Вы находитесь на странице: 1из 11

KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA DAN KAITANNYA DALAM EKONOMI MAKRO

By Muhammad Fajar#

1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara ke-4 di dunia terbanyak penduduknya, tentunya hal tersebut
merupakan sumber tenaga kerja yang berlimpah dan termanfaatkan bila dikelola dengan baik
untuk digunakan dalam pembangunan. Tetapi bisa juga mendatangkan bencana jika tenaga yang
berlimpah tersebut tidak berkualitas dan tidak terserap oleh pasar tenaga kerja sehingga
menimbulkan pengangguran akibatnya bisa menambah kemiskinan lagi. Masalah ketenagakerjaan
merupakan salah satu topic utama dalam tujuan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat.
Karena untuk mengentaskan kemiskinan tidak terlepas dari penyelesaian masalah
ketenagakerjaan.Ketenagakerjaan merupakan bagian dari ekonomi makro artinya segala kebijakan
ekonomi yang dibuat haruslah memperhatikan masalah ketenagakerjaan, yaitu pengangguran.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas bagaimana perkembangan indikator
ketenagakerjaan dan hubungannya dengan indikator ekonomi makro lainnya.Dipilihnya indikator
sebagai bahan analisis karena indikator merupakan alat ukur untuk melihat apakah sebuah
kebijakan telah berhasil atau tidak.

2. Angkatan Kerja Indonesia

Selama periode 1997 s.d. Februari 2010, kecenderungan angkatan kerja Indonesia terus
meningkat.Hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang terus meningkat, terutama
penduduk yang memasuki pasar kerja dan bisa juga terjadi pergeseran penduduk dari yang bukan
angkatan kerja masuk ke angkatan kerja.

Grafk1. Perkembangan Penduduk dan Angkatan Kerja


Indonesia
240 140

230 120

220 100
Juta Orang

210 80

200 60

190 40

180 20

170 0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(feb)

Penduduk Angkatan Kerja

Sumber: BPS
Bila kita lihat dari pertumbuhan angkatan kerja selama periode pengamatan naik turun, pada
tahun 1997 s.d. 2000 terus menurun, tetapi bangkit lagi pada tahun 2001 pada posisi 3.25 persen.
Kemudian tahun 2002 s.d. 2006, pertumbuhan angkatan kerja cenderung menurun dimana titik
terendah pada periode observasi terjadi pada tahun 2006, yakni 0.5 persen. Sebaliknya tngkat
pertumbuhan angkatan kerja kembali meningkat pada tahun 2007 menjadi 3.34 persen, lalu untuk
tahun 2008 – 2009 menurun dan terjadi peningkatan lagi walau tidak signifikan pada tahun 2010.

Grafik 2. Tingkat Pertumbuhan Angkatan Kerja (%)


Indonesia
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(feb)

Sumber: BPS

Grafik 3. TPAK
69
68.5
68
67.5
67
66.5
66
65.5
65
64.5
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(feb)

Sumber: BPS

Sekarang kita lihat dari sudut TPAK Indonesia 1997 s.d. Februari 2010, bergerak dikisaran 66 –
69 persen, dimana pada 1997 – 2001 bergerak meningkat, lalu tahun 2002 – 2006 cenderung
menurun. Kemudian dari tahun 2007 – Feb 2010 bergerak meningkat lagi.Rata – rata TPAK selama
periode pengamatan adalah sebesar 67.31 persen per tahun, artinya pembentukan ouput nasional
setiap tahunnya secara rata-rata menyerap tenaga kerja aktif 67.31 persen. TPAK pada tahun 2006,
yakni sebesar 66.16 persen adalah TPAK terendah pada periode pengamatan tetapi secara
berangsur-angsur TPAK cenderung meningkat selama 2007 – februari 2010.

3. Penduduk yang Bekerja

Tentu penduduk yang bekerja merupakan motor penggerak penghasil output sebuah Negara,
artinya sebuah sumber daya jika tidak diolah oleh tenaga kerja akan sis-sia tidak memiliki nilai jual
yang tinggi tetapi dengan adanya tenaga kerja memaksimalkan nilai sumber daya. Ternyata dari
penduduk yang bekerja di Indonesia secara dominan adalah pekerja di sektor informal dengan
rata-rata 64.76 juta penduduk setiap tahunnya, sedangkan pekerja sektor informal yang tercipta
setiap tahunnya rata-rata sebesar 29.87 juta penduduk.

Grafik 4. Perkembangan Pekerja di Sektor Informal


dan Formal
80.00
70.00
60.00
50.00
Juta Orang

40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(feb)

Pekerja Sektor Formal Pekerja Sektor Informal

Sumber: BPS dan BI

Berdasarkan lapangan pekerjaan yang digelutinya, dapat dilihat sektor pertanian menyerap
paling banyak tenaga kerja berkisar pada 40 – 47 persen.Urutan kedua yang paling banyak
menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang bergerak pada kisaran
20 persen.Untuk sektor pengolahan secara rata-rata menyerap tenaga kerja sebesar 12.48 persen
setiap tahun.
Grafik 5. Perkembangan Persentase Tenaga Kerja
Menurut Sektor Usaha
50.00
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(feb)

Pertanian Perdagangan, Hotel dan Restoran


Industri Pengolahan Jasa-jasa
Lain-lain

Sumber: BPS

Tetapi ukuran tersebut belumlah cukup untuk menyatakan bahwa sektor yang paling banyak
menyerap tenaga kerja adalah leading sektor.Tetapi dengan melihat andi setiap sektor terhadap
pembentukan PDB kita dapat mengetahui leading sektor. Berdasarkan grafik 6 menunjukkan pada
periode pengamatan sektor Industri Pengolahan merupakan leading sektor, hal tersebut
mengindikasikan bahwa terjadi optimalisasi penggunaan tenaga kerja pada sektor Industri
Pengolahan telah berhasil, keberhasilan tersebut wajar karena mekanisasi yang diterapkan pada
sektor tersebut.

Prouktivitas sektor Usaha (juta Rp/tenaga kerja) 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 8.10 8.82 10.79 13.15 17.32 20.63
Pertambangan dan Penggalian 198.37 341.76 396.84 443.00 504.98 512.05
Industri Pengolahan 58.20 63.61 77.34 86.40 110.02 115.34
Listri, Gas, dan Air 103.94 137.14 133.12 198.55 203.10 209.92
Bangunan 33.31 42.74 53.46 58.07 77.15 101.15
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel 19.28 24.10 26.10 28.82 32.58 34.20
Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi 25.96 31.95 40.88 44.35 50.52 57.60
Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan,
172.80 201.88 199.94 218.02 252.15 271.84
Tanah, dan Jasa Perusahaan
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 22.53 26.74 29.61 33.13 36.77 40.98
Produktivitas Total 24.50 29.53 34.98 39.54 48.28 53.53
Sumber: BPS diolah
Berdasarkan tabel di atas, ternyata produktivitas pekerja Indonesia secara umum selama
periode pengamatan cenderung meningkat.ternyata, Lebih rinci lagi, pekerja di sektor
pertambangan dan penggalian yang memiliki produktivitas terbesar, yakni Rp. 399.5 juta/tenaga
kerja setiap tahun selama periode 2004 – 2009, artinya secara rata-rata pekerja dapat
menghasilkan nilai output sebsar Rp. 399.5 juta setiap tahun dibanding sektor lainnya. Sedangkan
produktivitas pekerja di sektor pertanian adalah yang terendah, yakni Rp. 13.14 juta/tenaga kerja
setiap tahunnya.

4. Tingkat Pengangguran

Pengangguran timbul ketika semua tenaga kerja tidak terserap oleh penawaran akan tenaga
kerja, hal ini terjadi karena tenaga kerja yang diperlukan tidak sesuai dengan spesifikasi yang
diminta. Oleh karena itu, pengangguran merupakan masalah sangat serius dan harus dicarikan
solusinya. Menurut The Law of Diminishing Return (LDR) menyebabkan tidak semua penduduk
dapat dilibatkan dalam proses produksi, artinya ada penduduk yang menganggur. Di semua Negara
pastilah menghadapi masalah pengangguran ini, kembali lagi kepada teori LDR yang menunjukkan
hubungan antara jumlah tenaga kerja dengan ouput, ternyata secara teori ada suatu titik dimana
dengan penggunaan tenaga kerja tertentu dapat mencapai ouput maksimu tapi jika tenaga kerja
terus ditambah lagi melewati batas optimum tenaga kerja maka ouput berada dititik jenuh yang
tidak bisa dimaksimumkan lagi. Sekarang kita lihat secara empiric korelasi antara jumlah tenaga
kerja dengan PDB di Indonesia, sebagai berikut

Hubungan Tenaga Kerja dengan PDB di


Indonesia
6000000

5000000
PDB Nominal (Milyar Rp)

4000000

3000000

2000000

1000000

0
0 20 40 60 80 100 120

Penduduk Bekerja (Juta Orang)

Sumber: BPS diolah

Terlihat pada grafik diatas menunjukkan hubungan kuat dan positif antara tenaga kerja
dengan PDB dimana nilai korelasi yang tercipta sebesar 0.89 tapi hal tersebut tidak dapat selalu
disimpulkan bahwa dengan semakin banyaknya penggunaan tenaga kerja maka ouput yang
dihasilkan semakin tinggi juga. Nanti akan ada suatu titik jenuh dimana output tidak lagi bisa
dimaksimumkan lagi dengan penggunaan factor produksi yang ada. Salah satu cara mengatasi
masalah pengangguran adalah dengan menciptakan lapangan pekerjaan, lapangan kerja yang
bertambah dapat menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran pada waktu tertentu
dan akibatnya ouput nasional meningkat, ceteris paribus. Otomatis tingkat pertumbuhan ekonomi
pun meningkat dan memicu terjadi kenaikan inflasi pada waktu tertentu, fenomena inilah yang
telah diselidiki oleh Prof. A. W. Philips gambarkan dalam kurva Philips.Oleh karena itulah, dapat
diketahui adanya hubungan negatif antara inflasi dengan tingkat pengangguran. Sekarang kita lihat
perkembangan inflasi dan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, pada tahun 1998 jika kita
lihat angka inflasi tinggi sebesar 77.63 persen (inflasi 1997: 11.05%) dan tingkat pengangguran
pun ikut naik menjadi 5.46 persen (TPT 1997: 4.68%) membuat terjadinya tingkat pertumbuhan
ekonomi saat itu negative, yakni -13.13 persen, inilah keadaan perekonomian dsebut
Stagflasi.Tingkat pengangguran cenderung meningkat selama 1997 – 2005, barulah sejak tahun
2006 – Feb 2010 mengalami penurunan.Sementara itu, selama periode pengamatan inflasi selalu
naik turun. Nilai korelasi yang terjadi antara inflasi dengan TPT di Indonesia sebesar -0.34 (perlu
series data yang panjang agar lebih meyakinkan), artinya seperti apa yang dikatakan Philips bahwa
infasi dan tingkat pengangguran berelasi negative.

Trend Inflasi dan Tingkat Penangguran Terbuka


di Indonesia
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(feb)

Inflasi (%) TPT (%)

Sumber: BPS diolah

5. Hubungan Tingkat Pengangguran Terbuka dengan Output Gap

Menurut kaidah okun menyatakan bahwa setiap 2 persen kemerosotan ouput terhadap output
potensialnya, tingkat pengangguran melonjak 1 persen. Sekarang kita aplikasikan untuk kasus
Indonesia, dengan memodelkan persamaan:

𝑇𝑃𝑇 = 𝛼 + 𝛽 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡_𝐺𝑎𝑝 + 𝜀…(1)


Dimana:
TPT : Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Output Gap : Kesenjangan PDB Aktual terhadap PDB Potensial

PDB Potensial diperoleh dengan metode Hodrick-Presscot Filter dan mentransormasi variable PDB
dengan logaritma natural. Setelah pers (1) diestimasi OLS diperoleh hasil sebagai berikut:

Dependent Variable: TPT


Method: Least Squares
Date: 10/07/10 Time: 08:54
Sample: 1985 2009
Included observations: 25

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 5.847906 0.614393 9.518178 0.0000


OUTPUT_GAP -2.220559 10.01486 -0.221726 0.8265

R-squared 0.002133 Mean dependent var 5.847906


Adjusted R-squared -0.041253 S.D. dependent var 3.010500
S.E. of regression 3.071967 Akaike info criterion 5.159132
Sum squared resid 217.0506 Schwarz criterion 5.256642
Log likelihood -62.48915 F-statistic 0.049163
Durbin-Watson stat 0.133634 Prob(F-statistic) 0.826484

10
Series: RESIDU_OKUN
Sample 1985 2009
8 Observations 25

Mean 7.11e-17
6 Median -0.128037
Maximum 5.297086
Minimum -3.592381
4 Std. Dev. 3.007287
Skewness 0.224698
Kurtosis 1.545424
2
Jarque-Bera 2.414322
Probability 0.299045
0
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6

Berdasarkan Jarque-Bera test pada level signifikansi lima persen ternyata residual dari
estimasi persamaan regresi di atas berdistribusi normal tetapi koefisien Output_Gap tidak
signifikan hal ini terjadi karena series datanya tidak terlalu panjang dan terjadi omitted variable.
Jika persamaan regresi dipaksakan untuk diinterpretasikan, setiap satu persen kesenjangan positif
ouput maka terjadi penurunan 2.22 persen tingkat pengangguran terbuka atau setiap satu persen
kesenjangan negative ouput maka terjadi peningkatan 2.22 persen tingkat pengangguran.
6. Koefisien Tenaga Kerja

Koefisien tenaga kerja (labor coefficient) adalah suatu bilangan yang menunjukan besarnya
jumlah tenagakerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit output, yaitu:

𝐿𝑖
𝑙𝑖 =
𝑋𝑖

Dimana:
𝑙𝑖 : Koefisien tenaga kerja pada sektor ke i
𝐿𝑖 : Jumlah tenaga kerja pada sektor ke i
𝑋𝑖 : Nilai tambah pada sektor ke i

Koefisien tenagakerja sektoral merupakan indikator untuk melihat daya serap tenagakerja di
masing-masing sektor.Semakin tinggi koefisien tenagakerja di suatu sektor semakin tinggi pula
daya serap tenagakerja di sektor tersebut.Koefisien tenagakerja yang tinggi pada umumnya
terdapat di sektor-sektor yang padat karya, sedangkan koefisien tenagakerja yang rendah terjadi di
sektor padat modal yang prosesnya didukung oleh teknologi tinggi.

Koefisien Tenaga Kerja (skala : 10-9) 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 123.38 113.44 92.65 76.04 57.72 48.48
Pertambangan dan Penggalian 5.04 2.93 2.52 2.26 1.98 1.95
Industri Pengolahan 17.18 15.72 12.93 11.57 9.09 8.67
Listri, Gas, dan Air 9.62 7.29 7.51 5.04 4.92 4.76
Bangunan 30.02 23.40 18.70 17.22 12.96 9.89
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel 51.88 41.49 38.31 34.70 30.69 29.24
Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi 38.52 31.30 24.46 22.55 19.79 17.36
Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan 5.79 4.95 5.00 4.59 3.97 3.68
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 44.39 37.39 33.77 30.19 27.20 24.40
Total 40.82 33.87 28.59 25.29 20.71 18.68
Sumber: BPS diolah

Berdasarkan hasil penghitungan ternyata sektor pertanian mempunyai nilai koefisien tenaga
kerja paling tinggi dibandingkan sektor lainnya selama periode 2004 – 2009, artinya sektor
tersebut mampu menyerap tenaga kerja (padat karya) lebih banyak daripada sektor lainnya tetapi
perkembangannya selama periode pengamatan terus menurun. Sedangkan sektor yang memiliki
nilai koefisien tenaga kerja paling rendah selama periode pengamatan adalah sektor pertambangan
dan penggalian, artinya sektor tersebut menyerap modal yang lebih banyak dan prosesnya
didukung teknologi tinggi dibandingkan sektor lainnya.
Umumnya pergerakan koefisien tenaga kerja semua sektor pada periode 2004 – 2009
menunjukkan kecenderungan menurun, artinya sekarang semua sektor berfokus untuk menyerap
permodalan lebih banyak dan sudah memulai memakai teknologi tinggi sehingga tenaga kerja yang
sedang dibutuhkan sudah berorientasi pada tenaga kerja terdidik dan terlatih serta sektor
pertanian walaupun masih sektor pada karya tetapi perlahan-lahan sudah mulai tergeser oleh
sektor industry pengolahan dan sektor perdagangan karena kecepatan nilai tambah yang
dihasilkan lambat
Perkembangan Koefisien Tenaga Kerja Per Sektor
140.00

120.00 Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan


Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
100.00
Industri Pengolahan

80.00 Listri, Gas, dan Air


10-9

Bangunan
60.00
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah
Makan, dan Hotel

40.00 Angkutan, Pergudangan dan


Komunikasi
Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan
20.00 Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan
Perorangan

0.00
2004 2005 2006 2007 2008 2009

Sumber: BPS diolah

7. Incremental Labour Output Ratio (ILOR)

ILOR adalah suatu ukuran yang menunjukkan besarnya tambahan tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk menaikkan satu unit nilai output. Secara umum pergerakan ILOR tahunan setiap
sektor tidak stabil. Dalam kurun waktu 2004 – 2009, sektor jasa kemasyarakatan memiliki ILOR
terbesar, yaitu 10.35, yang berarti untuk menaikkan nilai output pada sektor tersebut sebesar 1
milyar rupiah dibutuhkan 10 – 11 tenaga kerja. Sedangkan ILOR terkecil tercipta pada sektor listrik,
gas, dan air bersih yakni -0.23, artinya bahwa untuk menaikkan nilai ouput sebesar satu mikyar
rupiah pada sektor tersebut diperlukan pengurangan satu tenaga kerja.
ILOR 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2004-2009

Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 20.02 -16.99 9.85 0.72 1.97 1.90

Pertambangan dan Penggalian -1.26 0.34 0.96 0.76 1.66 0.31

Industri Pengolahan 7.61 -0.39 3.21 0.58 2.90 2.11

Listri, Gas, dan Air -11.36 9.12 -12.16 4.28 3.67 -0.23

Bangunan 0.58 2.35 10.31 1.63 0.35 2.34

Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel -19.19 18.69 14.75 6.73 12.28 7.40

Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi 4.50 0.22 9.01 4.60 -1.53 3.03

Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, 0.47 5.29 1.49 0.95 0.74 1.72
Tanah, dan Jasa Perusahaan

Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan -4.78 17.12 10.72 12.94 9.79 10.35

Sumber: BPS diolah

Perkembangan ILOR per Sektor


25.00

Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan


20.00 Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
15.00
Industri Pengolahan
10.00
Listri, Gas, dan Air
5.00
Bangunan

0.00
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah
2004 - 2005 2005 - 2006 2006 - 2007 2007 - 2008 2008 - 2009 Makan, dan Hotel
-5.00 Angkutan, Pergudangan dan
Komunikasi
-10.00 Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan
Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan

-15.00 Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan


Perorangan
Total
-20.00

-25.00

Sumber: BPS diolah


# : Alumnus STIS angkatan 46
Sekarang bekerja di BPS Kab. Waropen, Papua sebagai penanggung jawab seksi Stat.Distribusi
Tulisan ini dibuat atas nama pendapat pribadi bukan atas instansi.

Вам также может понравиться