Вы находитесь на странице: 1из 26

Kesehatan Mental dalam Komunitas

Tugas Mata Kuliah Psikologi Komunitas

Disusun Oleh :

Aisha Dian (M2A008004)

Anisa Imaniar (M2A008007)

Burhan Laksmana (M2A008012)

Destia Utami (M2A008014)

Profitra Reza A. (M2A008069)

Ratna Intifada S. (M2A008070)

Sekar Paramitha H. (M2A008084)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2010
BAB I

Pendahuluan

Kesehatan jiwa masyarakat telah menjadi bagian dari masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Berbagai masalah multi-dimensional yang masih dan akan terus dihadapi masyarakat
menyangkut masalah ekonomi, bencana alam, wabah penyakit merupakan faktor pencetus terjadinya
masalah pada kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Masalah kesehatan jiwa di masyarakat
dampaknya sangat luas dan kompleks. Meskipun secara tidak langsung menyebabkan kematian,
namun akan mengakibatkan si penderita gangguan jiwa menjadi tidak produktif dan menimbulkan
beban bagi keluarga dan lingkungan masyarakat di sekitarnya.

Latar Belakang.

Sehat secara mental dapat diartikan sebagai kondisi mental yang tumbuh dan didasari
motivasi yang kuat ingin meraih kualitas diri yang lebih baik, baik dalam kehidupan keluarga,
kehidupan kerja/profesi, maupun sisi kehidupan lainnya. sedangkan orang yang disebut sakit mental
adalah orang yang secara mental memiliki berbagai macam unsur yang saling bertentangan dan
dengan demikian, sering merusak atau menghambat, sehingga perilakunya tidak menentu.

Makalah ini disusun untuk memberikan pengertian secara menyeluruh tentang kesehatan
mental dalam komunitas. Dengan adanya pengertian yang menyeluruh, diharapkan masyarakat tidak
salah dalam menyikapi masalah ini dan dapat memberikan perhatian penuh untuk menyelesaikan
masalah ini dengan cara benar sehingga tepat sasaran.
BAB II

Sehat Mental, Psikiatri dan Psikologi Komunitas, Prinsip dan Dimensi, dan Pendekatan
Intervensi.

I. Sehat Mental

Terdapat beberapa keadaan mental yang secara khusus perlu mendapat perhatian, yaitu “sehat
mental”, “mental tak sehat”, dan “sakit mental”. Sehat mental secara umum dapat diartikan sebagai
kondisi mental yang tumbuh dan didasari motivasi yang kuat ingin meraih kualitas diri yang lebih
baik, baik dalam kehidupan keluarga, kehidupan kerja/profesi, maupun sisi kehidupan lainnya. Orang
yang disebut memiliki mental yang tidak sehat ialah orang yang meskipun secara potensial memiliki
kemampuan, tetapi tidak punya keinginan dan usaha untuk mengaktualisasikan potensinya itu secara
optimal.Sementara itu orang yang disebut sakit mental adalah orang yang secara mental memiliki
berbagai macam unsur yang saling bertentangan dan dengan demikian, sering merusak atau
menghambat, sehingga perilakunya tidak menentu.

Beberapa definisi daan pengertian sehat mental yang dapat dikemukakan adalah sebagai
berikut :

1. World Federation for Mental Health, pada tahun 1948 dalam konvensinya di London
mengemukakan bahwa sehat mental adalah suatu kondisi yang optimal dari aspek intelektual,
yaitu siap untuk digunakan, dan aspek emosional yang cukup mantap atau stabil, sehingga
perilakunya tidak mudah tergoncang oleh situasi yang berubah dilingkungannya, tidak
sekedar bebas atau tidak adanya gangguan kejiwaan, sepanjang tidak mengganggu
lingkungannya.

2. Karl Menninger, mendefinisikan sehat mental sebagai penyesuaian manusia terhadap


lingkungannya dan orang-orang lain dengan keekfetifan dan kebahagiaan yang optimal. Tidak
sekedar efisiensi atau sekedar kegembiraan atau ketaatan atas aturan permainan. Dalam
mental yang sehat terdaapat kemampuan untuk memelihara watak intelegensi yang siap untuk
digunakan, perilaku yang dipertimbangkan secara sosial, dan disposisi yang bahagia.

3. HB. English, menyatakan sehat mental sebagai keadaan yang secara relatif menetap di
mana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik, memiliki semangat hidup yang tinggi
yang terpelihara dan berusaha mencapai aktualisasi diri yang optimal. Hal ini merupakan
keadaan yang positif bukan sekedar tidak adanya gangguan mental.

4. W.W Boehm, menyatakan bahwa sehat mental adalah kondisi dan taraf pemfungsian sosial
yang diterima secara sosial dan memberikan kebahagiaan secara pribadi.
5. Coleman dan Broen, Jr, menyatakan ada 6 sifat orang yang sehat mental :

• Sikap terhadap diri sendiri yang positif, menekankan pada penerimaan diri, identitas
diri yang adekuat, penghargaan yang relistik terhadap kelebihan dan kekurangan
orang lain.

• Persepsi atas realitas yaitu suatu pandangan realistik atas diri sendiri dan dunia,
orang, serta benda-benda yang nyata ada di lingkungannya.

• Keutuhan yaitu, kesatuan dari kepribadian, bebas dari ketidakmampuan menghadapi


konflik dalam diri, dan toleransi yang baik terhadap stress.

• Kompetensi adalah, adanya perkembangan kompetensi, baik fisik, intelektual,


emosional, dan sosial untuk menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Kompetensi
mengandung pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang sesuai dan
memadai.

• Otonomi, adalah keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan pengaturan diri yang
adekuat, bersama-sama dengan kemandirian yang memadai menyangkut pengaruh
sosial.

• Pertumbuhan atau aktualisasi diri ialah menekankan pada kecenderungan terhadap


kematangan yang meningkat, perkembangan potensial, dan kepuasan sebagai pribadi.

6. Killander, pada tahun 1957 mengindentikkan orang yang mentalnya sehat dengan apa yang
disebutnya sebagai individu yang normal. Mereka adalah orang-orang yang memperlihatkan
kematangan emosial, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain,
dan memiliki filsafat atau pegangan hidup pada saat mengalami komplikasi kehidupan sehari-
hari sebagai gangguan.

Ciri-ciri individu yang memiliki sehat mental seperti yang dikatakan oleh Killander tadi
tampaknya sederhana tetapi seringkali sukar terlihat dalam kenyataannya sehari-hari. Untuk itu, perlu
dikemukanan rincian pengertian ciri-ciri tersebut sesuai dengan maksudnya, sebagai berikut :

a. Kematangan emosional.
Terdapat 3 dasar emosi yaitu: cinta, takut, dan marah. Kita mencintai hal yang membuat kita
senang, takut bila ada hal yang mengancaam rasa aman kita, dan marah jika ada yang mengganggu
dan menghambat jalan dan usaha untuk mencapai apa yang kita inginkan. Ketiga dasar emosi ini
diturunkan dan bersifat universal.
Terdapat 3 ciri perilaku dan pemikiran pada orang yang emosinya disebut matang, yaitu
memiliki disiplin diri, determinasi diri, dan kemandirian. Seorang yang memiliki disiplin diri dapat
mengatur diri, hidup teratur, menaati hukum dan peraturan. Orang yang memiliki determinasi diri
akan dapat membuat keputusan sendiri dalam memecahkan suatu masalah dan melakukan apa yang
telah diputuskannya. Ia tidak mudah menyerah dan akan menganggap masalah baru lebih sebagai
tantangan daripada sebagai ancaman. Individu yang mandiri akan berdiri di atas kaki sendiri. Ia tidak
banyak menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan
diri pada kemampuan, kemauan dan kekuatannya sendiri.

b. Kemampuan menerima realitas.


Adanya perbedaan antara dorongan, keinginan, dan ambisi di satu pihak, serta peluang dan
kemampuan di pihak lainnya, merupakan hal yang biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan
untuk menerima realitas antara lain memperlihatkan perilaku, mampu memecahkan masalah dengan
segera dan menerima tanggung jawab. Bahkan kalau memungkinkan, ia mampu mengendalikan
lingkungan dan kalau tidak mungkin, tidak sukar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,
terbuka untuk pengalaman dan gagasan baru, membuat tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan
yang terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tersebut. Selain itu, mereka juga tidak terlalu
banyak menggunakan mekanisme pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yang tidak tepat ketika
menghadapi masalah yang mengganggunya atau yang tidak ia kehendaki. Penggunaan meknisme
pertahanan diri adalah perilaku yang bersifat palivatif, ialah membangun situasi seolah-olah
menyelesaikan masalah, padahal tidak. Oleh karena itu, masalahnya tidak akan hilang justru akan
makin berkembang.
c. Hidup bersama dan bekerjasama dengan orang lain
Hal ini menyangkut hakekat dirinya sebagai makhluk sosial yang tidak sekedar mau dan
bersedia serta mampu bekerjasama untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi daripada dikerjakan
sendiri, melainkan juga karena tidak dapat bertahan hidup sendiri. Manusia adalah makhluk solider
bukan soliter dan memanfaat.
Ciri normal secara sosial ini antara lain terlihat pada adanya kemampuan dan kemauan untuk
mempertimbangkan minat dan keinginan orang lain dalam tindakan-tindakan sosialnya, mampu
menemukan dan memanfaatkan perbedaan pandangan dengan orang lain, dan mempunyai tanggung
jawab sosial serta merasa bertanggung jawab terhadap nasi orang lain.

d. Memiliki filsafat atau pandangan hidup.


Yang dimaksud dengan memiliki falsafah hidup memiliki pegangan hidup yang dapat
senantiasa membimbingnya untuk berada dalam jalan yang benar, terutama saat menghadapi atau
berada dalam situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hidup ini memiliki dua muatan
utama, yaitu makna hidup dan nilai hidup. Jadi, orang yang sehat mental senantiasa dibimbing oleh
makna dan nilai hidup yang menjadi pegangannya. Ia tidak akan terbawa begitu saja oleh arus situasi
yang berkembang di lingkungannya maupun perasaan dan suasana hatinya sendiri yang bersifat
sesaat.
Dari berbagai definisi yang dkemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku
sehat atau mental sehat adalah perialaku yang dilandasi oleh pemanfaatan potensi pikir yang efektif
dan optimal serta siap digunakan, emosionalitas yang stabil dan dewasa motivasi atau kemauan yang
terarah dan bersumber dari diri sendiri sosiabilitas yang kokoh, persepsi yang realistis, dan makna
serta nilai hidup terbaik yang dimilikinya.

II. PSIKIATRI KOMUNITAS, DAN PSIKOLOGI KOMUNITAS

Perkembangan mutakhir tentang ilmu pengetahuan tampak


mengintegrasi satu dengan yang lain. Seperti bidang Ilmu Psikiatri yang
berkembang dari psikiatri individual ke psikiatri komunitas, dan psikologi juga
berkembang menjadi psikologi komunitas. Baik psikiatri komunitas maupun
psikologi komunitas berkembang atas pengaruh bidang ilmu kesehatan
masyarakat, khususnya ilmu mengenai kesehatan mental masyarakat.

Psikiatri komunitas maupun psikologi komunitas menaruh perhatian pada


upaya-upaya promosi kemampuan mayarakat dan pencegahan terhadap
berbagai masalah atau gangguan yang ada di masyarakat sesuai dengan fokus
perhatian bidang ilmu itu. Kedua bidang ilmu itu, psikiatri komunitas dan
psikologi komunitas, sama-sama menggunakan pendekatan kelompok dengan
sasarannya adalah masyarakat.

Yang membedakan keduanya terletak pada fokus perhatian yang


dipelajari. Psikiatri komunitas lebih menekankan pada promosi kesehatan mental
dan upaya pencegahan terhadap timbulnya gangguan-gangguan psikiatris,
dengan basis keilmuan yang digunakan adalah psikiatri. Psikologi komunitas
lebih menekankan pada promosi potensi psikologis masyarakat serta upaya-
upaya pencegahan terhadap munculnya perilaku yang tidak tepat termasuk
bidang kesehatan mental, dan basis keilmuan yang digunakan adalah psikologi.

Sementara kesehatan mental masyarakat pada prinsipnya tidak


membatasi basis keilmuan tertentu untuk memahami, dan melakukan intervensi
dalam bidang kesehatan mental masyarakat. Psikiatri komunitas dan psikologi
komunitas turut membantu dalam penanganan kesehatan mental masyarakat.
Karena itu dari sisi pendekatan masyarakat pada dasarnya tidak berbeda antara
kesehatan mental masyarakat, psikiatri komunitas dan psikologi komunitas.
Psikologi komunitas di Indonesia di bahas sebagai “kesehatan masyarakat” dalam disiplin
ilmu kedokteran dan ilmu kasehatan masyarakat.

Beberapa ahli mendefinisikannya sebagai berikut :

• Heller dan Munahan menjelaskan psikologi komunitas sebagai aplikasi prinsip-prinsip


tingkah laku untuk mengerti dan memecahkan bermacam problem dalam situasi komunitas.

• Sunberg dkk, psikologi komunitas mengutamakan pada aspek-aspek psikologi dari suatu
sistem sosial dan aspek pencegahan sebagai pokok bahasan dalam psikologi komunitas.

• Zax dan Specter, mengartikan psikologi komunitas sebagai suatu pendekatan dalam bidang
kesehatan mental yang mengutamakan peran lingkungan dalam menimbulkan dan
mengurangi masalah-masalah manusia atau peningkatan kesejahteraan manusia.

Namun secara umum psikologi komunitas di definisikan sebagai suatu pendekatan terhadap
kesehatan mental yang menekankan pada peran gaya lingkungan dalam menciptakan dan
mengurangi masalah-masalah .

Jadi dapat disimpulkan bahwa psikologi komunitas adalah penerapan prinsip ilmu perilaku dalam
lingkup manusia dengan tujuan mencegah munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang
berat

Fokus dari psikologi komunitas itu sendiri mencakup interaksi antara manusia dengan
lingkungan, mengidentifikasi peran dan daya lingkungan yang dapat menciptakan atau
mengurangi masalah-masalah individu serta selanjutnya memusatkan diri pada pemberdayaan
individu dan kelompok untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya.

III. Prinsip dan Dimensi Kesehatan Mental

a. Prinsip-prinsip dalam kesehatan metal.

Menurut (Schneiders, 1964) terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan untuk memahami
kesehatan mental. Prinsip ini berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
mental serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental. Prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut :

1. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi :


a. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari
kesehatan fisik dan integritas organisme.

b. Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia harus
sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral, intelektual, religius,
emosional, dan sosial.

c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri, yang
meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi, dan perilaku.

d. Dalam pencapaian dan khususnya memelihara kesehatan dan penyesuaian mental,


memperluas pengetahuan tentang diri sendiri merupakan suatu keharusan.

e. Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, yang meliputi : Penerimaan diri
dan usaha yang realistik terhadap status atau harga dirinya sendiri.

f. Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus menerus dalam
memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realisasi diri jika kesehatan dan penyesuaian
mental hendak dicapai.

g. Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembangan terus menerus
dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang tertinggi, yaitu : hukum,
kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan hati dan moral.

h. Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuain mental tergantung kepada


penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik.

i. Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas untuk


mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah kepribadian.

j. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus menerus untuk
kematangan dalam pemikiran, keputusan , emosionalitas dan perilaku.

k. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi belajar secara efektif
dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan ketegangan yang
ditimbulkannya.

2. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya, meliputi :

a. Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung hubungan interpersonal yang sehat,


khususnya di dalam kehidupan keluarga.
b. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung pada kecukupan dalam
kepuasan kerja.

c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan sikap dan realistik yaitu menerima
realitas tanpa distorsi dan objektif.

3. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi :


a. Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran atas realitas
terbesar daripada diririnya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap
tindakan yang fundamental.
b. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan
antara manusia dengan Tuhannya.

b. Dimensi Kesehatan Mental.

Di dalam dimensi kesehtan mental terdapat tiga faktor yang berpegaruh yaitu
lingkungan biologis, psikologis, lingkungan sosial-budaya. Faktor-faktor diatas
perlu ada homeostatis yaitu keseimbangan yang dinamis.

1. Dimensi biologis Kesehatan Mental

Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi
biologis dengan kesehatan mental. Penelitian menghasilkan kesimpulan
bahwa dimensi ini sangat terkait dengan kesehatan mental. Bagian yang
amat terkait dengan kesehatan mental diantaranya otak, sistem endokrin,
genetik, serta sensori.

• Otak

Otak merupakan bagan yang sangat penting yang mengatur segala


macam aktifitas manusia baik yang sadar maupun tidak. Otak
secara garis besar terbagi menjadi otak besar (cerebrum), otak
tengah (metensephalon), otak kecil (cerebellum), sumsum lanjutan
(medulla oblongata), dan jembatan varol (pons varoli). Terjadinya
kerusakan pada otak. Berikuta dalah beberapa gangguan mental
yang disebabkan oleh kerusakan otak

Ganguan-gangguan mental yang berhubungan dengan kerusakan otak

Gangguan Simptom Penyebab


Demensia Penurunan secara Genetik, metabolik,
progresif kemampuan keracunan, infeksi,
kognitif penyakit sirkulasi

Epilespi Trauma, Infeksi,


Kehilangan genetik
keseimbangan dan
Retardasi Mental kesadaran
Genetik, infeksi dan
Ketidakmampuan intoksikasi, trauma
mental atau intelegensi atau agen fisik,
subnormal gangguan
metabolisme,
malnutrisi,
abnormalitas
Sindroma Kluver-Bucy kromosom, dan
lainnya, infeksi pada
otak
Peningkatan aktifitas
Amnesia Korsakof sex, aktifitas sex Alkoholik yang kronis
diarahkan pada objek
yang tidak tepat

Kebingungan yan
sangat ekstreem,
perubahan kepribadian
yang mencolok, lupa
mengingta peristiwa
yang dialami tahun-
tahun terakhir.

Sumber (1) Stein, Z.A. dan Susser M. 1980. Mental Retardation. Dalam Maxcy-Rosenau (editor). Public
Health andPreventive Medicine, 11th edition. New York : Aplpeton-centery-croft. P 1266-1282; (2)
Pinel, J.1993. Biopsychology. 2th edition. Boston: Allyn Bacon; (3) Eisnberg, L. Preventing mental,
Neurological, and psychological disorder. World Health Forum, , 245-253.

• Sistem Endokrin

a. Kelenjar Pituitari

Abnormalitas pada produksi hormon “somatotropin”


menghasilkan Giganisme dan Kretinisme. Kelebihan pada usia
tua mengakibatkan Acromeghaly, yaitu pertumbuhan yang tidak
normal berupa terlalu panjangnya lengan dan/atau kaki.

b. Tiroid

Hipersekresi pada anak-anak juga dapat mengakibatkan


kretinisme. Pada orang dewasa berakibat lambatnya proses
metabolisme, kecenderungan gerakan yang lamban, dan secara
mental kognitifnya juga terganggu.

c. Paratiroid
Terganggunya fungsi kelenjar ini mengakibatkan tetany, yaitu
gangguan yang ditandai dengan tremor, kejang, dan berakibat
pada ketidakstabilan emosi.

d. Adrenalin

Hipersekresi hormon ini mengakibatkan adrenalin preacox, yaitu


gejala pubertas dini dan IQ penderita biasanya dibawah rata-rata.
Kelenjar ini merupakan kelenjar yang menentukan “mood”
keadaan perasaan seseorang, ukuran energi, dan kemampuan
menangani stress. Sistem endokrin yang tidak normal, terlalu
aktif ataupun terlalu aktif mengakibatkan gangguan secara fisik
maupun Gangguan mental

e. Gonad

Disfungsi pada kelenjar ini mengakibatkan eunichism, yaitu


impotensi pada laki-laki sebelum masa pubertas dan tumbuhnya
alat-alat sex sekunder pada wanita. Jika terjadi rduksi hormon ini
pada wanita mengahasilka menopause, yang dapat berakibat
sekunder yang berupa diantaranya reaksi-reaksi psikologis
misalnya depresi, insomnia, dan gangguan-gangguan emosional
lainnya.

• Genetik

Ganguaan yang merupakan sumbangan besar dari


faktor genetik diantaranya schizofrenia, manis depresif,
alzheimer syndrome, dan huntington syndrome, klinefelter
syndrome, supermale syndrome, down syndrom yang
ditandai ganguan mental yang sangat berat, turner
syndrome (wanita yang tidak berkembang seksualnya pada
saat pubertas).

• Sensori

Merupakan alat penangkap stimuli dari luar. Stimuli


termasuk pendengaran, penglihatan, perabaan,
pengecapan, dan penciuman. Gangguan pada sensori
dapat berupa bisu, tuli, serta buta.

2. Dimensi Psikologis Gangguan Mental.

a. Pengalaman awal

Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman


yang terjadi pada individu terutama yang terjadi di masa lalunya
yang menentukan kondisi mental individu di kemudian hari.
Berikut akan dijelaskan tentang pandangan Freud dan Erikson
tentang pengalaman awal yang berpengaruh dalam kesehatan
mental individu di masa yang akan datang.

Tabel Tahap Perkembangan dan akibat penyelesaian yang tidak


memadai

Tahap (usia) Tugas Perkembangan Penyelesaian yang tidak


Anak memadai
Oral (0-1th) Penyapihan Perilaku adiktif seperti
merokok dan minum.

Anal (2-3th) Latihan buang air Overacting; juga tidak


perduli dan acuh,
obsesional, keras kepala
atau gangguan
oposisional.

Phalic (4-5th) Oedipus complex : Sombong, serampangan


identifikasi kepada orang
tua

Latency (6-12th) Perkembangan Tidak ada


mekanisme pertahanan
ego

Genital (13-18th) Kematangan seksual, Masa dewasa tidak


keintiman di masa mencapai integrasi
dewasa kepribadian
Sumber : Hoare, P. Dan Mclntosh, N. 1993. Essential Child Psychiatry. Edinburgh : Churcill
Livingstone, hal. 14.

Sedangkan hubungan perkembangan psikososial dan


penyelesaian fase kritis beserta gangguan-ganguan yang timbul
daripadanya, dapat disajikan dalam tabel berikut ini :
Usia/th Masa Kritis Penyelesaian Gangguan
yang dapat
terjadi
 6bln Berkapasitas Berhasil : dasar Perilaku abnormal
interaksi utama dalam akibat : genetik,
kemanusiaan vs berhubungan fetal, atau
kekurangan dalam dengan orang lain. kelahiran, ;
bidang tersebut problem tidur,
Gagal : kesulitan prblem makan;
dalam membina gagal berkembang
hubungan dengan
orang lain

Cemas berpisah
 1 th Kepercayaan vs Berhasil : orang dan takut terhadap
ketidakpercayaan yang terpercaya, orang asing,
percaya dan mengalami gg
berharaplingkungan mental untuk bayi.
dari masa
depannya.

Gagal : kecurigaan,
onflik kepercayaan
dan ketakutan,
cemas terhadap Temper tantrum,
masa depannya mengalami latihan
buang air besar
 2th Otonomi vs rasa Berhasil : mampu
malu dan bersalah melakukan kendali
diri dan kecukupan,
ketekunan.
Negatifisme (tidak
Gagal : konflik takut konformitas),
mandiri, perasaan mimpi buruk, fobia,
bersalah yang kuat menghisap jari
 3-5 th (kompulsif),
Inisiatif vs rasa Berhasil : mampu problem bicara,
bersalah berinisiatif terhadap hiperaktif, berjalan
aktifitasnya sendiri, saat tidur,
peka terhadap penolakan sekolah.
tujuannya sendiri

Gagal : konflik
takut-agresif,
merasa
ketidakcukupan

Problem belajar,
 6-11 th
ketidakmampuan
Industri vs Berhasil : membaca khusu’,
inferioritas kompeten, mampu perilaku agresif,
belajar dan bekerja neurotik, gangguan
afeksi.
Gagal : merasa
inferior, kesulitan
dalam belajar dan
bekerja
Gg perilaku
 12-18 th
seksual, perilaku
Identitas vs : memiliki identitas menyimpang,
kebingungan peran personal, delikuen,
kesetiaan. destruktif, depresi,
bunuh diri, perilaku
Gagal : psikotik, Gg reaksi
kebingungan terhadap stressor
tentang dirinya
sendiri, idntitas
hubungan dengan
orang lain kurang
baik

b. Proses pembelajaran

1) Belajar dengan asosiasi (learning by association)

Nama lainnya disebut classical conditioning yang ditemukan


oleh Ivan Petrovich Pavlov. Menurut Pavlov lingkungan
merupakan stimulus bagi terbentuknya tingkah laku tertentu.
Pembentukan secara asosiatif ini, selain pada pembentukan
tingkah laku yang neurosis juga, terdapat pada tingkah laku
yang normal seperti rajin belajar terbentuk akibat asosiasi S-
R.

2) Belajar dengan konsekuensi (learning by concequences)

Metode ini dikemukakan oleh Skinner. Skinner, perilaku


individu terbentuk atau dipertahankan sangat ditentukanoleh
konsekuensi yang menyertainya (punishment dan
reinforcement). Konsekuensi ini menentukan pengulangan
dan pengurangan perilaku yang ditimbulkan. Gangguan
antisosial dan perilaku destruktif dapat dipertahankan karena
ganjaran tertentu dari lingkungannya.

3) Belajar dengan mencontoh (Learning by modelling)

Model ini dikemukakan oleh Bandura yang disebut sebagai


Social Learning Theory. Menurutnya anak-anak yang
berperilaku agresif adalh hasil mencontoh dari model yang
ada disekitarnya. Perlu ditekankan bahwa meniru dapat
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung pada
subjek.

c. Kebutuhan

Maslow (1964) beranggapan bahwa motivasi seseorang dibentuk


melalui kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang disusun secara
hierarkis. Mulai dengan kebutuhan biologis, rasa aman, dicintai,
harga diri, sampai dengan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan
ini dapat mendorong orang berbuat jika kebutuhan yang
dibawahnya telah terpenuhi. Karena itu pemenuhan kebutuhan
pada hierarki yang mendasar lebih diutamakan untuk berlanjut
ke hierarki selanjutnya. Maslow menemukan penerita neurosis,
disebabkan ketidakmampuan individu untuk memenuhi
kemampuan-kemampuannya. Perilaku frustrasi yang
manifestasinya adalah perilaku agresif merupakan indikasi daei
kebutuhan yang tidak terpenuhi. Orang yang kebutuhannya
terpenuhi menurut Maslow memiliki ciri yaitu memiliki persepsi
yang realistik terhadap semesta.

3. Dimensi Sosial Budaya Kesehatan Mental.

Lingkungan sosial secara nyata juga berpengaruh pada perilaku sehat dan
sakit. Peran sakit dan sehat juga berkaitan dengan nilai sosialnya. Faktor
lingkungan yang secara langsung berpengaruh pada kesehatan mental
adalah stratifikasi sosial, pekerjaan, keluarga, budaya , dan stressor
psikososial lainnya.

1). Stratifikasi Sosial

Secara umum klasifikasi status social dikelompokkan atas


dasar stratanya yang dikelompokkan ats : strata tinggi,
menengah, dan rendah. Contoh penggolongan dapat dilihat
pada masyarakat Amerika Serikat yang membagi stratanya
atas dasar tingkat pendidikan dan jenis pekerjaannya,
secara lebih rinci disajikan dalam table berikut ini :

Strata social Dilihat dari Budaya Pekerjaan


Kelas Sosial Karakteristik
I. Upper class Keluarga kaya (biasanya diperoleh
karena pewarisan), orang tuanya
bekerja pada posisi social yang
prestise di masyarakat, mengepalai
beberapa perusahaan dan kelompok
professional, lulus perguruan tinggi
(Lulus dari sekolah ternama),
bertempat tinggal di wilayah elite

Beropendidikan di perguruan tinggi,


II. Upper Middle Class bekerja pada posisi managerial dan
pekerja professional, keluarga kaya
tapi bukan karena pewarisan,
bertempat tinggal di area yang baik

Sebagai pekerja halus di kantor,


sales, dan pekerja terampil manual.
Orangtuanya lulusan SMA tapi
III. Middle Class dipandang berprestai dalam urusan
sekolah dan dapat pula mengenyam
sedikit pendidikan di perguruan
tinggi. Tempat tinggal di area yang
baik. Kehidupannya banyak
terkonsentrasi pada keluarga dan
peribadatan.

Pekerja semi terampil, lulusan SD dan


kemungkinan dapat mengenyam
pendidikan menengah (tidak tamat).
IV. Lower Middle Class Tempat tinggal terpencar di berbagai
tempat. Kehidupan sosialnya
terkonsentrasi pada keluarga,
organisasi buruh dan tempat umum.
Pekerja terampil dan pekerja kasar di
pabrik, atau pekerja tidak terampil.
Pendididkan orangtua tidak tamat SD.
Tempat Tinggalnya di rumah petak
atau flat. Kehidupan sosialnya di
jalanan atau agen social.

Sumber : Holingshead dan Redlich. 1970. Social


Stratification and Psychiatric Disorder. Dalam Smelser dan
Smelser. Personality and Social System. New York : John
Willey and Son. 332-340.

Berdasarkan penelitian Holingshead (Dunham, 1964) Masyarakat


kelas social rendah diketahui memiliki prevalensi tinggi Psikotik,
sedangkan prevalensi neutrotk tinggin pada mereka yang
berkelas social tinggi. Tapi hal ini tidak berlaku pada jenis
Psikotik jenis depresi, kareen kebanyakan penderita gangguan ini
adalah dari golongan kelas social yang tinggi.(Notosoedirdjo,
1984)

2) Keluarga

Jenis-jenis hal dalam yang mempengaruhi kesehatan mental


individu diantaranya.

a) Perceraian dan Perpisahan

Studi yang dilakukan bertujuan untuk memahami akibat-


akibat perceraian bagi keluarga khususnya anak.
Kesimpulan umum yang dapat dipetik bahwa perceraian
dan perpisahan dapat berakibat buruk bagi perkembangan
kepribadian anak (Johnston, 1996; Hurlock, 1992)

b) Keluarga yang tidak fungsional

Keluarga yang tidak berfungsi sebagai keluarga utuh


(intake). Orangtua dan anak-anak tetap mengalami
perubahan struktur. Mereka tetap tinggal dalam satu
rumah, hanya fungsinya saja yang tidak berjalan. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang utuh tetapi
tidak fungsional lebih berakibat buruk pada anak (Hurlock,
1992)

c) Perlakuan dan penngasuhan

Merupakan jenis-jenis perlakuan yang orangtua pada anak


seperti. Anak dibiarkan (neglect), diperlakuakan dengan
kasar (violence), dimanfaatkan secara salah (abuse), atau
diperlakukan secara penuh toleransi dan menciptakan iklim
tidak sehat. Keluarga yang tidak kondusif dapat berakibat
gangguan mental bagi anak. Gangguan tingkah laku,
kecemasan, ambang, dan beberapa gangguan mental lain,
diantaraya disebabkan kondisi pengasuhan dalam keluarga
yang tidak sehat.

3). Budaya

Beberapa syndrome yang terkait dengan budaya masyarakat tertentu


dapat terlihat dalam table berikut :

N Jenis Sindroma dan Psikopatologinya Tempat Kejadian


o
1 Amok Melayu ( Malaysia,
Tiba-tiba mengamuk, berteriak, merusak, Indonesia, singapura)
membunuh, berlarian tanpa sebab diawali
dengan melamun dan sedih lalu diakhiri
dengan kelelahan, amnesia dan sering
terjadi dilakukan usaha bunuh diri;
kesurupan; sinonim; mata gelap
2 Melayu ( Malaysia,
Koro Indonesia/Sulawesi),
Kecemasan yang akut bahwa penisnya Cina, selatan (kanton)
masuk ke dalam perutnya, dia akan
meninggal lalu memfiksasi penisnya pada
alat kayu; kehilangan energy hidup:
depersonalisasi, gangguan psikoseksual;
3 sinonim: suk-yeong, jir-yan Melayu (jawa,
malaysia),
Latah
Afrika, Siberia,
Ada dua bentuk, yaitu : (1) echolalia: Hapland, Amerika
verbalisasi tiba-tiba sesudah terkejut dan (2) Utara
echopractia: gerak secara tiba-tiba sesudah
terkejut. Reaksi-reaksi echo: kepatuhan
otomatik, koprolalia; orangnya tetap sadar
4. tetapi tidak dapat menguasai diri; banyak
terjadi pada wanita
Eskimo
Piblokto
Agresif, Berteriak, mambuka atau merusak
bajunya, berguling-guling, berlarian.
5. Sesuadah 1-2 jam normal kembali dengan
amnesia; kesurupan: reaksi hysteria
disosiatif Indian (Cree, Djib,
Way, Salteaux)
Windigo
6. Psikotik, kanibalisme, waham, eksitasi, takut;
4 kesurupan; psikosis; jadi-jadian (monster
. pemakan daging); depresi berat, histerik. Black Ghetto, Negro
(Afrika), Polynesia
Voodoo Waham dirasuki, kejang-kejang, (Hati). Amerika Serikat,
manari histerik dan ritmik, eksitasi; Australia, New
kesurupan: keadaan histerik, keadaan Zealand, Pasifik,
psikotik Ceylon
Sumber: Abidin, N.Z.1991. Suatu Tinjauan Mengenai Sindroma yang Terkait
pada Kebudayaan. Jiwa., 24, 1-7

4) Stressor Psikososial Lainnya

Stressor psikososial ini secara umum menimbulkan efek negative


bagi orang yang mengalaminya. Namun demikian tentang variasi
stressor psikososial ini akan berbeda untuk setiap masyarakat,
bergantung pada kondisi social masyarakatnya. Berikut adalah jenis
peristiwa dalam hidup yang dapat menjadi stressor.

Tabel Peristiwa Kehidupan yanga Dapat Menjadi Stressor

N Perististiwa Skor
o
1. Kematian suami/istri 100
2. Perceraian 73
3. Perpisahan Perkawinan 65
4. Penahanan di penjara 63
5. Kematian anggota keluarga 63
6. Kecelakaan atau sakit 53
7. Perkawinan 50
8. Kebakaran tempat kerja 47
9. Rujuk perkawinan 45
10 Mengundurkan diri dari kerja 45
. Perubahan kesehatan pada anggota 44
11 keluarga 40
. Kehamilan 39
12 Kesulitan Seksual 39
. Penambahan anggota baru keluarga 39
13 Penyesuaian kembali suatu usaha
. (merger, reorganisasi, dll) 38
14 Perubahan keadaan keuangan 37
. Kematian sahabat dekat 36
15 Perubahan tugas kerja 35
. Perubahan alasan dalamurusan dengan
suami/istri (pengasuhan dan kebiasaan) 31
16 Menggadaikan lebih dari $ 10,000 30
. Menebus gadaian atau pinjaman 29
17 Perubahan tanggung jawab kerja 29
. Anak-anak bertempat tinggal dirumah 29
18 Kesukaran dengan sanak keluarga 28
. suami/istri
19 Terkenal karena berprestasi, istri mulai 26
. menghentikan kerja 26
Mulai atau mengakhiri sekolah 25
20 Perubahan kondisi hidup 24
. Mengganti kebiasaan hidup 23
21 Kesukaran dengan pimpinan (boss) 20
. Perubahan jam atau kondisi 20
22 Perubahan tempat tinggal 20
. Pindah Sekolah 19
23 Perubahan aktivits rekreasi 19
. Perubahan aktifitas peribadatan 16
24 Perubahan aktifitas social 15
. Perubahan kebiasaan tidur
25 Perubahan jumlah anggota keluarga 15
. yang diajak bergabung 15
Perubahan kebiasaan makan 12
26 Liburan 11
. Hari Raya
27 Pelanggaran hukuman ringan
.
28
.
29
.
30
.
31
.
32
.
33
.
34
.
35
.
36
.
37
.

38
.
39
.
40
.
41
.
Sumber : Kaplan, H.I dan Sadock, B.J. 1994. Synopsis of Psychiatri.
4th edition. Baltimore: Williams and Wilkins. 110.

IV. INTERVENSI

Adapun mengenai bentuk penekanan pendekatan kesehatan mental komunitas menurut Bloom,
mencakup lima hal, yaitu :

• Intervensi dalam komunitas

• Intervensi yang dilakukan dalam komunitas yang terbatas seperti high risk population
(populasi beresiko tinggi).

• Penekanan pada pencegahan

• Promosi pelayanan tidak langsung seperti mengadakan konsultasi dan pelatihan

• Pelaksanaan oleh ahli dari berbagai bidang ilmu dan awam

Berdasarkan penjelasan di atas maka konsep pendekatan psikologi komunitas paling tidak
harus melingkupi dua unsur dibawah ini :

• Pencegahan

Pencegahan gangguan jiwa yang bertujuan untuk menghemat biaya perawatan penderita
sedangkan pencegaha into sendiri terbagi dalam pencegahan primer, sekunder, dan
tersier.

• Pemberdayaan

Adalah upaya mencegah terbentuknya perasaan tak berdaya dan pasrah pada individu
atau kelompok individu yang terkena suatu dampak perubahan lingkungan yang
merugikan. Oleh karenanya pemberdayaan manusia disini bertujuan untuk menciptakan
kesehatan dan mencegah penyakit jiwa.

Price dkk, mengemukakan perbandingan antara orientasi klinis dan orientasi komunitas
dalam strategi intervensinya. Orientasi klinis memperhatikan bagaimana mengatasi
gangguan pada tingkat individual, orientasi klinis melakukan terapi somatic dan terapi
tradisional. Pada tingkat organisasi, orientasi klinis melakukan terapi kelompok,
pendidikan khusus, dan pendidikan remedical pada kelompok rentan. Pada tingkat
kominitas orientasi klinis melakukan institusionalisasi atau memberikan fasilitas khusus
bagi mareka yang mengalami disability ( buta, lumpuh, tuli, dan lain-lain.)

Orientasi komunitas disisi lain mengutamakan peningkatan kompetensi. Pada tingkat


individual, orientasi komunitas melakukan pelathian ketrampilan dan program
pencegahan untuk orang-orang beresiko tinggi. Pada tingkat organisasi, orientasi
komunitas menciptakan program pencegahan secara menyeluruh dalam masyarakat untuk
mengurangi stress lingkungan dan meningkatkan keberdayaan pendudukan.

Metode-metode Intervensi.

Metode interverensi dan perubahan dalam pendekatan komunitas meliputi (Korchin,


1976):

• Konsultasi yaitu mengajak oranag-orang yang mempunyai peran besar dalam


masyarakat seperti guru, polisi, dan Rohaniawan untuk membahas dan membantu
mengatasi masalah kesehatan masyarakat. Dengan cara ini masyarakat yang
terjangkau intervensi lebih banyak dibandingkan bila intervensi dilakukan oleh tenaga
profesional.

• Mengadakan layanan masyarakat ( community lodge)sebagai pengganti layanan


rumah sakit, tempat penitipan sementara bagi penderita gangguan jiwa menahun.

• Intervensi krisis (crisis intervention) misalnya memberi bantuan dan dukungan pada
orang-orang dalam kondisi stres akut agar mereka terhindar dari gangguan yang lebih
parah, dan mendirikan pusat-pusat intervensi krisis yang berdekatan dan memnerikan
pelayanan langsung.

• Intervensi pada usia dini. Hal ini hanya dilakukan di Indonesia skitar tahun 1975
hingga sekarang. Program yang dijalankan waktu itu antara lain program ibu bayi dan
balita, [enyuluhan gizi kesehatan, imunisasi, dan lain sebagainya.
• Pengembangan berbagai program pelatihan upaya pemberdayaan masyarakat dapat
dilakukan dengan membuat tulisan-tulisan singkat tentang upaya-upaya yang cepat
untuk mengatasi berbagai keadaan darurat psikologis misalnya mengatas kecemasan
dan mengatasi stres.

Preverensi dalam Kesehatan mental.

Preverensi secara etimolgi berasal dari bahasa latin praevenire, yang artinya “datang sebelum” atau
“antisipasi” atau “mempersiapkan diri sebelum terjadi sesuatu” atau “mencegah agar tidak terjadi
sesuatu”. Dalam pengertian yang luas, preverensi dimaknakan sebagai upaya yang secara sengaja
dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, dan kerugian bagi seseorang atau
masyarakat. Dengan lebih singkat dapat disebut sebagai upaya pencegahan, dalam pandangan
mutakhir usaha pencegahan itu perlu dilakukan sebelum dilahirkan, misalnya melalui konseling
genetika.

Prinsip-prinsip Prevensi

a. Menekankan pada praktik di masyarakat dibandingkan dengan lembaga khusus seperti RSJ

b. Berusaha untuk meningkatkan pelayanan dan program yang diarahkan kepada masyarakat
secara keseluruhan dibandingkan kepada pasien secara individual.

c. Pelayanan pencegahan diberikan sebagai prioritas tertinggi dibandingkan dengan usaha terapi.

d. Petugas memberikan pelayanan tidak langsung seperti konsultasi, pendidikan kesehatan


mental pelatihan pada Pembina masyarakat (guru, penyuluh kesehatan masyarakat dll)
dibandingkan dengan bekerja secara langsung dengan pasien, sekaligus mencakup jumlah
populasi yang lebih besar.

e. Strategi klinis yang inovatif yang dikembangkan agar dapat lebih cepat menemukan
kebutuhan kesehatan mental untuk anggota masyarakat yang lebih besar cakupannya daripada
sebelumnya, misalnya intervensi krisis.

f. Lebih menggunakan dasar-dasar rasional untuk mengembangkan program spesifik,


didasarkan atas analisis demografik masyarakat yang dilayani, menemukan kebutuhan
kesehatan mental, identifikasi orang-orang yang berada pada resiko tinggi bagi munculnya
gangguan tingkah laku.

g. Menggunakan tenaga-tenaga baru semi professional untuk melengkapi pelayanan yang


diberikan oleh psikiater, psikolog klinis, pekerja social psikiatris, dan perawat psikiatris.
h. Ada keterikatan untuk “mengendalikan masyarakat” dengan membangun masyarakat dengan
program-programnya.

i. Mengidentifikasi sumber-sumber stress dalam masyarakat dan tidak meremehkan terjadinya


gangguan yang bersifat individual

Prevensi Tersier

Sebenarnya prevensi tersier memiliki pengertian yang sama dengan rehabilitasi. Tetapi
rehabilitasi lebih bersifat individual dan mengacu pada pelayanan medis. Sementara prevensi
tersier lebih menekankan pada aspek komunitas, sasarannya adalah masyarakat dan mencakup
perencanaan masyarakat dan logistic, prevensi tersier ini adalah intervensi yang anti Hospitalisasi.

Prevensi Sekunder

Prevensi sekunder berarti upaya pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi durasi kasus
gangguan mental. Sasarannya adalah penduduk atau sekelompok populasi yang sudah menderita
suatu gangguan mental. Dengan memperpendek durasi suatu gangguan mental yang ada di
masyarakat, maka dapat membantu mengurangi angka prevalensi gangguan di masyarakat.
Dibandingkan dengan prevensi tersier, prevensi sekunder adalah usaha penyehatan mental yang
lebih progresif.

Prevensi Primer

Usaha progresif dalam usaha pencegahan kesehatan mental dengan mencegah terjadinya suatu
gangguan di masyarakat. Jadi kesehtan mental masyarakat diproteksi agar tidak terjadi gangguan.
Terdapat dua cara yang digunakan untuk melakukan program prevensi primer ini, yaitu
memodifikasi ingkungan dan memperkuat kapasitas individu atau masyarakat dalam menangani
situasi.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Sehat mental secara umum dapat diartikan sebagai kondisi mental yang tumbuh dan
didasari motivasi yang kuat ingin meraih kualitas diri yang lebih baik, baik dalam
kehidupan keluarga, kehidupan kerja/profesi, maupun sisi kehidupan lainnya, sedangkan
orang yang disebut sakit mental adalah orang yang secara mental memiliki berbagai
macam unsur yang saling bertentangan dan dengan demikian, sering merusak atau
menghambat, sehingga perilakunya tidak menentu. Dalam psikologi komunitas kesehatan
mental tersebut mencakup interaksi antara manusia dengan lingkungan, mengidentifikasi
peran dan daya lingkungan yang dapat menciptakan atau mengurangi masalah-masalah
individu serta selanjutnya memusatkan diri pada pemberdayaan individu dan kelompok
untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Serta bentuk
penekanan pendekatan kesehatan mental komunitas yang diranggah oleh Psikologi
Komunitas tersebut kurang lebih melingkupi tentang penanganan dan pemberdayaannya .

DAFTAR PUSTAKA

Ardani, Tristiadi Ardi, dkk. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu

Latipun, Moeljono Notosoedirdjo. 1999. Kesehatan Mental. Malang: UMM Press

Wiranihardja, Sutardjo A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: PT Refika Aditama

Вам также может понравиться