Вы находитесь на странице: 1из 12

KIAT MENGHADAPI KRISIS DALAM PERUSAHAAN

Oleh Djamaludin Ancok

PENGANTAR.

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh manajemen perusahaan adalah situasi krisis
yang melanda perusahaan. Berbagai contoh krisis perusahaan adalah kasus penyedap
makanan Ajinomoto yang diduga terbuat dari bahan berasalah dari babi. Sebelumnya
pernah juga terjadi krisis yang melanda pabrik biskuit dari pabrik susu yang terkait
dengan isu biskuit beracun dan isu pengunaan lemak babi.

Kedua masalah tersebut telah berkembang menjadi isu nasional dan telah melibatkan
banyak pihak di dalam penanganannya. Implikasi dari kedua masalah tersebut tidak
hanya berpengaruh terhadap perusahaan besar, tetapi juga telah membuat perusahaan
kecil dan pedagang kecil ikut merasakan akibatnya. Sekian banyak pengangguran yang
terjadi, dan sekian banyak produk yang tidak laku dijual.

Disamping masalah yang sangat besar seperti contoh di atas, tidak jarang perusahaan
dilanda oleh masalah yang implikasinya hanya terbatas pada ruang lingkup satu
perusahaan saja. Beberapa contoh krisis yang dihadapi perusahaan adalah :

1) masalah pencemaran lingkungan oleh pabrik.

2) masalah unjuk rasa oleh pekerja.

3) masalah produk yang tidak bisa dipasarkan.

4) masalah kericuhan dengan pemerintah dalam hal peraturan yang berkaitan dengan izin
usaha.

Tentu saja masih banyak contoh lain dari krisis yang dihadapi perusahaan.

Melihat contoh penanganan kasus lemak babi dan kasus biskuit beracun yang demikian
besar akibatnya terkesan bahwa kebanyakan perusahaan belum mempersiapkan diri untuk
menghadapi kemungkinan yang demikian.

Kurangnya persiapan perusahaan di dalam menghadapi kasus krisis seperti yang


dikemukakan di atas, tidak hanya melanda perusahaan di Indonesia. Perusahaan besar di
Amerikapun banyak yang tidak mempunyai progran manajemen krisis. Dari suatu survei
tentang manajemen krisis yang dilakukan di USA walaupun para manajer mengakui
bahwa krisis besar dapat melanda perusahaan mereka, namun hanya separuh perusahaan
yang disurvei yang mengatakan mereka mempunyai ‘program manajemen krisis’(crisis
management plan). Tampaknya banyak perusahaan yang mengabaikan masalah krisis ini.
Mereka baru kelabakan an menjadi panik bilamana krisis betul-betul terjadi.
Makalah ini mencoba membahas secara sekilas masalah krisis yang mungkin melanda
perusahaan. Makalah ini mencoba memberikan beberapa garis besar untuk memersiapkan
‘manajemen krisis’.

DEFINISI KRISIS.

Krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat
sesuatu tambah baik atau tambah buruk. Jika dipandang dari kaca mata bisnis suatu krisis
akan menimbulkan hal-hal seperti berikut :

1. Intensitas permasalahan akan bertambah.


2. Masalah akan dibawah sorotan publik baik melalui media masa, atau informasi
dari mulut ke mulut.
3. Masalah akan menganggu kelancaran bisnis sehari-hari.
4. Masalah menganggu nama baik perusahaan.
5. Masalah dapat merusak sistim kerja dan menggoncangkan perusahaan secara
keseluruhan.
6. Masalah yang dihadapi disamping membuat perusahaan menjadi panik, juga tidak
jarang membuat masyarakat menjadi panik.
7. Masalah akan membuat pemerintah ikut melakukan intervensi.

LEVEL PERKEMBANGAN KRISIS.

Suatu krisis menurut pendapat Steven Fink (1986) dapat dikategorikan kedalam empat
level perkembangan, yakni :

1). masa prekrisis (predromal crisis stage)

2). masa krisis akut (acute crisis stage)

3). masa krisis kronis (chronic crisis stage)

4). masa resolusi krisis (crisis resolution stage)

Masa pre-krisis

Suatu krisis yang besar biasanya telah didahului oleh suatu pertanda bahwa bakal ada
krisis yang terjadi. Masa terjadinya atau munculnya pertanda ini disebut masa pre-krisis.

Seringkali tanda-tanda ini oleh karyawan yang bertugas sudah disampaikan kepada
pejabat yang berwenang, tetapi oleh pejabat yang berwenang tidak ditanggapi. Oleh
karena sipelapor merasa laporannya tidak ditanggapi dia ikut diam saja. Bila keadaan
yang lebih buruk terjadi dia lebih baik memilih diam daripada laporan dia tidak
ditanggapi.
Kasus terjadinya kebocoran gas racun pabrik Union Carbide di Bhopal, India (terkenal
dengan nama tragedy Bhopal) yang merenggut lebih dari 2000 jiwa, telah diantisipasi
oleh petugas. Kebocoran yang terjadi di pabrik Union Carbide di tempat lain tidak
diteruskan ke pabrik di Bhopal. Laporan yang tidak disampaikan itu menyebabkan
terjadinya malapetaka tersebut.

Cukup sering terjadi, malapetaka yang besar sudah deketahui gejalanya oleh orang yang
berwenang, tetapi didiamkan saja tanpa diambil tindakan. Kalau sekiranya tindakan
koreksi segera diambil maka kejadian yang akibatnya fatal tersebut dapat dihindarkan.
Mengatasi krisis yang paling baik adalah disaat pre-krisis ini terjadi.

Seringkali suatu krisis sudah diantisipasi bakal terjadi, namun tidak ada cara untuk
menghindarinya. Misalnya kasus kapal di laut yang akan dilanda oleh topan, dan tidak
ada jalan keluar kecuali menghadapi topan tersebut. Namun oleh karena sudah
diantisipasi terjadinya, sang nakhoda akan lebih siap menghadapi krisis tersebut.
Misalnya mengarahkan kapalnya ke batu karang. Dari contoh ini kita dapat menarik
pelajaran bahwa menghadapi krisis yang tidak terelakkan bila kita sudah tahu, kita akan
lebih siap.

Masa Krisis Akut (Acute stage).

Bila pre-krisis tidak dideteksi dan tidak diambil tindakan yang sesuai maka masa yang
paling ditakuti akan terjadi. Kasus biskuit beracun setelah korban berjatuhan, misalnya
cepat sekali mendapat sorotan media massa sebagai suatu berita yang hangat dan masuk
halaman pertama. Keadaan yang demikian akan menimbulkan suasana yang paling kritis
bagi perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang produknya tercemar racun. Informasi
tersebut berkembang dengan cepat dikalangan masyarakat dari mulut ke mulut. Setelah
itu berkembang masalah baru berupa ‘rumor’ bahwa banyak makanan lain yang ikut
tercemar.

Beberapa bahan makanan yang dilaporkan tercemar racun adalah minyak goreng, bakso,
bakmi, rokok, dan beberapa jenis jajanan pasar. Memang isu keracunan ini akan
merembet ke makanan yang sejenis Hal ini disebut dengan proses generalisasi. Fenomena
generalisasi ini juga terjadi pada pabrik yang mempunyai cabang di tempat lain, atau
pabrik yang memproduksi barang yang hampir sama.

Pada masa krisis akut ini tugas utama perusahaan adalah menarik produk secepat
mungkin agar tidak ada lagi korban yang menjadi korban produk. Pada masa ini tugas
perusahaan bukanlah diprioritaskan untuk mencari penyebab kenapa masalah itu terjadi.
Tetapi tugas pokoknya adalah mengontrol semaksimal mungkin agar jatuhnya korban
dapat ditekan.

Masa krisis akut ini jika dibandingkan dengan masa krisis kronis jauh lebih singkat.
Tetapi masa akut adalah masa yang paling menegangkan dan paling melelahkan anggota
tim yang menangani krisis.
Masa kronis krisis.

Masa ini adalah masa pembersihan akibat dari krisis akut. Masa ini adalah masa
‘recovery’, masa mengintrospeksi kenapa krisis sampai terjadi. Masa ini bagi mereka
yang gagal total menangani krisis adalah masa kegoncangan manajemen atau masa
kebangkrutan perusahaan. Bagi mereka yang bisa menangani krisis dengan baik ini
adalah masa yang menenangkan.

Masa kronis berlangsung panjang, tergantung pada jenis krisis. Masa kronis adalah masa
pengembalian kepercayaan publik terhadap perusahaan.

Masa kesembuhan dari krisis.

Masa ini adalah masa perusahaan sehat kembali seperti keadaan sediakala. Pada fase ini
perusahaan akan semakin sadar bahwa krisis dapat terjadi sewaktu-waktu dan lebih
mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

KIAT MENGHADAPI KRISIS.

Upaya menghadapi krisis tidak jauh berbeda dengan upaya seseorang menghadapi suatu
penyakit ganas, yaitu upaya preventiv dan upaya kuratif.

Upaya preventif.

Upaya yang paling baik dalam mengatasi terjadinya krisis adalah upaya yang sifatnya
preventif. Pada upaya preventif beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
:

Menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada perusahaan.

Bila masyarakat memiliki kepercayaan terhadap suatu perusahaan yang menghasilkan


produk yang dikonsumsi oleh mereka, biasanya masyarakat tidak mudah termakan isu
yang disebarkan oleh orang tertentu yang ingin merugikan perusahaan.

Bila terjadi kasus nyata suatu produk menimbulkan korban akibat sabotase dengan cara
memasukkan racun atau barang berbahaya lainnya, adanya kepercayaan masyarakat
terhadap perusahaan akan memudahkan manajemen krisis. Hal seperti ini pernah terjadi
pada perusahaan Johnson & Johnson yang memproduksi obat pusing kepala merk
‘Tylenol’ di Amerika Serikat. Adanya kepercayaan publik bahwa tidak mungkin korban
jatuh karena kelalaian pabrik dalam membuat obat telah menyelamatkan perusahaan
Johnson & Johnson dari krisis yang berkepanjangan.

Pembentukan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan dapat ditempuh dengan cara


membina hubungan baik dengan media-massa. Dengan adanya hubungan baik ini media-
massa akan memberikan informasi yang baik tentang perusahaan. Selain itu adanya
hubungan baik dengan media-massa akan menolong bilamana suatu ketika terjadi krisis
melanda perusahaan. Sorotan media-massa terhadap krisis yang terjadi tidak terlalu
diwarnai oleh publikasi yang merugikan.

Kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan dipengaruhi pula oleh bagaimana ‘ímage’


perusahaan dimata masyarakat. Bila masyarakat melihat bahwa banyak keuntungan yang
diberikan perusahaan kepada masyarakat, misalnya sumbangan untuk dana pemeliharaan
kesehatan rakyat miskin, pembuatan rumah jompo, yatim piatu, beasiswa dan hal lain
yang bersifat sosial, maka ‘image’ perusahaan dimata masyarakat akan baik. Selain itu
membina hubungan dengan tokoh masyarakat, pimpinan informal (bukan bagian
birokrasi pemerintahan) seperti pemuka agama, akan sangat membantu pembentukan
image yang baik. Image baik ini sangat memperkuat daya perusahaan di dalam tahan
menghadapi krisis. Masyarakat tidak mudah termakan isu yang merugikan perusahaan.

Image perusahaan yang baik dapat pula dibentuk dengan menciptakan ‘rule of conduct’
bagi setiap karyawan perusahaan yang selalu ramah dan mudah menolong dalam
berhubungan dengan masyarakat. Tentu saja ‘rule of conduct’ yang baik ini akan besar
kemungkinannya untuk dilakukan para karyawan bila perusahaan memberikan suasana
kerja yang menyenangkan bagi para karyawan.

Selain itu upaya preventif dapat pula dilakukan dengan membina hubungan yang baik
dengan aparat pemerintah. Aparat pemerintah memegang posisi sentral di dalam
membantu mengatasi problem perusahaan. Larangan terhadap produk atau himbauan agar
masyarakat tidak mudah termakan isu biasanya dilakukan oleh pemerintah. Khususnya
bagi perusahaan di negara berkembang adalah sangat penting untuk membina hubungan
yang baik ini, karena di negara berkembang peranan pemerintah dalam kegiatan
kehidupan masyarakat sangat dominan. Hampir semua aspek kehidupan sangat
dipengaruhi oleh pemerintah. Peranan aparat pemerintah di lini bawah, seperti ketua RT,
RW, RK, lurah, camat dan bupati sangat besar artinya di dalam meredakan isu bila suatu
ketika terjadi krisis yang melanda produk perusahaan. Namun seringkali bagian
pemasaran produk (salesman) kurang memperhatikan arti penting pembinaan hubungan
pribadi dengan para tokoh masyarakat ini.

Satu bagian penting dari benteng pertahanan di dalam menghadapi krisis adalah lini
terbawah mata rantai pemasaran. Bila produk yang dijual adalah produk seperti rokok,
roti, sabun, dan barang keperluan sehari-hari, mata rantai terbawah ini adalah pengecer
seperti toko, warung dan dan pedagang asongan. Bila perusahaan dapat membina
hubungan baik dengan lini bawah ini, maka sangat besar kemungkinan mereka akan ikut
membantu mengurangi permasalahan akibat krisis. Sebagai contoh, termakannya
masyarakat oleh isu rokok yang mengandung racun, akan dapat dinetralisir dengan cara
sipenjual rokok mengisap rokok yang diduga beracun.

Cukup sering terjadi bagian pemasaran suatu perusahaan tidak mempunyai catatan yang
lengkap dan rinci tentang kemana saja produk tersebut dijual. Sebaiknya catatan lengkap
yang berupa nama dan alamat toko/warung yang menjual dicatat serinci mungkin. Tugas
mencatat serinci mungkin di lakukan oleh agen (distributor) yang ditunjuk. Catatan yang
rinci tentang pengecer barang ini akan sangat dibutuhkan bila ada krisis. Dalam kasus
produk tercemar racun, penarikan barang dari pasaran akan dapat cepat dilakukan untuk
menghindari bertambahnya korban.

Usaha preventif yang lain adalah menyiapkan ‘program manajemen krisis’. Dalam situasi
normal perlu ada tim khusus yang dibentuk yang akan menangani krisis bila suatu ketika
krisis terjadi. Anggota tim krisis ini diambil dari beberapa unsur, bidang produksi,
pemasaran, public relation, dan bagian lain yang kiranya terkait. Beberapa perusahaan
maju di USA bahkan memiliki ruang khusus yang dipersiapkan untuk Tim Manajemen
Krisis. Di dalam ruangan ini dipersiapkan segala informasi tentang apa yang harus
dilakukan bila suatu krisis terjadi, siapa orang/perusahaan/pejabat yang harus dihubungi
lengkap dengan nomor tilpon, alamat, dan tempat yang paling mudah dihubungi. Tim
yang seperti ini misalnya sudah dimiliki oleh perusahaan penerbangan didalam
menghadapi krisis, baik itu berupa kecelakaan pesawat, pembajakan dll.

Di saat tidak ada krisis terjadi, Tim ini biasanya melakukan permainan simulasi
menghadapi krisis. Permainan simulasi ini dibutuhkan untuk untuk melatih kecepatan
bertindak bila krisis betul-betul terjadi. Permainan simulasi ini sering dilakukan oleh
angkatan bersenjata di beberapa negara. Di masa damai mereka bermain latihan perang-
perangan unrtuk melatih kemampuan menghadapi perang yang sebenarnya. Di Amerika
Serikat sering dilakukan latihan bahaya kebakaran di gedung bertingkat. Maksudnya
adalah untuk membiasakan para penghuni bertingkat untuk menyelamatkan diri bila
terjadi kebakaran yang sesungguhnya.

Permainan simulasi ini perlu dilakukan tidak hanya sekali. Hal ini dimaksudkan agar
kesiapan dan kesadaran bahwa krisis sewaktu-waktu dapat terjadi selalu dalam pikiran
pemegang keputusan di perusahaan.

Upaya Kuratif.

Pada saat krisis melanda perusahaan ada beberapa langkah yang perlu dilakukan di dalam
penanganan krisis. Hal pertama adalah mengidentifikasi krisis kemudian diikuti oleh
mengisolasi krisis dan yang terakhir adalah menangani krisis.

Mengidentifikasi Krisis.

Pengidentifikasian krisis ini sangat penting dengan alasan sebagi berikut. Pertama, tanpa
adanya kejelasan faktor yang merupakan krisis maka akan sulit untuk mengatasi krisis.
Kedua dengan mengidentifikasi factor yang menjadi aspek penting krisis, perusahaan
dapat mengetahui apakah krisis tersebut dapat ditangani atau tidak. Daripada membuang
energi untuk menangani krisis yang jelas bakal tanpa memberikan hasil, perusahaan dapat
melihat ke hal lain yang kiranya dapat mengurangi dampak krisis.
Harus disadari bahwa di kala perusahaan terkena krisis, banyak problem lain yang
menyertainya yang merupakan krisis-krisis lainnya. Oleh karena itu krisis yang utama
tersebut harus didentifikasi.

Untuk mengisolasi ‘krisis utama’ dari krisis lainnya langkah berikut dapat dilakukan.
Pertama masing-masing anggota Tim Krisis Manajemen menanyakan kepada diri sendiri
beberapa pertanyaan berikut ini. Selanjutnya pertanyaan tersebut dinilai dengan
menggunakan bantuan skala pengukur ‘Crisis Impact Values’ seperti contoh berikut.

Untuk membuat kemampuan skala ‘Crisis Impact Value’ lebih baik tingkat presisinya,
perlu pula pembobotan terhadap tingkat keseriusan dampak krisis.

Masing anggota Tim akan mempunyai skor total, yang merupakan jumlah perkalian skor
pertanyaan, skor kemungkinan, dan skor bobot masing-masing pertanyaan. Tingkat
keseriusan krisis adalah skor rata-rata dari skor total yang diberikan oleh beberapa
anggota Tim.

Mengisolasi krisis.

Krisis pada dasarnya sama dengan suatu penyakit menular. Bila seseorang terserang
penyakit menular, dia harus diisolir dari orang-orang lainnya. Agar krisis tidak terlalu
menganggu jalannya perusahaan, maka krisis harus ditangani oleh orang lain. Bila yang
menangani krisis adalah seseorang yag sangat sibuk dan memegang jabatan vital di
perusahaannya, maka kesibukannya menangani krisis akan mengganggu fungsi utamanya
menjalankan perusahaan. Jika pemegang jabatan vital harus menangani krisis maka
tugasnya harus dialihtugaskan kepada orang lain.

Menangani krisis menuntut waktu, tenaga, dan pikiran yang amat besar. Krisis walaupun
melanda perusahaan, tetapi individu di dalam perusahaan lah yang menghadapinya.
Bagaimanapun menghadapi krisis perlu adanya persiapan mental dan fisik. Di saat krisis
berada dalam masa akut, seringkali anggota tim harus bekerja keras, kurang tidur, dan
dilanda stress yang amat sangat. Keadaan lelah, kurang tidur dan stress yang tinggi ini
akan menyebabkan keputusan yang diambil dalam menangani krisis menjadi kurang
didasari oleh logika yang tepat. Oleh karena itu sangat disarankan agar anggota Tim
krisis dipilih orang-orang yang kuat menghadapi stress dan semua kelelahan ini. Bila
anggota Tim tidak kuat dengan ‘pressure’ situasi yang begitu besar, baik dari media-
massa maupun pihak lain, sebaiknya dia diganti dengan anggota yang lebih kuat. Selain
itu anggota Tim perlu menyisihkan waktu untuk rileks guna menurunkan kelelahan dan
stress. Bila seseorang harus menangani krisis disamping menjalankan fungsi vitalnya
menjalankan perusahaan, sangat besar kemungkinan semuanya akan menjadi kacau.
Krisis tidak terpecahkan dan jalan perusahaan menjadi kacau. Agar keadaan seperti ini
tidak terjadi, beberapa perusahaan yang terkena krisis di Amerika (misalnya Johnson &
Johnson yang memproduksi Tylenol obat pusing kepala) hanya menugaskan sejumlah
kecil staf perusahaan untuk menjadi angota Tim yang menangani krisis. Sedangkan
sejumlah besar staf lainnya melaksanakan kegiatan perusahaan sehari-hari. Tim ini selalu
mengkomunikasikan kepada staf lainnya apa-apa yang terjadi di dalam penanganan
krisis. Perusahaan Procter & Gamble di USA diwaktu menangani kasus produk pembalut
wanita yang menimbulkan penyakit menugaskan Tim khusus untuk menangani krisis.
Anggota Tim ini dibebas-tugaskan dari pekerjaannya sehari-hari. Selain itu untuk
mengatasi kemungkinan seperti ini, banyak perusahaan di Amerika Serikat menggunakan
jasa konsultasi ‘manajemen krisis’.

Menangani krisis

Bila Tim manajemen krisis sudah dibentuk dan sudah berhasil mengidentifikasikan krisis,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk menentukan tindakan apa
yang harus diambil.

Untuk membuat keputusan yang tepat diperlukan informasi yang lengkap dan teknik
pengambilan keputusan yang baik, serta sikap mental yang mendukung. Oleh karena itu
sangat diperlukan pengetahuan yang memadai dalam hal teknik pengambilan keputusan.
Pengalaman yang diperoleh melalui training ‘pengambilan keputusan’ akan sangat
bermanfaat di dalam menghadapi krisis.

Begitu cepatnay perubahan terjadi di masa krisis, pengambilan keputusan pun berada
dalam suasana yang mudah pula berubah. Di masa krisis memang keputusan yang dibuat
harus fleksibel sehingga dapat mengakomodasi keadaan. Perlu diingat bahwa menangani
krisis adalah menangani keputusan dengan cara yang baik.

Di masa krisis, sering terjadi perusahaan mendapat sorotan negatif dari media masa.
Ketertutupan akan media masa akan membuat perusahaan semakin menjadi sorotan.
Upaya menghindari media masa akan menimbulkan kesan bahwa perusahaan
menyembunyikan sesuatu. Hal ini akan merugikan ‘image’ perusahaan di mata
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya keterbukaan dan kejujuran tim krisis di
dalam memberikan informasi tentang hal-hal yang terjadi .

Agar pemberian informasi kepada media masa menguntungkan pihak perusahaan, sangat
dianjurkan untuk menunjuk seorang juru bicara yang bisa tenang menghadapi pertanyaan
dari pihak wartawan. Selain itu apa-apa yang perlu dikomunikasikan perlu dibicarakan
lebih dahulu agar tidak menimbulkan kerugian. Keterlibatan pakar komunikasi, psikolog,
dan ahli di bidang ‘public relations’ sangat disarankan dalam penyusunan informasi yang
akan disampaikan kepada media masa.

PENUTUP

Uraian di atas adalah sekelumit permasalahan yang kiranya perlu diperhatikan dalam
mempersiapkan diri untuk menghadapi krisis. Banyak hal-hal yang belum dibicarakan,
semoga hal-hal yang belum dibicarakan ini dapat ditambah oleh para peserta seminar hari
ini. Terima kasih.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada formulasi konsep dasar teori akuntansi, Paton dan Littelon mengungkapkan
konsepnya, salah satunya adalah mengenai konsep Continuity Activity, yang menyatakan
bahwa pada dasarnya suatu perusahaan berdiri dengan anggapan akan hidup sepanjang
masa dan tidak akan pernah mati. Anggapan tersebut didasarkan pada kondisi normal
bahwa suatu perusahaan tidak didirikan untuk usaha-usaha sporadik jangka pendek,
sehingga bila hal yang diinginkan hanya tercapai kemudian dilikuidasi. Karena likuidasi
bukan merupakan harapan dari suatu perusahaan pada umumnya dan sebaliknya bahwa
kontinuitas usahalah yang diharapkan, maka akuntansi bersandar pada kondisi
perusahaan normal atau yang umum dijumpai.

Namun kenyataan banyak perusahaan setiap saat mengalami kemacetan likuidasi,


kebangkrutan. Kebangkrutan perusahaan ini disebabkan oleh faktor ekstern seperti
bencana alam dan kondisi perekonomian umum yang menimpa suatu sektor industri
secara bersamaan atau pada suatu wilayah geografis tertentu. Seperti halnya yang
dialami kalangan bisnis di Indonesia akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Selain faktor ekstern tersebut juga bisa disebabkan oleh faktor intern perusahaan.

Kebangkrutan secara kronologi dapat dipisahkan menjadi dua dimensi yaitu


ekonomis dan finansial. Dari segi ekonomi, suatu perusahaan dianggap gagal apabila
mempunyai return yang negatif atau dengan kata lain tidak adanya keseimbangan antara
pendapatan dan pengeluaran. Sedangkan secara finansial suatu perusahaan dikatakan
gagal apabila pertama, jika perusahaan tersebut tidak mampu membayar hutangnya pada
saat tanggal jatuh tempo meskipun aktiva total melebihi kewajiban sehingga perusahaan
dianggap gagal keuangan dan kedua jika total kewajiban melebihi nilai wajar dari aktiva
totalnya sehingga perusahaan tersebut dinyatakan pailit.

Pada tahun 1998 negara Indonesia mengalami krisis moneter, dimana banyak sekali
perusahaan yang kena dampak atas masalah ini. Hasil survey yang dilakukan Asian
Development Bank (ADB), Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Booz-
Allen & Hamilton, World Bank, dan Pricewaterhouse Coopers yang menyimpulkan
bahwa salah satu faktor penyebab krisis ekonomi di Indonesia adalah tidak dipenuhinya
syarat-syarat pengelolaan korporasi yang memadai. Penyebabnya, pertama, intervensi
eksternal yang menganggap dunia usaha sebagai sapi perah dan, kedua, lemahnya sistem
manajerial dan moral hazard manajer untuk memanfaatkan celah (loopholes).

Dampak yang paling nyata dari krisis ini adalah meningkatnya biaya produksi yang
mengakibatkan banyak perusahaan mengalami keterpurukan hingga ada yang sampai
pada kebangkrutan. Adapun contoh perusahaan tersebut adalah Perusahaan Otomotive,
Perusahaan Real Estate, Perusahaan Food And Bavarage, dan salah satunya Perusahaan
Textile.

Keadaan krisis yang berkepanjangan ini banyak berpenguh pada kelangsungan


hidup perusahaan textile, baik yang Go Publik terlebih lagi perusahaan textile yang
bersekala kecil. Pada masa ini perusahaan textile yang Go Publik masih lebih baik karena
mereka biasanya mempunyai anak cabang dan mendapatkan pinjaman modal yang besar,
sehingga kebangkrutan mereka lebih kecil kecuali ada permasalahan intern perusahaan
seperti penyalahgunaan keuangan atau masalah ekstern seperti bencana alam. Berbeda
dengan perusahaan yang bersekala kecil, sebagai contoh 70 perusahaan textile kecil dan
menengah di Bandung berhenti beroperasi karena tidak mampu bersaing dengan produk
garmen dari Cina dan Taiwan.

Sebab kebangkrutan industri tekstile memang beragam salah satunya sebagaimana


dikemukakan oleh Basri (2003) menengarai salah satu penyebabnya adalah tidak
kondusifnya iklim usaha industri tekstil di Indonesia. Sebagai contoh, tingginya
berbagai pungutan yang telah mengakibatkan produk tekstil Indonesia tidak kompetitif di
pasar internasional. Menurut Harsiwi dan Sulis (2006) salahsatu faktor yang telah
mengakibatkan industri tekstil mengalami kesulitan adalah kecurangan keuangan yang
terjadi dalam industri tekstil. Penelitian menggunakan data-data sekunder berupa laporan
keuangan (annual report) perusahaan tekstil yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Penelitian ini menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa keuangan
dan dihitung dengan menggunakan modified jones model (Dechow et al., 1995).
Hasilnya, ditemukan bukti bahwa selama periode pengamatan industri tekstil cenderung
melakukan rekayasa keuangan dengan pola kenaikan laba (income incresing), yang
secara signifikan mempengaruhi kinerja industri itu. Secara teoritis, upaya rekayasa ini
tidak mungkin dilakukan perusahaan dalam jangka panjang. Ada saat dimana
perusahaan tidak mampu lagi melanjutkan kecurangannya itu yang mengakibatkan
perusahaan bersangkutan akan mengalami kesulitan-kesulitan keuangan. Oleh sebab itu
ada kemungkinan runtuhnya industri tekatil nasional juga disebabkan kecurangan
keuangan yang selama ini dilakukannya.

Menurut Wakil Ketua API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) Jabar Ade Sudradjat (Pikiran
Rakyat Cyber Media, 2006), kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti
tingginya inflasi, lebih merupakan penyebab utama untuk mempertegas buruknya iklim
usaha yang berlangsung. Setidaknya di industri tekstil sudah banyak yang merasakan
sejak tahun 2001 dengan adanya pabrik-pabrik yang tutup. Jadi, industri tekstil mau tidak
mau masih harus menggunakan BBM yang sudah tidak efisien untuk proses
produksi dengan harga saat ini. Selain itu, kinerja lembaga Bea dan Cukai yang sejak
lama begitu buruk, merupakan sumber distorsi yang juga tak kunjung membaik.
Lemahnya kerja bea dan cukai ini membuat industri tekstil kehilangan daya saing terus-
menerus. Negara produsen tekstil yang mempunyai empat musim bisa memasukkan
barang bekas musim panas ke negara tropis dengan harga 10% saja.
Akibatnya, pasar domestik Indonesia saat ini sebesar 70% dikuasai produk- produk
impor. Malah menurutnya berbagai busana yang dijual FO (factory outlet) baik di
Bandung, Jakarta, maupun Surabaya didominasi barang ekspor hingga 95%.

Ketidakmampuan bersaing perusahaan textile lokal dangan asing juga disebabkan oleh
rendahnya suku bunga pinjaman dinegara-negara tersebut. Di Negara Taiwan dan Cina
suku bunga kredit dapat mencapai 5-6 persen per tahun, sedangkan di Indonesia pernah
mencapai 18-20 persen. Selain dikarenakan krisis ekonomi yang berkepanjangan
bangkrutnya perusahaan textile juga disebabkan dihapusnya kuota ekspor dan produk
tekstil.

Manajemen perusahaan yang efektif tentu tidak dapat menunggu sampai perusahaan
mengalami kebangkrutan total baru kemudian mengambil tindakan. Analisis prediksi
kebangkrutan baik secara internal maupun eksternal dapat digunakan untuk mengenali
lebih awal tanda-tanda kebangkrutan. Pada umumnya analisa untuk mengetahui tingkat
kesehatan dan keberhasilan kinerja perusahaan adalah analisis internal, yaitu dengan
cara melakukan analisis terhadap laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan
setiap tahunnya yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi dan laporan laba ditahan.
Analisa internal dapat dilakukan melalui 2 metode, yaitu metode univariate dan metode
multivariate. Metode univariate, memprediksi kebangkrutan dengan menggunakan
rasio keuangan secara terpisah, sedangkan metode multivariate menggunakan rasio-rasio
keuangan secara simultan salah satunya adalah metode yang dikembangkan oleh Altman
yang dikenal dengan Z-score melalui penggunaan analisis diskriminan. Dari nilai Z-nya,
berdasarkan titik cut-off yang dilaporkan Altman. Suatu perusahaan dapat dikelompokkan
ke dalam salah satu klasifikasi perusahaan sehat, sehat tapi rawan kebangkrutan ataupun
sebagai perusahaan yang diprediksikan bangkrut.

Sebetulnya sektor textile mempunyai kiat usaha yang cukup luas, karena banyak
dibutuhkan oleh masyarakat, namun jika hal ini tidak mendukung, maka akan
mengakibatkan perusahaan tersebut bangkrut. Dalam hal ini perlu kiranya dilakukan
suatu analisa yang dapat dijadikan sebagai suatu pertimbangan dalam melakukan suatu
tindakan yang antisipatif.

Dari evaluasi penerapan analisis diskriminan Altman terhadap perusahaan textile yang
listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ), menunjukkan sebagia besar di perusahaan tersebut
termasuk dalam klasifikasi perusahaan yang diprediksikan bangkrut, baik yang masih
tergolong perusahaan sehat tapi rawan kebangkrutan maupun perusahaan sehat karena
memiliki nilai Z yang semakin cenderung menurun tiap tahunnya yang berarti
memungkin untuk bangkrut, karena semakin banyak masalah keuangan yang dihadapi.

Persoalan utama yang umumnya dihadapi oleh perusahaan yang


diprediksikan bangkrut berdasarkan analisis rasio finansial adalah masalah rendahnya
likuiditas. Krisis likuiditas ini menyebabkan kegiatan operasional perusahaan menjadi
terganggu dan perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban yang jatuh tempo.
Atas dasar tersebut para calon investor maupun kreditor harus bisa menganalisis
kemampuan suatu perusahaan untuk terus melangsungkan hidupnya untuk masa
depan.

Atas dasar itulah penulis merasa tertarik untuk meneliti potensi kebangkrutan
perusahaan textile dengan menggunakan model Z-Score karena itulah peneliti memilih
judul Analisa Diskriminan Model Altman (Model Z- Score) untuk Memprediksi
Kebangkrutan Suatu Perusahaan (Studi Kasus pada Perusahaan Textile yang Go Publik di
BEJ).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diberikan rumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimanakah mengantisipasi kebangkrutan perusahaan dengan
menggunakan analisis diskriminan (Z-Score) model Altman pada perusahaan
textile yang terdaftar di BEJ selama tahun 2000-2004.

Вам также может понравиться