Вы находитесь на странице: 1из 4

Saesar Adhidewanto

C2C008128

Menyoal Kebenaran Ala Teroris

Setelah tewasnya gembong teroris Noordin M. Top, aksi terorisme di Indonesia


ternyata tidak otomatis menjadi sirna. Seperti pepatah mati satu tumbuh seribu aksi
terorisme masih saja marak dan dapat dikatakan mengalami peningkatan. Walaupun tidak
sedahsyat pengeboman berskala besar yang terjadi sebelumnya, aksi terorisme masih saja
muncul.
Yang terbaru, beberapa nyawa anggota kepolisian melayang karena diduga dibunuh
oleh anggota teroris. Para polisi yang gugur antara lain dari kepolisian Medan, Sumatera
Utara yang ditembak dalam perampokan bank CIMB Niaga, dan dari mapolsek Hamparan
Perak yang dibunuh pada saat teroris melancarkan aksi balas dendamnya. Hal ini
membuktikan bahwa dalam melancarkan aksinya para teroris semakin berani dengan
mengincar anggota kepolisian. Bahkan modus yang paling baru, teroris dengan
menggunakan sepeda ontel yang mengangkut bom mencoba menabrakkan diri ke arah
polantas yang sedang bertugas.
Menurut pengamat intelijen Dynno Cressbon, anggota kepolisian menjadi target
dalam penyerangan teroris dikarenakan termasuk dalam thoghut. Thoghut menurut para
teroris adalah polisi, kepala negara dan kelompok-kelompok lain yang menghalangi upaya
mereka dalam menegakkan syariat Islam. Tetapi apa yang mereka lakukan ini tentu saja
bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang berbuat zalim.
Dalam sejarah perkembangan terorisme di Indonesia, aksi terorisme dicirikan empat
hal. Pertama, karena pengaruh seorang pimpinan kelompok yang karismatik. Kedua, adanya
proses rekrutmen berjenjang. Ketiga, proses training kepada anggota untuk dapat
melakukan aksi terorisme secara sistematis. Keempat, dikerjakan secara kelompok
berdasarkan peran masing-masing. Ciri orang yang telah masuk dalam kelompok ini juga
ada tiga yakni sangat loyal, menjunjung tinggi tradisi kelompok, dan patuh pada metodologi
perjuangan yang telah digariskan pimpinannya.
Bagi orang yang awam, tentunya bertanya-tanya seperti apakah orang yang tega
melakukan aksi terorisme itu, dan banyak yang langsung menduga bahwa para teroris
adalah orang yang sangat kejam, bengis dan tidak berperikemanusiaan. Tapi ternyata tidak,
mereka taat beragama, mencintai anak istri mereka, baik kepada para tetangga, dan sangat
hormat kepada orang tua mereka. Dengan demikian, orang-orang yang pernah berinteraksi
langsung dengan mereka seperti teman, istri, orang tua, dan tetangga kaget serta terkejut
bahwa mereka itu ternyata terlibat aksi terorisme.
Sebenarnya apakah yang mengakibatkan seseorang ikut terlibat dan melakukan aksi
terorisme? Penelitian mengungkapkan mereka digerakkan sebuah ideologi yang kuat bahwa
Pemerintah Indonesia ini adalah sekuler, sehingga keadilan tidak tegak, korupsi merajalela,
dan negara menjadi tunduk dengan kepentingan asing. Mereka ini menjadi teroris bukan
secara tiba-tiba, tetapi melalui sebuah proses radikalisasi panjang. Tidak ada orang yang
terlahir di dunia ini langsung menjadi teroris dan tidak selamanya juga orang yang pernah
terlibat dalam aksi terorisme akan menjadi teroris seumur hidupnya.
Oleh karena itu pula mantan wakil presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla
menyuarakan perang terhadap ideologi teroris. Menurut dia, Indonesia merupakan negara
yang paling banyak menangkap pelaku terorisme dibandingkan dengan yang negara lainnya.
Tetapi karena tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia tersebut menyangkut
pemahaman atau ideologi, maka sangat sulit untuk memberantas ideologi.
Aksi terorisme juga tak jarang diawali dengan radikalisasi diri pribadi, pakar
terorisme Noor Huda mengemukakan meskipun terkadang terkesan singkat, proses
radikalisasi ini sesungguhnya kompleks. Biasanya melibatkan tiga hal. Pertama, adanya
proses dinamika individu yaitu ketika mereka dalam proses pencarian identitas diri. Kedua,
adanya hubungan seorang individu dengan unsur lain di luar dirinya. Misalnya kita juga
harus melihat faktor pengaruh dari seseorang yang sangat ia hormati seperti seorang ustaz
atau anggota senior kelompok. Juga tidak kalah penting adalah sumber-sumber informasi
yang ia peroleh seperti dari buku-buku bacaan, TV, radio, dan internet. Ketiga, pengaruh
kondisi sosial politik di mana individu tersebut hidup. Jadi bisa disimpulkan faktor eksternal
juga sangat memberi andil dalam pembentukan karakter ekstrimis para teroris.
Para pelaku terorisme selalu berpendapat bahwa apa yang mereka adalah benar dan
siapa saja yang menentang aksi mereka adalah pihak yang salah dan wajib diperangi.
Bahkan , mereka juga tak segan-segan menyebut orang di luar golongannya adalah kafir
yang halal darahnya.
Hal ini salah kaprah, karena mereka seharusnya mencari “kebenaran” bukan mencari
“pembenaran”. Mereka juga harus sadar bahwa dengan menganggap orang lain kafir
sesungguhnya mereka telah mengangkangi hak Tuhan, karena Tuhan-lah satu-satunya yang
dapat menentukan seseorang kafir atau tidak. Memang melakukan pemboman atau teror
penembakan adalah “benar”, tetapi itu adalah “benar” versi mereka para teroris. Lantas
apakah sebenarnya “benar” yang memang benar itu? Kebenaran umumlah yang sejatinya
menjadi acuan kita dalam memberikan penilaian baik dan buruk.
Kebenaran umum, yang apabila dibahasakan secara universal adalah worldview/
pandangan dunia. Menurut Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-
apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan
dan perubahan sosial dan moral. Jadi jelaslah bahwa sejatinya pada diri tiap manusia
dikaruniai cipta,rasa dan karsa yang cenderung berpihak pada hal-hal yang baik dan
menjauhi hal-hal yang tercela. Tetapi seiring pertumbuhan siklus hidup manusia dan karena
dipengaruhi faktor eksternal, pola pikir manusia mulai teracuni hal-hal yang menjurus pada
pola pikir hewani, yaitu siapa yang kuat dia yang menang, serta paham individualistis yang
mengutamakan kepentingan pribadi di atas segalanya.
Nilai suatu kebenaran bisa diukur (baca: dinalar) dengan akal (logika). Namun, tidak
setiap orang mampu melakukannya. Hal ini karena akal harus dididik terlebih dahulu untuk
menggali potensinya yang sesungguhnya dalam menganalisa suatu kebenaran. Proses
penggalian potensi akal disebut dengan istilah belajar. Dan orang yang telah belajar dan bisa
memahami suatu kebenaran disebut dengan orang yang berilmu atau orang yang berakal.
Di sinilah letak pentingnya ilmu dalam menganalisa suatu kebenaran. Hal ini juga
tidak lepas dari nilai-nilai ketuhanan dan ajaran agama, karena ilmu tanpa ajaran agama
adalah buta dan mempelajari agama tanpa ilmu itu hal yang konyol.
Sudah sewajarnya nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam kebenaran umum
tersebut dipupuk dan ditekankan sejak dini. Sehingga diharapkan setiap pribadi dalam proses
pencarian jati dirinya memahami secara benar apa sebenarnya tujuan hidup di dunia tanpa
terjerumus dalam kesesatan. Namun demikian tetaplah tidak dapat kita katakan mereka yang
memilih “peran” dalam kehidupan ini sebagai teroris derajatnya lebih rendah daripada kita,
karena Tuhan jua-lah yang dapat memberikan penilaian terhadap hambanya. Dan hendaknya
segala peristiwa ini menjadi momentum bagi kita untuk menginstrospeksi diri kita masing-
masing agar menjadi manusia yang diridhoi oleh-Nya.

Dari berbagai sumber

Вам также может понравиться