Вы находитесь на странице: 1из 26

PENGUSAHA KADIN BREBES DI DALAM ERA GLOBALISASI: TANTANGAN DAN

ANCAMAN 1

Tulus Tambunan

I. Fenomena Globalisasi Ekonomi

Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan proses
ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan
semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah
meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak
hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi, keuangan, dan produksi. Globalisasi ekonomi
ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau
regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Globalisasi ekonomi
biasanya dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi, 2 perdagangan dan pasar uang. Globalisasi ekonomi
merupakan suatu proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan kontrol pemerintah, karena proses tersebut
terutama digerakkan oleh kekuatan pasar global, bukan oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah
pemerintah secara individu.
Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja dan modal)
lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di dalam suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada
tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Surakarta atau Jawa Tengah setiap saat bisa memindahkan
usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa halangan, baik dalam logistik maupun birokrasi yang berkaitan dengan
urusan administrasi seperti izin usaha dan sebagainya.
Sekarang ini tidak relevan lagi dipertanyakan negara mana yang menemukan atau membuat pertama kali suatu
barang. Orang tidak tau lagi apakah lampu neon merek Philips berasal dari Belanda, yang orang tau hanyalah bahwa
lampu itu dibuat oleh suatu perusahaan multinasional yang namanya Philips, dan pembuatannya bukan di Belanda
melainkan di Tangerang. Banyak barang yang tidak lagi mencantumkan bendera dari negara asal melainkan logo dari
perusahaan yang membuatnya. Banyak produk dari Disney bukan lagi dibuat di AS melainkan di Cina, dan dicap
made in China. Sekarang ini semakin banyak produk yang komponen-komponennya di buat di lebih dari satu negara
(seperti komputer, mobil, pesawat terbang, dll.). Banyak perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor
pusat bukan di negara asal melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-negara lain seperti London dan New York,
atau di negara-negara tujuan pasar utamanya.
Semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional yang
berbarengan dengan semakin hilangnya kedaulatan suatu pemerintahan negara muncul disebabkan oleh banyak hal,

1
Bahan diskusi dalam Temu Usaha Kadin Brebes, 20 Desember 2004, Solo.
2
Misalnya dalam pembuatan pesawat Boeing, lebih dari 50 negara terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang masing-masing
negara membuat bagian-bagian tertentu dari pesawat tersebut. Juga untuk produksi pesawat Airbus, sejumlah negara di Eropa terlibat dalam
proses pembuatannya. Contoh lainnya adalah dalam pembuatan pesawat-pesawat tempur AS seperti F-16, sejumlah negara di Asia juga terlibat
seperti Taiwan dan Jepang, terutama untuk bagian elektroniknya.

1
diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas
devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang
semakin efisien, dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu,
penyebab-penyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat kemajuan teknologi
(yang mengurangi pemakaian sumber daya alam), semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin
majunya tingkat pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan semakin
banyaknya jumlah penduduk dunia.
Derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua indikator utama. Pertama,
rasio dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai
atau volume perdagangan dunia, atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu sebagai suatu persentase
dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin mengglobal perekonomian dari negara tersebut.
Sebaliknya, semakin terisolasi suatu negara dari dunia, seperti Korea Utara, semakin kecil rasio tersebut. Kedua,
kontribusi dari negara tersebut dalam pertumbuhan investasi dunia, baik investasi langsung atau jangka panjang
(penanaman modal asing; PMA) maupun investasi tidak langsung atau jangka pendek (investasi portofolio).
Sebagai suatu negara pengekspor (pengimpor) modal neto, semakin besar investasi dari negara itu (negara lain) di
luar negeri (dalam negeri), semakin tinggi derajat globalisasinya. Derajat keterlibatan dari suatu negara (negara lain)
dalam investasi di negara lain (dalam negeri) bisa diukur oleh sejumlah indikator. Misalnya, untuk investasi langsung
oleh rasio dari PMA dari negara tersebut (negara asing) di dalam pembentukan modal tetap bruto di negara lain (dalam
negeri). Sedangkan dalam investasi portofolio diukur oleh antara lain nilai investasi portofolio dari negara tersebut
(negara asing) sebagai suatu persentase dari nilai kapitalisasi dari pasar modal di negara tujuan investasi (dalam
negeri), atau sebagai persentase dari jumlah arus masuk modal jangka pendek di dalam neraca modal dari negara
tujuan investasi (dalam negeri).
Sebenarnya proses globalisasi ekonomi telah terjadi sejak dahulu kala dan akan berlangsung terus, walaupun
prosesnya berbeda: dulu sangat lambat sedangkan sekarang ini sangat pesat dan di masa depan akan jauh lebih cepat
lagi. Perbedaan ini disebabkan terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-alat
komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, aman dan murah. Jadi dapat dikatakan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pendorong atau kekuatan utama dibalik proses globalisasi ekonomi.
Karena adanya satelit, hand phone, fax, Internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antarnegara menjadi
sangat lancar dan murah. Juga, adanya pesawat terbang yang semakin cepat terbangnya dengan kapasitas penumpang
yang semakin besar membuat mobilisasi dari pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, produsen, investor, dan bankir)
antarnegara menjadi semakin cepat dan murah. Ini semua meningkatkan arus transaksi ekonomi antarnegara dalam
laju yang semakin pesat.
Peran dari kemajuan teknologi terhadap proses globalisasi juga diakui oleh Friedman yang mendapat penghargaan
atas bukunya mengenai globalisasi (2002) yang menyatakan berikut ini: era globalisasi dibangun seputar jatuhnya
biaya telekomunikasi – berkat adanya mikrochip, satelit, serat optik dan internet/ Teknologi informasi yang baru ini

2
mampu merajut dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. ……. Teknologi ini juga dapat memungkinkan
perusahaan untuk menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset dan pemasaran di
negara yang berbeda, tetapi dapat mengikat mereka bersama melalui komputer dan komperensi jarak jauh seakan
mereka berada disatu tempat. Demikian juga berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi yang murah,
masyarakat sekarang dapat menawarkan pelayanan perdagangan secara global - dari konsultasi medis sampai
penulisan data perangkat lunak ke proses data – pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat diperdagangkan
sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit pertama (dalam dolar, thn 1986) antara New
York dan London biayanya adalah 300 dolar di tahun 1930. Sekarang hal itu hampir bebas biaya melalui Internet
(20a). Friedman mengatakan bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi sendiri: komputerisasi, miniaturisasi,
digitalisasi, komunikasi satelit, serat optik dan internet.
Besarnya pengaruh dari kemajuan teknologi terhadap perubahan kehidupan manusia di dunia yang mendorong
proses globalisasi ekonomi semakin pesat sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh sejumlah orang, diantaranya
adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat progres teknologi, akan terjadi kejutan-kejutan masa depan yang
melahirkan revolusi baru. Kehidupan manusai atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi dipimpin oleh industri, namun
informasi akan muncul sebagai penggerak pendulum. Revolusi informasi yang sarat dengan teknologi akan membawa
perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia sehari-hari yang jauh lebih radikal daripada revolusi industri yang
memerlukan waktu, biaya, lahan, dan pasar yang besar. Toffler mengatakan bahwa revolusi informasi yang dipicuh
oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, akan membawa wajah baru, yakni masyarakat global
lantaran kaburnya batas-batas wilayah dan negara.
Pada tahun 1990-an, muncul seorang futurolog baru bernama John Naisbitt yang lebih rinci dalam memetakan
wajah dunia ke depan dalam publikasinya yang sangat terkenal: Megatrend Asia 2000. Naisbitt meramalkan bahwa
akibat perubahan-perubahan super cepat di Asia, yang didorong oleh kemajuan teknologi dan sumber daya manusia
(SDM) di kawasan tersebut, pada abad ke 21 akan terjadi pergeseran dalam pusat kegiatan ekonomi dunia dari AS dan
Eropa ke Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur. Walaupun dalam kenyataannya, pergeseran tersebut tidak terjadi,
atau paling tidak tertunda untuk sementara waktu akibat terjadinya krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997/98.
Secara garis besar, Toffler dan Naisbitt mempunyai beberapa kesamaan dalam meramal dunia di masa depan,
diantaranya adalah bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahun merupakan motor penggerak utama proses
globalisasi ekonomi. Perubahan radikal pada teknologi juga telah menciptakan perubahan pada politik, sosial dan
budaya. Mereka juga sependapat bahwa masyarakat dunia dewasa ini sedang memasuki era masyarakat informasi yang
beralih dari masyarakat industri. Artinya adalah bahwa masyarakat tidak bisa lagi menutup diri dari luar karena
teknologi informasi mampu menembus batas-batas wilayah kekuatan negara Pengaruh radikal dari kemajuan
teknologi terhadap kehidupan masyarakat saat ini terutama sangat ketara sekali pada kegiatan bisnis sehari-hari atau
produk-produk yang dihasilkan. Misalnya, fitur hand phone (HP) hampir setiap saat berganti sehingga HP menjelma
menjadi alat bertukar informasi melalui teknologi Internet ataupun SMS, berfungsi sebagai games, kamera digital dan
fungsi-fungsi lainnya. Kemampuan komputer beserta program-programnya semakin canggih. Perubahan teknologi
yang sangat pesat sekarang ini juga telah mempengaruhi agro industri yang semakin tumbuh kencang dengan varian-

3
varian hasil produk, baik melalui rekayasa genetika maupun akibat penemuan-penemuan varietas unggul. Demikian
juga dalam sektor kesehatan, produk-produknya juga mengalami revolusi dengan banyak ditemukan jenis-jenis obat
(supplement) baru yang memungkinkan manusia lebih sehat atau lebih panjang usianya (Halwani, 2002).
Pada gilirannya, perubahan di sisi suplai (produksi) tersebut telah membuat perubahan di sisi permintaan sesuai
fenomena supply creates its own demand: perilaku konsumen semakin bervariatif mengikuti pilihan produk yang
semakin kompetitif. Perubahan pola konsumen telah terjadi tidak hanya di negara-negara maju tetapi juga di NSB;
tidak hanya di daerah perkotaan tetapi juga di daerah perdesaan atau pedalaman. Walaupun tidak ada data empiris
yang bisa mendukung, tetapi dapat diduga bahwa jumlah penduduk di perdesaan di Indonesia yang sudah pernah
minum coca cola sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1970an; demikian juga jumlah
penduduk di perdesaan yang memiliki HP saat ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1990-an. Bahkan
banyak orang yang membeli HP atau rutin menggantinya dengan seri baru bukan karena perlu tetapi karena mengikuti
trend yang sangat dipengaruhi oleh reklame dan pergaulan. Jadi benar apa yang dikatakan oleh Anthony Giddens
(2001) bahwa globalisasi saat ini telah menjadi wacana baru yang menelusup ke seluruh wilayah kehidupan baik di
perkotaan maupun perdesaan. Globalisasi telah memberi perubahan yang radikal dalam semua aspek kehidupan, mulai
dari sosial, budaya, politik, ekonomi, hingga gaya hidup sehari-hari.
Dalam komunikasi juga sangat nyata sekali pengaruh dari kemajuan teknologi yang jangkauannya sudah
menyebar dan melewati batas-batas negara yang semakin mempersempit dunia. Seiring dengan kemajuan teknologi
komunikasi, semakin mudah pula masyarakat untuk mengaksesnya. Misalnya, dapat diduga bahwa saat ini jumlah
orang di Indonesia yang bisa akses ke siaran CNN atau FOX jauh lebih banyak dibandingkan pada akhir dekade 80-an.
Jumlah orang yang bisa melihat siaran langsung perang Irak II pada pertengahan tahun 2003 diperkirakan jauh lebih
banyak dibandingkan pada saat perang Irak I (Perang Teluk) pada awal tahun 1990-an. Contoh lainnya, menurut
Giddens (2001), sebelum ada teknologi Internet, diperlukan waktu 40 tahun bagi radio di AS untuk mendapatkan 50
juta pendengar. Sedangkan dalam jumlah yang sama diraih oleh komputer pribadi (PC) dalam 15 tahun. Setelah ada
teknologi Internet, hanya diperlukan waktu 4 tahun untuk menggaet 50 juta warga AS.
Faktor pendorong kedua yang membuat semakin kencangnya arus globalisasi ekonomi adalah semakin terbukanya
sistem perekonomian dari negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, produksi maupun investasi/keuangan.
Fukuyama (1999) menegaskan bahwa dewasa ini baik negara-negara maju maupun NSB cenderung mengadopsi
prinsip-prinsip liberal dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Seperti yang dapat dikutip dari Friedman
(2002), Ide dibelakang globalisasi yang mengendalikannya adalah kapitalisme bebas – semakin Anda membiarkan
kekuatan pasar berkuasa dan semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi,
perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar
bebas ke setiap negara di dunia. Karenanya globalisasi juga memiliki aturan perekonomian tersendiri – peraturan
yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi perekonomian Anda, guna membuatnya lebih kompetitif dan
atraktif bagi investasi luar negeri. (halaman 9). Menurut catatan dari Friedman (2002), pada tahun 1975, di puncak
Perang Dingin, hanya 8% dari negara di seluruh dunia yang mempunyai rezim kapitalis pasar bebas. Sampai tahun
1997, jumlah negara dengan rezim perekonomian liberal menjadi 28%.

4
Jadi, dapat dikatakan bahwa faktor pendorong kedua ini dipicu, kalau tidak bisa dikatakan dipaksa oleh penerapan
liberalisasi perdagangan dunia dalam konteks WTO atau pada tingkat regional seperti AFTA, UE dan NAFTA. Dalam
kata lain, liberalisasi perdagangan dunia mempercepat laju dari proses globalisasi ekonomi. Dapat diprediksi bahwa
pada tahun 2020 nanti, tahun di mana semua negara di dunia sudah harus menerapkan kebijakan tarif impor dan
subsidi ekspor nol, derajat dari globalisasi ekonomi akan jauh lebih tinggi daripada saat ini.
Faktor pendorong ketiga adalah mengglobalnya pasar uang yang prosesnya berlangsung berbarengan dengan
keterbukaan ekonomi dari negara-negara di dunia (penerapan sistem perdagangan bebas dunia). Sebenarnya faktor
ketiga ini dengan faktor kedua di atas saling terkait, atau tepatnya saling mendorong satu sama lainnya: semakin
mengglobal pasar finansial membuat semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan ekonomi antarnegara;
sebaliknya semakin liberal sistem perekonomian dunia semakin mempercepat proses globalisasi finansial karena
semakin besar kebutuhan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan produksi dan investasi.

II. Empat Dampak Besar dari Globalisasi

Dampak dari globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu negara bisa positif atau negatif, tergantung pada
kesiapan negara tersebut dalam menghadapi peluang-peluang maupun tantangan-tantangan yang muncul dari proses
tersebut. Secara umum, ada empat (4) wilayah yang pasti akan terpengaruh, yakni :
1. Ekspor. Dampak positifnya adalah ekspor atau pangsa pasar dunia dari suatu negara meningkat; sedangkan efek
negatifnya adalah kebalikannya: suatu negara kehilangan pangsa pasar dunianya yang selanjutnya berdampak
negatif terhadap volume produksi dalam negeri dan pertumbuhan produk domestiik bruto (PDB) serta
meningkatkan jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan. Dalam beberapa tahun belakangan ini ada
kecenderungan bahwa peringkat Indonesia di pasar dunia untuk sejumlah produk tertentu yang selama ini
diunggulkan Indonesia, baik barang-barang manufaktur seperti tekstil, pakaian jadi dan sepatu, maupun pertanian
(termasuk perkebunan) seperti kopi, cokelat dan biji-bijian, terus menurun relatif dibandingkan misalnya Cina dan
Vietnam. Ini tentu suatu pertanda buruk yang perlu segera ditanggapi serius oleh dunia usaha dan pemerintah
Indonesia. Jika tidak, bukan suatu yang mustahil bahwa pada suatu saat di masa depan Indonesia akan tersepak
dari pasar dunia untuk produk-produk tersebut.
2. Impor. Dampak negatifnya adalah peningkatan impor yang apabila tidak dapat dibendung karena daya saing yang
rendah dari produk-produk serupa buatan dalam negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik
sepenuhnya akan dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri. Dalam beberapa tahun belakangan ini ekspansi
dari produk-produk Cina ke pasar domestik Indonesia, mulai dari kunci inggris, jam tangan tiruan hingga sepeda
motor, semakin besar. Ekspansi dari barang-barang Cina tersebut tidak hanya ke pertokoan-pertokoan moderen
tetapi juga sudah masuk ke pasar-pasar rakyat dipingir jalan.
3. Investasi. Liberalisasi pasar uang dunia yang membuat bebasnya arus modal antarnegara juga sangat berpengaruh
terhadap arus investasi neto ke Indonesia. Jika daya saing investasi Indonesia rendah, dalam arti iklim berinvestasi
di dalam negeri tidak kondusif dibandingkan di negara-negara lain, maka bukan saja arus modal ke dalam negeri
akan berkurang tetapi juga modal investasi domestik akan lari dari Indonesia yang pada aknirnya membuat saldo

5
neraca modal di dalam neraca pembayaran Indonesia negatif. Pada gilirannya, kurangnya investasi juga
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan produksi dalam negeri dan ekspor. Seperti telah di bahas sebelumnya,
sejak krisis ekonomi 1997/98, arus PMA ke Indonesia relatif berkurang dibandingkan ke negara-negara tetangga;
bahkan di dalam kelompok ASEAN, Indonesia menjadi negara yang paling tidak menarik untuk PMA karena
berbagai hal, mulai dari kondisi perburuan yang tidak lagi menarik investor asing, masalah keamanan dan
kepastian hukum, hingga kurangnya insentif, terutama insentif fiskal bagi investasi-investasi baru. Sebaliknya,
Vietnam, sebagai suatu contoh, menjadi sangat menarik bagi investor asing karena tidak hanya tenaga kerjanya
sangat disiplin dan murah, juga pemerintah Vietnam memberikan tax holiday bagi investasi-investasi baru.
4. Tenaga kerja. Dampak negatifnya adalah membanjirnya tenaga ahli dari luar di Indonesia, dan kalau kualitas
sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak segera ditingkatkan untuk dapat menyaingi kualitas SDM dari
negara-negara lain, tidak mustahil pada suatu ketika pasar tenaga kerja atau peluang kesempatan kerja di dalam
negeri sepenuhnya dikuasai oleh orang asing. Sementara itu, tenaga kerja Indonesia (TKI) semakin kalah bersaing
dengan tenaga kerja dari negara-negara lain di luar negeri. Juga tidak mustahil pada suatu ketika TKI tidak lagi
diterima di Malaysia, Singapura atau Taiwan dan digantikan oleh tenaga kerja dari negara-negara lain seperti
Filipina, India dan Vietnam yang memiliki keahlian lebih tinggi dan tingkat kedisiplinan serta etos kerja yang
lebih baik dibandingkan TKI.

Keempat jenis dampak tersebut secara bersamaan akan menciptakan suatu efek yang sangat besar dari globalisasi
ekonomi dunia terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di setiap negara yang ikut berpartisipasi di dalam
prosesnya, termasuk Indonesia. Lebih banyak pihak yang berpendapat bahwa globalisasi ekonomi akan lebih
merugikan daripada menguntungkan negara sedang berkembang (NSB) seperti Indonesia. Seperti misalnya pendapat
yang pesimis mengenai globalisasi dari Khor (2002) sebagai berikut: Globalisasi adalah suatu proses yang sangat
tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak adil. Ketidakseimbangan ini tentu saja akan
menyebabkan pengkutuban antara segelintir negara dan kelompok yang memperoleh keuntungan, dan negara-negara
maupun kelompok yang kalah atau termajinalisasi. Dengan demikian, globalisasi, pengkutuban, pemusatan
kesejahteraan dan marjinalisasi merupakan rentetan peristiwa menjadi saling terkait melalui proses yang sama.
Dalam proses ini, sumber-sumber investasi, pertumbuhan dan teknologi moderen terpusat pada sebagian kecil
(terutama negara-negara Amerika Utara, Eropa, Jepang dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur).
Majoritas NSB tidak tercakup dalam proses globalisasi atau ikut berpartisipasi namun dalam porsi yang sangat kecil
dan acapkali berlawanan dengan kepentingannya, misalnya liberalisasi impor dapat menjadi ancaman bagi
produsen-produsen domestik mereka dan liberalisasi moneter dapat menyebabkan instabilitas moneter dalam negeri
(hal.18). Masih menurut Khor, Manfaat dan biaya liberalisasi perdagangan bagi NSB menimbulkan persoalan yang
kian kontroversial. Pandangan kontroversial bahwa liberalisasi perdagangan merupakan sesuatu yang penting dan
secara otomatif atau pada umumnya memiliki dampak-dampak positif bagi pembangunan dipertanyakan kembali
secara empiris maupun analitis. Kini saatnya meneliti sejarahnya dan merumuskan berbagai pendekatan yang tepat
bagi kebijakan perdagangan di NSB. (hal.32).

6
Dengan demikian, Khor (2002) berpendapat bahwa globalisasi ekonomi mempengaruhi berbagai kelompok negara
secara berbeda. Secara umum, menurutnya, dampak dari proses ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup negara.
Grup pertama adalah sejumlah kecil negara yang mempelopori atau yang terlibat secara penuh dalam proses ini
mengalami pertumbuhan dan perluasan kegiatan ekonomi yang pesat, yang pada umumnya adalah negara-negara
maju. Grup kedua adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sedang dan fluktuatif, yakni
negara-negara yang berusaha menyesuaikan diri dengan kerangka globalisasi ekonomi atau liberalisasi perdagangan
dan investasi. Misalnya negara-negara dari kelompok NSB yang tingkat pembangunan/kemajuan industrinnya sudah
mendekati tingkat dari negara-negara industri maju. Grup ketiga adalah negara-negara yang termarjinalisasikan atau
yang sangat dirugikan karena ketidakmampuan mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut dan
persoalan-persoalan pelik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan globalisasi ekonomi seperti harga-
harga komoditas primer yang rendah dan fluktuatif serta hutang luar negeri. Grup ini didominasi oleh NSB terutama di
Afrika, Asia Selatan (terkecuali India) dan beberapa negara di Amerika Latin (tidak termasuk negara-negara yang
cukup berhasil seperti Brazil, Argentina, Chile dan Meksiko).
Perkiraan bahwa sebagian besar dari NSB, terutama di tiga wilayah tersebut di atas termarjinalisasikan dalam
proses globalisasi ekonomi bukan sesuatu tanpa alasan kuat. Data deret waktu dari UNCTAD menunjukkan bahwa
dalam empat (4) dekade terakhir, pangsa NSB di dalam ekspor dunia menurun secara konstan dari 3,06% pada tahun
1954 ke 0,42% pada tahun 1998. Laju penurunannya lebih dalam periode 1960-an dan 1970-an. Data UNCTAD tidak
hanya membedakan antara negara-negara maju (developed countries) dengan NSB, tetapi di dalam kelompok NSB itu
sendiri dibedakan antara yang sudah maju (developing countries) seperti NICs, Thailand, Malaysia, Indonesia, India,
Cina, Pakistan, Israel di Asia dan Brasil, Argentina, Chile dan Meksiko di Amerika Latin, dan negara-negara yang
terbelakang dalam tingkat pembangunan/industrialisasinya (least developed countries) yang didominasi terutama oleh
negara-negara miskin di Afrika dan Asia Selatan. NSB dari katetori least developed countries paling kecil pangsa
pasar dunianya, dan dalam 4 dekade terakhir ini menunjukkan suatu tren yang menurun yang mengindikasikan bahwa
kelompok ini semakin termarjinalisasikan.

III. Daya Saing dari Beberapa Produk Utama Nasional


Keberhasilan Indonesia dalam menghadapi globalisasi ditentukan oleh tingkat daya saingnya. Dalam hal ekspor,
Selama ini Indonesia sangat mengandalkan faktor-faktor keunggulan komparatif dalam sebagai penentu utama daya
saingnya, terutama daya saing harga, seperti upah buruh murah dan SDA berlimpah sehingga murah biaya
pengadaannya. Namun, dalam era perdagangan bebas nanti teknologi, know-how dan keahlian khusus, yang
merupakan tiga faktor keunggulan kompetitif semakin dominan dalam penentuan daya saing. Selain itu, dengan
tuntutan masyarakat dunia yang semakin kompleks menyangkut masalah-masalah lingkungan hidup, kelestarian alam
bersama isinya, kesehatan, keamanan, dan hak asasi manusia (HAM) membuat faktor-faktor keunggulan komparatif
semakin tidak penting dibandingkan faktor-faktor keunggulan kompetitif.
Perubahan faktor-faktor penentu daya saing tersebut membuat produk-produk ekspor tradisional Indonesia
semakin terancam di pasar regional maupun global. Ancaman ini semakin nyata dengan munculnya negara-negara

7
pesaing baru yang memiliki baik faktor-faktor keunggulan komparatif maupun faktor-faktor keunggulan kompetitif
seperti Cina dan Vietnam di pasar Asia dan negara-negara Eropa Timur di pasar Uni Eropa (UE). Di pasar Asia, dalam
5 tahun belakang ini barang-barang buatan Cina mulai dari tekstil dan produk-produknya (TPT) sampai dengan motor
semakin membanjiri pasar di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Demikian juga, Vietnam sudah mulai
menandingi Indonesia dalam ekspor beberapa komoditas traditional seperti kopi dan tekstil. Di pasar UE, peluang
pasar ekspor Indonesia di wilayah tersebut terancam oleh 8 negara Eropa Timur yang akan menjadi anggota UE pada
awal Mei 2004. 3 Kedelapan negara tersebut lebih mampu menembus pasar UE karena mendapat fasilitas pembebasan
bea masuk (BM). Sementara itu, barang-barang ekspor Indonesia masih dikenai BM dan hambatan-hambatan non-tarif
(NTB) lainnya, seperti dari segi kesehatan dan lingkungan hidup. Selain itu, setidaknya ada 10 produk ekspor
Indonesia yang dikenai tuduhan dumping oleh UE. Misalnya, bahan baku produk tekstil (polyester staple fibre), bahan
pemanis (sodium cyclamate), dan ring penjilid (ring binders). 4 Selain itu, jarak yang lebih dekat sehingga biaya
transportasi dan harga produk dari para pesaing tersebut lebih murah. Proses penyerahan barang pun singkat. Pendek
kata, karena jarak yang lebih dekat membuat para pesaing dari Eropa Timur itu lebih efisien dalam memasuki pasar
UE. 5
Ada sejumlah indikator atau metode yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing. Salah satunya adalah
Revealed Comparative Advantage (RCA), Nilai indeks RCA adalah antara 0 dan lebih besar dari 0. Nilai 1 dianggap
garis pemisah antara keunggulan dan ketidakunggulan komparatif. Lebih besar dari 1 berarti daya saing dari negara
bersangkutan untuk produk yang diukur di atas rata-rata (dunia), sedangkan lebih kecil dari 1 berarti daya saingnya
buruk (di bawah rata-rata). 6 Sebagai suatu ilustrasi empiris, berdasarkan data ekspor dari Depperindag, Tabel 1
menyajikan hasil hitungan RCA untuk sejumlah produk ekspor unggulan Indonesia. Dapat dilihat bahwa keunggulan
Indonesia masih didominasi oleh jenis-jenis produk berbasis SDA dan tenaga kerja murah seperti bubur kertas, pupuk,
kayu lapis, barang-barang dari kayu, kertas dann karton, TPT, dan sepatu. Nilai RCA paling tinggi adalah dari kayu
lapis, dan memang Indonesia sangat unggul sejak lama untuk jenis produk ini di pasar dunia; walaupun ancaman
persaingan semakin besar dari beberapa negara lain terutama Malaysia.

Tabel 1 RCA dari sejumlah Produk Ekspor Indonesia: 1996-2000


Jenis Produk 1996 1997 1998 1999 2000
Bubur kertas (pulp) 2,38 2,98 4,38 3,1 2,92
Pakaian jadi 0,01 0,02 0,02 0,1 0,12
Minyak & lemak hewani 0,06 0,1 0,21 0,03 0,03
Minyak nabati 0,05 0,19 0,02 0,03 0,03
Pupuk buatan pabrik 1,68 2,35 1,39 1,46 1,41
Plastik 0,3 0,27 0,29 0,2 0,19
Barang-barang dari kulit 0,04 0,04 0,01 0,09 0,08

3
Kedelapan negara tersebut adalah Republik Chechnya, Estonia, Hongaria, Latvia, Lituania, Polandia, Slowakia, dan Slovenia.
4
Berdasarkan laporan dari Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) yang dikutip dari Kompas (6 Juni 2003).
5
Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2002 total nilai ekspor Indonesia ke EU mencapai 7,81 miliar dollar AS dan setahun
sebelumnya tercatat sebasar 7,73 miliar dollar AS. Adapun total nilai ekspor Indonesia tahun 2002 mencapai 57,15 miliar dollar
AS dan tahun 2001 sebesar 56,32 miliar dollar AS. Meskipun total nilai ekspor Indonesia masih lebih besar, kekuatan ekspor
negara-negara Eropa Timur juga patut diperhitungkan. Misalnya, total nilai ekspor dari Republik Chechnya tahun 2002 mencapai
33,3 miliar dollar AS, Hongaria 30,5 miliar dollar AS, dan Polandia 36,1 miliar dollar AS.
6
Dasar pemikiran yang melandasi indeks ini adalah bahwa kinerja ekspor suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat daya saing
relatifnya terhadap produk serupa buatan negara lain, tentu dengan asumsi (ceteris paribus) bahwa faktor-faktor lain yang
mempengaruhi pertumbuhan ekspor tetap tidak berubah.

8
Kayu lapis/tripleks 23,11 23,24 17,2 16,16 12,69
Barang-barang dari kayu 7,69 6,6 5,27 6,55 6,42
Kertas & karton 1,06 1,21 2,19 2,46 2,29
TPT lainnya 1,63 1,07 0,89 1,37 1,57
Produk logam tidak mulia 0,14 0,13 0,11 0,26 0,19
Sepatu 5,66 4,29 3,94 4,75 4,22
Sepeda motor & sepeda lainnya 1,25 1,25 1,3 1,35 1,19
Komponen otomotif 0,05 0,09 0,1 0,12 0,15
Mesin peralatan kantor 0,07 0,27 0,32 0,31 0,18
Sumber: Depperindag (database)
Tekstil dan pakaian jadi (TPT) merupakan salah satu produk ekspor unggulan atau produk ekspor tradisional
Indonesia selama ini. Banyak negara pesaing Indonesia termasuk dari ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan
Singapura. Selain itu, negara pesaing Indonesia lainnya untuk produk ini yang sangat agresif dalam ekspor adalah
Cina, yang daya saing TPT-nya lebih baik dibandingkan buatan Indonesia (nilai RCA-nya lebih tinggi daripada RCA
Indonesia).
Alat-alat listrik juga merupakan produk ekspor unggulan Indonesia, dan juga mendapat persaingan ketat dari
negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan data ekspor dari sejumlah negara ASEAN untuk periode 1996-2000,
indeks RCA untuk mesin-mesin listrik dari Indonesia di bawah 1, berarti tidak memiliki keunggulan komparatif atau
daya saingnya relatif rendah. Sedangkan produk yang sama dari Malaysia, Singapura dan Thailand di atas satu, berarti
daya saingnya di atas tingkat rata-rata dunia. Tingkat daya saing dari Filipina juga rendah, relatif sama dengan
Indonesia.
Cukup banyak studi mengenai perkembangan RCA Indonesia di pasar ekspor. Diantaranya dari dari Bank Dunia
yang dikutip oleh Tambunan (2000) mengenai perdagangan internasional dan perkembangan pola spesialisasi dalam
ekspor komoditi-komoditi tertentu dari negara-negara industri maju tergabung dalam OECD yang terdiri antara lain
dari AS, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis dan Jepang, negara-negara industri baru (NICs) seperti Taiwan, Korea
Selatan, dan Singapura, negara-negara transisi (Eropa Timur), empat negara besar dari kelompok NSB, yakni Cina,
India, Brazil dan Indonesia, dan NSB lainnya. Dalam studi ini pola spesialisasi diukur dengan indeks RCA. Studi ini
menunjukkan bahwa pada awal dekade 90-an, tingkat daya saing ekspor komoditi pertanian Indonesia tinggi dengan
indeks RCA secara keseluruhan 50% lebih di atas 1 (Tabel 2). Penemuan ini mencerminkan bahwa Indonesia memiliki
keunggulan komparatif untuk produk-produk pertanian. Namun, jika dibandingkan dengan India, Brazil dan Cina yang
juga merupakan negara-negara agraris besar, atau dibandingkan dengan rata-rata NSB, derajat daya saing pertanian
Indonesia masih tergolong rendah.
Untuk pakaian jadi yang bahan baku utamanya (kapas) juga merupakan output dari sektor pertanian, tingkat daya
saing Indonesia jauh lebih baik, walaupun masih di bawah Brasil dan Cina. Sedangkan untuk barang-barang modal,
seperti mesin dan alat-alat transportasi yang kandungan teknologi dan SDM-nya jauh lebih tinggi dibandingkan dua
jenis produk sebelumnya, kedudukan Indonesia sangat buruk. Di dalam studi ini, Bank Dunia memperkirakan pada
tahun 2020, indeks RCA Indonesia untuk komoditi-komoditi pertanian dan mesin serta alat-alat transportasi akan
mengalami sedikit perbaikan, sedangkan untuk pakaian jadi mengalami penurunan.
Indeks RCA ini juga bisa digunakan untuk mengukur apakah Indonesia memproduksi dan mengekspor barang-
barang yang pasar luar negerinya sedang berkembang pesat (permintaan dunia meningkat) atau sedang mengalami

9
stagnasi (permintaan dunia menurun). Salah satu studi yang ada mengenai in adalah dari Banerjee (2002), yang
menganalisa perubahan struktur keunggulan komparatif dari ekspor manufaktur dari 7 negara di Asia yakni Indonesia,
Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Thailand. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa barang-
barang manufaktur buatan Indonesia yang pangsa pasar dunianya meningkat selama periode yang diteliti didominasi
oleh produk-produk berteknologi sederhana seperti tekstil, kulit, kayu dan karet; sedangkan Cina, sebagai suatu
perbandingan, semakin unggul di produk-produk seperti mesin-mesin elektronik, alat-alat komunikasi dan semi-
konduktor , atau Malaysi, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Thailand antara lain dalam komputer (Tabel 3).

Tabel 2 Pola Spesialisasi berdasarkan indeks RCA untuk produk-produk tertentu dari Indonesia dan
sejumlah negara lain, 1992-2020
Negara & Kelompok Komoditi pertanian Pakaian Jadi Mesin & alat-alat transportasi
Negara 1992 2020 1992 2020 1992 2020
OECD 0,85 1,12 0,35 0,07 1,21 1,04
NICs 0,27 0,49 1,40 0,10 1,22 1,00
Cina 1,55 0,22 5,61 4,33 0,48 1,48
India 1,73 0,74 3,88 1,67 0,21 1,13
Brasil 2,07 2,20 0,29 0,09 0,61 1,02
Indonesia 1,69 1,70 2,69 2,63 0,13 0,43
Ekonomi transisi 1,14 1,29 1,65 0,17 0,45 0,75
NSB-lainnya 1,87 1,19 1,96 1,45 0,30 0,80
Sumber: Bank Dunia, dikutip dari Tambunan (2000).

Tabel 3 Perubahan Struktur Keunggulan Komparatif dari Ekspor Manufaktur di 7 Negara Asia
Negara Pangsa Pasar Meningkat Pangsa Pasar Menurun
Indonesia Produk-produk dari karet, plastik, tekstil, kulit, kayu, dan gabus. Produk-produk kimia

Cina Alat-alat komunikasi, semikonduktor, mesin listrik, produk-produk dari Makanan, minuman, produk-produk dari batu dan
karet dan plastik. tanah liat.

Malaysia Komputer, dan produk-produk dari karet dan plastik Makanan, minuman, logam bukan besi.

Taiwan Komputer, produk-produk dari logam, mesin-mesin listrik

Korea Selatan Kapal laut, komputer, mesin-mesin listrik Produk-produk dari kayu dan gabus

Singapura Komputer Produk-produk dari kimia, kayu dan gabus

Thailand Komputer, alat-alat komunikasi, semi-konduktor, produk-produk dari Logam bukan besi
karet dan plastik
Sumber: Banerjee (2002).

IV. Cina Sebagai Salah Satu Pesaing Besar Indonesia

Pertanyaan ini tidak mengada-ngada, karena dalam satu tahun belakangan ini dampak dari munculnya Cina sebagai
sebuah negara kompetitor baru di dunia terhadap banyak negara lain, termasuk AS, Jepang dan UE menjadi suatu
pembicaraan publik yang hangat. Bahkan hal ini menjadi salah satu topik penting dalam majalah Times, terbitan
Desember 12, 2003: China emerged as a global trade power 10 years ago, when it knocked off Taiwan and South
Korea as the biggest exporter of sneakers to the U.S. Last year it surpassed Japan and Mexico as America’s biggest
single source of consumer electronics. That came at some cost to American jobs but at a big cost to countries that
compete directly with China, such as its Asian neighbors and Mexico. Along the way, China became a vital link in the

10
global supply chain. Some Dell notebook computers from China are made by a Taiwan-owned company called
Compal using Taiwanese circuitry, a U.S.-made Intel chip and a screen from Korea. All those imported parts explain
why, despite a projected trade surplus with the U.S. of between $120 billion and $130 billion for this year, China’s
worldwide surplus will be a slim $15 billion. As America’s imports from China have risen, its imports from Taiwan,
Singapore and Japan have declined (hal.30). 7

IV.1 Kinerja Ekspor


Tentu, pertanyaan di atas tersebut juga mempunyai arti yang sangat penting bagi Indonesia, karena hal ini sangat
terkait dengan prospek perkembangan ekspor Indonesia baik di pasar regional (misalnya ASEAN dan APEC) maupun
di pasar global. Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dilihat terlebih dahulu kinerja ekspor dan perkembangan
tingkat daya saing Cina di dalam perdagangan dunia selama ini. Berdasarkan laporan dari UNCTAD tahun 2002,
Tabel 4 menyajikan data mengenai tiga hal penting yang berkaitan dengan posisi Cina di pasar dunia, yakni pangsa
pasar dunia menurut kelompok produk, struktur ekspor juga menurut kelompok barang, dan 10 produk ekspor
unggulan Cina. Data di tabel tersebut menunjukkan bahwa pangsa pasar dunia dari ekspor Cina mengalami suatu
peningkatan yang sangat pesat dari 1,6% tahun 1985 ke 6,1% tahun 2000. Sedangkan menurut tingkat teknologi,
pangsa pasar dunia dari produk-produk Cina berteknologi tinggi juga meningkat sangat pesat dari hanya 0,4% tahun
1985 ke 6% tahun 2000. Memang, selama ini struktur ekspor Cina mengalami suatu perubahan yang relatif cepat, yang
mana proporsi dari produk-produk berbasis teknologi tinggi seperti alat-alat telekomunikasi dan komputer (PCs) di
dalam nilai ekspor total Cina semakin besar.
Tabel 4 Kinerja Ekspor Cina di dalam Perdagangan Dunia, 1985-2000 (%)
Produk 1985 1990 1995 2000
I. Pangsa pasar 1,6 2,8 4,8 6,1

1. Produk primer 2,4 2,6 2,5 2,3


2. Manufaktur berbasis SDA 1,1 1,3 2,1 2,7
3. Manufaktur tidak berbasis SDA 1,5 3,4 6,1 7,8
- Teknologi rendah 4,5 9,1 15,5 18,7
- Teknologi menengah 0,4 1,4 2,6 3,6
- teknologi tinggi 0,4 1,4 3,6 6,0
4. Lainnya 0,7 0,7 1,4 1,8

II Struktur ekspor 100,0 100,0 100,0 100,0

1. Produk primer 35,0 14,6 7,0 4,7

7
Ada beberapa kasus yang disajikan oleh majalah Times terbitan ini yang menunjukkan bahwa banyak perusahaan di AS yang
terpaksa mengurangi volume produksi mereka atau bahkan berhenti dan pindah ke luar negeri yang tingkat upah buruhnya jauh
lebih murah karena masuknya produk-produk Cina ke negara tersebut dengan harga yang sangat murah. Misalnya sebuah
perusahaan yang melakukan proses tahap akhir terhadap produk-produk logam (Dixie Industrial Finishing) di Atlanta terpaksa
mengurangi jumlah tenaga kerjanya dari 125 orang tiga tahun lalu ke 87 pekerja. Tahun 2000 omset dari perusahaan tercatat
sebesar 8,5 miliar dollar AS, dan tahun 2003 turun menjadi 7 miliar dollar AS. Presiden dari perusahaan itu mengakui bahwa
tindakan ini terpaksa diambil agar bisnisnya bisa bertahan dalam menghadapi produk impor dari Cina yang lebih murah. Kasus
lainnya adalah yang dialami oleh perusahaan elektronik di Greenville, Tennessee (Five Rivers Electronics Innovations). Pada
tahun 2000 omsetnya tercatat sebesar 360 juta dollar AS dan rata-rata per tahun memproduksi 800 ribu unit televisi dengan 1800
pekerja. Tahun 2003 omsetnya menurun menjadi 220 juta dollar AS, dan jumlah produksi baru 450 ribu unit dengan 1100 tenaga
kerja. Satu kasus lagi adalah pengalaman dari perusahaan logam (die casting) di Minneapolis, Minnesota tahun ini terpaksa
mengurangi jumlah pekerjanya sebanyak 150 dari 400 orang. Pada tahun 2000 omsetnya mencapai 50 juta dollar AS, dan tahun
2003 turun menjadi 45 juta dollar AS.

11
2. Manufaktur berbasis SDA 13,6 8,2 7,4 6,9
3. Manufaktur tidak berbasis SDA 50,0 76,2 84,6 87,1
- teknologi rendah 39,7 53,6 53,5 47,6
- teknologi menengah 7,7 15,4 16,9 17,3
- teknologi tinggi 2,6 7,3 14,2 22,4
4. Lainnya 1,4 0,8 1,0 1,1

III 10 Produk Ekspor Unggulan (SITC Rev.2) 14,2 30,2 38,5 41,5

894 Baby carriages, toys, games & sporting goods 2,5 7,3 8,4 8,5
851 Footwear 1,2 4,6 7,2 5,5
764 Telecommunications equipment 0,4 1,9 3,5 4,9
752 Automatic data processing machines, unit - 0,3 1,6 4,1
845 Outer garments, knitted or crocheted 3,6 4,4 4,1 3,9
759 Parts & accessories of computers, dll. 0,1 0,3 1,8 3,6
843 Outer garments, women’s and girls’, textile fabrics 3,8 5,5 4,8 3,5
831 Travel goods (trunks, suitcases, dll.) 1,8 3,6 3,6 2,8
893 Articles n.e.s. of plastic materials 0,3 1,4 2,3 2,3
821 Furniture & parts thereof 0,5 0,8 1,3 2,3
Sumber: UNCTAD (2002).

Dengan pangsa 6,1% itu (lihat Tabel 4), Cina sebagai negara yang berpenduduk terbesar di dunia memposisikan
dirinya sebagai negara terbesar keempat yang menguasai perdagangan dunia. Negara yang berada di atas peringkat
Cina adalah AS, Jepang, dan Jerman (Gambar 1). Tetapi, dalam hal pertumbuhan pangsa ekspor, Cina unggul atas
negara-negara lain di dunia. Selama periode 1985-2000, pangsa ekspor Cina tumbuh sebesar 4,5%, disusul kemudian
oleh AS yang berada pada posisi kedua dengan laju pertumbuhan hanya 1,7%. Dari negara-negara ASEAN yang
masuk dalam kelompok 10 negara dengan pertumbuhan pangsa ekspor terbesar hanya Malaysia, Thailand dan
Singapura; sedangkan Indonesia tidak masuk. Pangsa pasar dunia untuk ekspor dari kedua negara tersebut selama
periode yang sama tercatat masing-masing 0,8%, 0,7% dan 1,5% (Gambar 2).
Gambar 1 Sepuluh (10) Negara di Dunia dengan Pangsa Pasar Ekspor Terbesar, 2000(%)

14 13.2

12
10 8.2 7.7
8
6.1
6 4.8 4.7 4.5
3.4 3.1
4 2.7
2
0
AS Jerman Jepang Cina Perancis Kanada Inggris Italia Belanda Taiwan

Sumber: UNCTAD (2002).

Selanjutnya, berdasarkan data dari Bank Dunia, Tabel 5 menunjukkan bahwa rasio ekspor-PDB Cina lebih rendah
daripada Indonesia, namun demikian pertumbuhannya lebih pesat, lebih dari 200% dibandingkan pertumbuhan rasio
Indonesia. Laju pertumbuhan nilai ekspor rata-rata per tahun dari Cina juga jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Yang
paling menarik dari tabel ini adalah menyangkut nilai ekspor dari produk-produk manufaktur yang juga merupakan
andalan Cina di dalam perdagangan internasionalnya. Data yang ada menunjukkan bahwa nilai ekspor manufaktur dari
Cina jauh melewati nilai ekspor manufaktur dari Indonesia.

12
Gambar 2 Sepuluh (10) Negara di Dunia dengan Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor Terbesar,
2000(%)

5 4.5

2 1.7 1.5 1.4


1.1 1.05
0.8 0.7 0.7 0.6
1

0
Cina AS Korea Meksiko Malaysia Irlandia Thailand Taiwan Singapura Spanyol
Selatan

Sumber: UNCTAD (2002).

Tabel 5 Kinerja Ekspor Barang dan Jasa Cina dan Indonesia: 1981-2001
Variabel* Cina Indonesia
1981 1991 2000 2001 1981 1991 2000 2001
Nilai Ekspor /PDB (%) 8,6 19,4 25,9 25,8 25,3 27,9 42,3 35,4

Pertumbuhan rata-rata per


tahun (%) 12,11) 8,32) 30,6 5,0 6,93) 3,14) 1,95) -1,26)

Total Ekspor barang (fob)7)


-Makanan 22,0 71,8 249,2 266,2 tad* 33,8 8) 57,4 9) 57,3 10)
-Bahan Bakar 2,9 7,2 12,3 12,8 tad - - -
-Manufaktur 8,3 4,8 7,9 8,4 tad 10,7 12,7 11,6
-Perkebunan 11,8 55,7 223,8 239,8 tad 14,2 22,3 19,3
tad tad tad Tad 0,7 0,9 1,2

Keterangan: * = tidak ada data; 1) 1981-91; 2) 1991-01; 3) 1982-92; 4) 1992-02; 5) 2001; 6) 2002; 7) miliar dollar AS; 8) 1992; 9) 2001; 10)
2002
Sumber: Bank Dunia (database)

Masih dari laporan UNCTAD (2002) tersebut, Cina masuk ke dalam kelompok 10 negara eksportir terbesar di
Asia (termasuk Australia), sedangkan Indonesia tidak masuk. Misalnya pada tahun 1999, dengan nilai ekspornya
mencapai 23,7 miliar dollar AS, Cina berada pada posisi ke empat, dengan pangsa pasar Asia-nya naik cukup
signifikan dari 4,4% tahun 1990 ke 9,0% tahun 1999. Pertumbuhan ekspornya juga tinggi, rata-rata per tahun 17%
selama dekade 90-an; walaupun tahun 1998 dan 1999 mengalami pertumbuhan negatif; tetapi itupun jauh lebih baik
jika dibandingkan dengan negara-negara eksportir lainnya yang juga mengalami pertumbuhan ekspor yang negatif
selama periode yang sama. Selama periode 1985-2000, pangsa ekspor Cina terhadap total perdagangan dunia
meningkat 4,5%.
Khusus untuk ekspor barang, dengan data dari WTO, Gambar 3 menunjukkan keunggulan Cina atas Indonesia
dengan laju pertumbuhan nilai ekspornya rata-rata per tahun yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Tahun 2003,
diperkirakan nilai ekspor barang Cina akan tumbuh 10% dibandingkan Indonesia yang hanya sekitar 3%, dan untuk
tahun 2004 diprediksi akan lebih tinggi lagi yakni 12% dan Indonesia hanya 5,5%. Selanjutnya, data WTO
menunjukkan pertumbuhan rata-rata per tahun dari nilai dan volume ekspor barang Cina dibandingkan Indonesia
selama dekade 80-an dan 90-an dapat dilihat di Tabel 6. Sementara, berdasarkan laporan dari UNCTAD (2003), di

13
Tabel 7 dapat dilihat keunggulan Cina di dunia dalam laju pertumbuhan volume ekspor barang dan jasa untuk periode
2000-2001.

Gambar 3 Realisasi dan Prediksi Pertumbuhan Nilai Ekspor Barang Cina dan Indonesia, 1997-2004 (%)

27.9 27.6
30
20.9 22.3
25
20 12
12.2 10
15 6.8
6.1
10 Cina
5 0.5 Indonesia
3 5.5
1.7 1.1
0
-5 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
-10
-10.5
-15 -12.3

Sumber: WTO

Tabel 6 Rata-rata per Tahun Pertumbuhan Volume dan Nilai Ekspor Barang Cina dan Indonesia, 1980-90
dan 1990-00 (%)
Volume Nilai
1980-90 1990-00 1980-90 1990-00
Cina 13,7 10,6 12,8 14,5
Indonesia 8,1 8,2 -0,9 8,1
Sumber: WTO

Tabel 7 Laju Pertumbuhan Volume Ekspor, 2000-2002 (% dari tahun sebelumnya)


Uraian 2000 2001 2002
Dunia 10,8 -0,9 2,0

Negara Maju 9,2 -1,2 0,1


-Jepang 9,0 -10,9 9,6
-AS 11,3 -5,9 -3,6
-UE 10,0 2,1 0,0

NSB 13,9 -1,5 5,8


-Afrika 2,6 2,3 2,6
-Amerika Latin 9,7 -0,1 0,7
-Asia Barat 9,7 3,2 -1,9
-Asia Tenggara & Timur 15,4 -5,4 4,8
-Cina 25,8 7,6 23,6

Negara-negara Transisi 13,0 8,7 7,8


Sumber: UNCTAD (2003).

IV.2 Daya Saing dan Faktor-Faktor Penentu Utama


Prestasi Cina ini didorong oleh semakin baiknya tingkat daya saing Cina di pasar global. Daya saing relatif Cina
dibandingkan Indonesia untuk sejumlah komoditi tertentu dapat dilihat di Tabel 8, yang dihitung berdasarkan data
yang ada dari Depperindag. Tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk sebagian besar dari produk-produk tersebut,
Cina cenderung lebih unggul daripada Indonesia; terutama untuk TPT dan mesin peralatan perkantoran, perbedaan
RCA antara Cina dan Indonesia cukup besar. Untuk sepatu dan sepeda motor dan sepeda lainnya, perbedaan RCA
antar kedua negara tersebut cenderung membesar. Keunggulan Indonesia atas Cina yang sangat signifikan hanya pada
produk-produk dari kayu seperti bubur kertas, kayu lapis dan barang-barang dari kayu. Hal ini menunjukkan bahwa

14
keunggulan Indonesia masih pada produk-produk tradisional yang sangat tergantung pada SDA, tenaga kerja murah,
dan teknologi rendah hingga menengah.
Tabel 8 RCA Cina dan Indonesia untuk sejumlah Produk: 1996-2000
Jenis Produk 1996 1997 1998 1999 2000
Ind. Cina Ind Cina Ind Cina Ind Cina Ind Cina
Bubur kertas (pulp) 2,38 0,02 2,98 0,02 4,38 0,02 3,1 0,01 2,92 0,01
Pakaian jadi 0,01 0,09 0,02 0,09 0,02 0,13 0,1 0,13 0,12 0,16
Minyak & lemak hewani 0,06 0,02 0,1 0,03 0,21 0,04 0,03 0,03 0,03 0,14
Minyak nabati 0,05 0,64 0,19 1,08 0,02 0,42 0,03 0,18 0,03 0,19
Pupuk buatan pabrik 1,68 0,37 2,35 0,38 1,39 0,28 1,46 0,42 1,41 0,52
Plastik 0,3 0,13 0,27 0,17 0,29 0,17 0,2 0,14 0,19 015
Barang-barang dari kulit 0,04 2,08 0,04 2,16 0,01 2,37 0,09 2,28 0,08 2,61
Kayu lapis/tripleks 23,11 0,21 23,24 0,35 17,2 0,212 16,16 0,29 12,69 0,37
Barang-barang dari kayu 7,69 2,42 6,6 2,18 5,27 ,14 6,55 2,29 6,42 2,32
Kertas & karton 1,06 0,08 1,21 0,09 2,19 0,09 2,46 0,07 2,29 0,17
TPT lainnya 1,63 6,64 1,07 5,81 0,89 5,43 1,37 5,47 1,57 5,87
Produk logam tidak mulia 0,14 1,42 0,13 1,48 0,11 1,44 0,26 1,47 0,19 1,4
Sepatu 5,66 5,9 4,29 6,03 3,94 6,08 4,75 6,2 4,22 6,1
Sepeda motor & sepeda lainnya 1,25 1,94 1,25 1,97 1,3 2,06 1,35 2,33 1,19 3,19
Komponen otomotif 0,05 0,11 0,09 0,1 0,1 0,12 0,12 0,16 0,15 0,18
Mesin peralatan kantor 0,07 2,61 0,27 2,61 0,32 2,63 0,31 2,7 0,18 2,74
Sumber: Depperindag (database) dan UNIDO (database)
Peringkat Cina dibandingkan dengan Indonesia dalam daya saing internasional dapat juga diukur dengan
indikator-indikator statis, disebut Indeks yang Berlaku (CI), poin persentase dari perubahan dalam pangsa pasar dunia,
dan indikator-indikator dinamis, disebut Indeks Perubahan (IP). CI dihitung dari beberapa variabel seperti ekspor neto,
ekspor per kapita, pangsa pasar dunia, dan diversifikasi produk dan pasar. Sedangkan, IP adalah perubahan dalam
pangsa pasar dunia, cakupan ekspor/impor, diversifikasi produk dan pasar, dan korelasi dengan dinamika-dinamika
dari permintaan internasional. Hasil perhitungan dari dua indeks ini disajikan di Tabel 9. Dapat dilihat bahwa untuk
produk-produk yang tidak terlalu tergantung pada SDA tetapi lebih pada teknologi dan skill, Cina jauh lebih unggul
dibandingkan Indonesia. Bahkan dalam tekstil dan pakaian jadi yang merupakan salah satu produk unggulan ekspor
Indonesia, kinerja Cina di pasar dunia lebih baik daripada Indonesia. Dalam kata lain untuk produk-produk ini
Indonesia mendapat persaingan sangat ketat dari Cina (masalah persaingan Indonesia dengan Cina untuk tekstil dan
pakaian jadi di pasar dunia akan dibahas lebih lanjut lagi). Juga untuk produk-produk unggulan lainnya, Indonesia
mendapat persaingan ketat dari Cina, misalnya produk-produk dari kayu yang mana posisi Cina dalam perubahan di
pasar dunia berada pada peringkat ke dua sedangkan Indonesia di atas 100 dari 184 negara. Juga untuk produk-produk
dari kulit, Cina berada pada peringkat pertama (1), sedangkan Indonesia pada posisi ke sembilan (9).
Tabel 9 CI dan IP Indonesia (RI) dan Cina © untuk Beberapa Produk: 2001*
Produk CI Perubahan dalam pangsa pasar dunia
RI C RI C
Mineral 12(14)** 50(51) 137(73)*** 131(75)
Produk-produk kayu 7(6) 42(43) 106(28) 2(45)
IT & elektronik konsumen 18(19) 4(10) 6(6) 1(41)
Pakaian 7(5) 2(2) 4(49) 1(29)
Bahan makanan tidak diolah 28(25) 44(20) 163(90) 4(103)
Bahan-bahan kimia 34(32) 28(28) 10(25) 5(95)
Tekstil 12(11) 11(12) 3(7) 1(6)
Olahan lainnya 22(22) 12(10) 15(4) 1(93)
Produk-produk dasar 27(41) 33(16) 5(7) 1(49)
Makanan diolah 23(23) 24(24) 134(28) 6(14)
Komponen listrik 16(17) 22(23) 11(7) 1(23)
Produk-produk kulit 15(13) 6(6) 9(18) 1(13)

15
Mesin non-listrik 57(58) 24(29) 14(15) 1(17)
Alat angkutan 40(41) 30(11) 32(41) 5(22)
Keterangan: * = peringkat pertama (satu) berarti kinerjanya paling bagus diantara 184 negara ; ** = 2000; *** = CI
Sumber: WTO.

Basri (2003) membuat suatu studi yang menarik. Dengan menggunakan data dari UN COMTRADE Statistics
untuk periode 1985-2001, pertumbuhan ekspor dari Cina, Indonesia dan beberapa negara lainnya di dekomposisikan
ke tiga sumber, yakni faktor permintaan, faktor kompetitif dan faktor diversifikasi. Penelitiannya dibagi dalam dua
periode, yakni 1995-2001 dan 1985-2001. Hasilnya di Tabel 10 menunjukkan bahwa peningkatan ekspor Indonesia
selama periode 1995-2001 terutama lebih disebabkan oleh faktor permintaan, dan bukan daya saing; sedangkan kalau
dianalisis dari tahun 1985 hingga 2001, sumber utama pertumbuhan ekspor Indonesia adalah perbaikan daya saing,
namun jauh lebih rendah dibandingkan Cina. Sedangkan pertumbuhan ekspor Cina sebagian besar bersumber dari
tingkat daya saing yang tinggi.
Tabel 10. Dekomposisi dari Pertumbuhan Ekspor Menurut Sumber dari Sejumlah Negara Asia Tenggara
dan Timur, 1985-2001 (juta dollar AS).
Negara Pertumbuhan 1995-2001 Pertumbuhan 1985-2001
Permintaan* Daya saing** Diversifikasi*** Permintaan Daya saing Diversifikasi
Cina 43059 131306 271 53155 318560 200
Hongkong 12601 -14747 -244 72668 -39096 -4700
Indonesia 7164 5460 461 19129 20828 333
Korea Selatan 21546 14179 1 74832 49337 363
Malaysia 18280 3601 342 43462 43146 795
Filipina 4649 17574 24 22844 12843 -71
Singapura 27809 -29677 -734 48574 15041 770
Taiwan 27963 -4814 117 112240 1096 -251
Thailand 8907 5811 414 14857 44655 232
Vietnam 520 7640 -18 403 13310 -74
Jepang 103104 -132464 -791 506926 -232044 -15647
UE (15) 160661 -33740 -37 754854 -112113 -12225
NAFTA 116775 -97125 -5259 516344 -152427 -9313
Keterangan: * = faktor permintaan mengisolasi efek-efek dari peningkatan atau penurunan dalam permintaan global untuk ekspor dari negara-negara lain. Faktor
ini memperlihatkan peningkatan atau penurunan ekspor yang akan terjadi apabila tidak ada perubahan dalam pangsa pasar dari negara bersangkutan dari tahun
1985 atau 1995 sebagai periode basis; ** = faktor ini menunjukkan perubahan ekspor, melebihi atau kurang dari perubahan yang berkaitan dengan perubahan
permintaan, yang disebabkan oleh perubahan dalam pangsa pasar ekspor dari negara bersangkutan. Setiap perbedaan; *** = setiap perbedaan antara perubahan
dalam total ekspor dan jumlah dari faktor permintaan dan faktor daya saing adalah disebabkan oleh faktor diversifikasi.
Sumber: Basri (2003) (data dari UN COMTRADE Statistics).

Selain indikator-indikator di atas, kuatnya tekanan persaingan dari Cina terhadap ekspor Indonesia dan negara-
negara Asia lainnya dapat juga dilihat dari semakin besarnya bagian dari total ekspor Cina dibandingkan Indonesia dan
negara-negara Asia lainnya tersebut ke tiga pasar besar di dunia, yaitu Jepang, AS dan Uni Eropa. Semakin besar porsi
dari total ekspor dari suatu negara ke tiga pasar tersebut, berarti semakin tinggi daya saing dari produk-produk ekspor
dari negara tersebut di dunia, karena ketiga negara tersebut merupakan pasar paling penting di dunia, sehingga dapat
dikatakan sebagai barometer perekonomian dan perdagangan dunia. Data yang ada menunjukkan bahwa selama
dekade 90an, porsi dari total ekspor Indonesia ke pasar Jepang mengalami suatu penurunan yang drastis, sementara
dari Cina mengalami suatu peningkatan, walaupun persentase pertumbuhannya kecil. Cina juga cenderung lebih kuat
dibandingkan Indonesia di pasar AS. Pada awalnya pangsa Cina jauh lebih kecil daripada Indonesia, namun selama 10
tahun tersebut pangsa Cina mengalami suatu kenaikan lebih dari 100%, sedangkan kenaikan pangsa Indonesia sangat
kecil. Demikian juga di pasar UE, awalnya Indonesia unggul, namun pada akhirnya Cina melampaui Indonesia (Tabel
11).

16
Tabel 11 Pangsa Ekspor Barang dari Cina, Indonesia dan Beberapa Negara Asia lainnya
di tiga pasar besar: Jepang, AS dan UE (% dari total ekspor)
Ke Jepang AS Uni Eropa
Dari 1990 2001 1990 2001 1990 2001
Cina 14,7 16,9 8,5 20,4 10,0 15,4
Hong Kong 5,7 5,9 24,1 22,5 18,5 14,5
Korea Selatan 18,6 11,0 28,6 20,9 14,8 13,1
Thailand 17,2 15,3 22,7 20,3 22,7 16,1
Vietnam 13,5 17,5 0,0 7,6 6,8 26,8
Indonesia 42,5 20,9 13,1 15,3 12,0 13,8
Malaysia 15,3 13,3 16,9 20,2 15,4 13,6
Filipina 19,8 15,7 37,9 28,0 18,5 19,3
Singapura 8,8 7,7 21,3 15,4 15,0 13,4
Sumber: Bank Dunia (database)

Khusus untuk pasar AS, Tabel 12 memperlihatkan perkembangan impor AS dari Cina dan negara-negara pesaing
lainnya dari Asia untuk ekspor barang selama periode 1987-2001. Pada tahun awal dari periode tersebut, pangsa pasar
AS dari Cina masih lebih kecil dibandingkan dengan porsi dari negara-negara lainnya tersebut. Namun pada tahun-
tahun berikutnya, Cina mulai mengalahkan negara-negara pesaingnya, dan pada tahun 2001 Cina sudah menguasai
sekitar 10,4% dari impor AS, sedikit di bawah Jepang yang tercatat sekitar 10,6%; sedangkan ASEAN dan Korea
Selatan lebih rendah, yakni masin-masing 6,4% dan 3,1%.
Tabel 12 Pangsa Pasar AS dari Cina dan Beberapa Negara Asia Lainnya (% dari total impor AS)
Tahun Total Asia Timur Cina ASEAN Korea Selatan Jepang
1987 39,0 3,9 4,2 4,1 20,6
1990 36,9 5,0 5,5 3,7 18,1
1995 39,6 7,5 8,3 3,3 16,6
1997 36,8 8,4 8,1 2,7 14,0
1999 35,7 9,0 7,4 3,0 12,8
2001 33,4 10,5 6,4 3,1 10,6
Sumber: dari Tabel 2 di Quang (2003).

Banyak faktor yang membuat Cina semakin jauh lebih unggul dari Indonesia dan banyak negara lainnya di arena
perdagangan internasional dalam beberapa tahun belakangan ini. Diantaranya adalah tingkat produktivitas tenaga
kerjanya yang lebih tinggi dan upah per pekerja yang lebih rendah daripada di Indonesia. Tabel 13 menyajikan hasil
proyeksi dari van der Mensbrugghe (1998) mengenai posisi keunggulan komparatif dari Cina dan Indonesia
berdasarkan pertumbuhan rasio output-tenaga kerja sebelum krisis ekonomi 1997, dengan menggunakan model
proyeksi LINKAGE. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Cina diprediksi lebih tinggi daripada di Indonesia.

Tabel 13 Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja di Cina dan Indonesia, 2000-2020


Periode Indonesia Cina
2000-2005 5,2 6,7
2005-2010 5,4 7,2
2010-2015 5,2 6,6
2015-2020 5,5 7,2
1995-2020 5,3 7,2
Sumber: van der Mensbrugghe (1998).

Keunggulan Cina atas Indonesia (dan banyak negara lain) dalam produktivitas tenaga kerja menjadi tambah kuat
lagi karena didukung oleh keunggulannya dalam tingkat upah per pekerja. Data dari UNIDO menunjukkan bahwa
rata-rata upah per pekerja per tahun (dalam dollar AS) di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan di Cina (dan

17
Vietnam sebagai pesaing baru Indonesia setelah Cina); terkecuali pada tahun 1998 karena merosotnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS (Gambar 4). Gabungan dari kedua faktor keunggulan ini membuat suatu tekanan yang kuat
terhadap harga dari produk-produk ekspor Cina, sehingga Cina akan semakin unggul dalam persaingan harga.

Gambar 4 Rata-rata Upah per Pekerja per Tahun di Indonesia, Cina dan Vietnam, 1994-1998

1000

800

600 Vietnam
Cina
400 Indonesia
200

0
1994 1995 1996 1997 1998

Sumber: UNIDO & MPL (1999).

Secara keseluruhan, dengan semakin baiknya SDM (tidak hanya teknisi tetapi juga keterampilan dalam
manajemen) dan perkembangan teknologi yang semakin pesat, yang semua ini mendorong peningkatan produktivitas
dan penurunan struktur biaya produksi, ditambah lagi dengan bergabungnya Cina dengan WTO, dapat diprediksi
bahwa di tahun-tahun mendatang tren pertumbuhan dari pangsa Cina di pasar dunia akan berlangsung terus dengan
laju kecepatan yang semakin tinggi. Jika memang prediksi tersebut menjadi suatu kenyataan, tidak mustahil produk-
produk ekspor Indonesia akan tergusur dari pasar di Jepang, AS dan UE, atau bahkan di dunia.

IV.3 Diversifikasi Ekspor


Keunggulan Cina atas Indonesia juga dicerminkan oleh tingkat diversifikasi produk ekspor Cina yang jauh lebih
tinggi dibandingkan Indonesia, mulai dari berbagai macam produk makanan hingga alat-alat elektronik dan otomotif.
Misalnya, pada pertengahan dekade 90-an, komoditi ekspor Cina yang memiliki saham pasar dunia yang cukup besar
adalah tekstil, alas kaki, elektronik dan utilitas. Saham pasar dunia dari produk-produk ini diprediksi akan naik pesat
pada tahun-tahun mendatang, sebagai konsukwensi dari masuknya Cina ke WTO. Kenaikan saham dari produk-
produk tersebut bisa menjadi suatu tanda adanya ancaman serius atau tantangan berat bagi ekspor Indonesia untuk
produk-produk yang sama.
Tabel 14 menyajikan data mengenai pertumbuhan nilai ekspor Indonesia dan Cina menurut beberapa komoditas
utama ke AS selama periode 1998-2002.Dapat dilihat jelas bahwa desakan Cina di pasar tradisional ini terhadap
ekspor Indonesia semakin kuat. Misalnya untuk ikan dan olahannya, pertumbuhan total ekspor dari Cina ke AS selama
periode tersebut sangat tinggi, yakni 167,5% dibandingkan Indonesia yang hanya 29,3%. Yang paling parah lagi
adalah kayu lapis: pertumbuhan ekspor Indonesia negatif, sementara dari Cina tumbuh positif di atas 300%! Hal ini
bisa mengancam kelangsungan ekspor kayu lapis Indonesia ke pasar AS. Juga, Cina sangat unggul atas Indonesia
untuk memasok kebutuhan TV dan perlengkapannya di AS, yang laju total pertumbuhan ekspornya mencapai di atas
500%, dibandingkan Indonesia yang hanya sekitar 44%.

18
Tabel 14 Beberapa Komoditas Impor AS dari Indonesia dan Cina, 1998 dan 2002 (juta dollar AS)
Komoditas Indonesia Cina
1998 2002 %* 1998 2002 %*
Total 9.340,6 9.643,6 3,2 71.168,7 125.167,9 75,9

Ikan & olahannya 306,3 395,9 29,3 323,6 865,6 67,5


Kayu lapis/tripleks 293,2 213,3 -27,3 22,7 109,0 380,2
Perabotan rumah tangga 352,3 554,8 57,5 2.114,7 6.314,5 198,6
Alat listrik 112,5 223,0 98,2 1.950,9 3.116,5 59,8
Semikonduktor 225,2 153,5 -31,8 487,0 729,4 49,8
Alat telekomunikasi 138,7 65,1 -53,1 996,8 2.811,5 182,1
TV & perlengkapannya 521,4 748,8 43,6 685,3 4.283,1 525,0
Pakaian berbahan kapas 835,5 912,1 9,2 1.856,0 2.810,1 51,4
Tekstil nonkayu & nonkapas 788,8 1.108,9 40,6 4.557,4 6.372,5 39,8
Alas kaki 334,1 231,7 -30,5 5.952,6 7.444,6 25,1
Perlengkapan camping 548,5 637,6 16,2 2.436,1 3.315,9 36,1
Mainan & alat olah raga 154,8 167,8 8,4 10.607,0 14.842,8 39,9
Kelengkapan stereo 250,7 171,1 -31,8 4.653,2 4.438,2 -4,6
Keterangan: * = pertumbuhan 1998-2002
Sumber: Lubis (2003) (data diolah dari Foreign Trade Statistics, Department of Commerce, US).

Persaingan ketat dari Cina terhadap Indonesia salah satunya adalah dalam perdagangan produk-produk elektronik,
mulai dari elektronik konsumen hingga alat-alat telekomunikasi, mesin dan peralatan kantor. Hingga saat ini Cina
sudah memproduksi seperempat dari kebutuhan dunia untuk televisi dan mesin cuci dan setengah dari permintaan
pasar dunia untuk kamera dan mesin foto copy. Saat ini Cina juga merupakan negara pembuat perangkat televisi
terbesar dunia dengan nilai ekspor mencapai sekitar 18,8 juta yuan (sekitar 2 miliar dollar AS). Salah satu perusahaan
Cina terbesar, TCL International Holdings, telah menandatangani kesepakatan dengan Thomson dari Perancis yang
memberikan hak bagi perusahaan Cina tersebut memasarkan televisi buatan Cina di bawah label RCA. Ekspansi
televisi buatan Cina ke pasar dunia, termasuk AS, yang dalam beberapa tahun belakangan ini semakin gencar sampai
memaksa Departemen Perdagangan AS pada bulan November 2003 mengumumkan rencana pengenaan kenaikan tarif
atas impor perangkat televisi dari Cina sebesar 28% hingga 46%.
. Dilihat dari perkembangan ekspor Cina selama ini, porsi dari ekspor produk-produk elektronik mengalami suatu
peningkatan yang sangat signifikan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 1987 nilai ekspor elektronik baru
sekitar 2,5% dari total ekspor Cina, dan setiap tahun naik terus hingga mencapai hampir 20% pada tahun 2001. Jika
tren pertumbuhan ekspor ini dipakai sebagai dasar untuk membuat prediksi ke depan, dapat dipastikan bahwa
persentase dari produk-produk elektronik di dalam total ekspor Cina akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.
Menurut data Depperindag, selama periode Januari-Maret 2002, total nilai ekspor produk-produk elektronik
konsumsi dari Indonesia mencapai 543,8 juta dollar AS; turun dibandingkan tahun 1997 yang mencapai 1,5 miliar
dollar AS. Pasar terbesar untuk produk-produk elektronik konsumsi Indonesia adalah AS dan Jepang, disusul
kemudian oleh Singapura dan sejumlah negara di Eropa. Sedangkan total nilai ekspor produk-produk elektronika
untuk keperluan bisnis/industri dari Indonesia untuk jangka waktu yang sama mencapai 321,7 juta dollar AS; juga
lebih kecil dibandingkan tahun 1997 sebanyak 688 juta dollar AS, dengan komposisi negara-negara pengimpor besar
yang sama. Namun dibandingkan Cina dan negara-negara Asia lainnya yang juga mengekspor produk-produk
elektronik, Indonesia termasuk negara kecil. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 15, nilai ekspor dari China hampir 11
kali lebih besar dibandingkan nilai ekspor dari Indonesia untuk barang-barang elektronik. Fakta ini memberi kesan

19
bahwa daya saing ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut masih lebih rendah daripada Cina (dan negara-
negara Asia lainnya di Tabel 15).
Tabel 15 Beberapa Negara Pengekspor Produk Elektronika di Asia, 2001
Negara Ekspor Total (juta dollar AS) Rasio terhadap Ekspor Indonesia
Malaysia 63,372 8,99
Filipina 34,448 4,89
Singapura 88,642 12,58
Cina 76,247 10,82

Sumber: Depperindag

AS, Jepang dan UE merupakan tiga pasar penting bagi ekspor elektronik Cina selama ini. Dalam memasok ketiga
pasar ini, Cina bersaing ketat dengan 5 negara eksportir lainnya dari Asia, yakni Korea Selatan, Malaysia, Singapura,
Hong kong dan Taiwan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 2000, dari total ekspor elektronik Cina, sekitar
21,5%-nya disuplai ke tiga pasar tersebut. Memang, porsi ini masih rendah jika dibandingkan dengan ke 5 negara
tersebut, terkecuali Hong Kong. Namun demikian, ekspor produk-produk elektronik Cina ke AS, Jepang dan UE dapat
dipastikan akan meningkat pesat, terutama sejak Cina bergabung dengan WTO.
Persaingan ketat antara Indonesia dan Cina juga terjadi dalam ekspor tekstil dan produk-produknya (TPT),
terutama dalam memasok ke pasar AS. Data Depperindag menyebutkan, nilai ekspor TPT Cina ke AS tahun 2002
sebesar 8,74 miliar dollar AS. Nilai ekspor itu naik 33,78% dibandingkan tahun 2001 yang tumbuh sebesar 6,53 miliar
dollar AS. Sedangkan nilai ekspor TPT Indonesia ke AS tahun 2002 justru mengalami penurunan sekitar 8,78%
dibandingkan nilai ekspornya tahun 2001. Nilai ekspor TPT Indonesia ke AS tahun 2002 tercatat 2,23 miliar dollar
AS, dan pada tahun 2001 sebesar 2,55 miliar dollar AS. Untuk periode Januari-September 2003, nilai ekspor TPT Cina
ke pasar AS sudah mencapai 8,3 miliar dollar AS, sedangkan nilai ekspor TPT Indonesia ke pasar dan untuk periode
yang sama hanya 1,7 miliar dollar AS (Gambar 5). Perbedaan yang besar ini membuat Indonesia semakin sulit
merebut posisi Cina sebagai negara pengekspor terbesar TPT ke AS. Nilai ekspor Cina pada periode 2003 tersebut
lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2002, dan bahkan lebih besar dari nilai ekspornya selama
setahun pada tahun 2001 dan sebelumnya.
Gambar 5 Nilai ekspor TPT Cina dan Beberapa Negara Asia lainnya ke AS, Januari-September 2003
(miliar dollar AS).

Sri Lanka 1.1

Thailand 1.4

Kamboja 1.5

Indonesia 1.7

Vietnam 2

Cina 8.3

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Sumber: WTO

20
Selanjutnya, Tabel 16 menyajikan beberapa indeks yang dapat digunakan untuk membandingkan tingkat daya
saing Indonesia dan Cina dalam ekspor pakaian jadi dan asesorisnya, dan tekstil dari serat/serabut, tekstil pabrik, dan
tekstil khusus. Untuk pakaian jadi dan asesorisnya, dilihat dari tren pertumbuhan dan perubahan ekspor, kinerja
Indonesia lebih baik dibandingkan Cina; tetapi dilihat dari nilai ekspornya, pangsa di dalam ekspor nasional, dan
indeks-indeks berlaku, ada kesan bahwa daya saing Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Cina. Sedangkan untuk
beberapa indeks perubahan, Indonesia lebih unggul daripada Cina. Namun secara keseluruhan, kesimpulan yang bisa
diambil dari tabel ini berdasarkan nilai gabungan dari indeks berlaku dan indeks perubahan adalah bahwa daya saing
Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan Cina dalam ekspor pakaian jadi dan asesorisnya.

Tabel 16 Daya Saing dan Peringkat Dunia Indonesia dan Cina dalam Ekspor Pakaian Jadi dan Asesoriesnya
Indikator Indonesia Cina
Nilai Peringkat Nilai Peringkat
Profil 1. Nilai ekspor (000 dollar AS) 4.286.886 35.694.621
Umum 2. Tren dari ekspor (1997-2001) per tahun 17,6% 9 7,6% 33
2001 3. Pangsa di dalam ekspor nasional 7,8% 13,6%
4. Perubahan ekspor rata-rata per tahun 11,8% 7 2,9% 28
Posisi 5. Nilai dari ekspor neto (000 dollar AS) 4.222.329 6 34.079.786 1
tahun 2001 6. Ekspor per kapita (dollar AS per penduduk) 20,21 51 27,94 49
(indeks 7. Pangsa di pasar dunia 2,4% 12 19,8% 1
berlaku) 8. Diversifikasi Produk (jumlah dari jenis produk) 43 7 53 3
9. Penyebaran produk (konsentrasi) 7 1
Perubahan 10. % perubahan dari pangsa dunia per tahun, 9,3% 1,5%
1997-2001 bersumber dari
(indeks -efek kompetitif per tahun 6,9% 10 2,2% 23
perubahan) -spesialisasi geografi awal per tahun 2,4% 13 -2,3% 57
-penyesuaian per tahun -0,1% 21 1,2% 7
11. Tren dari cakupan impor oleh ekspor 15,0% 8 0,8% 31
12. Penyesuaian dengan dinamika dari permintaan dunia 55 11
13. Perubahan dalam diversifikasi produk (jumlah dari
jenis produk) 18 42
14. Perubahan dalam konsentrasi produk 18 44
Indeks Indeks Berlaku 6 2
Komposisi Indeks Perubahan 20 16
Sumber: WTO (TradeMap).

Untuk tekstil dari serat, pabrik dan produk khusus, untuk sejumlah indikator, posisi Indonesia lebih baik
dibandingkan Cina. Tetapi, untuk dua indikator lain, yakni nilai ekspor dan pangsa pasar dunia, kinerja ekspor Cina
jauh lebih bagus daripada Indonesia. Nilai ekspor Cina tercatat mencapai 13 miliar dollar AS lebih sedangkan
Indonesia hanya sekitar 3 miliar dollar AS, dan produk Indonesia hanya menguasai sekitar 2%, sedangkan Cina 10%
lebih dari pasar dunia. Hal ini membuat Cina berada pada posisi terdepan di dunia, sedangkan Indonesia pada
peringkat 13. Posisi Indonesia juga lemah dalam hal diversifikasi produk. Produk yang dihasilkan Cina untuk kategori
tekstil ini juga jauh lebih bervariasi dibandingkan produk buatan Indonesia. Juga, untuk penyebaran produk, Cina lebih
baik dibandingkan Indonesia. Untuk itu, pada tingkat internasional, Cina berada pada peringkat 5, sedangkan
Indonesia 18. Tetapi, dilihat dari perubahannya, kinerja Indonesia relatif lebih baik dibandingkan Cina. Secara
keseluruhan, seperti yang ditunjukkan oleh perbedaan dalam indeks komposisi, Indonesia relatif lebih kuat daripada
Cina dalam ekspor produk tekstil dari kategori ini.

21
Berikut, Tabel 17 menunjukkan bahwa impor Jepang untuk pakaian jadi yang dirajut dari serabut/serat di dominasi
oleh produk dari Cina. Tahun 1996 porsi dari negara panda ini di pasar Jepang tercatat sekitar 59% dan meningkat
tajam menjadi lebih dari 80% pada tahun 2001. Sedangkan, ekspor produk yang sama dari negara-negara ASEAN ke
Jepang mengalami penurunan dengan derajat yang bervariasi menurut negara anggota selama periode yang sama. Porsi
Indonesia sendiri sangat rendah, yakni hanya 1,5% tahun 1996 dan turun menjadi di bawah 1% tahun 2001.
Tabel 17 Pangsa dari ASEAN dan Cina di Pasar Jepang untuk Pakaian Jadi yang dirajut dari
serabut, 1996 dan 2001 (% dari total impor Jepang)
Negara 1996 2001
Cina 59,1 80,4
Vietnam 3,5 2,5
Thailand 1,8 1,7
Indonesia 1,5 0,8
Filipina 0,6 0,3
Malaysia 0,5 0,2
Sumber: Morgan Stanley Research

Dengan tetap lebih unggul dalam produktivitas tenaga kerja dikombinasikan dengan tingkat upah per pekerja yang
relatif lebih rendah, dan didorong oleh pengembangan teknologi yang pesat serta dukungan sepenuhnya dari
pemerintahnya, dapat dipastikan TPT (dan produk-produk ekspor lainnya) Cina akan semakin menggeser produk-
produk yang sama buatan Indonesia di pasar ekspor, bahkan di pasar tradisional seperti AS, Jepang dan UE.
Diversifikasi produk juga bisa dilihat menurut kandungan teknologi. Laporan dari UNCTAD tahun 2000
menyajikan peringkat dari 20 besar negara-negara di dunia dengan laju pertumbuhan ekspor manufaktur paling tinggi
menurut intensitas pemakaian jenis teknologi. Ternyata, untuk semua kategori teknologi, yakni teknologi rendah (LT),
teknologi menengah (MT) dan teknologi tinggi (HT), Cina unggul atas negara-negara lain di dunia, termasuk negara-
negara industri maju seperti AS, Jerman, Inggris, dan lainnya. Laporan UNCTAD tersebut juga membuat peringkat
menurut barang-barang berbasis SDA dan tidak, dan yang terakhir ini termasuk barang-barang berbasis teknologi.
Tabel 18 menyajikan hanya peringkat dari negara-negara Asia, termasuk Cina, yang masuk di dalam kelompok 20
besar tersebut.
Tabel 18 Peringkat (P) dari 20 Besar Negara-negara di Asia dengan Laju Pertumbuhan Pangsa Pasar
Terbesar Menurut Kategori Teknologi, 1985-2000
P* Semua P Berbasis P Berbasis Berbasis Teknologi
kategori SDA non-SDA P HT P MT P LT
1 Cina 3 Cina 1 Cina 1 Cina 1 Cina 1 Cina
3 Korea S. 4 Korea S. 3 Malaysia 2 Malaysia 4 Korea S. 4 Indonesia
5 Malaysia 5 India 5 Thailand 3 Taiwan 6 Taiwan 5 Thailand
7 Thailand 7 Thailand 6 Korea S. 4 Korea S. 7 Malaysia 6 Malaysia
8 Taiwan 8 Indonesia 7 Singapura 5 Singapura 8 Thailand 9 India
9 Singapura 10 Jepang 8 Filipina 7 Filipina 10 Indonesia 11 Vietnam
11 Filipina 16 Hongkong 9 Indonesia 8 Thailand 14 Singapura 12 Bangladesh
13 Vietnam 10 Taiwan 12 Indonesia 17 INdia 15 Pakistan
14 India 16 India 17 Sri Lanka
18 Vietnam
20 Bangladesh
Keterangan: * = peringkat dalam 20 besar.
Sumber: UNCTAD (2002)

22
V. Ringtangan-rintangan Utama Peningkatan Daya Daing di Indonesia

Kemampuan Indonesia untuk menembus pasar global atau meningkatkan ekspornya ditentukan oleh suatu
kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan relatif yang dimiliki masing-masing perusahaan di dalam negeri atas
pesaing-pesaingnya dari negara-negara lain. Dalam konteks ekonomi/perdagangan internasional pengertian daripada
keunggulan relatif dapat didekati dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Suatu negara memiliki
keunggulan bisa secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan (acquired advantages). Keunggulan alami
yang dimiliki Indonesia adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan bahan baku yang
berlimpah. Kondisi ini membuat upah tenaga kerja dan harga bahan baku di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan di
negara-negara lain yang penduduknya sedikit dan miskin SDA. Keunggulan alamih ini sangat mendukung perkembangan
ekspor komoditas-komoditas primer Indonesia seperti minyak dan pertanian dan sebagian besar ekspor manufaktur
khususnya yang padat karya dan berbasis SDA (seperti produk-prduk dari kulit, bambu, kayu dan rotan) hingga saat ini.
Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan yang dikembangkan adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun
jumlahnya seidkit memiliki pendidikan atau keterampilan yang tinggi dan penguasaan teknologi sehingga mampu
membuat bahan baku sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan baku asli, atau berproduksi secara lebih efisien
dibandingkan negara lain yang kaya SDA.
Inti daripada paradigma keunggulan kompetitif adalah bahwa keunggulan suatu negara atau industri di dalam
persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang diperkuat dengan proteksi
atau bantuan dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Faktor-faktor keungggulan
kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan/pengusaha nasional dan Brebes pada khususnya untuk dapat
unggul dalam persaingan di pasar dunia adalah diantaranya yang paling penting:
1) Penguasaan teknologi dan know-how;
2) SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis) dengan kualitas tinggi, dan memiliki etos kerja, kreativitas dan motivasi
yang tinggi, dan inovatif;
3) Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi;
4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan;
5) Promosi yang luas dan agresif;
6) Sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik;
7) Pelayanan teknikel maupun non-teknikel yang baik (service after sale);
8) Adanya skala ekonomis dalam proses produksi;
9) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup;
10) Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik;
11) proses produksi yang dilakukan dengan sistem just in time;
12) tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang pengusaha yang sangat inovatif, inventif, kreatif dan memiliki visi
yang luas mengenai produknya dan lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dll.), dan bagaimana cara
yang tepat (efisien dan efektif) dalam menghadapi persaingan yang ketat di pasar global.

23
13) Pemerintahan yang solid dan bersih, serta sistem pemerintahan transparan dan efisien.

Secara teoritis (hipotesis), faktor-faktor yang diduga punya pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap
kinerja ekspor Indonesia dapat dibedakan antara faktor-faktor dari sisi permintaan dan faktor-faktor dari sisi
penawarannya. Dari sisi permintaan pasar adalah terutama pendapatan dan selera masyarakat dunia (atau negara tujuan
ekspor), yang merupakan dua faktor eksternal yang tidak dapat dipengaruhi oleh pengusaha itu sendiri (negara eksportir),
Sedangkan dari sisi penawaran, sebagian adalah faktor-faktor yang hingga tingkat tertentu dapat dipengaruhi oleh
pengusaha bersangkutan seperti dalam hal peningkatan SDM, penyediaan modal, dan penguasaan atau pengembangan
teknologi. 8

VI. Tantangan dan Ancaman bagi Pengusaha Brebes


Pada prinsipnya, setiap perubahan dalam semua aspek kehidupan, termasuk perubahan dalam pengertian proses
globalisasi ekonomi dunia (termasuk di dalamnya liberalisasi perdagangan) yang sedang berlangsung saat ini
dan akan terus berlangsung dalam kecepatan yang semakin tinggi, akan muncul tantangan dan ancaman. Jika
tantangan bisa dihadapi dengan baik, maka tantangan tersebut berubah menjadi peluang; sebaliknya jika
tantangan tersebut tidak bisa dihadapi dengan baik, maka akan muncul ancaman.
Tantangan yang dihadapi semua pelaku ekonomi atau pengusaha nasional pada umumnya dan pengusaha
Brebes pada khususnya adalah menghadapi atau menyesuaikan perubahan-perubahan yang terjadi yang
berkaitan dengan proses globalisasi ekonomi dunia. Paling tidak ada 4 perubahan utama yang pasti (bahkan
sedang) terjadi akibat globalisasi dan dan masing-masing tantangannya, yakni:
1. Perubahan selera pembeli di dalam maupun di luar negeri antara lain akibat peningkatan pendapatan.
Tantangannya: mampukah pengusaha nasional mengikuti atau menyesuikan diri terhadap perubahan
tersebut dengan laju yang lebih cepat dari pesaing lainnya, misalnya membuat produk baru,
menyediakan pelayanan yang lebih baik, menyempurnakan atau memodifikasi produk yang sudah ada,
merubah sistem distribusi yang lebih efisien atau sistem promosi yang lebih efektif dan agresif, dst.nya
2. Kemajuan teknologi, misalnya teknologi nano dalam bidang kimia, fisika, elektronika, bioteknologi, medis,
mechanical engineering, dan penemuan material-material baru dalam skala/ukuran nano (1 nano meter =
1/1000,000,000 meter atau 1/50,000 tebal rambut) yang dapat digunakan untuk produksi sebagai hasil dari
kemajuan/penemuan teknologi nano tersebut seperti bahan baku-bahan baku sintetik dari hasil manipulasi dari

8
Baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran, tidak semua faktor-faktor tersebut merupakan variabel-variabel bebas,
melainkan terdapat sejumlah interdependent variables, yakni saling mempengaruhi satu sama lainnya. Bahkan saling
mempengaruhi antar variabel tidak hanya terjadi di dalam kelompok masing-masing, tetapi juga lintas kelompok. Misalnya, dari
sisi permintaan, kebijakan WTO mengenai lingkungan yang dikaitkan dengan perdagangan dunia (misalnya dalam konteks ISO)
membuat teknologi dan SDM menjadi dua faktor produksi dari sisi penawaran yang sangat penting. Dalam perkataan lain, apabila
perusahaan-perusahaan Indonesia tidak bisa memenuhi ketetapan-ketetapan yang terkandung di dalam, misalnya ISO 14000
karena kekurangan teknologi dan SDM, maka mereka akan mengalami kesulitan dalam pemasaran produk-produknya di pasar
global.

24
interaction antar atom atau molekul, atau akibat perubahan struktur molekul dengan komposisi penggabungan
atom yang berbeda yang menimbulkan sifat/fungsi/manfaat yang berbeda. Misalnya, bahan tekstil yang tahan
bocor dan tahan kotor (ultra thin molecular coating), logam tahan gores dan abrasi, atau saringan yang dibuat
dengan molekul zeolite yang memiliki lubang-lubang dan saluran-saluran dalam ukuran nano yang sangat berguna
bagi petroleum refinery dan oxygen separation dari udara.
Tantangan: siapkah pengusaha nasional mengikuti perubahan terknologi dan penemuan material-material baru
tersebut dalam bentuk inovasi produk atau proses produksi atau melakukan inventif (memunculkan produk yang
betul-betuk baru).
3. Munculnya pesaing baru baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor antara lain akibat penerapan
liberalisasi perdagangan.
Tantangan: mampukah pengusaha nasional bersaing dengan pesaing baru dalam segala front.
4. Munculnya peraturan-peraturan baru misalnya dalam konteks WTO, ASEAN (AFTA) atau APEC yang
sebenarnya merupakan rintangan-rintangan baru yang bukan tarif (non-tarif barriers) seperti persyaratan-
persyaratan yang semakin ketat dalam ekspor udang dan lainnya yang dikaitkan dengan standarisasi internasional
(seperti ISO), keselamatan konsumen, HAM (termasuk hak buruh), keselamatan kerja, pelestarian lingkungan,
kebijakan anti-dumping, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan anti-terorisme, dll.
Tantangan: mampukah pengusaha nasional memenuhi semua persyaratan tersebut.

Seperti telah dikatakan di atas, jika tantangan-tantangan tersebut tidak dapat dihadapi dengan baik karena tidak ada
kesiapan, maka tantangan-tantangan tersebut akan berubah menjadi ancaman, yakni pangsa pasar di dalam maupun di luar
negeri menurun atau bahkan tergeser sepenuhnya dari pasar. Satu contoh yang konkrit: sejak beberapa tahun belakangan
ini, produk-produk dari Cina semakin menguasai pasar Indonesia, dan ini menjadi ancaman serius bagi produk-produk
yang sama buatan pengusaha nasional. Juga di pasar ekspor, misalnya TPT di AS, di mana ekspor TPT Cina semakin jauh
mengungguli TPT Indonesia.

25
Daftar Pustaka

Banerjee, Shuvojit (2002), “Recovery and Growth in Indonesia Industry. Elements of a Future Policy Framework"”
Working Paper Series No.02/08, September, Jakarta: UNSFIR.

Basri, M. Chatib (2003), “Ekspor Manufaktur Indonesia dan Hambatan Sisi Penawaran”, makalah dalam Kongres
ISEI, 13-15 Juli, Malang.

Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun, Penerbit ITB.

Fukuyama, Francis (1999), The End of History and The Last Man. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal,
Edisi Baru, Penerbit Qalam.

Giddens, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Khor, Martin(2002), Globalisasi & krisis Pembangunan Berkelanjutan, Seri Kajian Global, Yogyakarta, Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas.

Lubis, Hamsar (2003), ”Ekspor Nonmigas Alami Kesulitan. Desakan Cina di Pasar Tradisional”, Business Indonesia,
Kebijakan Publik, Kamis, 4 Desember, Halaman T3.

Naisbitt, John (1997), Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing.

Quang, Doan Hong (2003), ”Improving Competitiveness in the Framework of an ASEAN Economic Community:
Challenges and Opportunities”, makalah dalam the 28th FAEA Conference, 19-21 December, Batam.

Tambunan, Tulus T.H. (2000), Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran. Teori dan Temuan Empiris,
Jakarta: LP3ES.

Tambunan, Tulus (2004), Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Toffler, Alvin (1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd.

UNCTAD (2002), Trade and Development Report 2002, Geneva: United Nations Conference on Trade and
Development

UNCTAD (2003), Trade and Development Report 2003, Geneva: United Nations Conference on Trade and
Development

UNIDO & MPL (1999), General View in Vietnam Industrial Competition, National Politics Press.

Van der Mensbrugghe, D. (1998), “Trade, Employment and Wages: What Impact from 20 More Years of Rapid Asian
Growth”, dalam Foy, C., F. Harrigan dan D.O’Connor (ed.), The Future of Asia in the World Economy, OECD &
ADB.

26

Вам также может понравиться