Setelah tewasnya gembong teroris Noordin M. Top, aksi terorisme di Indonesia
ternyata tidak otomatis menjadi sirna. Seperti pepatah mati satu tumbuh seribu aksi terorisme masih saja marak dan dapat dikatakan mengalami peningkatan. Walaupun tidak sedahsyat pengeboman berskala besar yang terjadi sebelumnya, aksi terorisme masih saja muncul. Yang terbaru, beberapa nyawa anggota kepolisian melayang karena diduga dibunuh oleh anggota teroris. Para polisi yang gugur antara lain dari kepolisian Medan, Sumatera Utara yang ditembak dalam perampokan bank CIMB Niaga, dan dari mapolsek Hamparan Perak yang dibunuh pada saat teroris melancarkan aksi balas dendamnya. Hal ini membuktikan bahwa dalam melancarkan aksinya para teroris semakin berani dengan mengincar anggota kepolisian. Bahkan modus yang paling baru, teroris dengan menggunakan sepeda ontel yang mengangkut bom mencoba menabrakkan diri ke arah polantas yang sedang bertugas. Menurut pengamat intelijen Dynno Cressbon, anggota kepolisian menjadi target dalam penyerangan teroris dikarenakan termasuk dalam thoghut. Thoghut menurut para teroris adalah polisi, kepala negara dan kelompok-kelompok lain yang menghalangi upaya mereka dalam menegakkan syariat Islam. Tetapi apa yang mereka lakukan ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang berbuat zalim. Dalam sejarah perkembangan terorisme di Indonesia, aksi terorisme dicirikan empat hal. Pertama, karena pengaruh seorang pimpinan kelompok yang karismatik. Kedua, adanya proses rekrutmen berjenjang. Ketiga, proses training kepada anggota untuk dapat melakukan aksi terorisme secara sistematis. Keempat, dikerjakan secara kelompok berdasarkan peran masing-masing. Ciri orang yang telah masuk dalam kelompok ini juga ada tiga yakni sangat loyal, menjunjung tinggi tradisi kelompok, dan patuh pada metodologi perjuangan yang telah digariskan pimpinannya. Bagi orang yang awam, tentunya bertanya-tanya seperti apakah orang yang tega melakukan aksi terorisme itu, dan banyak yang langsung menduga bahwa para teroris adalah orang yang sangat kejam, bengis dan tidak berperikemanusiaan. Tapi ternyata tidak, mereka taat beragama, mencintai anak istri mereka, baik kepada para tetangga, dan sangat hormat kepada orang tua mereka. Dengan demikian, orang-orang yang pernah berinteraksi langsung dengan mereka seperti teman, istri, orang tua, dan tetangga kaget serta terkejut bahwa mereka itu ternyata terlibat aksi terorisme. Sebenarnya apakah yang mengakibatkan seseorang ikut terlibat dan melakukan aksi terorisme? Penelitian mengungkapkan mereka digerakkan sebuah ideologi yang kuat bahwa Pemerintah Indonesia ini adalah sekuler, sehingga keadilan tidak tegak, korupsi merajalela, dan negara menjadi tunduk dengan kepentingan asing. Mereka ini menjadi teroris bukan secara tiba-tiba, tetapi melalui sebuah proses radikalisasi panjang. Tidak ada orang yang terlahir di dunia ini langsung menjadi teroris dan tidak selamanya juga orang yang pernah terlibat dalam aksi terorisme akan menjadi teroris seumur hidupnya. Oleh karena itu pula mantan wakil presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla menyuarakan perang terhadap ideologi teroris. Menurut dia, Indonesia merupakan negara yang paling banyak menangkap pelaku terorisme dibandingkan dengan yang negara lainnya. Tetapi karena tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia tersebut menyangkut pemahaman atau ideologi, maka sangat sulit untuk memberantas ideologi. Aksi terorisme juga tak jarang diawali dengan radikalisasi diri pribadi, pakar terorisme Noor Huda mengemukakan meskipun terkadang terkesan singkat, proses radikalisasi ini sesungguhnya kompleks. Biasanya melibatkan tiga hal. Pertama, adanya proses dinamika individu yaitu ketika mereka dalam proses pencarian identitas diri. Kedua, adanya hubungan seorang individu dengan unsur lain di luar dirinya. Misalnya kita juga harus melihat faktor pengaruh dari seseorang yang sangat ia hormati seperti seorang ustaz atau anggota senior kelompok. Juga tidak kalah penting adalah sumber-sumber informasi yang ia peroleh seperti dari buku-buku bacaan, TV, radio, dan internet. Ketiga, pengaruh kondisi sosial politik di mana individu tersebut hidup. Jadi bisa disimpulkan faktor eksternal juga sangat memberi andil dalam pembentukan karakter ekstrimis para teroris. Para pelaku terorisme selalu berpendapat bahwa apa yang mereka adalah benar dan siapa saja yang menentang aksi mereka adalah pihak yang salah dan wajib diperangi. Bahkan , mereka juga tak segan-segan menyebut orang di luar golongannya adalah kafir yang halal darahnya. Hal ini salah kaprah, karena mereka seharusnya mencari “kebenaran” bukan mencari “pembenaran”. Mereka juga harus sadar bahwa dengan menganggap orang lain kafir sesungguhnya mereka telah mengangkangi hak Tuhan, karena Tuhan-lah satu-satunya yang dapat menentukan seseorang kafir atau tidak. Memang melakukan pemboman atau teror penembakan adalah “benar”, tetapi itu adalah “benar” versi mereka para teroris. Lantas apakah sebenarnya “benar” yang memang benar itu? Kebenaran umumlah yang sejatinya menjadi acuan kita dalam memberikan penilaian baik dan buruk. Kebenaran umum, yang apabila dibahasakan secara universal adalah worldview/ pandangan dunia. Menurut Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa- apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Jadi jelaslah bahwa sejatinya pada diri tiap manusia dikaruniai cipta,rasa dan karsa yang cenderung berpihak pada hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang tercela. Tetapi seiring pertumbuhan siklus hidup manusia dan karena dipengaruhi faktor eksternal, pola pikir manusia mulai teracuni hal-hal yang menjurus pada pola pikir hewani, yaitu siapa yang kuat dia yang menang, serta paham individualistis yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas segalanya. Nilai suatu kebenaran bisa diukur (baca: dinalar) dengan akal (logika). Namun, tidak setiap orang mampu melakukannya. Hal ini karena akal harus dididik terlebih dahulu untuk menggali potensinya yang sesungguhnya dalam menganalisa suatu kebenaran. Proses penggalian potensi akal disebut dengan istilah belajar. Dan orang yang telah belajar dan bisa memahami suatu kebenaran disebut dengan orang yang berilmu atau orang yang berakal. Di sinilah letak pentingnya ilmu dalam menganalisa suatu kebenaran. Hal ini juga tidak lepas dari nilai-nilai ketuhanan dan ajaran agama, karena ilmu tanpa ajaran agama adalah buta dan mempelajari agama tanpa ilmu itu hal yang konyol. Sudah sewajarnya nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam kebenaran umum tersebut dipupuk dan ditekankan sejak dini. Sehingga diharapkan setiap pribadi dalam proses pencarian jati dirinya memahami secara benar apa sebenarnya tujuan hidup di dunia tanpa terjerumus dalam kesesatan. Namun demikian tetaplah tidak dapat kita katakan mereka yang memilih “peran” dalam kehidupan ini sebagai teroris derajatnya lebih rendah daripada kita, karena Tuhan jua-lah yang dapat memberikan penilaian terhadap hambanya. Dan hendaknya segala peristiwa ini menjadi momentum bagi kita untuk menginstrospeksi diri kita masing- masing agar menjadi manusia yang diridhoi oleh-Nya.