Вы находитесь на странице: 1из 22

SULTAN AL-ZAHIR RUKNUDDIN BAYBARS AL-BUNDUQDARY:

KEBIJAKAN POLITIK DAN PENCAPAIAN KEJAYAAN


DINASTI MAMLUK MESIR
Oleh: Cecep Darul Iwan
A. Pendahuluan
Kesultanan Mamluk Mesir merupakan salah satu kesultanan atau dinasti
yang pernah mewarnai perjalanan sejarah peradaban Islam di kawasan Timur
Tengah1 dengan capaian prestasi gemilang. Para sejarawan memasukkan
peradaban Mamluk pada periode medieval Islam2 karena ia berlangsung sekitar
abad XIII sampai abad XIV.3 Masa ini dikenal sebagai awal masa kemunduran
Islam ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan ekspansi Islam tidak
secemerlang periode klasik. Periode pertengahan diwarnai oleh kemunculan
beberapa dinasti yang dikuasai oleh sultan-sultan lokal, intrik-intrik politik dalam
beberapa dinasti, dan terpolarisasinya umat Islam ke dalam beberapa kekuatan
politik. Bagdad yang pernah menjadi pusat dunia Islam dengan segala
kemajuannya pada masa ini telah kehilangan aura kecantikannya, sehingga ia
tidak lagi menarik untuk dijadikan panutan kaum Muslimin.
Dalam keadaan demikian di Mesir tumbuh sebuah kekuatan baru yang
disokong oleh suatu entitas kekuasaan yang berbeda dibanding kekuasaan pada
dinasti-dinasti Islam lainnya. Sejak masa Muawiyah membangun imperium Bani
Umayyah, umat Islam telah sangat akrab dengan sistem pemerintahan kerajaan,
demikian juga Bani Abbasiyah yang dibangun melalui sebuah perebutan
kekuasaan dengan maksud memperbaiki apa yang telah dilakukan oleh Bani
Umayyah juga terjebak pada sistem yang sama. Namun di Mesir, kaum Mamluk,

1
Marshall G.S. Hodgson lebih senang menyebut kawasan Timur Tengah dengan
istilah“Nil sampai Oxus”. Menurutnya istilah Timur Tengah lebih terasa eurosentris dan tidak
memandang sejarah dengan pandangan yang adil. Lihat Marshal G.S. Hodgson, The Venture of
Islam; Buku Pertama Lahirnya Sebuah Tatanan Baru, terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta:
Paramadina, 2002. P.86-87.
2
Pembagian periode sejarah menjadi kuno (klasik), menengah, dan modern, bagi
Hodgson juga terasa kurang pas. Lihat Marshall, G.S. Hodgson, The Venture of Islam..., P.42-47.
3
Goitiein membagi tiga babakan sejarah umat Islam: 1) periode kolonisasi dan
konsolidasi keagamaan (620-850), 2) peradaban pertengahan (850-1250), dan 3) periode
pembentukan budaya nasional yang diikuti dengan kemunduran (1250-1850). Lihat S.D. Goitein,
Studies in Islamic History and Institutions, Leiden: E.J. Brill, 1968. P.46.

1
pada 1250 memberikan nuansa berbeda. Mereka menyusun pemerintahannya
berdasarkan oligarki militer. Keturunan sebagai alasan utama untuk mengangkat
seseorang menjadi khalifah diganti dengan asas senioritas dalam militer.
Kekuatan Dinasti Mamluk muncul dari puing-puing kehancuran Dinasti
Ayyubiyah yang dibangun oleh Salahuddin Al-Ayubi menyusul kemunduran yang
dialami oleh Dinasti Fatimiyah. Terdapat banyak kisah mengagumkan dari sepak
terjang kaum budak ini dalam memangun kekuatan imperiumnya. Mereka dikenal
sebagai salah satu pilar penyangga kekuatan Islam ketika Islam sedang berada
dalam kelemahan yang luar biasa.4 Tulisan ini akan mencoba membedah kisah
Dinasti Mamluk terutama akan difokuskan pada perjalanan kepemimpinan salah
satu sultannya, yaitu Sultan Ruknuddin Baybars yang berkuasa pada 1260-1277
yang menurut beberapa sejarawan ia adalah sultan terbesar Dinasti Mamluk di
Mesir.5

B. Asal Mula Kaum Mamluk


Sebelum berbicara lebih jauh mengenai Dinasti Mamluk, saya akan
memaparkan dahulu mengenai asal-usul Mamluk. Istilah mamluk berasal dari
bahasa Arab (mamālīk dalam bentuk jamaknya) yang bisa diartikan sebagai
budak, hamba, atau orang yang dikuasai. Para budak ini pada awalnya dibeli dari
pasar-pasar budak sewaktu mereka masih kecil yang kemudian diberi pendidikan
militer untuk digunakan sebagai tentara pemerintah. 6 Dalam kasus mamluk di
Mesir, para penguasa Ayyubiyah dengan gencar menggunakan jasa kaum mamluk
ini setelah kematian Sultan Salahuddin al-Ayubi.7 Kaum mamluk (dalam
pengertian tentara) bahkan dimiliki oleh bangsawan-bangsawan tertentu untuk

4
Bernard Lewis menyebutkan bahwa bangsa Turki dengan segala kelebihan dan
kekurangan yang mereka miliki telah mampu memberikan perlawanan sengit terhadap serangan-
serangan mematikan yang dilancarkan oleh Tentara Salib dan Mongol sehingga Islam mampu
bertahan dalam kacaunya keadaan saat itu. Lihat Bernard Lewis, Islam from the Prophet to the
Capture of Constantinople, London: The McMillan Press Ltd. 1974 p. xiv-xv.
5
Philip K. Hitti, p. 695-696. Lihat juga artikel Redmond WA, Baybars I dalam Microsoft
Student 2007: Microsoft Corporation 2006.
6
Qasim Abduh Qasim, ‘Asr Salātīn al-Mamālīk; al-Tārīkh al-Siyāsī wa al-Ijtimā’ī,
Beirut:Ein for Human and Social Studies, 1998. p. 25.
7
Ibid.

2
mendukung atau bahkan menghabisi lawan-lawannya dalam pertikaian-pertikaian
politik dalam Dinasti Ayyubiyah sendiri.
Jauh sebelum Dinasti Ayyubiyah di Mesir menggunakan jasa kaum
mamluk, tenaga mereka sebenarnya sudah digunakan dalam beberapa konflik
politik dunia Islam. Goitein mencatat bahwa keterlibatan pertama kali kaum
budak dalam peperangan adalah ketika Abdullah Isfahany, seorang Persia,
memberikan bantuan 400 orang budaknya kepada Gubernur Irak dalam rangka
melakukan pemberontakan kaum Syi’ah Mukhtar pada 687 M. Abdullah sendiri
ikut berperang dengan memimpin pasukan pada sayap kanan. Nampaknya dari
sini kemudian istilah Mamluk kemudian identik dengan tentara budak.8
Penggunaan tentara Mamluk sebagai kekuatan tersendiri dalam kesatuan
militer seperti yang digunakan oleh Abdullah Isfahany di atas, nampaknya bukan
sebagai sebuah kesatuan khusus sampai kemudian digunakan secara resmi oleh
Al-Mansur, salah seorang khalifah Abbasiyah, pada abad ke-9 untuk memperkuat
barisan tentaranya. Bani Abbasiyah banyak mengambil budak-budak ini dari
kawasan Kaukasus dan Laut Hitam. Mereka adalah bangsa Turki, terutama dari
keturunan Kipchak, yang kemudian diberi pengajaran Agama Islam.
Menurut Goitein, kita tidak tahu secara lebih detil bagaimana Al-Mansur
sebagai khalifah yang menggunakan tenaga para kaum Mamluk ini menerapkan
disiplin dan pengajaran agama bagi mereka. Namun pelatihan yang efisien
nampaknya berlangsung pada masa Nizam al-Mulk dengan pasukan Siyaset
Nama. Praktek inilah yang selanjutnya digunakan oleh kaum Mamluk di Mesir
dan pasukan Janisseri Utsmani. Model pelatihan ini menjadikan pendidikan
agama sebagai bagian penting dalam memilih pasukan beserta tugas-tugas
mereka.9
Pada masa kekuasaan Abbasiyah semakin besar dan luas, kebutuhan akan
tentara profesional nampaknya tidak bisa dihindarkan. Selama ini tentara yang
digunakan dari bangsa Arab cenderung lebih mentaati syekh atau bangsawan-
bangsawan lainnya yang kadang bertentangan dengan khalifah. Sementara tentara

8
S.D. Goitein, Studies in Islamic History..., p. 235.
9
Ibid p.158.

3
budak, karena mereka tidak memiliki ikatan dengan golongan manapun dalam
masyarakat Islam, bahkan juga mereka tidak memiliki ikatan keluarga (karena
biasanya direkrut ketika masih kanak-kanak)10, maka kesetiaan tertinggi mereka
hanya bagi khalifah. Selain itu, dalam struktur masyarakat Islam pada masa itu,
golongan budak dan orang asing merupakan golongan masyarakat pada strata
terbawah sehingga jika mereka menentang khalifah dengan mudah khalifah dapat
menjatuhkan hukuman tanpa ada pihak manapun yang akan menghalanginya.
Oleh karena itu bagi para khalifah, tentara Mamluk merupakan aset terpenting
dalam militer.
Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih sebagai tentara
berkuda. Mereka harus mematuhi Furusiyah, sebuah aturan yang memasukkan
nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati. Selain itu Furusiyah juga berisi
doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran
memanah, dan juga kemahiran merawat luka dan cedera. Tentara Mamluk ini
hidup dalam komunitas mereka sendiri dalam asrama, barak, atau perkampungan
tertentu. Dalam waktu luang ketika tidak ada peperangan, mereka menghabiskan
waktu dengan permainan seperti memanah, dan persembahan kemahiran
bertempur.
Selanjutnya setelah seorang Mamluk menyelesaikan latihan, ia kemudian
dimerdekakan tetapi harus setia kepada khalifah atau sultan. Setiap perintah sultan
atau khalifah harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Selain sultan atau
khalifah, para amir (pejabat setingkat gubernur) juga memiliki pasukan mamluk
namun tidak lebih besar dibandingkan pasukan khalifah atau sultan.
Di Mesir, sebagai wilayah dimana kaum Mamluk mampu mendirikan
dinasti tersendiri, pada awalnya kehadiran kaum Mamluk merupakan tawanan
para penguasa Dinasti Ayyubiyah yang kemudian dididik untuk dijadikan tentara.
Secara ekslusif mereka ditempatkan di pulau Raudhah di kawasan sungai Nil
sebagai perkampungan mereka sehingga mereka dikenal sebagai Mamluk Bahri.
Karir militer mereka di Mesir yang pada awalnya merupakan tentara kelas
rendahan perlahan-lahan mencapai tingkat yang lebih tinggi. Tentara Mamluk

10
Qasim Abduh Qasim, ‘Asr Salātīn al-Mamālīk...p. 26.

4
juga menjadi salah satu kekuatan penentu dalam perebutan kekuasaan. Bahkan
Sultan Ayyubiyah terakhir, al-Malik al-Salih Najmuddin Ayyub, menjadikan
mereka sebagai pengawal untuk menjaga kelangsungan kekuasaannya. Pada masa
al-Malik al-Salih ini tentara Mamluk mendapat hak-hak istimewa, baik pada karir
ketentaraan maupun dalam hal imbalan material.

C. Kelahiran Dinasti Mamluk Mesir


Dinasti Mamluk (648-922 H/ 1250-1517 M) lahir dengan mewarisi
kekayaan dan tanggung jawab politik serta militer Dinasti Ayyubiyah. Kedua
Dinasti ini, baik Ayyubiyah maupun Mamluk, muncul untuk menjawab tantangan
politik dan militer dimana dunia Islam, khususnya wilayah Arab atau Timur
Tengah, sedang menghadapi masa-masa sulit dari sejarah panjang peradaban
Islam. Dinasti Ayyubiyah, yang dibangun oleh Salahuddin al-Ayyubi, memiliki
peran dan tanggung jawab untuk menghadapi musuh umat Islam, yaitu kaum
Salib, yang menguasai al-Quds dan wilayah Palestina serta Syiria bahkan
mengancam sebagian wilayah Arabia. Namun para penguasa Ayyubiyah yang
terakhir telah gagal dalam menghadapi orang-orang Frank karena beberapa
konflik yang terjadi di dalam pemerintahannya sendiri. Sehingga potensi yang
dimilikinya malah terkuras untuk menyelesaikan konflik dalam negeri dan bukan
bahu-membahu untuk menghadapi kekuaran tentara Salib.11
Tiga pembesar Ayyubiyah di Syiria, yaitu: al-Malik al-Shalih Ismail
gubernur Damaskus, al-Malik al-Nasir Daud gubernur Kirk, dan al-Malik al-
Mansur gubernur Hims bergabung untuk mengadakan persekutuan dengan tentara
Salib dengan maksud melawan Sultan Najmuddin Ayyub di Mesir. Tiga penguasa
yang bergabung itu sepakat untuk menyerahkan wilayah Masjid al-Aqsa dan
Qubat al-Sakhra kepada pasukan Salib sebagai balasan kerja sama penyerangan
terhadap al-Malik al-Salih Najmuddin di Mesir.12
Najmuddin Ayyub mau tidak mau harus menghadapi saudara-saudaranya
itu dengan pedang, ia memiliki beban untuk mempertahankan kekayaan Mesir

11
Ibid.
12
Ibid.

5
yang agung dengan membentuk pasukan yang memungkinkannya untuk
menghadapi tentara koalisi ini. Sebagian pasukannya juga berasal dari beberapa
tentara Khawarizmiyah yang datang ke wilayah Arabia setelah negeri mereka
dihancurleburkan oleh Mongol. Orang-orang Khawarizmi ini hanya setia siapa
saja yang mampu membayar mereka. Pasukan Sultan Najmuddin Ayyub yang
diperkuat oleh tentara Khawarizmi ini kemudian berhasil menghadapi tentara
koalisi tiga gubernur (Damaskus, Hims, dan Kirk) yang dibantu oleh tentara Salib
untuk menguasai kembali Bait al-Muqaddas dan Nablus dan menggabungkannya
ke dalam kekuasaan sang Sultan. Pasukan koalisi berhasil dihancurkan pada tahun
1244 M dalam peperangan yang terkenal dengan nama “Perang Gaza”.
Dalam keadaan kacau balau antara Perang Salib VII, perang saudara
Dinasti Ayyubiyah, dan ancaman serangan mematikan dari bangsa Mongol yang
terus merayap dari Timur, kekuatan Mamluk perlahan muncul ke permukaan.
Ketika al-Malik al-Salih Najmuddin Ayyub meninggal pada 1249 M, disepakati
bahwa anaknya yang bernama Turansyah naik tahta sebagai sultan. Namun
kemunculan Turansyah di atas singgasana kekuasaan Mesir menimbulkan
ketidaknyamanan di kalangan kaum Mamluk, karena Turansyah lebih dekat
kepada tentara Kurdi daripada mereka. Terlebih Turansyah memiliki hubungan
yang tidak baik dengan janda sultan al-Malik al-Salih Najumddin, yaitu Syajarat
al-Durr. Melalui sebuah siasat akhirnya Turansyah terbunuh oleh para pembesar
Mamluk.
Secara dramatis para sejarawan menulis proses pembunuhan terhadap
Turansyah. Baybars menghadap Turansyah dengan menghunuskan pedangnya dan
langsung menebas Turansyah sehingga beberapa jari Turansyah putus. Turansyah
lari ke atas menara dan dikejar oleh beberapa pembesar Mamluk dengan cara
membakar menara itu. Tak tahan dengan panasnya menara ia lari dan
menceburkan diri ke sungai dengan berteriak-teriak meminta pertolongan kepada
pasukannya namun tidak ada satupun pasukan yang berani menolongnya sehingga

6
ia mati dalam keadaan terluka, terbakar, dan tenggelam. 13 Pembunuhan terhadap
Turansyah ini terjadi di Farsikur pada 28 Muharam 648 H.14
Setelah Turansyah terbunuh, maka para pembesar Mamluk kemudian
menyepakati Syajarat al-Durr, yang ternyata merupakan budak yang kemudian
dimerdekakan dan dinikahi oleh al-Malik al-Salih Najmuddin Ayyub, diangkat
sebagai sultanah Mesir menggantikan Turansyah. Ada banyak cerita unik
mengenai posisi Syajarat al-Durr sebagai sultanah. Bagi mayoritas umat Islam,
tentu karena berdasarkan hadits Rasulullah15, keberadaan perempuan sebagai
sultan tentu tidak bisa diterima, apalagi pada posisi umat Islam abad ke 10-11 M.
Karena itu setelah kurang lebih 80 hari menduduki singgasana kesultanan,
Syajarat al-Durr turun dari tahta. Bagi sebagian sejarawan seperti CE.
Bosworth,16 Syajarat al-Durr adalah sultan pertama Dinasti Mamluk di Mesir.
Sementara yang lain, dalam hal ini beberapa sejarawan Timur Tengah, mencatat
urutan sultan-sultan Mamluk dengan tidak memasukkan Syajarat al-Durr sebagai
sultan pertama dinasti ini melainkan Kutbuddin Aybak yang dianggap sebagai
sultan pertama.17
Dalam masa pemerintahannya yang pendek, Syajarat al-Durr ternyata telah
memiliki rencana untuk mengekalkan kekuasaanya sehingga sekalipun ia tidak
bisa menjadi sultan lebih lama namun ia berharap dapat tetap memiliki pengaruh
terhadap pemerintahan. Untuk itu ia menikahi salah seorang panglima Mamluk
yang berpengaruh dan ikut serta dalam pembunuhan Turansyah, sultan Ayyubiyah
terakhir, yaitu Kutbuddin Aybak18. Namun ternyata sebagai seorang panglima
ulung, Aybak memahami maksud di balik pernikahan dirinya dengan Syajarat al-

Almaqrizi. Al-Sulūk.... Juz I h. 118


13

14
Muhammad Farid Bik Al-Mahami. Tārīkh al-Daulah al-‘Aliyah al-‘Utsmāniyah,
ditahkik oleh Dr. Ihsan Haqqi, Daar al-Nafatas, tt. p. 83.
15
Hadits tentang kepemimpinan perempuan ini selengkapnya sebagai berikut:
‫ يَ ْعنِى‬.» َ‫اركَ َوتَ َعالَى قَ ْد قَ ْت َل َربَّك‬ َ َ‫ فَقَا َل « إِنَّ َربِّى تَب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫س أَتَى النَّبِ َّى‬ َ ‫عَنْ أَبِى بَ ْك َرةَ أَنَّ َر ُجالً ِمنْ أَه ِْل فَا ِر‬
» ٌ‫ل « الَ يُ ْف ِل ُح قَ ْو ٌم تَ ْم ِل ُك ُه ُم ا ْم َرأَة‬dَ ‫قَا َل فَقَا‬.ُ‫ست َْخلَفَ ا ْبنَتَه‬ ‫ا‬ ‫د‬َ
ْ ِ ُ ِ‫ق‬ ‫ه‬َّ ‫ن‬‫إ‬ -‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬- ‫ قَا َل َو ِقي َل لَهُ يَ ْع ِنى ِللنَّ ِب ِّى‬.‫س َرى‬
ْ ‫ِك‬
Selengkapnya lihat dalam Ahmad, Musnad Ahmad, al-Maktabah al-Syāmilah, http://
www.alwarraq.com. Juz 44 h. 321.
16
Lihat C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, (Edinburgh: Edinburgh University Pers,
1967.
17
Muhammad Farid Bik Al-Mahami. Tārīkh al-Daulah al-‘Aliyah.... p. 107.
18
Aybak berarti “The Briliant Chief” . Lihat Syed Amir Ali, A Short History of the
Saracens, New Delhi: Kitab Bhavan, 1994. P.385.

7
Durr dan penyerahan tampuk kekuasaan kepada dirinya. Karena itu ia kemudian
membunuh Syajarat Al-Durr dan dengan demikian ia bisa memegang tampuk
kekuasaan sepenuhnya tanpa direcoki lagi oleh nafsu berkuasa Syajarat Al-Durr.
Sampai masa kepemimpinan Kutbuddin Aybak ini sebenarnya kekuasaan
Dinasti Mamluk di Mesir nampaknya belum kokoh. Terbukti langkah selanjutnya
yang ditempuh Aybak adalah mengangkat Musa, salah seorang keturunan Dinasti
Ayyubiyah, sebagai sultan “Syar’i” (the jure), sementara secara de facto Aybaklah
yang berkuasa. Pengangkatan sultan Syar’i ini dalam pandangan saya lebih
didasarkan atas krisis kepercayaan diri kaum Mamluk, yang berasal dari budak
belian yang dimerdekakan, yang merasa bahwa mereka sebenarnya tidak berhak
untuk memegang kekuasaan sehingga perlu mencari legitimasi dari penguasa
sebelumnya.
Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257). Setelah meninggal ia
digantikan oleh anaknya Nuruddin Ali yang masih berusia belia. Karena beberapa
tekanan tertentu Ali kemudian mengundurkan diri pada 1259 dan digantikan oleh
wakilnya Sayf al-DinQutuz. Pada masa kekuasaan Qutuz ini Baybars, yang pada
masa kekuasaan Aybak mengasingkan diri ke Syiria karena tidak senang dengan
sepak terjang Aybak, kembali ke Mesir. Bersama sang sultan, Baybars bahu-
membahu mempertahankan kejayaan Mesir khususnya dan dunia Islam pada
umumnya dari serangan tentara Mongol di Timur dan tentara Salib yang
menyerang dari Barat.
Sepeninggal Sayf al-DinQutuz yang tewas pada 1260, kepemimpinan
Mamluk Mesir kemudian diambil alih oleh Baybars Al-Bunduqdary. Ia dianggap
sebagai sultan terbesar Dinasti Mamluk Mesir dan dianggap sebagai peletak sejati
kekuasaan Mamluk di Mesir karena pada masanya Mesir mencapai kemajuan luar
biasa. Selain karena kemampuan luar biasa yang dimiliki oleh Baybars dalam
membangun Mesir, kemajuan Mesir saat itu juga merupakan imbas dari
tumbangnya beberapa kawasan dunia Islam yang sebelumnya menjadi pusat-pusat
peradaban. Bagdad sebagai pusat kekuatan Abbasiyah pada 1258 telah luluh
lantak oleh hantaman keras kekuatan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan. Sementara itu kawasan semenanjung Iberia yang sejak 711 disentuh oleh

8
peradaban Islam dan sempat mencapai puncak kejayaannya, pada masa itu telah
mulai porak-poranda oleh nafsu angkara murka para pangeran dan raja-raja kecil
dinasti-dinasti Arab dan Afrika yang terus bersaing berebut pengaruh, sehingga
masa itu dikenal sebagai masa muluk al-tawaif.

D. Ruknuddin Baybars: Awal Kehidupan dan Pencapaian Kekuasaan di


Mesir
Nama lengkapnya adalah al-Malik al-Zahir Rukn al-Din Baybar al-
Bunduqdary, dan ia diberi gelar Abu al-Futuh19. Ia merupakan sultan keempat
dalam urutan sultan-sultan Dinasti Mesir Mamluk (jika memasukkan Syajarat al-
Durr maka ia berada pada urutan kelima). Baybars dilahirkan di kawasan Krimea
dan merupakan keturunan Turki dari suku Kipchak di Asia Tengah20. Menurut
beberapa sumber semasa kecil ia ditangkap oleh tentara Mongol dari kawasan
stepa (padang rumput) Kipchak dan dijual sebagai budak sehingga kemudian ia
sampai ke Syiria.21 Orang yang membelinya pertama kali adalah seorang pangeran
dari Hanna, al-Amir Ala’ al-Din Aydkin al-Bunduqdary, 22 yang nampaknya
kurang suka Baybars karena ia memiliki kulit kuning langsat yang tidak biasa bagi
kebanyakan laki-laki suku Kipchak. ia berpostur sangat tinggi dan memiliki
bulatan pada salah satu matanya. Baybars kemudian dijual kepada salah seorang
pangeran Mesir yang kemudian mengangkatnya sebagai pengawal penguasa
Mesir al-Salih Ayyub. Baybars merupakan salah satu komandan perang yang

19
Gelar ini diberikan kepadanya berkaitan dengan berbagai kemenangan yang ia raih
dalam banyak pertempuran.
20
Lihat Al-Maqrizi, Al-Suluk...p. 520, lihat juga Ibn Thagri, al-Nujum al-Zahirah fi
Muluk Misr wa al-Qahirah, al-Maktabah al-Syāmilah, http://www.alwarraq .com.
21
Sebenarnya tidak banyak sumber sejarah yang menulis mengenai masa kecil dari
Baybars. Menurut Qasim Abduh Qasim, Baybars kecil adalah seorang anak yang lahir dari
keluarga miskin dan biasa-biasa saja. Oleh karenanya tidak banyak sejarawan (atau para penulis
masa itu) yang tertarik untuk menuliskannya. Sudah menjadi hal yang manusiawi, bahwa para
penulis lebih suka mengabadikan sesuatu yang besar, hebat, dan luar biasa. Tidak ada sejarawan
yang mau menulis tentang kehidupan orang awam dan peristiwa keseharian. Oleh karena itu
merupakan kesulitan tersendiri bila kita mencari asal-usul yang lengkap mengenai Baybars. Lihat
Qasim Abduh Qasim, Asr Salatin...p. 84-85.
22
Dari pangeran inilah Baybars mendapatkan gelar al-Bunduqdary. Lihat Qasim Abduh
Qasim, ‘Asr Salatin...p. 86.

9
sangat dipercaya oleh sultan Najmuddin Ayyub ketika menghadapi perang
saudara.23
Sepeninggal sultan Najmuddin Ayyub, Baybars kemudian mengabdi
kepada putra Najmuddin yang diangkat untuk menggantikan ayahnya, Turansyah.
Namun karena hubungan Turansyah dengan para pembesar Mamluk kurang
harmonis, maka kemudian Baybars dan beberapa pembesar Mamluk lainnya
membunuh Turansyah.
Sekitar tahun 1250 Baybars merupakan salah satu panglima perang
Mamluk yang handal. Berkali-kali ia memimpin pasukan untuk melawan tentara
Salib ketujuh di bawah pimpinan Louis IX yang didukung oleh Paus Innocent,
dan memperoleh banyak kemenangan. Pada masa kekuasaan Sayf al-DinQutuz ia
merupakan panglima yang memimpin serangan tentara Mamluk yang berhadapan
dengan tentara Mongol pada sebuah pertempuran besar dan menentukan di Ayn
Jalut (the Pool of Goliath). Pertempuran ini sangat menentukan dalam sejarah,
sebab inilah pertempuran pertama yang tidak bisa dimenangkan oleh tentara
Mongol yang terkenal sadis, selain itu pertempuran ini menjadi titik balik dari
gerak maju pasukan Mongol sebab setelah kalah dalam pertempuran di Ayn Jalut
mereka tidak bisa maju lebih jauh untuk memperluas wilayahnya.
Setelah pertempuran di ‘Ayn Jalut ini, Sayf al-DinQutuz meninggal dunia.
Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Baybars yang membunuh Sayf al-
DinQutuz karena keinginan Baybars untuk diangkat sebagai Gubernur di Aleppo,
sebagai hadiah kemenangan di ‘Ayn Jalut, tidak dipedulikan oleh Qutuz. Setelah
Sayf al-DinQutuz meninggal maka Baybars kemudian diangkat sebagai sultan
Mesir dan Syiria dengan gelar al-Malik al-Zahir (Raja sang Penakluk).

E. Beberapa Peperangan dan Penaklukan yang Dilakukan Baybars


Setelah Baybars memegang tampuk kekuasaan kesultanan yang menguasai
Mesir dan Syiria serta beberapa wilayah Islam di sekitarnya, ia melanjutkan
pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung sebelumnya. Ia menyerang

23
Almaqrizi. Al-Sulūk li Ma’rifati Duwal al-Mulūk, al-Maktabah al-Syāmilah, http://
www.alwarraq.com. Juz I h. 102

10
Kerajaan Kristen Syiria yang dibentuk oleh tentara Salib, kemudian ia juga
menyerang penguasa Antioch, yang merupakan negara sekutu Mongol yang selalu
mendukung serangan Mongol terhadap Damaskus dan Syiria. Pada masa itu
tentara Salib dengan dukungan penuh dari Paus Innocent berusaha menjalin
koalisi dengan pasukan Mongol untuk secara bersama-sama menghancurkan
kekuatan Islam. Dengan mengutip Maqrizi, Thomas W. Arnold mensinyalir
persekutuan antara Kristen dengan dinasti Ilkhan di bawah pimpinan Hulagu
Khan, yang menguasai Persia, berjalan hanya sebentar saja sebab kemenangan
Baybar sultan Mamluk Mesir (1260-1277) yang bersekutu dengan Baraka Khan
telah memaksa Ilkhan untuk berpikir lain.24
Untuk menghadang berbagai persekutuan ini maka Baybars pun
menempuh persekutuan dengan salah satu penguasa Mongol Baraka Khan.
Inisiatif persahabatan itu datang dari Baybars yang pernah menerima kedatangan
200 orang prajurit Golden Horde. Para prajurit ini menyaksikan perselisihan
Hulagu yang menguasai Bagdad dengan Baraka Khan yang dikhawatirkan akan
berakibat buruk pada mereka sehingga kemudian mereka lari ke Syiria, kemudian
diantar kepada Baybars di Mesir. Baybars sendiri sedang dalam kondisi berperang
dengan Hulagu Khan yang pernah dihalaunya ketika Hulagu melakukan agresi
terhadap Syiria. Ia mengirimkan dua orang Mongol untuk menyampaikan surat
persahabatan kepada Baraka Khan. Sekembalinya dua utusan ini mengabarkan
bahwa setiap amir dalam pemerintahan Baraka telah memiliki imam dan muadzin
serta anak-anak diberi pelajaran Al-Qur’an di sekolah-sekolah. Persahabatan
kedua negara ini kemudian menjadi jalan banyaknya orang-orang Mongol yang
datang ke Mesir untuk mempelajari Islam.25
Pada tahun 1263, Baybars menyerang Acre yang merupakan ibu kota dari
sisa-sisa Kerajaan Kristen Yerusalem, namun pada kesempatan itu Baybars tidak
bisa merebutnya. Banyak sekali pertempuran dengan tentara Salib yang ia
menangkan. Beberapa diantaranya adalah: pertempuran Arsuf, Athlith, Haifa,
Safad, Jaffa, Ashkalon, dan pertempuran Caesarea. Baybars juga memimpin
24
Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, terj. Nawawi Rambe, Jakarta: Widjaya,
1979. P.196.
25
Thomas W. Arnold, Sejarah... P. 200.

11
perang di kota Mansurah untuk menghadapi tentara Salib, dalam peperangan ini
setidaknya ia menewaskan 1.500 pasukan salib26. Perang yang lebih dahsyat
terjadi di kota Farsikur pada tanggal 3 Muharram 643 H, dimana kekalahan telah
dialami oleh tentara Salib sehigga tidak kurang 10.000 pasukan Salib tewas,
bahkan menurut cerita yang dibesar-besarkan korban mencapai 30.000 orang.
Baybars beserta Mamluk Bahri yang lainnya mendapat keuntungan luar biasa dari
harta rampasan perang ini.27
Pertempuran-pertempuran yang dilakukan Baybars di atas tentu
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu Baybars mewajibkan
pajak pada setiap orang di Mesir, bagian dari zakat, dan juga sepertiga harta
warisan dari orang yang bukan kaum Mamluk. 28 Selain itu salah satu pendukung
kekuasaan Baybars adalah kelompok pedagang Karim. Secara umum mereka
merupakan salah satu penunjang keberadaan Dinasti Mamluk di Mesir dengan
dukungan finansialnya yang besar. Pada akhir abad ke-13 sampai awal abad ke-15
kelompok ini memonopoli perdagangan negara-negara Arab-Islam dengan India,
Afrika Timur, dan Timur Jauh.29

F. Kebijakan Politik Baybars


Sultan a-Zahir Rukn al-Din Baybars al-Bunduqdary menjadi penguasa
Mesir dan Syiria selama 17 tahun. Jika dibandingkan dengan penguasa dinasti
Mamluk yang lainnya, masa kekuasaan Baybars adalah yang paling lama. Banyak
hal yang mendukung kelanggengan kekuasaan yang digenggam Baybars, salah
satunya adalah soliditas tentara Mamluk yang dimilikinya dan keunggulan mereka
dalam memenangkan berbagai pertempuran di berbagai medan tempur. Banyak
sejarawan mencatat keunggulan tentara Mamluk ini terutama terletak pada
kehandalan pasukan berkuda (kavaleri) yang terlatih. Selain itu sebagai keturunan
suku Kipchak Turki, kaum Mamluk juga terkenal dengan keunggulan fisiknya

26
Almaqrizi. Al-Sulūk... Juz I h. 114
27
Almaqrizi. Al-Sulūk.... Juz I h. 116
28
Qasim Abduh Qasim, ‘Asr Salatin...p. 86.
29
S.D. Goitein, Studies in Islamic History, P.351.

12
yang tangguh, cekatan dan tahan banting.30 Baybars sendiri, seperti telah
disebutkan di atas, memiliki postur tubuh yang sangat tinggi dengan perawakan
yang kokoh. Dengan keunggulan pasukan berkuda, mobilitas tentara Mamluk
dapat diandalkan untuk menjadi kekuatan pendobrak dalam setiap pertempuran.
Kemenangan-kemenangan dalam berbagai pertempuran, terutama dengan
dua musuh utama umat Islam saat itu yaitu tentara Mongol dan tentara Salib,
maka posisi kesultanan Mamluk Mesir menjadikan beberapa penguasa lokal
bergabung dan menyatakan ketundukannya kepada penguasa Mamluk Mesir.
Karena itu posisi Mesir kemudian menjadi sangat penting bagi dunia Islam saat
itu, karena di bawah kekuasaan kaum Mamluk, nampaknya hanya Mesir satu-
satunya kawasan dunia Islam yang selamat dari keganasan tentara Mongol dan
nafsu serakah tentara Salib. Mesir kemudian berubah menjadi kawasan tempat
berkumpulnya para ulama dan para pecinta ilmu dari berbagai penjuru dunia
Islam.31
Selain faktor kemenangan atas musuh-musuh eksternalnya, kekuasaan
Baybars dapat bertahan lama juga karena kelihaiannya dalam meredam konflik
internal dan kemampuannya untuk menyingkirkan musuh-musuh politiknya.
Sebagai dinasti yang memegang prinsip oligarki militer, bukan sistem monarki,
potensi konflik internal dapat terjadi lebih banyak dibandingkan sistem monarki.
Persaingan dan intrik politik dalam upaya naik ke puncak kekuasaan sangat
mungkin terbuka. Namun dengan kelihaiannya Baybars mampu mengelola hasrat
berkuasa ini menjadi sebuah energi positif yang ia terapkan kepada setiap pejabat
dan tentara untuk bersaing secara sehat menuju karir yang lebih bagus. Sehingga
kemudian pada masa Baybars ini terkenal dengan upaya para amir untuk
memajukan daerahnya agar mendapatkan kemajuan karir politik.
Demikian juga dengan karir ketentaraan, Baybars menerapkan ukuran
kesalehan dalam menentukan kemajuan tingkat seorang tentara, dan Baybars
sendiri yang memegang kontrol penuh. Nampaknya hal ini untuk menghindari
30
Karena keunggulan-keunggulan fisik inilah, para khalifah Abbasiyah dahulu banyak
mendatangkan budak-budak Mamluk untuk dijadikan tentara profesional kekhalifahan.
31
Seorang peziarah al-Balwa al-Magribi yang sempat mengunjungi Mesir pada masa
kekuasaan Mamluk mengatakan bahwa Mesir merupakan sumber ilmu. Lihat Said Abdul Fattah,
al-‘Asru al-Mamāliki fi Misr wa al-Syam, Cairo: Dar al-Nahdlah al-Arabiyah 1976, p. 342.

13
terjadinya pengkhianatan terhadap dirinya sebagaimana yang ia lakukan dahulu
terhadap Sayf al-DinQutuz.
Kemampuan Baybars untuk meredam konflik internal ditunjukannya
ketika awal-awal ia berkuasa dengan mampu memadamkan perlawanan dan
pengkhianatan para pangeran. Pada akhir tahun 1260 M di Damaskus muncul
pemberontakan yang dipimpin oleh Gubernur Sanjar al-Halbi, salah seorang
pembesar Mamluk di Damaskus. Ia merupakan pendukung setia Sayf al-Din
Qutuz sehingga ketika mengetahui pembunuhan terhadap Qutuz ia tidak mau
mengakui Baybars sebagai sultan. Sang Gubernur bukan saja memberontak
kepada Baybars namun lebih jauh ia mengangkat dirinya sebagai sultan di
Damaskus dan memakai gelar al-Malik al-Mujahid. Untuk memperkuat posisinya
Sanjar al-Halbi melakukan kampanye dan mengelilingi kota Damaskus dengan
benteng yang kuat untuk mengantisipasi serangan dari Mesir. Ia juga mengajak
sisa-sisa bangsawan Bani Ayyubiyah untuk bergabung bersama dirinya, namun
ternyata mereka menolak.32
Melihat kondisi demikian Baybars memerintahkan blokade atas kota
Damaskus sehingga setiap bantuan yang datang dari daerah sekeliling Damaskus
dapat diputuskan. Mendapat blokade seperti itu kekuatan Sanjar menjadi lemah.
Dalam kondisi demikian Baybars mengutus sepasukan tentara ke Damaskus untuk
menangkap Sanjar dan membawanya ke Kairo. Pemberontakan itu akhirnya dapat
dipadamkan pada 1261.
Dalam masa yang berdekatan muncul lagi pemberontakan yang dilakukan
oleh Syams al-Din al-Burly yang memproklamasikan kemerdekaan Halb.
Pemberontakan ini pun dapat dipadamkan dan Syams al-Din al-Burly
mendapatkan pengampunan dari Baybars, karena ia juga merupakan salah satu
pembesar Mamluk.
Sikap Baybars terhadap pemberontak dari kalangan Mamluk dan bukan
Mamluk ternyata berbeda. Jika pimpinan pemberontak yang berasal dari kaum
Mamluk tertangkap, maka Baybars dengan murah hati mau memaafkannya.
Namun jika pemberontak bukan berasal dari keluarga Mamluk maka ia dapat

32
Qasim Abduh Qasim, ‘Asr Salatin ...p. 87

14
dengan keji menghukum mati mereka. Kejadian ini menimpa salah seorang
penganut Syi’ah, al-Kaurani, dan beberapa pendukungnya yang
mempropagandakan gerakan Syi’ah di Kairo. Ia mengajak para penganut Syi’ah
untuk mengabaikan aturan-aturan yang diterapkan Baybars dan kembali
menggunakan ajaran Syi’ah sebagaimana dahulu yang diterapkan oleh Bani
Fatimiyah. Menghadapi gerakan ini Baybars melakukan tindakan tegas dengan
menangkapi para pemberontak dan menggantung mereka di pintu gerbang
“Zawilah” salah satu pintu gerbang kota Kairo.33
Upaya Baybars saat ia berkuasa yang dinilai cemerlang oleh para
sejarawan adalah menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah yang telah
hancur seiring dengan luluh lantaknya Bagdad karena serbuan tentara Mongol.
Baybars memboyong keluarga dinasti Abbasiyah yang tersisa ke Mesir untuk
kemudian salah satu keturunan mereka diangkat menjadi khalifah. Menurut al-
Suyuthi upaya dinasti Mamluk untuk menghidupkan kembali kekhalifahan
Abbasiyah (meskipun tidak lebih dari pada simbol) telah memberikan simpati luas
di kalangan dunia Islam saat itu. Karena itu kemudian Mesir menjadi tujuan utama
para ulama dan pelajar untuk mencari ilmu. 34 Upaya ini bagaimanapun juga
memberikan legitimasi hukum kekhalifahan bagi Baybars. Bagi umat Islam,
kekhalifahan di dunia Islam hanya satu sehingga tidak mungkin ada kekhalifahan
ganda dalam satu waktu.35 Dan pemilik syah kekhalifahan sampai saat itu adalah
keluarga Abbas, meskipun kerajaan mereka telah hancur oleh tentara Mongol.
Karena itu Baybars memandang urgen untuk menghidupkan kembali
kekhalifahan Abbasiyah demi menyatukan umat Islam dalam menghadapi
serangan tentara Mongol dan tentara Salib.
Sebenarnya Baybars bukanlah orang pertama yang memiliki pemikiran
untuk memindahkan kekhalifahan Abbasiyah ke Mesir. Sejak masa berkuasanya
Ahmad bin Tulun dari dinasti Tuluniyah sampai Sayf al-Din Qutuz naik tahta
upaya ini selalu dilakukan. Namun baru pada masa Baybars upaya ini berhasil
33
Ibid. p.88.
34
Said Abdul Fattah, al-‘Asru al-Mamāliki..p. 342.
35
Karena itulah mengapa para penguasa dinasti Umayyah yang berada di Andalusia tidak
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah tetapi amir, kecuali setelah Kekhalifahan Abbasiyah di
Bagdad mulai mengalami kemunduran.

15
terwujud. Dan, menurut Qasim Abduh Qasim, sejarah hanya mencatat apa yang
dilakukan bukan apa yang diniatkan. Setelah kemenangan tentara Mamluk di
‘Ayn Jalut Sayf al-Din Qutuz mengundang salah satu keturunan Abbasiyah, yaitu
Abu al-Abbas Ahmad, ke Damaskus. Di kota itu Qutuz membai’at Abu al-Abbas
sebagai khalifah. Namun sayang Qutuz hanya mengangkatnya sebagai khalifah
tanpa menyediakan jabatan khalifah di Kairo.36
Ketika Baybars naik tahta kesultanan, ia mengundang salah seorang amir
keturunan Abbas yang lain yaitu Abu al-Qasim Ahmad ibn Khalifah al-Zahir
Muhammad ibn al-Nasir Li Din Allah Ahmad ibn al-Mustad’i bi Allah. Pada
bulan Rajab 759/ 1261 di timur kota Kairo Baybars yang didampingi wazir Baha
al-Din ibn Hana, para hakim, para ulama, dan para pembesar lainnya menjemput
kedatangan Abu al-Qasim. Setelah beberapa hari Baybars kemudian
menyelenggarakan acara besar-besaran untuk membaiat Abu al-Qasim sebagai
khalifah. Acara ini dihadiri oleh seluruh pembesar Mamluk, para hakim, para
saudagar, dan orang-orang terhormat di Mesir. Setelah beberapa pernyataan
mengenai keabsahan keturunan dari Abu al-Qasim, ia kemudian dibaiat sebagai
khalifah dengan gelar al-Mustansir bi Allah. Setelah selesai pembaiatan sang
Khalifah berdiri dan melantik Baybars sebagai sultan penguasa negeri Islam
dengan diberi gelar Qasim Amir al-Din.37
Langkah politik Baybars dengan pengangkatan khalifah dan kini berpusat
di Mesir merupakan langkah politik yang cerdas. Sebab legitimasi kekuasaan
Baybars saat itu tidak sekedar didukung oleh kekuatan militer yang tangguh
namun juga secara diplomatik ia telah memenangkan legitimasi kekuasaannya
dari umat Islam. Semenjak Syajarat al-Durr merebut kekuasaan dari Turansyah
sampai berkuasanya Qutuz, kaum Mamluk di Mesir selalu mencari legitimasi
kekuasaannya dari khalifah Abbasiyah. Namun baru pada masa Baybars
keinginan itu terwujud.

G. Kemajuan Ilmu Pengetahuan

36
Qasim Abduh Qasim, ‘Asr Salatin...p. 89.
37
Ibid. 89.

16
Seperti telah disinggung di atas, pada masa dinasti Mamluk berkuasa,
Mesir menjadi ibukota Islam yang sekaligus menjadi menara ilmu. Ada dua faktor
penting yang menyebabkan Mesir menjadi pusat pengembangan ilmu di dunia
Islam pada saat itu. Pertama, tidak adanya pusat ilmu pengetahun Islam selain
Mesir. Kawasan-kawasan utama yang sebelumnya menjadi tempat
berkembanganya ilmu pengetahuan yaitu Bagdad di Timur dan Andalusia di
Barat, pada saat itu sudah padam, sehingga hanya Mesir satu-satunya kawasan
yang relatif kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Faktor kedua adalah
kecintaan para penguasa Mamluk terhadap ilmu pengetahuan, salah satunya
adalah Sultan Baybars. Abu al-Mahasin menyebutkan bahwa Sultan Baybars
sangat mencintai ilmu sejarah sehingga menurut orang-orang dekatnya, bagi
Baybars lebih utama menyimak keterangan sejarah daripada berlatih perang.38
Karena kecintaanya akan ilmu pengetahuan, maka al-Azhar sebagai pusat para
pelajar mencari ilmu, pada masa Baybars mencapai kemajuan yang luar biasa dan
menjadi tujuan pada pencari ilmu dari seluruh penjuru dunia Islam. Pada masa
Baybars berkuasa muncul para ulama yang terkenal dalam ilmu adab dan sejarah
seperti Mahy al-Din ibn Abd al-Zahir, Ibn Khalikan, dan Jamal al-Din ibn Wasil.
Kecintaan akan ilmu juga ditunjukkan oleh beberapa sultan dinasti
Mamluk, termasuk Baybars, dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah
mingguan. Pertemuan ini kadang dilaksanakan satu kali, dua kali, atau bahkan
beberapa kali dalam seminggu. Dalam pertemuan-pertemuan itu dibahas berbagai
permasalahan ilmiah dan keagamaan untuk kemudian semua yang hadir ikut
berdiskusi. Karena itu, menurut Said Abdul Fattah, kita banyak mendengar
mengenai kesibukan para sultan dan keluarga dinasti Mamluk yang selalu sibuk
dengan mencari ilmu dalam bidang fiqih, hadits, dan bahasa Arab.
Selain itu sebagai bentuk kecintaan terhadap ilmu pengeahuan, para sultan
Mamluk juga banyak membangun madrasah dan perpustakaan sebagai sarana
untuk mencari ilmu. Salah satu yang terkenal adalah Madrasah al-Zahiriyah yang
dibangun oleh sultan al-Zahir Baybars pada tahun 1261. Yang menarik adalah
bahwa pembangunan madrasah-madrasah tidak hanya dilakukan di Mesir saja,

38
Ibid.

17
namun para sultan Mamluk juga membangun madrasah-madrasah di seluruh
wilayah kekuasaan dinasti Mamluk yang sangat luas.
Sangat menarik untuk disebutkan di sini adalah penyelenggaraan pesta-
pesta besar yang dilakukan oleh Baybars, dan sultan-sultan lain dari dinasti
Mamluk, dalam acara pembukaan madrasah-madrasah yang dibangun. Biasanya
pembukaan madrasah merupakan peristiwa besar yang dihadiri sultan, para
pejabat negara, para fuqaha, para hakim, dan berbagai lapisan masyarakat. Dalam
acara itu disajikan berbagai makanan dan minuman untuk menjamu para tamu. 39
Ini membuktikan bagaimana kecintaan Baybars, dan beberapa sultan Mamluk
lainnya, terhadap ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang saat itu mengalami
masa kemunduran semenjak Bagdad luluh lantak.
Selain pembangunan madrasah-madrasah yang sangat pesat, pada masa itu
Baybars dan para penguasa Mamluk lainnya juga memperhatikan pembangunan
perpustakaan-perpustakaan. Tak dapat dipungkiri bahwa untuk mengembangkan
ilmu selain dibutuhkan madrasah sebagai tempat pengajaran dan pendidikan,
maka kebutuhan akan buku dan perpustakaan juga menempati posisi sentral. Para
penguasa Mamluk nampaknya menyadari akan hal ini, sehingga mereka banyak
membangun perpustakaan-perpustakaan untuk mendampingi madrasah-madrasah
yang telah didirikan. Demikian yang dilakukan Sultan Baybars, setelah
membangun madrasah al-Zahiriyah ia menyediakan buku-buku yang akan dikaji
oleh para pelajar yang tidak sedikit jumlahnya dalam berpuluh-puluh lemari.40
Di Kairo sendiri Baybars sangat berjasa dalam menghidupkan kembali
Universitas Al-Azhar, yang cikal bakalnya adalah masjid Jami’ Kairo, yang
selama seratus tahun lebih (semenjak masa keemasan Dinasti Fatimiyah)
ditinggalkan umat. Pada 18 Rabi’ul Awal 665 H/ 1267 M Sultan Baybars
mengadakan shalat Jum’at di masjid itu, sehingga tanggal itu dianggap sebagai
tonggak hidupnya kembali Universitas Al-Azhar.41

H. Penutup
39
Ibid. p. 342.
40
Ibid. p. 345.
41
Qasim Abduh Qasim, Asr Salatin...p. 93.

18
Jika ada negeri Muslim yang selamat dari penghancuran luar biasa dari
tentara Mongol dan serbuan tentara Salib, salah satunya adalah Mesir. Di Negeri
ini umat Islam bisa menemukan warisan yang luar biasa berharganya dari
peninggalan-peninggalan umat Islam baik masa klasik maupun pertengahan. Sejak
Amr bin ‘Ash masuk ke Mesir membawa Islam pada masa khalifah Umar bin
Khattab -dan sekaligus ditunjuk sebagai gubernur di sana- sampai pada masa kini
Mesir tidak pernah disentuh oleh peradaban lain kecuali peradaban Islam. Salah
satu cultural bearer di negeri Mesir adalah kaum Mamluk. Mereka yang pada
awalnya datang ke Mesir sebagai budak belian dan bahkan tawanan perang, pada
satu waktu tampil sebagai pemimpin dan penyelamat umat Islam dari keganasan
musuh-musuhnya.
Di antara sekian orang sultan yang pernah menduduki puncak
pemerintahan dinasti Mamluk, terdapat seorang sultan yang sangat menonjol. Dia
adalah sultan al-Zahir Rukn al-Din Baybars al-Bunduqdary. Masa
pemerintahannya merupakan awal masa keemasan dinasti Mamluk sehingga ia
dikenang sabagai pendiri dinasti Mamluk yang sejati, meskipun ia adalah sultan
keempat dari urutan penguasa Mamluk Mesir.
Beberapa kebijakan politik yang ditempuh Baybars dinilai cemerlang
dalam menjadikan kesultanan Mamluk sebagai kekuatan utama umat Islam saat
itu. Di tengah umat yang sedang membutuhkan pertolongan dari ancaman dua
musuh besar umat saat itu yaitu tentara Mongol dan tentara Salib, kemunculan
Baybars dengan kekuatan politik dan militer yang dimilikinya bagaikan oase di
tengah kehausan padang pasir. Baybars memberikan optimisme pada umat setelah
terpukul dengan kehancuran Bagdad yang selama ini dibanggakan sebagai pusat
keunggulan ilmu dan peradaban Islam. Dengan segala kebijakannya ia
membangun Mesir sebagai tempat peradaban dan ilmu menggantikan Bagdad.
Pembaiatan atas Khalifah Abbasiyah di Mesir seakan mengobati luka umat Islam
atas pembantaian yang dilakukan tentara Mongol terhadap khalifah Abbasiyah
terakhir, al-Musta’shim. Penyelenggaraan kembali shalat Jum’at di Masjid Jami’
al-Azhar juga memberikan optimisme baru akan pembangunan pendidikan di

19
dunia Islam, sehingga keharuman al-Azhar sebagai menara ilmu yang pernah
berjaya pada masa Dinasti Fatimiyah semerbak kembali.
Kenangan umat Islam atas kejayaan Dinasti Mamluk di Mesir dengan
Sultan Baybars sebagai tokohnya nampaknya harus dihidupkan kembali. Sebab
selama ini sejarah yang ditulis sering menganggap kehancuran Bagdad ketika
diserbu oleh tentara Mongol sebagai titik terakhir kemajuan umat Islam. Memang
benar bahwa sejak kehancuran Bagdad umat Islam tidak pernah mencapai
kemajuan ilmu dan peradaban sebagaimana yang dicapai Abbasiyah dahulu.
Namun rasanya tidak fair jika peradaban setelahnya dipandang sebelah mata,
termasuk peradaban yang dibangun oleh Dinasti Mamluk.
Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.

20
DAFTAR PUSTAKA

Arnorld, Thomas W. Sejarah Dakwah Islam, terj. Nawawi Rambe, Jakarta:


Widjaya, 1979.

Abdul Fattah, Said. al-‘Asru al-Mamāliki fi Misr wa al-Syam, Cairo: Dar al-
Nahdlah al-Arabiyah 1976.

Amir Ali, Syed. A Short History of the Saracens, New Delhi: Kitab Bhavan,
1994.

Almaqrizi. Al-Sulūk li Ma’rifati Duwal al-Mulūk, al-Maktabah al-Syāmilah,


http://www.alwarraq.com

Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad, al-Maktabah al-Syāmilah,


http://www.alwarraq.com

Al-Mahami, Muhammad Farid Bik. Tārīkh al-Daulah al-‘Aliyah al-‘Utsmāniyah,


ditahkik oleh Dr. Ihsan Haqqi, Daar al-Nafatas, tt.

Aljabbārati. ‘Ajāibu al-Ātsār, al-Maktabah al-Syāmilah, http://www.alwarraq


.com

Alyafi’i. Mir’atul Jinān wa ‘Ibratu al-Yaqzān fi Ma’rifati hawādiṣi al-Zamān, al-


Maktabah al-Syāmilah, http://www.alwarraq .com

Abu Al-Fida. Al-Mukhtasar fī Akhbāri al-Basyar, al-Maktabah al-Syāmilah,


http://www.alwarraq .com

Al-Shafadi. A’yān al-‘Asr wa A’wān al-‘Asr, al-Maktabah al-Syāmilah,


http://www.alwarraq .com

Goitein, S.D. Studies in Islamic History and Institutions, Leiden: E.J. Brill, 1968.

Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah
Tatanan Baru, terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 2002.

Hourani, Albert. Sejarah Bangsa-bangsa Muslim, terj. Irfan Abubakar, Bandung:


Mizan, 2004.

Ibn Abi Uhsaibi’ah. ‘Uyūn al-Anbā fi Tabaqāti al-Atibbā, al-Maktabah al-


Syāmilah, http://www.alwarraq.com

Ibn Mandzūr. Mukhtaṣar Tārikh Dimasyqi, al-Maktabah al-Syāmilah, http://www.


alwarraq.com

21
Lewis, Bernard. Islam from the Prophet to the Capture of Constantinople,
London: The McMillan Press Ltd. 1974.

Nourouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim; Bunga Rampai Kebudayaan


Muslim, Jakarta: Bulan Bintang 1986.

Qasim, Qasim Abduh. ‘Asr Salātīn al-Mamālīk; al-Tārīkh al-Siyāsī wa al-


Ijtimā’ī, Beirut:Ein for Human and Social Studies, 1998.

W. A, Redmond. Baybars I dalam Microsoft Student 2007, Micrsosoft


Corporation 2006

22

Вам также может понравиться