Media dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Masyarakat
Media massa di Indonesia saat ini tampaknya mencerminkan kebudayaan masyarakatnya
yang bergerak sangat cepat. Ambil contoh televisi, dari berbagai media massa kontemporer yang ada saat ini, televisi merupakan media massa yang diminati oleh publik dan paling memberikan pengaruh besar pada khalayak. Dalam konteks Indonesia, televisi sebagai institusi ekonomi merupakan industri muda yang lahir dalam masa transisi (reformasi) yang bergulir pada tahun 1998. Industri televisi saat itu muncul tanpa desain tertentu yang dapat membingkai ke mana arah dan format yang dikehendaki. Mendadak industri televisi muncul dan langsung memiliki posisi yang kuat. Karena memang diminati oleh banyak khalayak. Suasana tersebut di dorong oleh euphoria kebebasan menyampaikan pendapat tanpa disertai oleh hak memperoleh informasi publik layak. Suasana semakin keruh karena tidak jelasnya regulasi sebagai dasar hukum yang mengatur industri penyiaran saat itu serta lemahnya keampuan literasi masyarakat dalam mengkonsumsi teks media (terutama televisi). Dalam industri televisi sendiri iklim penyiaran belum sepenuhnya dapat terwujud. Walaupun menggunakan spectrum frekuensi radio yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun berbagai tayangan televisi masih saja memuat tayangan yang sama- sekali jauh dari kepentingan publik. Tayangan televisi masih memuat unsur-unsur kekerasan (sadism, violation), pornografi seksualitas, perjudian-undian, dan mistik-supranatural yang justru tidak sehat bagi publik. Tayangan kekerasan menjadi tren dalam isi program berita di televisi. Seolah hambar jika program berita tidak menayangkan kekerasan baik yang sifatnya verbal maupun nonverbal. Celakanya, program-program yang sarat kekerasan, justru banyak digemari. Dalam struktur masyarakat yang rentan konflik, tayangan kekerasan yang vulgar juga berpotensi memicu terjadinya kekerasan yang lebih luas dan besar-besaran. Tidak mengherankan, jika akhir-akhir ini amuk, amarah, dan emosi publik mudah tersulut oleh tayangan televisi. Dalam kasus bentrok Satpol Pamong Praja (PP) vs massa di Priok, sesungguhnya apa yang tampil di televisi hanyalah sebagian dari fenomena kekerasan hasil tayangan televisi. Keberimbangan dalam hal ini masih belum sepenuhnya menjadi pegangan media dalam mengonstruksi berita. Akibatnya, penonjolan, dramatisasi, dan efek gambar kekerasan yang vulgar oleh pihak keamanan, kerapkali menempatkan pihak keamanan dalam situasi harus dilawan. Etika dan norma seakan tak berdaya menghadapi maraknya kekerasan dalam media. Pornografi, kekerasan naratif, agresivitas, kekerasan virtul, kekerasan simbolik, dan kekerasan lembut yang manipulatif merajalela tanpa ada struktur kuat yang melawannya. Keengganan, ketidakpedulian, dan ketiaktahuan terlihat dari pendidik, agamawan, orangtua, politikus atau organisasi profesi semakin melemahkan publik. Televisi merupakan salah satu media penyampaian informasi. Peningkatan tingkat pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sumbangan media. Sayang, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar sering tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau budaya. Sedangkan masyarakatnya sendiri ditempatkan sebagai penikmat bukan pengamat televisi. Sebagai penikmat, khalayak menonton tidak secara aktif menggunakan nalar kritisnya dalam mengkonsumsi tayangan televisi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kemapuan literasi masyarakat tidak digarap sebagai sebuah agenda pendidikan publik (civic education) yang mendesak sebagai common agenda bagi semua pihak. Untuk membentuk masyarakat yang literate dalam bermedia bukanlah pekerjaan mudah, sebab melibatkan berbagai sector, mulai dari badan regulator (KPI dan pemerintah/eksekutif- legislatif), industri media (dalam hal ini televisi) dan masyaraat sendiri, dapat berupa perguruan tinggi, NGO, Ormas, MUI, dll. Namun membentuk masyarakat yang literate melalui pendidikan media literacy jika sungguh-sungguh dilakukan bukan hal yang sulit untuk dikerjakan. Literasi media sendiri adalah sebuah kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan-pesan dalam berbagai bentuknya; sebuah ekspansi konseptualisasi tradisional yang bersifat literer yang meliputi berbagai bentuk simboliknya. Ini adalah terminologi yang mulai digunakan oleh banyak orang untuk menyebutkan proses analisa dan pembelajaran atas pesan-pesan yang disampaikan melalui media baik itu bentuk cetak, audio, video atau pun multimedia. Sasaran utama dari literasi media memang individu yang mengkonsumsi teks media. Namun demikian, literasi media akan bergerak lebih luas menjadi literasi khalayak yang bersifat massive. Pada titik inilah, literasi media memiliki kemampuan untuk menguatkan publik.