat penyidik Polri, Kejaksaan atau KPK

Kesimpulan / Saran

Dari penjelasan tersebut diatas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:

7. Penegak hukum melihat dengan Dengan diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan


oleh instansi yang berwenang, dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya.
8. Penegak hukum melihat dengan kata lain tidak ada alasan bagi pelanggar hukum untuk
menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak mengetahui hukum atau
peraturannya.
9. Penegak hukum melihat Posisi/kedudukan dan kegiatan keseharian kita sangat rawan terjerat
tindak pidana kehutanan.

Semoga pemahaman terhadap Tindak Pidana Kehutanan dapat dipahami dengan baik. Demikianlah saran dan
masukan kami buat sebagai bentuk kongkrit sumbangan pemikiran kami yang peduli dengan Instansi ini.
Semoga bermanfaat bila perlu informasi lebih lanjut dengan senang hati kami dapat dikunjungi melalui
website kami pada Lampung@rspforensicauditor.com atau menghubungi contact person kami di nomor :
0721-254651 (sdr. Mahfuza), Kami akan memberikan bantuan secara Cuma-Cuma. Terlampir kami
serahkan profil kantor hukum & track records kami dalam bentuk CD.

Hormat kami,
Independent Legal Auditors
ROBIN SULAIMAN & PARTNERS

Dr. Robintan Sulaiman, SH., MH., MA., MM Mahfuza, SH


C :my.doc/Sk-RSP/2010. Doc

CC : - Biro Hukum
- file

Вам также может понравиться