100%(1)100% нашли этот документ полезным (1 голос)
2K просмотров10 страниц
Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan dalam agama Hindu sebagai manifestasi berbagai dewa dan dewi. Tulisan ini menjelaskan konsep Tuhan dalam teologi Hindu melalui pembahasan tentang dewa-dewa utama dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Filsafat ketuhanan dalam Hindu dapat berupa monoteisme, monisme, atau pandangan lain tentang sifat Tuhan.
Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan dalam agama Hindu sebagai manifestasi berbagai dewa dan dewi. Tulisan ini menjelaskan konsep Tuhan dalam teologi Hindu melalui pembahasan tentang dewa-dewa utama dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Filsafat ketuhanan dalam Hindu dapat berupa monoteisme, monisme, atau pandangan lain tentang sifat Tuhan.
Авторское право:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Доступные форматы
Скачайте в формате DOC, PDF, TXT или читайте онлайн в Scribd
Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan dalam agama Hindu sebagai manifestasi berbagai dewa dan dewi. Tulisan ini menjelaskan konsep Tuhan dalam teologi Hindu melalui pembahasan tentang dewa-dewa utama dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Filsafat ketuhanan dalam Hindu dapat berupa monoteisme, monisme, atau pandangan lain tentang sifat Tuhan.
Авторское право:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Доступные форматы
Скачайте в формате DOC, PDF, TXT или читайте онлайн в Scribd
Kata sraddha yang merupakan topik dari tulisan ini mengandung makna yang sangat luas yakni keyakinan atau keimanan. Ajaran agama Hindu yang dapat digolongkan ke dalam Sraddha yang disebut Panca Sraddha yang merupakan 5 jenis keyakinan atau keimanan Hindu, yaitu a) Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha, keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi-Nya. b) Atma Tattwa atau Atma Sraddha, keimanan terhadap Atma yang menghidupkan yang menghidupkan semua makhluk. c) Karmapala Tattwa atau Karmapala Sradhha, keimanan terhadap kebenaran hukum sebab akibat atau buah dari perbuatan. d) Samsara atau Punarjanma Tattwa Sraddha, keimanan terhadap kelahiran kembali. e) Moksa Tattwa atau Moksa Sraddha, keimanan terhadap kebebasan yang tertinggi bersatunya Atma dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya untuk menempuh berbagai jalan yang dirasakan cocok oleh pribadi yang bersangkutan. Dalam agama hindu kita ada empat jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha esa, yakti melalui Bhakti Marga (Jalan Kebaktian), Karma Marga (Jalan Perbuatan), Jnana Marga (Jalan Pengetahuan) dan Yoga Marga (jalan spiritual/meditasi).
1.2 Brahmavidya (Teologi)
Menurut Rgveda VIII.57.2, juga Brhadaranyaka Upanisad III.9.1, dijelaskan bahwa seluruh deva-deva berjumlah 33 Deva, menguasai Tri Bhuwana (Bhur, Bhuvah, Svah Loka, yaitu bumi, langit, dan sorga). Seluruh deva-deva itu terdiri dari 8 Vasu (Astavasu), 11 Rudra (Ekadasarudra), 12 Aditya (Dvadasaditya), serta Indra dan Prajapati. Deva-deva Astavasu adalah sebagai berikut. 1. Anala atau Agni (deva api) 5. Pratyusa atau Surya (deva matahari) 2. Dhava atau Prthivi (devi bumi) 6. Aha atau Savitr (deva antariksa) 3. Anila atau Vayu (deva angin) 7. Candra atau Soma (devi bulan) 4. Prabhasa atau Dyaus (deva langit) 8. Druva atau Druha (deva konstelasi planet)
Tuhan Yang Maha Esa 1
Created by Wraspana & Devik Deva-deva Ekadasarudra adalah sebagai berikut.1) Aja Ekapat, 2)Ahirbudhnya, 3)Virupaksa, 4)Suresvara, 5)Jayanta, 6)Bahurupa, 7)Aparijita, 8)Stivitra, 9)Tryambaka, 11)Vaivasvata. Ekadasarudra dalam tubuh manusia dihubungkan dengan Prana dan Atma. Dalam ajaran Tantra, 11 Rudra dihubungkan atau disimboliskan dengan 11 aksara yaitu DA, DHA, NA, TA, THA, DA, DHA, NA, PA PHA, dan BA. Rudra sering diidentikkan dengan aspek Krodha dari Siva sebagai penguasa 11 penjuru di alam semesta. Deva-deva Dvadasaditya terdiri dari enam pasang deva yaitu sebagai berikut. 1)Mitra- Varuna, 2)Aryaman-Daksa, 3)Bhaga-Amsa, 4)Tvastr-Savitr, 5)Pusan-Sukra, 6)Vivasvat- Visnu. (Rgveda 11.27.1). Menurut arti katanya, kata Aditya berarti hokum tertinggi. Dalam hal ini, Tuhan Yang Maha Esa dilambangkan sebagai hokum tertinggi. Tuhan adalah penguasa atas hukum tertinggi dan sebagai pengatur alam semesta. Keenam pasang deva-deva tersebut merupakan wujud deva yang transcendent dan immanent sebagai berikut. Deva-deva Dvadasaditya adalah sebagai berikut. 1) Transendent :Mitra (sahabat), Aryawan (mengalahkan musuh), Bhaga ( pemurah), Tvastr (pembentuk), Pusan (energi), Vivasvat (gemerlapan). 2)Immanet :Varuna (langit), Daksa (akhli), Amsa (yang bebas), Savitr (pelebur), Sukra (kekuatan), Visnu (yang meresapi). (Rgveda : X.632.1.72.9.VII.10.3.Atharaveda XIII.1.38). Di dalam Rgveda X.36.14 disebutkan adanya deva-deva yang datang dari penjuru alam yang dikenal dengan Devata Astadikpalaka (penguasa atau pelindung 8 penjuru) pada zaman Purana. Di Bali (Indonesia), deva-deva tersebut disebut dengan Devata Nava Sanga (Siva sebagai penguasa tengah). Devata Astadikpalaka adalah sebagai berikut. 1. Utara : Kuvera 5. Timur Laut : Isana 2. Timur : Indra 6. Tenggara : Agni 3. Barat : Varuna 7. Barat Daya : Surya 4. Selatan : Yama 8. Barat Laut : Vayu Devata Nava Sanga adalah sebagai berikut. 1. Utara : Visnu 5. Timur Laut : Sambhu 2. Timur : Isvara 6. Tenggara : Mahesvara 3. Barat : Mahadeva 7. Barat Daya : Rudra 4. Selatan : Brahma 8. Barat Laut : Samkara Pengenalan kedudukan Devata Nava Sanga beserta “Laksana” atau atribut-Nya berhubungan dengan upacara Yadnya sesuai dengan ajaran Tantrayana dan Siva Siddhanta
Tuhan Yang Maha Esa 2
Created by Wraspana & Devik yang sangat besar pengaruhnya di Indonesia (khususnya di Bali) seperti upacara Ekadasarudra, Panca Balikrama, dan Tawur Kesanga. Pandangan agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau ajaran ketuhanan menurut ajaran agama disebut teologi dan bersifat sebagai keimanan atau diyakini oleh pemeluknya. Filsafat ketuhanan berdasarkan pendekatan pikiran (rasional) sesuai dengan filsafat. Di dalam filsafat ketuhanan, pandangan tentang Tuhan Yang Maha Esa dapat beraneka ragam sebagai berikut. 1. Animisme yaitu keyakinan terhadap adanya roh bahwa segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda pula. 2. Dinamisme yaitu keyakinan terhadap adanya kekuatan-kekuatan alam. Kekuatan ala mini dapat berupa makhluk (personal) ataupun tanpa tanpa wujud. Tuhan juga disebut sebagai Super Natural Power (kekuatan alam yang tertinggi). 3. Totemisme yaitu keyakinan terhadap adanya binatang keramat yang sangat dihormati. Binatang tersebut diyakini memiliki kesaktian. Umumnya, binatang mitos, juga binatang tertentu di ala mini yang dianggap keramat. 4. Polytheisme yaitu keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan. Wujud Tuhan berbeda-beda sesuai dengan keyakinan manusia. 5. Natural Polytheisme yaitu keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan sebagai penguasa berbagai aspek alam, misalnya Tuhan Matahari, Angin, Bulan, dan sebagainya. 6. Henotheisme atau Kathenoisme yaitu keyakinan terhadap adanya Deva yang tertinggi pada suatu masa, akan digantikan oleh Deva yang lain sebagai deva tertinggi. 7. Pantheisme yaitu keyakinan bahwa dimana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam digambarkan dikuasai oleh Tuhan. Dalam pandangan Pantheisme, ihwal ketuhanan termaktub (immanent) di alam semesta. Dalam pandangan monotheisme, ihwal Ketuhanan direnggut dari alam semesta dan dibuat di luar pengertian dan pengalaman manusia (transcendent). 8. Monotheisme yaitu keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa (Tuhan Yang Satu). Keyakinan ini terdiri dari sebagai berikut. a. Monotheisme transcendent yaitu keyakinan yang memandang Tuhan Yang Maha Esa berada jauh di luar ciptaan-Nya. Tuha Yang Maha Esa Maha Luhur tidak terjangkau oleh akal dan pikiran manusia.
Tuhan Yang Maha Esa 3
Created by Wraspana & Devik 9. Monotheisme immanent yaitu keyakinan yang memandang bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya, tetapi Tuhan Yang Maha Esa berada di luar dan di dalam ciptaan-Nya. 10. Monisme yaitu keyakinan terhadap adanya Keesaan Tuhan yang merupakan hakikat alam semesta. Esa dalam segalanya. Segalanya berada di dalam Yang Esa. Sebuah kalimat Brhadaranyaka Upanisad menyatakan “Sarvam Khalvidam Brahman” (Segalanya adalah Tuhan Yang Maha Esa). Berdasarkan filsafat ketuhanan, teologi Veda adalah Monotheisme Transcendent, Monotheisme Immanent, dan Monisme. Tuhan yang tidak tergambarkan dalam pikiran dan tiada kata-kata yang tepat untuk memberikan batasannya kepada-Nya dinyatakan dengan Brahmasutra : “Tad avyaktam, ahahi” sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa itu tidak terkatakan, demikian kitab suci telah mengatakannya. Pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang Berpribadi dan Tidak Berpribadi, dijelaskan dalam Adhyaya XII Bhagavadgita (Bhakti Yoga) yang menyatakan : menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang abstrak (Impersonal God) tanpa mempergunakan sarana jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyembah Tuhan Yang Personal God melalui Bhakti dan Karma Marga. Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God (Tuhan Berpribadi). Penggambaran ini dibedakan dalam tiga kategori yaitu sebagai berikut. 1. Penggambaran Anthrophomorphic (sebagai manusia dengan kelebihan seperti bermata seribu, berkaki tiga, bertangan empat, dan sebagainya). 2. Penggambaran Semianthrophomorphic (sebagai setengah manusia atau setengah binatang). Hal ini lebih menonjol dalam Purana seperti Deva Ganesa yang merupakan manusia berkepala gajah, Hayagriwa yang merupakan manusia yang berkepala kuda, dan sebagainya. 3. Penggambaran Unanthrophomorphic (tidak sebagai manusia tetapi sebagai binatang saja, misalnya Garutman atau Garuda dan sebagai tumbuh-tumbuhan misalnya Soma, dan sebaginya. Terhadap beraneka penggambaran deva-deva sebagai manifestasi atau wujud pribadi Tuhan Yang Maha Esa. Svami Sivananda dalam bukunya All About Hinduism (1993:138) menyatakan : Hinduisme sangatlah universal, bebas, toleran, dan luwes. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hinduisme : karena dalam Hinduisme tersedia tempat bagi semua tipe roh dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan mereka.
Tuhan Yang Maha Esa 4
Created by Wraspana & Devik 1.3 Implementasi dan Aplikasi 1.3.1 Implementasi Sraddha dan Bhakti dengan Yadnya Dalam pelaksanaan ajaran Sraddha dan Bhakti, kita dapat menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui empat jalan yang disebut Catur Marga. Bhakti Marga atau Bhakti Sraddha sering juga disebut Bhakti Yoga adalah jalan yang paling mudah dilaksanakan oleh Umat Hindu umumnya. Dari berbagai bentuk pelaksanaan Tri Sandhya, sembahyang dan berdoa merupakan jalan yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh setiap orang, disamping tentunya membuat berbagai upacara persembahan, pembangunan tempat pemujaan, arca dan berbagai symbol keagamaan yag pada intinya adalah untuk meningkatkan Sraddha dan Bhakti kepada Tuhan Yang Maha esa. Dalam meningkatkan Sraddha dan Bhakti Umat Hindu di Bali mengenal adanya yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan yang dalam istilah Bali masyarakat Hindu menyebutkan Ida Sanghyang Widi Wasa.yang dibagi kedalam Panca Yadnya yang terdiri dari: 1. Upacara Dewa Yadnya Adanya pemujaan kehadapan dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini. Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu Pengetahuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina (sejenis alat musik), genitri (semacam tasbih), pustaka lontar bertuliskan sastra ilmu pengetahuan di dalam kotak kecil, serta bunga teratai yang melambangkan kesucian. 2. Upacara Bhuta Yadnya Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka / Kalender Bali). Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci yang merupakan persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan. 3. Upacara Manusa Yadnya Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak
Tuhan Yang Maha Esa 5
Created by Wraspana & Devik terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Adapun beberapa upacara Manusa Yadnya adalah : a. Upacara Bayi Lahir b. Upacara Tutug Kambuhan, Tutug Sambutan dan Upacara Mepetik. c. Upacara Perkawinan 4. Upacara Pitra Yadnya (Ngaben ) Upacara Pitra Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu. Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah merubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan akasa. Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina digunakan api pralina (api alat kremasi). 5. Upacara Rsi Yadnya Upacara Resi Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas sebagai penghormatan serta pemujaan kepada para Resi yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-bathin di dunia dan akhirat. Demikian Upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali sampai sekarang yang mana semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyakat Hindu di Bali selalu didasari atas Yadnya baik kegiatan dibidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, pertanian, keamanan dan industri semua berpedoman pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan dari para leluhur Hindu di Bali. Seiring dengan berjalannya waktu dimana budaya yang semakin terpuruk begitu juga yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali. Masyarakatnya yang telah sedikit demi sedikit telah meninggalkan budaya Bali. Bali bukan lagi Bali yang dulu lagi, yang dahulu indah alamnya, dan lestari budayanya, damai (shanti) dan toleran masyarakatnya, dll. Alam dan manusia seolah sangat erat bersahabat, dan kejujuran (satyam) terpancar dari gerak dan tingkah laku tutur kata kehidupan masyaraknya. Namun Bali kini sedang diselimuti berbagai masalah, tantangan sangat komplek, sehingga seolah sukar diurai ujung pangkalnya. Adapun hal – hal yang perlu di perhatikan yaitu: a. Parahyangan 1. Banyak sudah umat kita yang secara sadar telah meninggalkan keyakinannya. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan. 2. Beberapa tempat ibadah (pura) sudah tidak terurus dan ada yang digusur.
Tuhan Yang Maha Esa 6
Created by Wraspana & Devik 3. Sementara umat yang ada di luar Bali sangat sulit untuk membangun rumah ibadah. 4. Rumah ibadah non-Hindu semakin banyak. b. Pawongan 1. Terjadi kesenjangan ekonomi, antar daerah dan wilayah (utara – selatan) 2. Rendahnya tingkat partisipasi pendidikan, khususnya di pedesaan dan umumnya perempuan. 3. Angka penyandang buta aksara >5% (Direktoran Pendidikan Luas Sekolah, 2007) 4. Kantong – kantong kemiskinan meningkat di semua kabupaten dan kota (data Bali Post 12 Juli 2006) 5. Umat tidak sepenuhnya menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, sector - sector ekonomi (usaha) tidak dikuasai oleh umat. Umat kebanyakan hanya sebagai pembantu (pramu saji, pramu wisma, pramu niaga, sopir taksi, tukang, buruh, tenaga upahan lain) di negeri sendiri, baik pada sector informal dan formal 6. Meski Bali mengandalkan (dominasi) sector pariwisata, namun yang menikmati bukan umat kebanyakan. Umat kebanyakan bukan menjadi pemain utama, sebagain umat hanya jadi penenton dan tetap miskin dan terbelakang 7. Pengangguran juga meningkat, karena semakin sulit dan terbatasnya lapangan kerja (termasuk pengangguran tenaga terdidik) 8. Kriminalitas (pencurian) bermotif ekonomi juga meningkat deras terutama di kota- kota, dan khusus pada momen (bulan) tertentu. Misal menjelang Hari Raya Tertentu. c. Palemahan 1. Lingkungan (ekosistem) Bali sudah banyak rusak, seperti pantai banyak tergusur, dataran banyak yang sudah bepeng-bopeng, sehingga Bali seolah –olah menjadi lebih sempit 2. Kawasan hutan juga banyak rusak, karena adanya perambah liar 3. Konversi lahan pertanian (sawah dan tegalan) menjadi kawasan perumahan dan industri. 4. Banjir dan tanah longsor yang terjadi baru-baru ini, adalah indikasi kuat rusaknya ekosistem di Bali. d. Permasalahan dalam Masyarakat 1. Masalah sosial yang semakin meningkat, seperti banyak komplik, kekerasan antar banjar, bahkan komplik dalam keluarga (saudara) sering kita dengar (komplik sesama orang Bali, moral hazard) 2. Meningkatnya jumlah orang yang menggunakan obat psikotropika (narkoba)
Tuhan Yang Maha Esa 7
Created by Wraspana & Devik 3. Kehidupan bebas, materialistik, egoistik semakin terasa, serta semakin jauh dari nilai humanism 4. Kehidupan sek bebas juga semakin terbuka, dll., termasuk adanya lokasi PSK. 5. Permasalahan struktur sosial (kasta) juga menjadi isu yang belum selesai. Hal ini sekaligus menunjukkan masih adanya keangkuhan sosial 6. Komplik antar lembaga pembina agama, juga belum terselesaikan 7. Bali belum bebas dari ancaman terorisme, dll Hal tersebut terjadi karena ada akar permasalahannya yang diantaranya: 1. Lemahnya kesadaran Sraddha kita. Jika dianalis Umat Hindu kita tidak memahami keyakinannya sendiri (filosofi). Apa makna atau hakekat Sraddha tsb. Dalam Bhagavad Githa disebut sebagai The Science of being (Ilmu Pembebasan manusia dari segala keterikatan dan kebodohan, Shrada merupakan sepirit untuk bangkit, untuk bekerja keras, untuk pengabdian, mencapai kebahagian abadi untuk semua kehidupan). Mereka juga sangat minim pengetahuannya terhadap tata kerama (etika, karma) kehidupan yang dalam Bhagavad Githa disebut sebagai The art of living. Hal ini bersumber karena kelemahan Sraddha 2. Praktek keagamaan yang disebut dengan ritual (dengan konsep panca Yadnya) sangat marak, namun Yadnya diartikan dalam dimensi upacara saja bhakti ke YME, yang sempit tanpa makna universal (hakekat kehidupan, the nature of life) sebagai hakekat (esensi) agama itu sebenarnya. Yadnya yang demikian tidak optimal dalam meningkatkan kualitas hidup manusia (fisikal dan spiritual) dan memelihara kelestarian alam Bali 3. Ketidak seimbangan praktek Yadnya vertical (upacara, dengan cost yang berlimpah) dengan praktek Yadnya horizontal (membangun nilai – nilai kemanusiaan, membangun harkat dan martabat manusia dan seluruh kehidupan) 4. Kepedulian Pemerintah Bali terhadap umat, misleading, tidak tepat sasaran, tidak tepat pada akar maslahnya, termasuk kepedulian terhadap umat Hindu di luar Bali. 5. Konsep pembangunan (perizinan) pemerintah tidak sepenuhnya berpihak kepada orang Bali dan atau umat Hindu, terutama dalam kaitannya dengan membangun keajegan Bali. Pemerintah cenderung lebih banyak mengejar keuntungan sementara melalui peningkatan PAD, tanpa peduli akibatnya di masa depan (pembangunan hotel, resort, pemungkinan, industri, dll), dengan menggusur lahan pertanian, kawasan hutan, wilayah suci, dll. Sementara izin pembangunan tempat ibadah non- Hindhu marak.
1.3.2 Usaha dan Sarana untuk Memuja-Nya
Jalan untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa disebut Marga atau Yoga, yang jumlahnya empat sehingga disebut dengan Catur Marga atau Catur Yoga. Sarana
Tuhan Yang Maha Esa 8
Created by Wraspana & Devik untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa bermacam-macam, di antaranya untuk membayangkan Tuhan Yang Mah Esa dibuatkan pratika, cihnam laksanam, lingam, samjna, pratirupa (Apte, 1987 :460). Selain itu, dikenal pula istilah arca, pratima, prativimba, Nyasa, Murti, dan lain- lain yang mengandung makna bentuk-bentuk perwujudan-Nya. Di samping itu, juga dikenal adanya Tirtha dan Ksetra, yakni mata air, tepi sungai atau tepi laut dan daratan yang mempunyai potensi sebagai tempat kemunculan kekuatan suci. Kekuatan suci mendukung kawasan itu menjadi suci, yang menjadikan tempat itu menjadi menarik, sangat menyolok, atau menumental yang memberikan semangat yang tinggi kepada yang memiliki perhatian kepada orang-orang yang langsung datang dan berkonsentrasi (mediatsi) di kawasan tersebut. Pada tempat-tempat tersebut “para dewa terlihat bercengkrama” (Kramrich, 1991:3). Di Bali, kawasan tertentu seperti Besakih, Tanah Lot, Uluwatu, Sakenan, Pantai Klotok, Tirtha Empul, Tampak Siring, dan lain-lain merupakan kawasan suci, yang sejak zaman purba telah terpelihara kesuciannya. Sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa dan roh-roh suci para Rsi dan leluhur adalah Pura, Mandira, Kuil, Kahyangan, dan sebagainya. Pura seperti halnya meru atau candi ( dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari kosmos atau alam sorga (Kahyangan). Seperti pula yang diungkapkan oleh Dr. Soekmono pada akhir kesimpulan yang menyatakan bahwa candi bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan atau pura). Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sezaman. Selanjutnya secara diakronis, candi tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia (1974 : 242). Untuk membuat pura itu indah, maka bangunan pura harus memenuhi atura untuk itu yang tertuang dalam Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi (Arsitektur Tradisional Bali). Demikianlah berbagai ukiran, ornamentasi baik jenis fauna maupun flora atau kombinasi keduanya senantiasa menghiasi sebuah pura. Sejak seseorang mulai masuk dari candi bentar, menuju Kori Agung sampai Jeroan, sesungguhnya seperti seseorang menuju sorga atau seseorang menuju puncak gunung. Candi bentar adalah pangkal gunung, kori Agung adalah lereng gunung dengan Bhoma sebagai hutan yang lebat yang harus dilewati dengan berbagai binatang buasnya. Jeroan pura adalah puncak gunung yang maha suci. Sang Widhi bersthana di Padmasana, para dewa bersthana di meru-meru sesuai dengan tingkatan manifestasi-Nya, bahkan para Devata yang tidak dibuatkan tempat (tidak memiliki Meru atau Gedong pada waktu upacara besar berlangsung. Beliau disthanakan pada bangunan sementara yang disebut Dangsil. Oleh karena Sang Hyang Widhi, para Devata, manifestasi-Nya serta para leluhur adalah Mahasuci, maka seseorang yang akan sembahyang terlebih dahulu harus mensucikan
Tuhan Yang Maha Esa 9
Created by Wraspana & Devik diri lahir dan batin.atau di tepi pantai, di tengah-tengah desa atau sawahm hutan atau tempat- tempat yang lain yang dipandang telah memenuhi syarat-syarat tempat pembuatan Pura misalnya tanahnya berbau harum dan sebagainya, dapat dibangun sebuah pura. Gunung diyakini sebagai sthana suci, maka Purapun harus dibuat sedemikian indah dengan konsepsi Segara Giri, bila Pura dibangun di lereng gunung, diharapakan kelihatan laut, sebaliknya bila pura dibangun di tepi pantai, diharapkan pula supaya puncak gunung kelihatan. Tempat pemujaan Tuhan Ynag Maha Esa tidak hanya di lereng gunung at Pada saat upacara Sang Hyang Widhi, para Devata, dan roh suci leluhur dimohon untuk hadir, sebagai tamu Agung yang patut menerima persembahan umat baik berupa sesajen (makanan dan minuman yang lezat) bhusana, tari-tari wali, lagu kidung wargasari, tabuh gamelan (gong) lelambatan, suara kentongan bertalu, dan bau dupa/kemenyan yang dibakar akan membantu mewujudkan kesucian itu. Umat sangat berbahagia mempersembahkan yang terbaik milik-Nya. Selanjutnya, umat mohon waranugraha berupa air suci kehidupan (Tirtha Amrta) dan bija sebagai simbolis benih-benih kebajikan. Sarana pemujaan lainnya adalah berupa bangunan seperti Dangsil (meru sementara yang memakai atap janur atau daun aren yang dihias indah, Sanggar Tawang (altar dari bamboo sebagai sthana Sang Hyang Surya, saksi Agung alam semesta), Jempana (sarana mengusung arca/pratima atau daksina pelinggih), umbul-umbul dan pengawin, dan lain-lain. Sarana lainnya berupa upakara atau sesajen yang merupakan persembahan dari yang sangat sederhana sampai yang besar bergantung kemampuan dan keikhlasan umat untuk mempersembahkan. Untuk menyampaikan persembahan tersebut di atas, dipergunakan berbagai sarana seperti arca, pura, kelengkapan upacara persembahan, dan lain-lain. Untuk menyampaikan hal tersebut, umat Hindu melakukan pemujaan. Puja adalah istilah umum bagi pemujaan ritual, di sana terdapat sejumlah persamaan seperti arcane vandana, bhajana, dan sebagainya. Walaupun di antaranya menekankan pada aspek-aspek tertentu, objek pemujaan adalah Ista Devata atau Devata dalam wujud tertentu dari manifestasi-Nya, di antaranya yang popular adalah Siva, Visnu, Brahma, Sarasvati, dan lain-lain. Kadang-kadang para penyembah memilih Kuladeva atau Kuladevi-Nya yaitu para keluarga Deva atau Devi sebagai sasaran pemujaan, Kadang-kadang Ista Devata dipilihkan oleh guru atau pengajar spiritual-Nya. Kadang-kadang mereka memilih Ista Devata yang paling berkenan pada mereka.