Вы находитесь на странице: 1из 5

Ikrima Firda Maharani

012106188

Bacaan Gharib
1. Saktah
yaitu diam atau tidak bergerak. Dengan kata lain, berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa
bernafas dengan niat meneruskan bacaan. Dalam al Qur’an menurut bacaan Imam ‘Ashim
Riwayat Hafs ada 4, yaitu :
• Surat al Kahfi ayat 1: ‫قيما‬-‫ولم يجعل له عوج‬
• Surat Yasin ayat 52 : ‫ هذا ما وعدنا الرحمن‬- ‫من مرقدنا‬
• Surat al Qiyamah ayat 27 : ‫ راق‬- ‫وقيل من‬
• Surat al Muthaffifiin ayat 14 : ‫كال بل – ران‬

2. Imalah
yaitu memiringkan bacaan, dari fathah ke kasrah. Atau memiringkan alif ke ya’. Untuk imam
Hafs, bacaan imalah dalam al Qur’an Cuma ada di surat Hud ayat 41.
‫ مجراها‬yang seharusnya dibaca majraaha, menjadi majreeha.

3. Naql

Secara bahasa naql berasal dari kata ‫ل – نقال‬OO‫ل – ينق‬OO‫ نق‬berarti memindah; menggeser.
Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat suatu huruf ke huruf
sebelumnya, sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy,
yakni setiap ada al ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh ‫ باآلخرة‬terbaca ‫ بالخرة‬dan
‫ عذاب أليم‬terbaca ‫ عذابنليم‬.
Dalam riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata ‫( بئس االسم‬QS.
al-Hujurat:11). Alasan bacaan naql pada kata ‫ االسم‬yaitu terdapatnya dua hamzah washal
(hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif dan ismu
(salah satu dari sepuluh kata benda yang berhamzah washal), yang mengapit lam
sehingga menjadi tidak terbaca di kala sambung dengan kata sebelumnya. Di antara
manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya.

4. Penggantian Shad dengan Siin


Yakni mengganti shad dengan siin pada kata ‫( يبصط‬QS. al-Baqarah:245) dan ‫( بصطة‬QS. al-
A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali Kisa’i, Abu Ja’far
dan Khalad. (Ibid, 119) sedangkan pada ‫( بمصيطر‬QS. al-Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca
sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya dengan ‫( المصيطرون‬QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca
dengan mengganti shad dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya. (Ibid, 306)

Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu mengembalikan pada
asal katanya, sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu mengikuti rasm/khat utsmani al-Qur’an
dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat
isti’la’. (al-Qaisy, 1987:I/34)

5. Isymam
Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua
bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti ‫تعين‬OO‫ نس‬. Dalam bacaan Imam
Hisyam, diisymamkannya kata ‫ قيل‬dengan mencampur dlammah dan kasrah dalam satu
huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca isymam kata ‫راط‬OO‫ الص‬،‫راط‬OO‫ ص‬dengan
memadukan bunyi ‫ ص‬dan ‫( ز‬Abdul Fattah, 1981:15). Namun dalam bacaan Hafs
isymam hanya ada kata ‫( ال تأمنا‬QS. Yusuf:11), yakni lidah melafadzkan ‫ ال تأمننا‬tanpa ada
perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya ‫ال تأمنّا‬.
Secara bahasa bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua nun yang
diidharkan, yang awal didlammah dan kedua difathahkan (Ibid, 161). Sementara itu rasm
al-Qur’an hanya menulis satu nun sehingga untuk mempertemukan keduanya dipilih
jalan tengah yaitu secara bunyi mengikuti rasm dan gerakan bibir mengikuti kata asal.

6. Tash-hil
Arti tash-hil secara bahasa “memberi kemudahan atau keringanan”, sedangkan dalam
istilah qiraat, tash-hil diartikan membaca hamzah kedua (dari dua hamzah yang
beriringan) dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti ‫ أأنتم‬،‫ أأنذرتهم‬dan lain-lain.
Hanya saja dalam riwayat Hafs bacaan tash-hil hanya satu yaitu ‫( أأعجمي وعربي‬QS. al-
Fushshilat:44). Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka
melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini
bisa meringankan.
Juga ada tash-hil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan
Imam Nasr Makky ada enam tempat, yaitu
1. Surat al-An’am ayat 143 : ‫ن‬Oِ ‫قُلْ َءال َّذ َك َر ْي ِن َح َّر َم أَ ِم اأْل ُ ْنثَيَ ْي‬
2. Surat al-An’am ayat 144 : ‫ن‬Oِ ‫قُلْ َءال َّذ َك َر ْي ِن َح َّر َم أَ ِم اأْل ُ ْنثَيَ ْي‬
3. Surat Yunus 51 : َ‫آآْل نَ َوقَ ْد ُك ْنتُ ْم بِ ِه تَ ْستَ ْع ِجلُون‬
4. Surat Yunus 91 : َ‫َصيْتَ قَ ْب ُل َو ُك ْنتَ ِمنَ ْال ُم ْف ِس ِدين‬ َ ‫آآْل نَ َوقَ ْد ع‬
5. Surat Yunus 59 : ‫قُلْ آهَّلل ُ أَ ِذنَ لَ ُك ْم أَ ْم َعلَى هَّللا ِ تَ ْفتَرُون‬
6. Surat al-Naml 59 : َ‫( آهَّلل ُ َخ ْي ٌر أَ َّما يُ ْش ِر ُكون‬Nashr Makky, 137)
7. Madd & Qasr
Dalam qiraat sab’ah khususnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm
utsmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di antaranya :
a- ‫ ملك‬terbaca ‫مالك‬
Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca
pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an :‫قل اللهم‬
‫ مالك الملك‬dan bukan ‫ ملك الملك‬juga karena maalik berarti dzat yang memiliki, sedangkan malik
berarti tuan atau penguasa sehingga dalam al-Quran Allah berfirman: ‫ ملك الناس‬yang berarti
tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti itu untuk kata hari pembalasan ‫يوم الدين‬
(al-Qaisy, I/26).
b-‫ أنا‬terbaca ‫ أن‬ketika washal
Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata ‫( أنا‬dlamir yang berarti
saya), adalah karena alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana
menambahkan ha’ ketika berhenti (‫) هاء السكت‬. Ketika ada kata benda yang hurufnya sedikit
lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi tambahan alif itu agar
bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika washal
karena nun sudah berharakat. (al-Qaisy, 1987:II/61)
Ada juga lafadz yang mirip dengan ‫ أنا‬yaitu ‫( لكنا‬QS. Al-Kahfi:38), yakni dibaca pendek
ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari ‫ لكنا‬adalah + ‫لكن‬
‫ أنا‬dan bukan ‫ نحن‬+ ‫ لكن‬.
c- ‫ قواريرا‬،‫ الظنونا‬،‫الرسوال‬
Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin,
sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa tanwin.
Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul, keduanya
mewaqafkan tanpa alif (al-Qaisy, 1987:II/352).
Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khat
mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca, khusus kata ‫قواريرا‬
tidak ditanwin karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif.
Sedangkan ‫بيال‬OO‫ الس‬،‫ الرسوال‬،‫ الظنونا‬meskipun bukan termasuk jama’ akan tetapi ia disamakan
dengan syair yang akhir baitnya (qafiyah) terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif
(Ibid, II/353).
8. Memfathah atau mendlammah dlad
Dalam al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ‫ضعْف‬
(QS. al-Ruum:54). Kata tersebut adalah masdar dari ‫ َعف‬O ‫عُف – يض‬O ‫ ض‬. Para ulama qira’ah
berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan syu’bah memfathah dlad dan
ulama lainnya -kecuali Imam Hafs- membacanya dengan dlammah. Sedang Imam Hafs
sendiri membaca fathah dan dlammah.
Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ‫ َعف‬O ‫عُف – يض‬O ‫ ض‬itu
mempunyai dua masdar yaitu ‫ضعْف‬
َ dan ‫ضعْف‬
ُ , sebagaimana yang terjadi pada kata ‫ فقر‬juga
mempunyai dua masdar yakni ‫ فَ ْقر‬dan ‫( فُ ْقر‬al-Qaisy, II/213).

9. Shilah
Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dlamir
yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti ‫ به‬،‫ه‬OO‫ ل‬dan juga untuk
menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, inilah ijma para ulama
qira’ah (al-Qaisy, 1987:I/44), sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka
dibaca pendek, seperti ‫ إليه‬،‫ه‬OO‫من‬. Para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang
menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka
membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih. (Ibid, I/42)
Dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjangkan walau didahului huruf
mati seperti ‫ه مهانا‬OO‫د في‬OO‫( ويخل‬QS. al-Furqan:69). Dalam hal ini Imam Hafs sama bacaannya
dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang). Alasannya diketahui bahwa ha’
adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka
sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan Arab
sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi ‫ فيهي‬atau ‫عليهي‬
(al-Qaisy, I/42). Dan ada pula ha’ yang dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati)
dengan mendlammahkan ha’ tanpa shilah, yaitu ‫( يرضه لكم‬QS. Al-Zumar:7), bacaan seperti
juga dijumpai pada bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub (Abdul Fattah, 1981:274).
Alasan dipanjangkannya kata ‫ فيه‬yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang mana ‫ـه‬
berasal dari kata ‫ هو‬. Ketika digabung dengan ‫ في‬menjadi ‫ فيهو‬, akan tetapi ha’ didahului ya’
sukun yang identik dengan kasrah sehingga harakat ha’ harus disesuaikan dengan harakat
sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikannya dengan
kasrah sehingga menjadi ‫ فيهي‬dan huruf mad diganti dengan harakat kasrah berdiri: ‫ فيه‬.
Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata ‫ يرضه‬dan semacamnya yaitu
mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’.
10. Izhar Mutlak
Izhar mutlak menurut etimologi berarti memperjelas dan menerangkan. Menurut istilah
tajwid berarti melafalkan huruf-huruf izhar dari makhrajnya tanpa disertai dengung.
Dinamakan mutlak karena tidak ada kaitannya dengan kerongkongan atau bibir. Izhar mutlak
terjadi apabila nun sukun( ْ‫) ن‬bertemu dengan ‫ ي‬atau ‫ و‬dalam satu kata. Izhar semacam ini
dalam Alquran hanya terdapat pada empat tempat yaitu: ( ‫ قنوان‬- ‫ صنوان‬- ‫ بنيان‬- ‫ ) الدنيا‬dan ( ‫يس‬
‫ )والقرآن الحكيم‬, (‫ ) ن والقلم وما يسطرون‬karena aturan bacaan kedua-duanya adalah izhar mutlak
walaupun berada dalam dua kata. Hal ini sesuai dengan bacaan yang diriwayatkan oleh Imam
Hafsh.

11. Basmalah dalam Surat Taubat


Dalam Mushaf Utsmani semua surat al-Qur’an diawali dengan basmalah kecuali surat
al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu Ubay bin Ka’ab berkata bahwa
Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di setiap awal surat, dan tidak
memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah, oleh karenanya surat tersebut
digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya keserupaan keduanya.
Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah itu
berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan.
(al-Qaisy, 1987:I/20)

Вам также может понравиться