Вы находитесь на странице: 1из 109

Edisi Keempat

Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung

MODUL 7
SISTEM IMUN DAN KULIT

BUKU PEGANGAN TUTOR

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung


Alamat: JL. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang 50112
PO Box 1054/SM
Telepon. (024) 6583584
Facsimile: (024) 6594366
Modul 7 : Sistem Imun dan Kulit
Buku Modul

Copyright @ by Faculty of Medicine, Islamic Sultan Agung University.


Printed in Semarang
Frist printed: 2005
Second printed : 2007
Third printed : 2008

Designed by: Iwang yusuf


Cover Designed by: Iwang Yusuf
Published by Faculty of Medicine, Islamic Sultan Agung University
All right reserved

This publication is protected by Copyright law and permission should be


obtained from publisher prior to any prohibited reproduction, storage in a
retrieval system, or transmission in any form by any means, electronic,
mechanical, photocopying, and recording or likewise
TIM MODUL

2
Iwang Yusuf
Department of Medical Biology

Masfiyah
Department of Microbiology

Pasid Harlisa
Department of Dermatology

Hesti
Department of Dermatology

KONTRIBUTOR

Core Disiplin:

3
1. Medical Biology devision of Immunobiology
2. Biochemistry
3. Microbiology
4. Dermatology
Suplementary disiplin:
a. Anatomy & Histology
b. Parasitology
c. Pathology of Anatomy
d. Clinical Pathology
e. Farmocology
f. Nutrient
g. Internal Medicine
h. Surgery

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

4
Assalamu’alaikum Wr. Wb,

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Rob seluruh alam


yang telah memberikan karunia kepada kami hingga kami dapat
menyelesaikan modul sistem imun dan kulit ini.
Modul Kulit dan Imun ini terdiri dari 5 lembar belajar mahasiswa yang
masing-masing memiliki area kompetensi, kompetensi inti, komponen
kompetensi, dan sasaran pembelajaran sebagaimana yang diatur dalam
STANDAR KOMPETENSI DOKTER yang ditetapkan oleh Kolegium
Kedokteran Indonesia ( KKI ). Tiap unit belajar berisi Lembar Belajar
Mahasiswa (LBM) dengan beberapa kegiatan belajar mencakup materi
tentang imunologi dan penyakit kulit. Kegiatan belajar didalamnya berupa
diskusi, kuliah, praktikum dan laboratorium ketrampilan yang meliputi
Anamnesis, pemeriksa klinik, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan
dari triger yang berupa materi tentang Rhematoid Arthritis (RA), Sistemik
Lupus Erythematosus (SLE), HIV AIDS, infeksi jamur pada kulit dan kelainan
pada kelenjar sebacea.
Meskipun sistim imum dan Kulit yang dikenalkan lewat modul ini
hanya berkisar pada 5 lembar belajar mahasiswa di atas, namun bukan berarti
bahwa cakupan masalah berhenti sampai di sini. Konsultasi, membaca artikel
dan jurnal penelitian merupakan sumber informasi lain yang harus dicari
oleh mahasiswa.
Pada saat menggunakan buku ini, mulailah dengan membaca
area kompetensi, kompetensi inti, komponen kompetensi, dan sasaran
pembelajaran masing-masing lembar belajar mahasiswa, sehingga dapat
dipahami cakupan minimal pengajaran lewat modul ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
modul ini. Oleh karena itu, saran-saran baik dari tutor maupun dari
mahasiswa akan kami terima dengan terbuka.
Semoga modul ini dapat bermanfaat, dan membantu siapa saja yang
membutuhkannya.
Jazakumullhahi khoiro jaza’

5
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tim Penyusun Modul

GAMBARAN UMUM MODUL

Modul Sistem Imun dan Kulit dilaksanakan pada semester 2, tahun ke 1,


dengan waktu 5 minggu. Pencapaian belajar mahasiswa dijabarkan dengan
penetapan area kompetensi, kompetensi inti, komponen kompetensi, dan

6
sasaran pembelajaran sebagaimana yang diatur dalam Standar Kompetensi
Dokter yang dikeluarkan oleh Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI) .
Modul ini terdiri dari 5 unit dan masing-masing unit berisi Lembar Belajar
Mahasiswa (LBM) dengan beberapa sasaran pembelajaran dan skenario. Pada
modul ini mahasiswa akan belajar tentang dasar-dasar imunologi dan
imunopatologi yang akan mendasari pengetahuan mahasiswa didalam
memahami dasar-dasar patogenesis penyakit infeksi, degeneratif pada semua
organ atau sistema serta memberi pengetahuan tentang dasar penegakan
diagnosis dan manajemen penyakit kulit.
Yang dipelajari oleh mahasiswa meliputi pengetahuan dasar kedokteran,
pathofisiologi, proses penegakkan diagnosis dan pengelolaannya. Untuk itu
diperlukan pembelajaran keterampilan tentang anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang dan keterampilan prosedural yang diperlukan.
Mahasiswa juga akan mempelajari sikap profesionalisme yang terkait dengan
topik diatas.
Modul ini akan dipelajari dengan mengunakan strategi Problem Based-
Learning, dengan metode diskusi tutorial menggunakan seven jump, kuliah,
praktikum laboratorium, dan belajar keterampilan klinik di laboratorium
ketrampilan.
Hubungan dengan modul sebelumnya
1. Telah memahami prinsip-prinsip komunikasi dokter-pasien dan
keluarga yang diberikan pada modul komunoikasi efektif ( modul 2 )
2. Telah memahami konsep Homeostasis, reseptor dan ligan pada modul
Biopsykososial (modul 3)
3. Telah memahami komponen darah yang nantinya berperan dalam sistim
imun pada modul Hematopoetin (modul 6)

Hubungan dengan modul sesudahnya


Diperkuat modul hormonal & metabolisme (8) modul sistim imun dan
kulit ini mempunyai konstribusi mendasari beberapa materi pada modul
Gerak dan muskuloskeletal (9), Sistim Kardivaskuler (10), Sistim pernafasan
(11), Sistim pencernaan (12), Enterohepatik (13), Penyakit Tropis (14), Saraf

7
dan reseptor sensorik (15), Sistem urogenetalia (17), Reproduksi (18), Tumbuh
Kembang, geriatri dan degeneratif (20), Penglihatan (22), Pendengaran,
penciuman dan tenggorok (23), dan modul electif obat tradisonal serta modul
Kegawatdaruratan (26).

DAFTAR ISI

Kata pengatar……………………………………........................................... 5
Gambaran umum modul............................................................................... 7
Hubungan dengan modul sebelumnya....................................................... 7
Hubungan dengan modul sesudahnya………………………………....... 8
Daftar Isi……………………………………………………………............... 9
Learning Objective.......................................................................................... 10
Pemetaan Pencapaian Learning Objective.................................................. 13

8
Topik................................................................................................................. 16
Topik Tree……………………………………………………………............ 17
Materi “masalah”……………………………………………………............ 18
Kegiatan pembelajaran………………………………………………........... 19
Assessment…………………………………………...................................... 24
Sumber Belajar……………………………………………………................. 27
Penjabaran Pembelajaran LBM..................................................................... 28
LBM 1: Hipersensitifitas (Dermatitis atopik)............................................ 28
LBM 2: Autoimun (SLE)............................................................................... 44
LBM 3: Imunodefisiensi/imunokompromise (HIV-AIDS).................... 77
LBM 4: Infeksi jamur ( Tinea )..................................................................... 87
LBM 5 : Penyakit Kelenjar Sebacea ( Acne )................................................ 100
Jadwal .............................................................................................................. 112

LEARNING OBJECTIVE
MODUL SISTEM IMUN DAN KULIT

Area 2 : Keterampilan klinis


Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :
1. Mengidentifikasi, memilih dan menentukan prosedur klinis dan
pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan masalah dan
kebutuhan pasien
2. Melakukan prosedur klinis dan laboratorium sesuai kebutuhan pasien
dan kewenangannya
3. Menentukan pemeriksaan penunjang untuk tujuan penapisan penyakit
pada sistem imun dan Kulit

9
4. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan masalah pasien
5. Memilih dan melakukan keterampilan terapetik, serta tindakan
prevensi sesuai dengan kewenangannya

Area 3 : Landasan ilmiah kedokteran


Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :
1. Menjelaskan prinsip-prinsip ilmu kedokteran dasar terkait dengan
terjadinya masalah kesehatan
2. Menjelaskan mekanisme patogenesis, patologis dan patofisiologi suatu
masalah dalam Sistem imun dan Kulit.
3. Menjelaskan masalah kesehatan pada Sistem imun dan Kulit dari
tingkat seluler maupun molekuler hingga tubuh manusia melalui
pemahaman mekanisme normal dalam tubuh
4. Menjelaskan mekanisme fisiologis Sistem imun dan Kulit manusia
dalam mempertahankan homeostasis
5. Menjelaskan faktor-faktor yang mendasari kelainan pada tubuh
manusia terkait dengan Sistem imun dan Kulit ( neoplasma, infeksi
dan inflamasi, degenerasi, trauma, herediter, dan kongenital)
6. Menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam mengelola
masalah kesehatan
7. Menjelaskan farmakodinamik dan farmakokinetik obat yang berkaitan
dengan masalah kesehatan
8. Menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan dalam
penanganan pasien kasus Sistim imun dan Kulit.
9. Menjelaskan pertimbangan pemilihan intervensi berdasarkan
farmakologi, fisiologi, gizi, ataupun perubahan tingkah laku
10. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit,
poin-poin patogenesis dan patofisiologis, akibat yang ditimbulkan,
serta resiko spesifik secara efektif
11. Menjelaskan secara rasional/ ilmiah dalam menentukan penanganan
penyakit baik secara klinikal epidemiologis, farmakologis, fisiologis,
diet, olah raga, atau perubahan perilaku

10
12. Menjelaskan alasan hasil diagnosis dengan mengacu pada evidence-
based medicine.

Area 4 : Pengelolaan masalah kesehatan


Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :
1. Menjelaskan perubahan proses patofisiologi setelah pengobatan dalam
kasus Sistim imun dan Kulit.
2. Mengidentifikasi berbagai pilihan cara pengelolaan yang sesuai
penyakit pasien Sistim imun dan Kulit.
3. Menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam mengelola
kasus Sistim imun dan Kulit.
4. Mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan lingkungan
sosial sebagai faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit
serta sebagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap
pertimbangan terapi
5. Mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan lingkungan
sosial sebagai faktor risiko terjadinya penyakit dan sebagai faktor yang
mungkin berpengaruh terhadap pencegahan penyakit

Area 8 : Islam dan disiplin ilmu


Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :
1. Menggali dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam mencari, menguasai
mengkaji dan mengembangkan dan menerapkan ilmu kedokteran.
2. Melakukan pemeriksaan dan prosedur pelayanan sesuai dengan
masalah pasien dengan senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai dasar
Islam dan etika kedokteran Islam.
3. Mampu membaca dan menghafal Al-qur’an dan hadist terkait dengan
topik yang dipelajari

11
PEMETAAN PENCAPAIAN LEARNING OBJECTIVE
Learning Objective LBM
I II III IV V
Area 2 : Ketrampilan Klinis :

Mampu mengidentifikasi, memilih dan menentukan


prosedur klinis dan pemeriksaan laboratorium yang √ √ √ √ √
sesuai dengan masalah dan kebutuhan pasien
Mampu melakukan pemeriksaan fisik kelainan Kulit √ √ √
Mampu melakukan prosedur klinis pemeriksaan √
Hipersensitifitas
Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium √
pemeriksaan ELISA
Mampu menjelaskan susunan sel-sel kulit √
Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium dan √
hasil pemeriksaan sel-sel radang
Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium dan √
hasil pemeriksaan sel-sel degeneratif
Menetukan pemeriksaan penunjang untuk jamur √ √
dan parasit
Mampu melakukan ketrampilan terapetik incisi dan √ √
drainase
Mampu menjelaskan prosedur eksterpasi dan nackel √
ekstraksi
Mampu memilih dan melakukan ketrampilan √
terapetik injeksi Intrakutan dan Subkutan serta
mampu melakukan wound care/dressing

12
Mampu memilih dan melakukan ketrampilan √
terapetik meracik obat dan menulis resep
Area 3 : Landasan ilmiah kedokteran

Mampu menjelaskan Komponan imun non spesifik, √ √ √


imun spesifik, antigen
Mampu menjelaskan zat mediator dan √
imunomodulator
Mampu menjelaskan mekanisme respons imun √
Mampu menjelaskan susunan makros dan √
mikroskopis dari lapisan kulit

Mampu menjelaskan mekanisme Hipersensitifitas, √ √ √


Autoimun dan Imunodefisiensi/imunokompromise
Mampu menjelaskan masalah kesehatan sistim imun
melalui masalah Rhematoid arthritis, Sistemik √ √ √
Lupus Erythematosus (SLE) dan HIV-AIDS
Mampu menjelaskan manifestasi hipersensitifitas √
pada Kulit
Mampu menjelaskan mekanisme infeksi dan
degeneratif pada kulit dan kelenjar ekrin serta √ √
kelenjar sebacea
Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mendasari
kelainan kulit pada infeksi jamur, investasi parasitik √ √ √ √ √
dan noplasma kulit.
Mampu menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan √ √ √ √ √
keputusan dalam mengelola masalah kesehatan
sistim imun dan Kulit
Mampu menjelaskan farmakodinamik dan √ √
farmakokinetik obat yang berkaitan dengan
masalah kesehatan Sistim imun dan Kulit
Mampu menjelaskan berbagai pilihan yang √ √ √ √ √
mungkin dilakukan dalam penanganan pasien kasus
Sistim imun dan Kulit.
Mampu menjelaskan pertimbangan pemilihan √
intervensi gizi pada masalah Sistim Imun.
Mampu mengembangkan strategi untuk
menghentikan sumber penyakit, poin-poin √ √ √ √ √
patogenesis dan patofisiologis, akibat yang
ditimbulkan, serta resiko spesifik secara efektif
Mampu menjelaskan secara rasional / ilmiah dalam
menentukan penanganan penyakit baik secara √ √ √ √ √
klinikal epidemiologis, farmakologis, fisiologis, diet,
olah raga, atau perubahan perilaku
Menjelaskan alasan hasil diagnosis dengan mengacu √ √ √ √ √
pada evidence- based medicine.
Area 4 : Pengelolaan Masalah kesehatan

13
Mampu menjelaskan perubahan proses patofisiologi √ √ √ √ √
setelah pengobatan dalam kasus Sistim imun dan
Kulit.
Mampu mengidentifikasi berbagai pilihan cara √ √ √ √ √
pengelolaan yang sesuai penyakit pasien Sistim
imun dan Kulit.
Mampu menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan
keputusan dalam mengelola kasus Sistim imun dan √ √ √ √ √
Kulit.

Mampu mengidentifikasi peran keluarga pasien,


pekerjaan, dan lingkungan sosial sebagai faktor √ √ √ √ √
yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit
serta sebagai faktor yang mungkin berpengaruh
terhadap pertimbangan terapi
Mampu mengidentifikasi peran keluarga pasien,
pekerjaan, dan lingkungan sosial sebagai faktor √ √ √ √ √
risiko terjadinya penyakit dan sebagai faktor yang
mungkin berpengaruh terhadap pencegahan
penyakit
Area 8 : Islam dan disiplin ilmu

Menggali dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam


mencari, menguasai mengkaji dan mengembangkan √ √ √ √ √
dan menerapkan ilmu kedokteran.
Melakukan pemeriksaan dan prosedur pelayanan
sesuai dengan masalah pasien dengan senantiasa √ √ √
berlandaskan pada nilai-nilai dasar Islam dan etika
kedokteran Islam.
Mampu membaca dan menghafal Al-qur’an dan √ √ √ √ √
hadist terkait dengan topik yang dipelajari.

14
TOPIK

1. Sistim Imun
1.1. Fisiologis
 Komponen Imun Non Spesifik
 Komponen Imun Spesifik
 Respons Imun
 Antigen
1.2. Patologis
 Hipersensitifitas
 Autoimun
 Imunodefisiensi/imunokompromise
1.3. Imunodiagnosis
 Hipersensitifiti Test
 ELISA
1.4. Imunoterapi
 Antihistamin
 Antiinflamasi
 Imunostimulan
2. Penyakit Kulit
Anatomi dan Histologi Kulit

15
 Makros dan mikroskopis Susunan Kulit
Patologis
 Infeksi jamur pada Kulit
 Infeksi bakteri pada kulit
 Investasi parasit pada Kulit
 Kelainan pada kelenjar ekrin dan sebacea (Acne vulgaris dan
Milliaria)

TOPIC TREE

Modul 7; Sistim Imun & Kulit

Imunologi

Fisiologis
Patologis

Imunnonspesifik Imunodiagnosis Imunoterapi

Imunspesifik

Antigen
Respons Imun AntiHistamin
Hipersensitifitas
AntiInflamasi
Imunostimulan
Autoimun

Imunodefisiensi/
Dermatitis
Imunokompromise
Atopi
SLE
HIV-AIDS Hipersensitifitas-Test

ELISA

Dermatologi

16
Fisiologis Patologis

Makros Jar. Kulit


Infeksi Kulit Kelainan Kelj. Ekrin &
Mikros Jar. Kulit Sebacea

Bakteri Jamur Parasit

MATERI “MASALAH”

1. Hipersensitivitas
2. Autoimmne disorder
3. Imunodefisiensi
4. Infeksi kulit
5. Kelainan adneksa kulit

17
KEGIATAN PEMBELAJARAN

Pada modul ini akan dilakukan kegiatan belajar sebagai berikut:

a. Tutorial
Tutorial akan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan tutorial
berlangsung selama 100 menit. Jika waktu yang disediakan tersebut belum
mencukupi, kelompok dapat melanjutkan kegiatan diskusi tanpa tutor di
open space area yang disediakan. Keseluruhan kegiatan tutorial tersebut
dilaksanakan dengan menggunakan seven jump steps. Seven jump steps itu
adalah:
1. Jelaskan terminologi yang belum anda ketahui
2. jelaskan masalah yang harus anda selesaikan
3. analisis masalah tersebut dengan brainstorming agar kelompok
memperoleh penjelasan yang beragam mengenai fenomena yang
didiskusikan.
4. cobalah untuk menyusun penjelasan yang sistematis mengenai
fenomena/ masalah yang diberikan kepada anda.
5. susunlah persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan dalam
diskusi tersebut menjadi tujuan pembelajaran kelompok (learning
issue/learning objectives)
6. Lakukan belajar mandiri untuk mencari informasi yang anda
butuhkan guna menjawab learning issues yang telah anda tetapkan.

18
7. Jabarkan temuan informasi yang telah dikumpulkan oleh anggota
kelompok, sintesakan dan diskusikan temuan tersebut agar
tersusun penjelasan yang komprehensif untuk menjelaskan dan
menyelesaikan masalah.
Aturan main tutorial:
Pada tutorial 1, langkah yang dilakukan adalah 1-5. Mahasiswa diminta
untuk menjelaskan istilah yang belum dimengerti pada skenario
“masalah”, mencari masalah yang sebenarnya dari skenario, menganalisis
masalah tersebut dengan mengaktifkan prior knowledge yang telah dimiliki
mahasiswa, kemudian dari masalah yang telah dianalisis lalu dibuat peta
konsep (concept mapping) yang menggambarkan hubungan sistematis dari
masalah yang dihadapi, jika terdapat masalah yang belum terselesaikan
atau jelas dalam diskusi maka susunlah masalah tersebut menjadi tujuan
pembelajaran kelompok (learning issue) dengan arahan pertanyaan sebagai
berikut: apa yang kita butuhkan?, apa yang kita sudah tahu? Apa yang
kita harapkan untuk tahu?
Langkah ke 6, mahasiswa belajar mandiri (self study) dalam mencari
informasi
Pada tutorial 2, mahasiswa mendiskusikan temuan-temuan informasi
yang ada dengan mensintesakan agar tersusun penjelasan secara
menyeluruh dalam menyelesaikan masalah tersebut.

b. Kuliah Pakar
Ada beberapa aturan cara kuliah dan format pengajaran pada problem
based learning. Problem based learning menstimulasi mahasiswa untuk
mengembangkan perilaku aktif pencarian pengetahuan. Kuliah mungkin
tidak secara tiba-tiba berhubungan dengan belajar aktif ini, Namun
demikian keduanya dapat memenuhi tujuan spesifik pada PBL. Adapun
tujuan kuliah pada modul ini adalah:
a. Menjelaskan gambaran secara umum isi modul, mengenai relevansi
dan kontribusi dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda terhadap tema
modul.

19
b. Mengklarifikasi materi yang sukar. Kuliah akan lebih maksimum
efeknya terhadap pencapaian hasil ketika pertama kali mahasiswa
mencoba untuk mengerti materi lewat diskusi atau belajar mandiri.
c. Mencegah atau mengkoreksi adanya misconception pada waktu
mahasiswa berdiskusi atau belajar mandiri.
d. Menstimulasi mahasiswa untuk belajar lebih dalam tentang materi
tersebut.
Agar penggunaan media kuliah dapat lebih efektif disarankan agar
mahasiswa menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab
atau kurang jelas jawabannya pada saat diskusi kelompok agar lebih
interaktif.
Adapun materi kuliah yang akan dilaksanakan sebagai berikut:
a. Minggu 1
a.1. Overview Respon Imunn (Biologi)
a.2.Overview Dermatitis, Management dermatitis atopik(Dermatologi)
a.3. Overview Aplikasi Klinis Reaksi Hipersensitivitas
a.4. Pemeriksaan Penunjang DKA (Dermatologi)
a.5. Konsep Konsumsi Halalan Toyiban Kaitannya dengan Reaksi
Hipersensitifitas (gizi)
b. Minggu 2
b.1. Overview Zat-zat Mediator dan Imunomodulator (Biokimia)
b.2. Manifestasi SLE pada Kulit dan
b.3. Penyakit Bula Autoimun (Dermatologi)
b.4. Overview penyakit autoimun (Penyakit Dalam)
b.5.Manfaat Sholat (tahajud) dalam Proses Homeostatis Modulasi
Respons Imun
c. Minggu 3
c.1. Overview Farmakologi Obat-obat Imunostimulan , Anti Inflamasi ,
Anti Histamin (farmakologi)
c.2. Gizi dan Mikronutrien pada Sistem Imun (Gizi)
c.3. Penanggulangan Epidemic dan Dampak Social HIV/AID (Ilmu
Kesehatan Masyarakat)

20
c.4. Overview Penyakit Imunodefisiensi (Penyakit dalam)
c.5. Islamic Lifestyle dalam Mencegah HIV-AIDS
d. Minggu 4
d.1. Aspek mikrobiologi bakteri gram positif pembentuk nanah
(Stafilokokus, Streptokokus), Sifat, morfologi, eksotoksin,
endotoksin, patogenesitas (mikrobiologi)
d.2. Overview Penyakit Infeksi Kulit (pioderma primer)
d.3. Aspek mikrobiologi jamur (sifat, morfologi, patogenesitas mikosis
superfisial (Dermatophyta dan non Dermathophyta)dan Candida)
d.4. Overview Penyakit Kulit Eritropapuloskuamosa dan Psoriasis
vulgaris (Dermatologi)
d.5. Farmakologi obat anti jamur Golongan azole, griseofulvin, dan
alilamin
d.6. Konsep Thaharoh dalam Mencegah Penularan Penyakit Kulit
e. Minggu 5
e.1. Milaria dan Hidradenitis Supurativa (Dermatologi)
e.2. Kelainan Kuku dan Rambut (Dermatologi)
e.3. Struktur Appendik Kulit (Dermatologi)
e.4. Adab menghadapi penderita penyakit menular

c. Praktikum
Tujuan utama praktikum pada PBL adalah mendukung proses belajar
lewat ilustrasi dan aplikasi praktek terhadap apa yang mahasiswa pelajari
dari diskusi, belajar mandiri, dan kuliah. Alasan lain adalah agar
mahasiswa terstimulasi belajarnya lewat penemuan sehingga dapat
meningkatkan motivasi belajar.
Adapun Praktikum yang akan dilaksanakan adalah:
a. Minggu 1
a.1. Organ limfoid sekunder (Histologi)
a.2. -
b. Minggu 2
b.1. Patologi anatomi reaksi inflamasi (PA)

21
b.2. Identifikasi sel imun (Biologi)
c. Minggu 3
c.1. Imunohistokimia (PA)
c.2. Imunodiagnosis (PK)
d. Minggu 4
d.1. Pemeriksaan KOH (Mikrobiologi)
d.2. Scabies dan pediculosis (Parasitologi)
e. Minggu 5
e.1. Menulis resep dan meracik obat kulit (Farmakologi)
e.2. –

d. Latihan keterampilan medik di Skills Laboratory


Tujuannya adalah menyiapkan mahasiswa dalam ketrampilan yang
mendukung pembelajaran pada sistem reproduksi dengan menggunakan
simulasi pasien dan manekin sebagai media ajar guna kelangsungan
proses pembelajaran di klinik . Mahasiswa diharapkan mampu menguasai
tekhnik secara lege artis, sistematis dan terintegrasi. Adapun ketrampilan
yang harus dikuasai adalah:
a. Minggu 1
a.1. Prick test dan pacth test (THT)
a.2. -
b. Minggu 2
b.1. UKK Primer Sekunder
b.2. UKK Dermatitis
c. Minggu 3
c.1. Injeksi sub cutan, injeksi intra muskuler, injeksi intra vena
c.2. -

d. Minggu 4
d.1. Insisi dan drainase
d.2. -
e. Minggu 5

22
e.1. Naegle ekstraksi
e.2.-

ASSESSMENT

Assessment knowledge :

Assessment tutorial : bobot (20 % dari total nilai akhir knowledge)


Difungsikan untuk menilai performance mahasiswa dalam kegiatan tutorial
SGD maupun kegiatan praktikum. Beberapa hal yang dinilai dalam penilaian
harian ini adalah : kehadiran, keaktifan, dan kesiapan materi. Bagi mahasiswa
yang berhalangan hadir karena sakit dengan menyampaikan surat ijin atau
mengikuti kegiatan kemahasiswaan , wajib meminta tugas kepada tim modul
sebagai pengganti kegiatan tutorial atau kegiatan praktikum yang
ditinggalkan tersebut.

Assessment kegiatan praktikum 10 % dari total nilai akhir knowledge.


Difungsikan untuk menilai kehadiran, keaktifan mahasiswa, kerjasama
kelompok, serta pengetahuan siswa pada setiap kegiatan praktikum.

Assessment tengah modul dilakukan pada pertengahan pelaksanaan modul


(bobot 20 % dari total nilai akhir knowledge). Ujian tengah modul bertujuan
untuk mengetahui ketercapaian sasaran pembelajaran LBM yang telah dilalui,
yang berhubungan dengan pengetahuan (knowledge). Oleh karena itu ujian
dilakukan dalam bentuk tertulis.
1. Siswa dapat mengikutinujian susulan tengah modul jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Mengikuti 80 % dari keseluruhan SGD
b. Mengikuti 100 % dari keseluruhan praktikum
c. Mengikuti 100 % dari keseluruhan skill lab

23
d. Mengikuti 75 % dari keseluruhan kuliah
 Siswa yang meninggalkan ujian tengah modul, dapat mengikuti ujian
susulan tengah modul jika memenuhi persyaratan untuk mengikuti
ujian
 Tata cara permohonan ujian susulan dilaksanakan sebagaimana yang
berlaku yakni siswa mengajukan permohonan kepada dekan dilampiri
alasan ketidakhadirannya pada ujian tersebut, selanjutnya surat
permohonan ujian susulan dikeluarkan oleh MEU untuk disampaikan
kepada tim modul terkait
 Jika mahasiswa tidak mengikuti ujian tengah modul maka nilai tengah
modul dinyatakan nol

2. Apabila mahasiswa berhalangan hadir pada kegiatan SGD, praktikum,


dan Skill lab, maka mahasiswa harus :
a. Memberikan surat ijin ketidakhadiran pada kegiatan tersebut
b. Mengganti kegiatan SGD dengan tugas dari tim modul, untuk
penggantian tersebut mahasiswa harus berkoordinasi dengan tim
modul
c. Mengganti kegiatan praktikum pada hari lain, untuk penggantian
tersebut mahasiswa harus berkoordinasi dengan bagian
d. Mengganti kegiatan skill lab pada hari lain, untuk penggantian
tersebut mahasiswa berkoordinasi dengan tim modul
e. Selain tugas pengganti SGD dan mahasiswa mengikuti kegiatan
pengganti praktikum dan skill lab maka mahasiswa dinyatakan
telah mengikuti kegiatan 100 %

Assessment akhir modul dilakukan pada akhir modul (bobot 50% dari total
nilai akhir knowledge)
Diselenggarakan menyesuaikan dengan jadual yang telah disusun MEU.
Bentuk ujian berupa ujian tulis dengan tujuan pembelajaran yang harus
dikuasai oleh siswa. Tujuan assesmen akhir modul adalah untuk mengetahui
ketercapaian seluruh sasaran pembelajaran, baik knowledge, skill, maupun

24
attitute yang dipelajari dalam modul tersebut. Ketentuan yang berlaku bagi
ujian tengah berlaku pula bagi ujian akhir modul

Assessment Skill
Nilai skill diambil dari :
 Kegiatan skill lab harian : 25 % dari total nilai akhir skill
 Kegiatan OSCE : 75 % dari total nilai akhir skill
Kegiatan OSCE didasarkan pada kelulusan tiap station. Jika tidak lulus pada
station tertentu , mahasiswa diwajibkan mengulang dan nilai skill belum
dapat dikeluarkan sebelum mahasiswa lulus skill tersebut. Pelaksanaan ujian
ulang OSCE diatur oleh MEU dan Tim Modul, dengan biaya yang akan
ditentukan selanjutnya. Perhitungan nilai akhir modul adalah :
(Nilai total kognitif X SKS kognitif) + (Nilai total skill X SKS skill)
SKS Modul
Standar kelulusan ditetapkan dengan Judgment Boderline

Sumber Belajar

25
1. Essesnsial Immunology, Ivan Roitt’s.et al.,
2. Imunologi III, Bellanti.,et al
3. Imunologi Dasar, Karnen Barata Wijaya
4. Molecular dan Cellular Immunology, Abul K. Abbas.,et al.
5. Medical Immunology, Daniel P. Stites.,et al.
6. Djuanda S, Sularsito S Adi, ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai
Penerbit FKUI, 2007
7. Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Atlas berwarna. Penerbit buku
Kedokteran, EGC. 2005
8. Wolff Klaus, Johnson RA, Suurmond Dick. Disorders of sebaceous and
apocrine glands. Dalam Fitzpatrick : Color atlas and synopsis of clinical
dermatology fifth edition, McGraw-Hill, 2005
9. Strauss John, Plewig G, Kerr Rebecca Er. Disorders of epidermal
appendages and related disorders. Dalam Fitzpatrick: Dermatology in
general medicine, sixth edition, McGraw-Hill 2005
10. Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology, thirdth ed. Philadelphia: W.
B. Saunders, 1992.
11. Color Atlas and Synopsis Of Clinical Dermatology . Thomas B Fitzpatrick
MD et all edisi 4.
12. Dermatomikosis superfisialis pedoman untuk dokter dan mahasiswa
kedokteran. Unandar Budimulja dkk. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2001
13. Penyakit Jamur Kulit. Dr. R.S Siregar Lab I. Penyakit Kulit dan Kelamin
FK UNSRI / RSU Palembang. 1995
14. Dermatology in general medicine. Fitzpatrick et all edisi 5/6

PENJABARAN PEMBELAJARAN LBM


LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 1

26
(LBM 1)

b. Judul:
Gatal di kulit
c. Sasaran Belajar:
1. Melakukan pemeriksaan prict test , patch test, test alergi
2. Menjelaskan histologi organ limfoid primer (timus dan sumsum
tulang)
3. Menjelaskan fisiologi organ limfoid primer (timus dan sumsum tulang)
4. Menjelaskan histologi organ limfoid sekunder yang meliputi kulit,
sistem mukosa saluran napas, gut associated limphoid tissue, peyer`s
patch, Waldeye`s ring, kelenjar getah bening, lien
5. Menjelaskan fisiologi organ limfoid sekunder yang meliputi kulit,
sistem mukosa saluran napas, gut associated limphoid tissue, peyer`s
patch, Waldeye`s ring, kelenjar getah bening, lien
6. Menjelaskan Innate Immunity (Imunitas bawaan)
7. Menjelaskan pemrosesan dan presentasi antigen
8. Menjelaskan perkembangan limfosit B dan T
9. Menjelaskan immunitas seluler
10. Menjelaskan immunitas humoral
11. Menjelaskan respon imun pada tubuh manusia
12. Menjelaskan macam- macam reaksi hipersensitivitas
13. Menjelaskan imunopatogenesis macam- macam reaksi
hipersensitivitas
14. Menjelaskan etiologi dermatitis atopik
15. Menjelaskan patofisiologi dermatitis atopik
16. Menjelaskan gejala dan tanda dermatitis atopik
17. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan penunjang terkait masalah
dermatitis atopik
18. Menjelaskan diferential diagnosis dermatitis atopik

27
19. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis terhadap dermatitis
atopik
20. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan dermatitis atopik serta
alasan pemilihan penanganan tersebut
21. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dermatitis
atopik
22. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan dermatitis atopik serta
alasan pemilihan penanganan tersebut
23. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan pasien dermatitis
atopik
24. Menjelaskan penyakit-penyakit kulit akibat reaksi imune (Eczematous
dermatitis, allergic skin disease)
25. Menjelaskan konsep konsumsi halalan toyiban kaitannya dengan
reaksi hipersensitivitas

Gatal di Kulit

Seorang Laki-laki usia 30 tahun datang ke tempat praktek dokter


praktek umum yang buka pada sore hari, karena tidak kuat menahan rasa
gatal pada ke dua punggung kaki yang dirasakan sejak siang hari. Gatal
pada punggung kaki disertai bengkak dan warna kulit sekitarnya
SKENARIO
memerah, terasa panas dan perih akibat luka garukan, gatal timbul pada
ke dua punggung kaki secara bersamaan. Hasil anamnesis diketahui
bahwa penderita pada saat makan siang, makan di warung dengan lauk
pauk ikan laut. Penderita sudah minum obat CTM membaik sebentar
tetapi kemudian muncul kembali. Buang air kecil tidak ada kelainan,
buang air besar tidak ada kelainan, pernafasan dan jantung tidak ada
kelainan. Ibu penderita dulu juga sering menderita gatal-gatal dan bentol-
bentol apabila makan udang. Oleh 28 dokter diusulkan pemeriksaan
penunjang prick test.
Kata Kunci:
Gatal, bengkak, warna kulit memerah, makan ikan laut, obat CTM, Prick Test
Masalah:
Hipersensitivitas

d. Konsep map

Macam2 Penyakit
Hipersensitifitas Struktur
Antihistamin
Ant&Histo Kulit

29
Antigen/ Hipersensitivitas
Immunogen UKK Gatal

Respons Imun Sistim Saraf

Imun non Spesifik Imun spesifik

e. Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar untuk
menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang bertujuan mencapai
kompetensi sasaran belajar)

ANTIGEN adalah suatu substansi yang menjadi target suatu respons


imun yang dapat dikenali dan diikat oleh antibody (Ig) maupun reseptor
sel T (TCR). Bagian antigen yang berikatan langsung dengan Fab dari
Antibodi dan TCR disebut Antigenik Deterniman atau EPITOP. Ada 2
macam EPITOP, yaitu linier epitop dan komformational epitop;
Komformational epitop adalah 1 epitop yang tersusun atas konfigurasi
beberapa linier epitop dan apabila mengalami denaturasi akan berubah
menjadi linier beberapa linier epitop.

(Sumber : Abbas et al.,2000)

30
Antigen yang dapat menginduksi suatu respons imun disebut
IMUNOGEN sedangkan antigen yang tidak dapat menginduksi respons
imun disebut HAPTEN.
MACAM ANTIGEN :
Menurut asalnya; Antigen eksogen yaitu yang berasal dari mikroba dan
bahan-bahan kimia. Antigen Endogen yaitu Human Leukocyte Antigen
(HLA) atau Major Histocompatibility Complexs (MHC) yaitu antigen
permukaan yang ada pada sel-sel dan Tumor Antigen. HLA/MHC ada 2
macam Yaitu HLA/MHC Klas I yang diekspesikan oleh seluruh sel yang
mempunyai inti sel; dan HLA/MHC klas II yang diekspresikan oleh sel
imunokompeten. Sedangkan Tumor antigen adalah antigen yang berasal
dari sel tubuh yang mengalami perubahan sehingga antigennya berubah
dari Self Antigen menjadi Non Self Antigen. Menurut Susunan Kimia;
adalah Macromolekul seperti protein, karbohidrat, phospholipids dan
Asam Nukleat. Metabolit lainnya seperti Glikogen, lipid, aotocoid dan
hormon. (Abbas et al., 2000; Stites et al.,1997).
Gatal atau itch atau pruritus adalah suatu sensasi yang merangsang
kita untuk menggaruk daerah tersebut dan merupakan suatu simtom
dominan pada kelainan kulit. (Pirouzi,2002). Sensasi gatal dapat timbul
apabila terjadi rangsangan baik makanik maupun kimiawi terhadap
reseptor gatal. Reseptor gatal adalah akhiran saraf yang tidak bermyelin
dan tidak spesifik dari serabut saraf yang ditemukan pada daerah dekat
antara dermal dan epidermal junction yang ditemukan sejak tahun 1950
(bernhard,1991). Bahan atau mediator kimia serta rangsangan fisik dapat
menyebabkan gatal dan ditemukan merangsang ujung saraf bebas yang
terdapat pada dermo-epidermal juncta (Sheley and Arthur,1957). Pola
gatal dari orang satu ke orang lain sangatlah berbeda, bahkan sensasi
gatal pada seseorang juga tidak sama walaupun di bero rangsang gatal
yang sama ( Bernhard,1992). Rangsangan gatal kemudian disalurkan
atau dipancarkan ke cornu dorsalis medulla spinalis pada sisi yang
berlawanan, menyilang garis tengah kemudian naik ke traktus contra-
lateral spinothalamic kemudian ke thalamus dan berakhir pada cornu

31
sensorik otak pada cortex cerebri. Rangsangan gatal ditransmisikan oleh
serabut C tidak bermyelin ( Unmyelinated nociceptor C fiber ). Walaupun
rangsangan gatal melewati jalur yang sama seperti jalur nyeri, tapi ada
perbedaan jarak antara rangsangan gatal yang unik pada titik gatal tadi
dengan rangsangan nyeri. Stimulasi listrik menyokong teori ini
(Tuckett,1982 dalam Bernhard,1992). Rangsangan nyeri menimbulkan
reflek tarik diri (withdrawal reflex), rangsangan gatal merangsang untuk
menggaruk. Penelitian terakhir dengan menggunakan “ functional
positron emission tomography” menunjukkan induksi gatal di kaki
dengan “histamin iontophoresis” terjadi kenaikan fokus dalam aktivitas
metabolisme di area contra-lateral gyrus cinguli anterior (area Brodman
24) (Greaves,2000).

Proses Inflamasi adalah suatu reaksi tubuh mikrosirkuler yang bersifat


lokal terhadap benda atau zat-zat yang membahayakan tubuh dengan
tujuan perbaikan. Warna kemerahan ( rubor ) terjadi lebih dahulu oleh
karena pada proses inflamasi awal terjadi vasodilatasi kapiler yang
meningkatkan aliran darah setempat sehingga terjadi peningkatan suhu
( calor ), kemudian terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah
yang berakibat eksudasi plasma (cairan darah) kejaringan sekitarnya dan
terjadi pembengkakan ( tumor ). Bila massa tersebut menekan saraf maka

32
akan timbul rasa nyeri ( dolor ) yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan fungsi ( fungsiolaesa ).
Hypersensitivity reactions are the result of normally beneficial immune
responses acting inappropriately, and sometimes cause inflammatory
reactions and tissue damage (Roitt, et al. 1998). Reaksi alergi atau
hipersensitivitas timbul apabila individu terpapar oleh suatu alergen.
Alergen adalah Antigen (benda Asing) atau suatu substansi yang tak
dikenal oleh sistim imun spesifik yang dapat menimbulkan respon imun
alergi. Hal ini dapat terjadi apabila individu tersebut secara genetik
mempunyai kemampuan untuk memproduksi antibodi dari kelas IgE
dalam jumlah yang cukup setelah terpapar oleh alergen dalam jumlah
yang sedikit (stites,1997; Roitt,1998).
Coombs and Gell membedakan reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe ;
- Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga Immediate Hipersensitivity
atau Anaphylactic reaction terjadi apabila alergen direspon atau diikat
oleh antibodi dari kelas IgE dimana IgE ini mempunyai aktivitas biologi
mampu mengaktivkan sel mast sehingga sel mast mengalami
degranulasi melepaskan mediator-mediator inflamasi terutama adalah
Histamin sehingga terjadi reaksi inflamasi dan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan.
- Hipersensitivitas tipe II yang disebut juga dengan ADCC Reaction
( Antibody Dependent Cell Cytotoxic ), pada reaksi ini yang berperan
dalam mengikat alergen adalah Antibodi dari kelas IgG atau IgM
dimana aktivitas biologi dari kedua antibodi tersebut adalah dapat
mengaktivkan sel Killer untuk melakukan aktivitas fagosit atau juga
dapat mengaktivkan reaksi komplement untuk melakukan aktivitas
sitolisis.
- Hipersensitivitas tipe III disebut juga dengan immune complexes
reaction merupakan reaksi hipersensitivitas yang terjadi akibat
penumpukan antibodi pada jaringan dimana terdapat alergen sehingga
terjadi reaksi komplek imun yang dapat mengaktifkan reaksi
complement dan dapat merusak jaringan tersebut.

33
- Hipersensitivitas tipe IV atau disebut juga Delayed Type
Hipersensitivity (DTH) berbeda dengan tiga tipe hipersensitivity
sebelumnya dimana pada tipe IV ini mediator yang berperan bukan
respon imun humoral (Antibodi) tetapi respon imun seluler. Pada tipe
IV ini alergen diikat oleh reseptor sel T (TCR) kemudian sel limfosit T
yang teraktivasi melepas mediator humoral yang berupa Cytokine yang
dapat mengaktivkan sel pagosit seperti makrofag untuk melepas
mediator inflamasi dan melakukan aktivitas fagositosis. (Abbas et
al.,2000;Stites et al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et al.,1998)

Roitt et al.,1998

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I terdapat manifestasi bentuk Wheal


and Flare yang merupakan “ Late Phase Reaction “ dari yang tampak
setelah 2 – 4 jam setelah terpapar oleh alergen dan berangsur angsur
menghilang setelah 24 jam. Hal tersebut dapat terjadi oleh karena pada
degranulasi dari sel mast terjadi pelepasan mediator-mediator inflamasi
diantaranya adalah Cytokine Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dapat
dapat menginduksi sel endothel untuk mengekspresikan “leukocyte
adhesion molecules”, seperti E-Selectin, Intercelluler Adhesion Molecule-
1 (ICAM-1) yang dapat menyebabkan bermigrasinya sel PMN dari
intravaskuler ke jaringan sehingga dapat menyebabkan oedema lokal
(Wheal) serta adanya vasodilatasi karena pengaruh dari Histamin
menyebabkan warna kemerahan (Flare). (Stites et al.1997)

34
(sumber : Roitt,1998)

(sumber : Roitt,1998)

Pada Hipersensitifitas tipe II terjadi aktivasi sel pagosit.


Sel pagosit adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
pinositosit (engulfment) suatu antigen. Yang termasuk sel pagosit ini
adalah sel denditrik yang ada di lapisan kulit dan organ limfoid, monosit
yang ada dicairan darah dan makrofag yang terdapat pada jaringan.

35
Proses pagositosit sebagaimana yang diterangkan dalam gambar
dibawah.

Pada Hipersensitifitas tipe III terjadi aktivasi complement.


Komplement adalah protein yang dihasilkan di hepar yang berperan
dalam peristiwa sitolisis, inflamasi dan opsonisasi. Aktifasi complement
ada 2 jalur yaitu jalur klasik dan jalur alternative. Jalur klasik dimulai dari
aktifasi komponen komplemet C1 oleh Antgen-antibodi komplek ( Ag-Ab
Complex).
Sedangkan aktifasi jalur alternative dimulai dari komponen complement
C3 oleh properdin dan factor D.

36
(sumber : Abbas et al.,2000)

Pada Hipersensitifitas tipe IV terjadi reaksi antara Alergen (antigen)


dengan sel T/ limfosit T kemudian mengaktifkan aktifitas cytotoxic dan
pagositosis

Sistim imun ada 2 macam yaitu SISTIM IMUN NON SPESIFIK DAN
SISTIM IMUN SPESIFIK.
Perbedaan utama dari kedua sistim imun tersebut adalah
kemampuannya untuk mengenali Antigen dan kemampuan untuk
membentuk memoriterhadap antigen tersebut.

37
Sistim Imun Non Spesifik adalah :
Innate (natural) immunity refers to any inborn resistance that is present the
first time a pathogen is encountered; it does not require prior exposure and is
not modified significantly by repeated exposures to the pathogen over the life of
an individual.
Mekanisme Imun Non Spesifik :
External barriers against infection
Phagocytic cells kill microorganisms
Humoral or Soluble mediator mechanism provide a second defensive strategy.
(Abbas et al.,2000;Stites et al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et al.,1998)
Sistim Imun Spesifik adalah : Sistim imun yang mempunyai ciri atau
sifat sebagaimana berikut :
 Mempunyai SPECIFICITY; yaitu kemampuan untuk mengenal
dan membedakan antigen/imunogen
 Mampu membedakan SELF AND NONSELF; yaitu kekmampuan
untuk membedakan protein atau molekul milik sendiri atau
benda asing.
 Mampu membentuk MEMORY; yaitu kemampuan untuk
mengenali pemaparan antigen yang pertama kali sehingga pada
pemaparan berikutnya sistim imun ini sudah siap mengeliminasi
antigen
(Abbas et al.,2000;Stites et al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et al.,1998)

Deferensiasi sel T
Sel T (limfosit T) adalah limfosit yang proses maturasinya terjadi di
kelenjar thymus, setelah disensitisasi oleh antigen sel T ber deferensiasi
menjadi sel T h (T Helper/CD4+), sel T sitotoksik (CTL/CD8+) dan Sel T
regulator (Treg).

38
(sumber : Abbas et al.,2000)

Deferensiasi Sel B

Immunoglobulin (antibody) adalah protein fraksi globulin yang


disekresi oleh sel plasma yang merupakan deferensiasi dari sel B (limfosit

39
B) yang telah tersensitisasi oleh antigen. Struktur immunoglobulin terdiri
dari 2 rantai ringan (L chain) dan 2 rantai berat (H chain) masing rantai
mempunyai variabel region dan constant region. Immunoglobulin
mempunyai 2 Fab dan 1 Fc. Imunoglobulin ada 5 kelas yaitu IgM, IgG,
IgA, IgE dan IgD.
Deferensiasi sel B menjadi sel Plasma dan sekresi Imunoglobulin

Struktur Imunoglobulin

f. Pertanyaan minimal yang dikuasai


1. Apakah pengertian dari benda asing atau Antigen ? dan jelaskan
macam-macam antigen.
2. Apa yang disesbut Gatal dan Bagaimana sensasi gatal dapat timbul ?
3. Apakah reaksi inflamasi itu?

40
4. Ada berapa macam sistim imun?
5. Apakah reaksi hipersensitifitas itu dan bagaimanakah terjadinya?
6. Macam-macam reaksi hipersentifitas ?
7. Macam-macam pemeriksaan penunjang untuk reaksi hipersenstifitias?

Daftar pustaka
- Arthur C. Guyton,1976. Fisiologi Kedokteran Edisi 5 Bagian
2,EGC,Jakarta,Hal 143
- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G. Parslow.,1997.Medical
Immunology 9th edition,Appleton&Lange,USA,pp : 187
- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology 4th
edition.Mosby,Barcelona,pp : 22.1 – 25.12
- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S. Pober.,2000.Cellular and
Molecular Immunology 4th edition.,Saunders,USA,pp : 424-44
- Ganong,1979 Fisiologi Kedokteran Hal : 93
- Junquiera, 1991 Histologi Umum Hal :191

- Andokoprawiro Atmojo,1978 Patologi Umum Hal 15

- CD Imunologi dasar

41
LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 2
(LBM 2)
a. Judul:
Autoimmune dissorder
b. Sasaran Belajar
1. Menjelaskan sifat dan macam antigen (imunogen)
2. Menjelaskan proses injuri jaringan pada reaksi inflamasi
3. Mampu mengidentifikasi sel-sel imun yang berperan pada proses
injury jaringan
4. Menjelaskan konsep self tolerance
5. Menjelaskan mekanisme kehilangan self tolerance
6. Menjelaskan mekanisme autoimun
7. Menjelaskan Major Hystocompatibelity Complex (MHC) atau
Human Leukocyte Antigen (HLA)
8. Menjelaskan penyakit-penyakit autoimun
9. Menjelaskan etiologi penyakit-penyakit autoimun

42
10. Menjelaskan gejala dan tanda penyakit-penyakit autoimun
11. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan penunjang terkait
masalah penyakit-penyakit autoimun
12. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis terhadap
penyakit-penyakit autoimun
13. Menjelaskan Faktor-faktor yang berpengaruh pada penyakit-
penyakit autoimun
14. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan penyakit-penyakit
autoimun serta alasan pemilihan penanganan tersebut
15. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan pasien autoimun
16. Menjelaskan penyakit penyakit bula autoimun
17. Melakukan identifikasi UKK primer maupun sekunder
18. Melakukan identifikas UKK dermatitis
19. Menjelaskan manfaat sholat (tahajud) dalam proses homeostatis
modulasi respons imun

SKENARIO

Seorang wanita usia 35 tahun datang ke Klinik dokter praktek


umum. Penderita mengeluh sejak pulang dari berlibur dipantai kute Bali 3
hari yang lalu timbul bercak merah di wajah yang tidak mau hilang
disertai bengkak dan sakit pada beberapa sendi di jari-jari tangan. Pada
anamnesa diketahui sejak setengah tahun yang lalu penderita sering
merasa kelelahan, sendi-sendi sering terasa sakit terutama ketika bangun
tidur. Penderita sudah 6 tahun menikah tetapi belum dikaruniani anak.
Penderita pernah keguguran 1 X, siklus menstruasi tidak teratur. Hasil
pemeriksaan fisik ditemukan bercak merah dikedua bagian pipi dan
hidung yang menyerupai gambaran kupu-kupu, tidak sakit, dan tidak
terasa gatal. Pada sendi jari-jari tangan tampak bengkak , merah , kaku
dan sakit ketika digerakkan. Penderita pernah dirawat karena sakit
pinggang dan kencing warna merah. Pada pemeriksaan laboratorium
didapat penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit. Juga ditemukan
rheumatoid faktor (+) dan gambaran erosi kartilago sendi jari tangan dan
penebalan membran sinovial pada foto rontgen

43
Kata Kunci:
Kelelahan, bercak merah menyerupai gambaran kupu-kupu diwajah,
bengkak dan sakit pada beberapa sendi di jari-jari tangan, belum dikaruniai
anak, kencing warna merah, penurunan jumlah sel darah putih dan
trombosit, rhematoid faktor (+).

Masalah:
Autoimmune Disorder

c. Konsep map

HLA AutoImun Disorders


Jaringan
Loss Of
Self Toleran
Organ/Jaringan
Respons Imun
Sistemik

SuperAntigen Genetic Hormon


Antigen Related Related
Related

44
d. Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar untuk menjawab
pertanyaan minimal dibawah ini (yang bertujuan mencapai kompetensi
sasaran belajar)
AUTOIMUN

Imunogenetik
Mekanisme imun dipandang dari sudut evolusi merupakan suatu seri
adaptasi genetik oleh spesies yang berkembang karena pengaruh perubahan
lingkungan yang dipaksakan kepadanya. Pengendalian genetik dapat diamati
pada tingkat seluler seperti proliferasi dan diferensiasi aneka macam sel
dalam berespon terhadap antigen. Kerja gen juga dapat dipelajari pada
tingkat molekuler dalam kaitannya dengan struktur yang tidak terbatas dari
aneka macam imunoglobulin yang dikode secara langsung dalam DNA.

Genetika Regulasi Imun


Sistem imun adalah jaring-jaring sel yang kompleks yang berinteraksi dengan
sentuhan langsung maupun melalui mediator-mediator yang larut. Tujuan
jaring-jaring ini adalah memberikan imunitas yang efektif pada organisme
dan mencegah kejadian-kejadian internal yang membahayakan. Ada
sejumlah besar gen ( bersama sama disebut respon imun atau IR genes) yang
memberi kode komponen-komponen pengatur jaring-jaring tersebut.
Diperkirakan bahwa gen yang mengatur respon imun terletak pada segmen
genetik yang memberi kode pada antigen histokompatibilitas. Gen-gen IR
yang terikat histokompatibilitas memainkan peran penting, tetapi mereka
juga hanya merupakan sebagian dari seluruh sistem. Sistem multigen
mengendalikan tidak hanya kemampuan untuk berespon terhadap antigen
tetapi juga mengatur tingkat dan lamanya proses.

Kompleks Histokompatibilitas Mayor ( Major Histokompatibility Complex


= MHC )

45
Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC) merupakan suatu daerah
kromosom yang terdiri dari satu seri gen yang memberi kode untuk ekspresi
permukaan sel antigen-antigen transplantasi. Antigen-antigen transplantasi
ini umumnya adalah glikoprotein yang berada pada permukaan kebanyakan
sel berinti. MHC pada mamalia juga merupakan suatu daerah tempat
terdapatnya gena-gena respon imun (IR) yang terikat histokompatibilitas,
karena itu MHC tidak hanya mengendalikan sintesis antigen-antigen
tranplantasi dan penolakan cangkok, tetapi juga mempengaruhi respon imun
terhadap tantangan infeksi dan kerentanan terhadap perkembangan penyakit
yang ditengahi imunologik. Kedua sistem MHC yang telah dikarakterisasi
secara luas adalah sistem H-2 pada mencit dan sistem HLA ( Human
LeucocyteAntigen) pada manusia.

Antigen dan Imunogenisitas


Imunigenisitas dapat didefinisikan sebagai sifat suatu zat (imunogen) yang
memberikan zat tersebut kemampuan membangkitkan respon imun spesifik.
Kemampuan ini terdiri dari pembentukan antibodi, pengembangan imunitas
seluler (cell mediated) atau kedua-duanya. Sebaliknya antigenisitas adalah sifat
zat (antigen) yang memungkinkan zat tersebut bereaksi dengan produk-
produk dari respon imun spesifik, misalnya antibodi atau limfosit-T yang
tersensitasi spesifik. Zat yang imunogenik selalu antigenik, tetapi antigen
tidak selalu imunogenik. Sebagai contoh zat tertentu dengan berat molekul
rendah, yang disebut hapten, misal pinisilin tidak imunogenik kecuali jika
terikat pada molekul pembawa (carrier) yang lebih besar. Jadi hapten
berfungsi sebagai antigen tetapi tidak sebagai imunogen.

Bagian-bagian dari struktur tiga dimensi tiap-tiap imunogen mengandung


kelompok-kelompok permukaan, misalnya asam amino dalam suatu protein
globular atau sisi rantai-rantai sakarida yang menonjol pada polisakarida.

46
Struktur ini dinamakan determinan antigenik atau epitop dan menyajikan
daerah aktif molekul yang terpapar, dengan mana antibodi dapat menyatu.
Kebanyakan benda-benda yang kompleks seperti sel darah merah, jaringan,
dan bakteri , mengandung banyak determinan antigenik. Karena ukurannya
yang kecil, determinan antigenik suatu individu dapat tidak imunogenik, dan
dengan demikian dianggap sebagai hapten. Dengan demikian respon imun
pada imunogen yang kompleks memerankan respon imun kolektif terhadap
sejumlah determinan antigenik.

Definisi-definisi Spesifisitas Antigenik


Pada umumnya antigen-antigen dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis
utama : antigen eksogen dan antigen endogen.

Tabel 1. Klasifikasi Antigen


Sumber Jenis Contoh Arti klinis
Eksogen Beberapa Mikroorganisme, Kerentanan terhadap infeksi,
tepungsari, obat- penyakit yang ditengahi
obatan, polutan imunologik (asma)
Endogen

Xenogeneic Xenoantigen Antigen Forssman, Patogenesis penyakit tertentu


(Heterolog) (Heteroantigen) antigen-antigen misalnya glomerulonefritis,
jaringan tertentu yang demam rematik
bereaksi silang dengan
antigen eksogen
(misalnya jaringan
ginjal, jantung dengan
Streptococcus ß
haemoliticus)
Autolog Autoantigen Antigen-antigen Penyakit-penyakit autoimun
spesifik organ ( misal misalnya : Thiroiditis
antigen thiroid). Hashimoto.
Idiotip Antigen-antigen Bertukar kelas imunoglobulin
spesifik imunoglobulin

Allogeneik Aloantigen Golongan darah, Penyakit hemolitik neonatus,


(Homolog) (Isoantigen) antigen reaksi transfusi, imunitas,
histokompatibilitas transplantasi
(HL-A)

Antigen-antigen Eksogen

47
Antigen-antigen eksogen adalah antigen-antigen yang disajikan dari luar
kepada hospes dalam bentuk mikroorganisme, tepung sari, obat-obat, atau
polutan. Antigen ini bertanggung jawab terhadap suatu spektrum penyakit
pada manusia, mulai dari penyakit-penyakit infeksi sampai kepada penyakit
yang ditengahi imunologik misalnya asma bronkiale.

Antigen-antigen Endogen
Antigen endogen adalah antigen yang terdapat dalam individu dan meliputi
antigen-antigen berikut : antigen senogeneik (heterolog), antigen autolog dan
antigen idiotipik atau antigen alogeneik (homolog).
Antigen senogeneik (xenogeneic) adalah antigen yang terdapat dalam aneka
macam spesies yang secara filogenetik tidak ada hubungannya. Antigen-
antigen ini juga dikenal sebagai antigen heterogeneik ,dan penting pada
kedokteran klinik, karena antigen- antigen ini menimbulkan respon antibodi
yang berkaitan atau berguna dalam diagnosis penyakit. Sebagai contoh,
reaksi silang antara antigen-antigen Streptococcus beta haemoliticus grup A dan
jaringan jantung manusia. Diduga kerusakan jaringan merupakan akibat
reaksi silang antara antibodi dengan antigen-antigen heterolog ini. Contoh
terbaik dari proses ini adalah antigen Forssman, yang terdapat dalam
jaringan dari kebanyakan spesies dan berkaitan erat dengan antigen-antigen
lain yang ada di jaringan manusia, seperti antigen golongan darah A. Karena
antigen Forssman sendiri tidak terdapat pada jaringan manusia, maka
mungkin sekali bahwa aneka macam jaringan lain atau sel-sel yang
mengandung antigen ini dapat mensensitasi manusia.

Komponen-komponen tubuh yang autolog adalah unsur pokok hospes dan


dikenal sebagai komponen-komponen self. Pada keadaan normal mereka
nonimunogenik. Diduga bahwa perubahan dalam komponen- komponen
tubuh dapat menyebabkan mereka menjadi imunogenik, sehingga hospes
menyusun serangan imunologik melawan jaringannya sendiri. Pada beberapa
kejadian, jaringan manusia mengandung antigen-antigen yang biasanya
dapat dikenali oleh sistem imun hospes, mereka terhindar dari tindakan

48
antibodi-antibodi oleh sel-sel imun tubuh mereka sendiri karena ada
rintangan-rintangan, seperti membrana basalis. Pada keadaan tertentu
dimana terdapat penghilangan rintangan sedemikian rupa akan
menghasilkan respon imun akut sekunder, merangsang hospes untuk
menyusun serangan pada jaringannya sendiri. Pada tiap kasus, keadaan akhir
ditunjuk sebagai autoimunitas.

Penyakit yang Secara Imunologi Melibatkan Antigen-antigen Autolog


Pada sebagian kecil populasi terjadi suatu penyakit yang dikenal sebagai
penyakit autoimun. Dalam hal ini, tanda-tanda pokok adalah injuri jaringan
yang disebabkan oleh reaksi imunologik hospes yang nyata dengan
jaringannya sendiri. Pada kebanyakan individu, dalam hospes ada
``pengenalan self `` dan toleransi terhadap semua komponen-komponen
tubuh, namun demikian pada penyakit autoimun, ada suatu keadaan
penyimpangan yang disebut Erlich sebagai `` horror autotoxicus `` , dimana
proses penghancuran diri terjadi oleh sistem imun orang itu sendiri.
Pemisahan yang jelas harus dibuat antara respons autoimun dan penyakit
autoimun. Istilah "respons autoimun" merujuk pada ditemukannya
autoantibodi yang diarahkan pada antigen ``self `` atau reaktivitas limfosit
tersensitisasi terhadap antigen ``self ``. Respons autoimun dapat atau tidak
dapat menimbulkan penyakit autoimun. Meskipun diduga bahwa penyakit
autoimun akibat dari cedera jaringan oleh respons autoimun, belum
diketahui apakah fenomena autoimun adalah penyebabnya, akibat, atau
suatu penemuan yang bersamaan dalam penyakit autoimun. Meskipun
percobaan binatang yang luas telah dilakukan, respons autoimun sebagai
penyebab penyakit manusia masih merupakan suatu hipotesis. Sering terjadi
fenomena autoimun berkaitan dengan penyakit infeksi. Hemaglutinin dingin
sering terlihat sesudah infeksi dengan Mycoplasma pneumoniae dan kadang-
kadang dikaitkan dengan hemolisis. Sekarang belum ada bukti bahwa
respons autoimun ini menyebabkan terjadinya penyakit autoimun yang kekal
dan terus-menerus. Penggunaan yang tidak menguntungkan istilah
"penyakit autoimun", yang menyatakan suatu serangan pertama dari hospes

49
melawan dirinya, timbul sebelum pengetahuan tentang mekanisme
imunologi injuri jaringan dikemukakan. Istilah penyakit "kolagen", penyakit
"kolagenvaskuler" dan penyakit "jaringan ikat" merupakan masalah
peristilahan tambahan yang mengganggu. Istilah-istilah ini memusatkan
perhatian yang tidak semestinya pada jaringan ikat, yang hanya merupakan
satu dari beberapa jaringan yang terlibat. Autoimunitas dapat dipandang
sebagai manifestasi tersier dari respons imun yang diarahkan pada antigen
yang pemrosesannya tidak tepat dan menimbulkan penghancuran jaringan
hospes. Pandangan ini berbeda dari pengertian klasik serangan pertama
hospes terhadap jaringannya sendiri.

Teori-Teori Patogenesis Penyakit Autoimun


Tiga hipotesis telah diusulkan untuk menerangkan mekanisme dan
manifestasi penyakit autoimun .
Hipotesis pertama, teori klon terlarang (forbidden-clone theory), menyatakan
adanya suatu klon dari limfosit mutan yang timbul melalui mutasi somatik .
Sel mutan yang membawa antigen permukaan yang dikenal sebagai asing
(mutan positif secara antigenik) biasanya akan dihancurkan. Bagaimanapun,
menurut teori ini, sel mutan yang tidak membawa antigen permukaan
(mutan negatif secara antigenik) tidak akan dihancurkan. Dengan
berproliferasinya sel mutan yang defisien antigen ini (klon terlarang), sel-sel
ini akan mampu bereaksi dengan jaringan sasaran karena ketidaksamaan
genetik. Fenomena ini sama dengan reaksi hospes melawan cangkok karena
limfosit yang tidak cocok secara genetik.
Hipotesis kedua, teori antigen terasing (sequestered antigen theory), didasarkan
pada fenomena pengaruh toleransi pada janin. Menurut teori ini, selama
pertumbuhan embrio, jaringan yang dipaparkan pada sistem limforetikuler
dikenal sebagai ``self ``. Mereka yang secara anatomi terpisah atau terasing
dari sistem limforetikuler tidak dikenali sebagai ``self``. Antigen ini terdapat
pada jaringan seperti mata, sistem syaraf pusat, thiroid, dan testis. Pada
kehidupan kemudian, pemaparan melalui trauma atau infeksi, dari antigen

50
jaringan terasing ini terhadap sistem limforetikuler menyebabkan terjadinya
penyakit autoimun. Kedua pengertian ini didasarkan pada dasar pikiran
(premise) hiperaktivitas respon imun, yang melalui pembentukan
autoantibodi atau limfosit tersensitisasi (hipersensitivitas lambat) akan
menimbulkan produksi suatu penyakit autoimun.
Hipotesis ketiga, pengertian tentang defisiensi imunologik, didasarkan pada
hipoaktif atau defisien sistem imunoiogik. Hipotesis ini mendapat dukungan
dari pengamatan secara klinis adanya hubungan antara sindroma defisiensi
imunoiogik dan kenaikan insidensi abnormalitas autoimun. Hubungan ini
telah diperhitungkan sebagian besar dari data yang diperoleh pada
percobaan binatang. Injuri akan terjadi melalui munculnya limfosit mutan
atau sebagai akibat tetap adanya antigen mikroba. Dari pengamatan ini, telah
disimpulkan bahwa bukan individu normal yang mengembangkan penyakit
autoimun, kenyataannya paling tidak individu tersebut mempunyai
defisiensi imun yang mendasari yang tidak kentara yang memberi
kecenderungan pada keadaan autoimun. Akhirnya, suatu pengertian yang
meminta penjelasan perkembangan keadaan autoimun harus
memperhitungan pengendalian genetik dari sistem imun. Gambaran keluarga
dan distribusi jenis kelamin (misalnya lebih banyak terjadi pada wanita)
mengkarakterisasi kebanyakan penyakit autoimun. Penemuan adanya
hubungan antara antigen histokompatibilitas tertentu dengan aneka macam
penyakit memberi kesan bahwa gena respons imun (IR) pada manusia
mungkin terletak dekat sekali dengan lokus HLA pada kromosom ke-6.
Hubungan yang paling utama adalah risiko yang relatif tinggi terjadinya
spondilitisankilosis atau sindroma Reiter pada individu HLA-B27-positif,
yang mempunyai kerentanan yang diwariskan terhadap berkembangnya
spondilitis atau sindrom Reiter dari aneka macam rangsangan antigenik.
Bukti akhir-akhir ini pada percobaan binatang dan manusia memberi kesan
pengaturan imun yang terganggu didasarkan pada ketidakseimbangan
asz3yang ditentukan secara genetik pada subpopulasi sel-T (yaitu sel-T4
helper/induser dan T8 sitotoksik/supresor) sebagai determinan penting pada
perkembangan penyakit autoimun serta penyakit alergi.

51
Klasifikasi
Penyakit autoimun dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu penyakit
autoimun sistemik (non organ spesific) dan penyakit autoimun spesifik organ
(organ spesific). Penyakit autoimun sistemik(non organ spesific) adalah penyakit
autoimun dimana pengaruh utamanya melibatkan lebih dari satu organ
sedangkan penyakit autoimun organ spesifik adalah penyakit autoimun
dimana pengaruh utamanya melibatkan satu organ.

Gambar 1. Spektrum dari penyakit autoimun

52
Gambar 2. Dua tipe penyakit autoimun

Penyakit Autoimun Sistemik (Non Organ Spesific)

Lupus Eritematosis Sistemik (Systemic Lupus Erythematosus = SLE)

Gambar 3. SLE dan berbagai manifestasi klinis yang dapat terjadi

Banyak terdapat pada wanita, SLE adalah suatu penyakit generalisata yang
mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang melibatkan beberapa sistem
organ. Sel sasaran primernya adalah sistem hematopoetik, kulit, sendi dan

53
ginjal. Organ-organ ini dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak
sekali antibodi . Antibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit masing-masing menyebabkan anemia hemolitik, leukopenia dan
trombositopenia. Perpanjangan waktu protrombin dan sebagian waktu
tromboplastin kadang-kadang terjadi karena "antikoagulan lupus", pada
beberapa kasus, antibodi terhadap faktor koagulasi dapat ditemukan.
Antibodi terhadap bahan-bahan nukleus atau antigen lain yang tidak
diketahui dapat bergabung dan menimbulkan injuri jaringan vaskuler
membrana glomeruli ginjal, atau permukaan sinovial sendi . Pembentukan
antibodi yang luas digambarkan oleh hipergamaglobulinemia, yaitu,
gamopati poliklonal khas untuk beberapa penyakit autoimun. Kecuali pada
kerusakan sel darah merah, autoantibodi sendiri rupa-rupanya tidak
mencetuskan cedera jaringan secara langsung. Cedera diduga terjadi
terutama karena pengendapan kompleks antigen antibodi (reaksi Tipe III).
Seperti pada beberapa penyakit vaskuler, jaringan tertentu lebih mudah
terserang injuri daripada yang lain. Jaringan ini meliputi pembuluh darah
kecil, glomerulus, sendi, limpa, dan valvula jantung.

Gambar 4. Penderita SLE dengan lesi kulit dan alopesia

Tabel 2. Manifestasi Umum SLE


Mekanisme Manifestasi
Antibodi terhadap sel darah merah Coombs + anemia hemolitik
Antibodi terhadap sel darah putih Leukopenia
Antibodi terhadap trombosit trombositopenia
Antibodi terhadap faktor pembekuan Waktu pcmbekuan diperpanjang

54
Pcmbcntukan antibodi ekstcnsif Hipergamaglobulinemia
kompleks anugen-antibodi: vasa darah Vaskulitis
Kompleks antigen-antibodi: glomeruli Nefritis
Kompleks antigen antiibodi: membrana sinovia Artritis

Gambar 5. Foto mikroskopis penderita SLE yang menunjukkan pengendapan


imunofluoresens tidak teratur yang khas dari globulin Ig G sepanjang
membrana basalis gromerulus
Patogenesis
Predisposisi genetik disebut "diatesis lupus", telah dilibatkan atas dasar
bertambahnya insidensi pada kembar dan adanya penyakit autoimun pada
keluarga penderita dengan lupus eritematosus. Sebagai tambahan
,tampaknya ada kenaikan insidensi pada penderita yang positif HLA-DR2
atau positif DR3. Sindroma seperti lupus sementara telah terjadi setelah
penggunaan yang lama obat-obat seperti hidralazin dan prokainamida. Pada
individu yang rentan secara genctik, faktor-faktor eksogen tertentu seperti
sinar ultraviolet, obal-obatan tertentu dan aneka macam agen infeksi dapat
berperan sebagai antigen atau menghasilkan antigen yang memicu respons
imunologik penghancur diri.

Tabel 3. Antigen HLA dan Penyakit Manusia


Penyakit Antigen
Spondilitis ankilosis B 27
Sindroma Reiter B27
Artritis Reaktif Infeksi Yersinia, Salmonella, Shigella B27
Artritis Reumatoid Dw4, DRw4
Lupus eritematosus sistemik A1,B8, DR3
Diabetes Melitus (tergantung insulin) B8, B15, DW3
Penyakit Grave B8
Penyakit Addison B8, Dw 3
Penyakit celiak Dw3, B8
Epatitis akut kronis B8
Anemia pernisiosa B7
Psoriasis B13, B17, B27, B37, Cw 6, D11, DR7
Phemfigus B13
Sklerosis Multipel A3, B7, B18, D2

55
Miastenia Gravis B8
Uveitis anterior akut B27
Glomerulonefritis kronik A2
Penyakit Hodgkin B5
Leukemia mielogenus kronik A3
Leukimia limfositik akut A2, B12
Limfosarkoma B12
Sindroma Sjogren primer Dw3

Bukti yang diperoleh dari binatang percobaan juga memberi kesan etiologi
genetik, Pada strain mencit New Zealand hitam sejenis, dapat terjadi
sindroma seperti lupus yang terdiri dari sel-sel LE dan lesi glomerulus.
Disamping predisposisi genetik, penemuan partikel seperti virus pada mencit
ini memberi kemungkinan etiologi infeksi yang menyebabkan keadaan
autoimun. Ada bukti akhir-akhir ini bahwa sel-T supresor atau zat supresor
respons imun solubel (a soluble immune respon suppressor = SIRS) mungkin
defisien pada tikus NZB ( New Zealand Black Strain). Meskipun fungsi yang
tepat dari sel-T supresor pada manusia belum diketahui, mereka tampaknya
memainkan peran penting pada pengaturan imunologik dan pada
pencegahan produksi autoantibodi. Mungkin kemudian menyusul, bahwa
defisiensi fungsi sel supresor memungkinkan sel-B keluar dari mekanisme
pengaturan normal dan terus menghasilkan autoantibodi. Gambaran
subpartikel mixovirus pada hasil biopsi ginjal dari kasus lupus eritematosus
sistematik pada manusia menguatkan kemungkinan virus ini sebagai
penyebab pada manusiatetapi arti dari penemuan ini belum diketahui.

Uji Imunologik
Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear yang telah
mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung dengan antibodi
antinuklear. Uji untuk adanya sel-sel ini dapat digunakan untuk
membuktikan diagnosis SLE. Darah perifer atau sumsum tulang diinkubasi
pada suhu 370 C dan kemudian dicari sel LE. Karena nonspesifisitasnya, uji ini
sekarang jarang dilakukan. Yang lebih sering dicari dalam diagnosis SLE
adalah antibodi yang melawan protein atau bahan-bahan nukleus lain.
Beberapa antibodi ditemukan dengan fluoresensi (fluorescent antinucleur
antibody) yang ditemukan dengan teknik presipitasi Amonium Sulfas .

56
Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung dengan
antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat aktif, terutama
bila ginjal terlibat, ada pengurangan komplemen dalam sirkulasi (misalnya
C3) dalam sera individu ini, yang mempunyai arti penting baik diagnostik
maupun terapeutik karena kadarnya menjadi normal bila terapi berhasil.
Uji untuk ANA sekarang sedang digunakan untuk menyaring SLE. Karena
ANA dan sel LE juga terjadi pada penderita yang menerima obat-obatan,
adanya riwayat minum obat supaya diperhatikan dengan seksama. Kadar
komplemen dapat memberi pegangan yang berguna dalam diagnosis
maupun pengelolaan penyakit, terutama dengan keterlibatan ginjal. Antibodi
anti-DNA dan pengikatan DNA merupakan uji tambahan yang mempunyai
spesifisitas yang tinggi untuk SLE dan digunakan secara seri untuk menilai
aktivitas penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini ada antibodi terhadap
antigen nukleus yang diekstraksi (extractable nuclear antigen = ENA),seperti
antigen ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen Ro, dan antigen La.
Adalah menarik bahwa mikroskopik imunofluoresen dari kulit menunjukkan
pengendapan imunoglobulin pada perbatasan dermoepidermal pada lebih
dari 90 persen spesimen dari kulit yang terlibat, dan lebih dari 50 persen dari
kulit yang tidak terlibat pada penderita SLE. Berbeda halnya, pada lupus
diskoid, pengendapan hanya terhadap pada kulit yang terlibat.

Pengobatan SLE berbeda-beda. Pada beberapa penderita obat-obat anti


inflamatoris nonsteroid dapat memberikan cukup pengendalian aktivitas
penyakit, dan dalam beberapa kasus diperlukan obat- obat sitotoksik.

Artritis reumatoid (Rheumatoid Arthritis =RA)

57
Gambar 6. Reumatoid arthritis
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit lain autoimun yang dapat
melibatkan beberapa sistem organ dengan menghasilkan vaskulitis. Tempat
injuri yang paling sering adalah permukaan sinovial dan sendi . Lesi yang
lebih luas dapat terjadi, terutama artritis reumatoid sistemik.

Patogenesis dan etiologi


Etiologi RA belum diketahui. Beberapa etiologi telah dirumuskan, termasuk
gangguan metabolik dan agen infeksius (bakteri dan mikoplasma). Bukti
tidak langsung telah diajukan untuk virus-virus pada membran sinovial
penderita RA. Namun demikian, tidak ada bukti langsung bahwa virus-virus
ini memainkan peran pada patogenesis RA. Artritis ringan diketahui
menyertai beberapa infeksi virus. Misalnya, setelah terjadi infeksi rubela
secara alami atau imunisasi rubela, kurang lebih sepertiga dari orang dewasa
timbul pengaruh seperti artritis reumatoid sementara.

58
Gambar 7. Foto tangan penderita dengan artritis reumatoid lanjut. Perhatikan deformitas
pada sendi metakarpal-falangeal dengan atrofi pada otot hipotenar dan deviasi
ulner

Genetik
Keluarga dari penderita yang terkena RA menunjukkan kenaikan insidensi
penyakit jaringan ikat (misalnya SLE). Lagi pula, pada anak-anak dengan
defisiensi imun (misalnya agamaglobulinemia), mempunyai kenaikan
insidensi terhadap penyakit jaringan ikat (misalnya artritis reumatoid).
Tambahan lagi, ada suatu kenaikan insidensi HLA-DR-4 pada penderita AR.
Karena itu, mungkin ada faktor genetik yang mendasari yang menentukan
kerentanan penderita terhadap RA, tetapi faktor-faktor ini kompleks dan saat
ini belurn dimengerti.

Penemuan Imunologik
Faktor reumatoid (RF) merupakan globulin IgM yang mempunyai
kemampuan bereaksi dengan globulin IgG in vitro. Ada aneka macam
antiglobulin lain dari IgG, IgE dan IgA. Rangsangan untuk produksi RF
belum diketahui. Faktor ini ditemukan dalam serum dan cairan sinovial dari
kebanyakan penderita-penderita dewasa dengan artritis reumatoid tetapi
jarang ditemukan pada RA juvenil. Meskipun RF secara diagnostik berguna,
tetapi tidak spesifik karena juga ditemukan pada hospes penyakit lain
termasuk penyakit jaringan ikat. Uji untuk RF dilakukan dengan
menggunakan aneka macam bahan pembawa (carrier) sebagai pengantar
gamaglobulin (lateks, bentonit dan eritrosit). Karena kompleks faktor
reumatoid-gama-globulin-komplemen telah ditemukan dalam cairan sinovial,
FR telah dilibatkan sebagai faktor penyebab dari penyakit radang sendi
kronik AR. Tidak seperti kasuss SLE, kadar komplemen serum yang rendah
jarang dijumpai pada serum penderita dengan RA. Karena kompleks
terutama berada dalam sendi, kadar komplemen yang rendah telah
ditemukan dalam cairan sendi penderita dengan AR. Sintesis RF telah juga
ditunjukkan dalam sinovial sendi yang terkena.

59
Uji Imunologik.
Pada orang dcwasa, uji utama yang membedakan AR adalah uji RF serum.
Pada bentuk demam akut atau sistemik RA juvenil, pencetusan penyakit
sering menyerupai pencetusan proses penyakit infeski akut dengan demam
tinggi, ruam, leukositosis dan laju endap darah yang cepat. Pada anak-anak,
diagnosis pasti dari RA mungkin harus menunggu timbulnya manifestasi
sendi. Pengobatan RA diarahkan terutama pada hilangnya rasa sakit dan
radang. Obat- obat yang sering digunakan termasuk salisilat dan agen
nonsteroid lain. Kebanyakan penderita mendapat manfaat oleh obat-obat ini
dan fisioterapi. Penderita dengan RA yang progresif mungkin memerlukan
obat-obat preparat emas, antimalaria, D-penisilamin, steroid dan bahkan
obat-obat sitotoksik. Agen ini mempunyai pengaruh "meringankan" dalam
arti mereka mungkin menghentikan progresifitas RA.

Spondilitis Ankilosis (SA)/ Ancylosing Spondylitis (AS)

Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit reumatik sistemik yang


dikarakterisasi oleh radang sendi sakroiliaka dan sendi apofisial spinal
(sinovial). Akibatnya, nyeri pinggang merupakan keluhan-keluhan yang
sering diajukan meskipun penyakit dapat mulai pada sendi perifer, bahkan
dapat dimulai dengan iridosiklitis akut. AS menyerang 10 kali lebih banyak
laki-laki daripada wanita dan mulai kebanyakan antara 20 dan 40 tahun.
Meskipun etiologi yang pasti dari AS ini belum jelas, bukti adanya pengaruh
faktor genetik tampak makin bcrtambah. AS diduga sejak lama mempunyai
latar belakang genetik, pertama karena kelompok keluarga yang menyolok
ditemukan antara penderita dan kedua karena angka persamaan yang tinggi
pada kembar monozigot. Baru-baru ini, terungkapnya frekuensi yang luar
biasa tinggi dari antigen HLA-B27 yang diwariskan mencapai lebih dari 96
persen dari penderita , dan 50 persen dari keluarga bila dibandingkan dengan
kontrol yang hanya 9 persen, memberikan bukti yang besar adanya
hubungan genetik pada penyakit ini. Hubungan yang sering antara AS dan
penyakit yang seakan-akan tidak berkaitan seperti colitis ulserativa, enteritis

60
regional, sindroma Reiter dan psoriasis sampai sekarang belum dapat
dijelaskan. Diperkirakan bahwa risiko berkembangnya SA adalah 40 kali
lebih besar pada penderita dengan colitis ulserativa yang membawa antigen
B27 daripada mereka yang tanpa antigen. Tepatnya bagaimana hubungan
genetik belum diketahui. Namun demikian, laporan akhir-akhir ini
memberikan bukti adanya pembentukan antibodi dan pengendapan
kompleks imun di AS. Akibatnya, patogenesis AS dapat disusun dalam cara
berikut. Faktor pendorong yang berubah-ubah, seperti colitis ulserativa,
dapat mempercepat perkembangan spondilitis pada individu yang
mempunyai kecenderungan secara genetik yang mempunyai penanda B27.
Penyakit ini kemudian dapat diabadikan oleh serangan pengrusak diri respon
imun melawan ``self yang diubah``.

Obat-obat utama dalam penanganan termasuk indometasin dan fenilbutason.


Masing- masing obat ini menekan dengan cepat radang sendi dan keluhan-
keluhannya, penderita dianjurkan melakukan langkah-langkah pendukung
selama hidupnya seperti latihan bersikap dan latihan terapeutis.
Bagaimanapun, obat-obat ini tidak mencegah progresivitas AS. Untuk
penderita dengan kifos- koliasis yang jarang, osteotomi vertebra yang terjepit
dapat memperbaiki keadaan penderita.

Sindroma Sjögren (Ss)

Gambar 8. Serostomia dan keratokonjungtivitis sikka


Sindroma Sjögren (SS), pada bentuk primernya terdiri dari
keratokonjungtivitas sikka (mata kering) dan serostomia (mulut kering).
Namun demikian, SS lebih sering terjadi akibat AR atau salah satu dari

61
penyakit jaringan ikat seperti SLE, skleroderma atau polimiositis. Salah satu
tanda-tanda yang paling khas dari SS adalah reaktivitas imunologik yang
menyolok yang ditemukan dalam serum. Sel LE, ANA, RF, dan
hipergamaglobulinemia sering terdapat antibodi terhadap RNA, duktus
salivarius, kelenjar lakrimal otot polos, mitokondia dan kelenjar tiroid dapat
juga ditemukan. Tambahan lagi, antibodi terhadap antigen yang disebut SS-A
dan SS-B ditemukan, dengan presentase yang tinggi pada pcnderita-penderita
SS. Pada penderita SS ada kenaikan frekuensi asidosis tubulus renalis.
Limfoma dapat juga bcrkembang pada pendcrita ini, terutama pada penderita
dengan bentuk primer dari SS.
Antibodi antiduktus salivarius, yang ditunjukkan dengan imunofluoresensi
indirek dari kelenjar ludah dan kelenjar lakrimal manusia, terjadi lebih sering
pada pendcrita dengan SS dan AR daripada pada penderita dengan SS
primer. Antibodi ini nampaknya memblok (bereaksi dengan dan menutupi)
diterminan pada sel-sel permukaan duktus, , diserang oleh limfosit tersen-
sitisasi. Akhir-akhir ini hubungan HLA-DW3 dengan sindroma Sjögren
primer telah diternukan. Diagnosis diperkuat dengan technitium pertechnetate
scintiscanning kelenjar ludah, yang lebih sensitif dari sialografi, dan biopsi
bibir. Pengobatannya termasuk tindakan penyokong seperti penggunaan air
mata buatan dan steroid atau obat imunosupresif untuk menanggulangi
manifestasi sistemik yang serius seperti vaskulitis.

Angitis Nekrotikans (AN) / Necrotizing Angitis (NA)

Angitis nekrotikans meliputi sekelompok gejala-gejala yang dikarakterisasi


oleh radang segmental dari arteri. Poliarteritis nodosa (PN) mempunyai
kecenderungan terdapat laki-laki dan melibatkan baik arteri kecil ataupun
sedang. Sedangkan hipersensitivitas angiitis hanya melibatkan vasa-vasa
kecil. Secara klinik sukar membedakan antara PN dari hipersensitivitas
angitis kecuali bila keterlibatan kulit jelas memberikan dugaan yang
mengarah pada hipersensitivitas angiitis, yang sering disebabkan oleh obat-
obatan, terutama sulfonamida dan penisilin. Gambaran toksik penderila

62
dengan tiap penyakit menggambarkan keterlibatan berbagai macam organ
yang tersebar luas sebagai akibat oklusi vaskuler difus. Pengobatannya
termasuk steroid (dosis tinggi) dan kadang-kadang ditambah obat-obat
imunosupresif. Prognosis lebih baik pada hipersensitivitas angiitis, penderita
yang bertahan hidup sebaiknya menghindari obat-obat yang terlibat.
Purpura Henoch-Schonlein mengenai vasa-vasa kecil kulit, sendi dan traktus
gastrointestinal. Purpura, perdarahan gastrointestinal dan glomerulonefritis
lokal sering menyertai artritis. Baru-baru ini,biopsi lesi purpura menunjukkan
adanya endapan granuler yang cemerlang dari IgA, C3 dan fibrin-fibrinogen
dalam kapiler dan jaringan ikat dermis
Penemuan-pencmuan yang mungkin berguna untuk diagnostik, terutama
pada kasus atipik. Pada granulomatosis Wegener, vaskulitis terjadi pada
traktus respiratorius bagian atas, paru-paru, ginjal, pada penyakit Kawazaki,
terutama terjadi pada arteri coronaria, sedangkan pada penyakit takayasu
(tanpa nadi), ini terjadi pada aorta dan cabang-cabang utamanya, dan pada
arteritis sel raksasa, ini terjadi pada arteri temporalis dan arteri cranialis yang
lain.

Patogenesis dan Etiologi.


Adanya kompleks imun antigen hepatitis B (HbsAg) pada jaringan yang
terkena, termasuk ginjal, baru- baru ini telah ditunjukkan pada 30 sampai 40
persen penderita dengan PN. Sebaliknya etiologi dari keadaan ini tetap belum
diketahui. bagaimanapun, tanda imunopatologik dari keadaan ini adalah
vaskulitis, serupa dengan injuri jenis kompleks imun. Penemuan penentuan
laboratorium termasuk leukositosis dan kadang-kadang eosinofilia. Dengan
keterlibatan ginjal, dalam sedimen urin dapat ditemukan heterogenesitas
elemen-elemen seluler. Biopsi adalah satu-satunya cara untuk memperkuat
diagnosis dan harus diperoleh dari area yang terkena.

Polimiositis (Dermatomiositis)

63
Polimiositis merupakan penyakit autoimun sistemik lain yang secara
patologik dikarakterisasi oleh degenerasi dan inflamasi otot skelet. Secara
klinis, penyakit ini ditandai oleh kelemahan otot bahu dan otot-otot lingkaran
pelvis. Dermatomiositis adalah bentuk polimiositis, yang melibatkan kulit.
Patogenesis dan etiologi.
Etiologi dari keadaan ini tidak jelas, meskipun bukti untuk cara injuri imun
otot yang ditengahi sel terus bertambah. Yang menarik adalah insidensi
keseluruhan penyakit malignan yang terjadi sampai lebih dari 20 persen
kasus, biasanya pada penderita dengan dermatomiositis. Insidensi ini
dikaitkan dengan umur hospes ( menjadi makin tinggi dengan makin
bertambahnya umur). Karena itu, pada setiap orang dcwasa tua dengan
penyakit ini, pemeriksaan yang teliti untuk neoplasma harus dilakukan,
terutama bila mulainya akut. Penemuan laboratorium termasuk kenaikan
enzim otot dalam serum (transaminase, aldolase, kreatinin fosfokinase) dan
gambaran elektromiografi yang abnormal. Diagnosis dapat diperkuat dengan
biopsi otot. Pengobatan adalah penggunaan imunosupresan, misalnya
steroid.

Sklerosis Sistemik Progresif Skleroderma


(Progressive Systemik Sclerosis Skleroderma)

PSS adalah penyakit kronik yang etiologinya belum diketahui,


dikarakterisasi oleh penebalan fibrosa dari kulit (skleroderma) dan beberapa
organ dalam (traktus gastrointestinal,jantung, ginjal dan paru-paru). Dua
pertiga dari penderita adalah wanita. Kenaikan kadar imunoglobulin, ANA
(terutama gambaran yang berbintik dan nukleolar) dan ikatan DNA pada
anak dengan PSS dan skleroderma lokal (morphea dan hemiatrofi)
merupakan bukti untuk patogenesis yang ditengahi antigen. Pemeriksaan in
vitro dari fibroblast kulit skleroderma menunjukkan kenaikan sintesis
kolagen, memberi kesan bahwa cacat dasar pada PSS adalah salah satu dari
gangguan pengaturan atau aktivasi dari fibroblast. Saat ini, belum ada terapi

64
yang berhasil, meskipun D-penisilamin memberikan beberapa harapan,
terutama untuk penyakit kulit PSS.

Penyakit Jaringan Ikat Campuran


(Mixed Connective Tissue Disease = MCTD)

Pemberian nama ini disediakan untuk penderita-penderita dengan tanda-


tanda klinik gabungan dari RA, SLE, PSS dan polimiositis. Penderita
menunjukkan adanya artritis, tangan bengkak secara difus, fenomen
Raynaud, motilitas esofagus terganggu, miositis, limfadenopati, dan
hipergamaglobulinemia. Khas, penderita mempunyai ANA positif dengan
gambaran yang berbintik. Diagnosis diperkuat oleh adanya titer yang tinggi
dari antibodi terhadap antigen nuklear yang dapat diekstraksi (extractable
nuelear antigen = ENA) terutama antigen RNP. Antibodi serum MCTD tidak
bereaksi dengan antigen bila sebelumnya dicampur dengan ribonuklease.
Tidak seperti pada kasus SLE, pada MCTD kadar komplemen serum normal.
Beberapa penderita (mudah berespons) terhadap kortikosteroid. Prognosis
tampaknya baik, tetapi pengamatan jangka lama menunjukkan bahwa
beberapa penderita berkembang menjadi penyakit jaringan ikat klasik, seperti
PSS.

PENYAK1T ORGAN SPESIFIK

Anemia Hemolitik Autoimun (AHA)

AHA adalah kelompok anemia heterogen yang dikaraktcrisasi oleh proses


hemolitik yang bcrkaitan dengan antibodi spesifik sel darah yang
mengaglutinasi sel darah merah (aglutinin), yang lain melisis mereka
(hemolisin) bila bersama-sama dengan komplemen. Karena antibodi ini
diarahkan melawan sel darah merah penderita sendiri, mereka disebut
autoantibodi. AHA dikIasifikasikan menurut sifat-sifat fisik dari antibodi .

65
AHA yang paling sering ditemukan adalah kelompok aglutinin panas, terdiri
dari jenis idiopatik dan jenis sekunder. Pada pendcrita ini, antibodi adalah
kelas IgG dan menunjukkan kemampuan mengikat komplemen terbatas.
Pada jenis idiopatik yang merupakan lebih dari separo kasus AHA,
etiologinya tetap belum jelas. Namun demikian pada pengamatan jangka
lama pada beberapa dari penderita ini timbul limfoma. Pada jenis sekunder
anemia terjadi berkaitan dengan salah satu dari beberapa pcnyakit atau
sesudah penggunaan obat. Pada kelompok aglutinin dingin, antibodi kelas
IgM mempunyai kemampuan untuk mengikat komplemen dan bereaksi pada
suhu dingin (4°C), terutama yang melawan golongan darah I. Autoantibodi
anti-I terdapat pada penyakit seperti pneumonia atipik (Mycoplasma
pneumoniae), mononukleosis infeksiosa, dan penyakit aglutinin dingin.
Autohemolisin dingin (jenis Donath- landsteiner) ditemukan pada kelompok
ketiga dari AHA yang berkaitan dengan hemoglobulinuria dengan
paroksismal dan infeksi yang bcrubah-ubah (variabel), termasuk virus.
Penyakit ini pertama digambarkan pada penderita dengan sifilis tersier.
Antibodi adalah IgG dan semuanya mengikat komplemen. Karena mudah
sekali mengikat komplemen, kebanyakan sel darah merah dilisis sebelum
mereka mencapai sel-sel fagositik, menyebabkan hemolisis intravaskuler
yang cepat dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria khas untuk
penyakit ini.

Etiologi
Etiologi AHA belum diketahui. Telah disimpulkan bahwa agen eksogen (obat
dan virus) dapat rnengubah susunan antigenik dari membran sel darah
merah, yang menyebabkan eritrosit rentan terhadap hemolisis. Pada
penderita yang mengalami AHA dapat ditentukan secara genetik
kerentanannya terhadap perkembangan autoantibodi yang pada beberapa
kasus dapat dikaitkan dengan abnormalitas imunologik, misalnya sebagai
kegagalan membentuk imunoglobulin yang diwariskan atau didapat.

Diagnosis

66
Kriteria diagnostik utama yang digunakan dalam membedakan AHA dari
bentuk-bentuk lain anemia adalah adanya sferositosis pada preparat apus
darah perifer dan raksi antiglobulin yang positif (uji Coombs) untuk
autoantibodi. Reaksi aglutinasi tergantung suhu akan membantu mengenali
autoantibodi jenis spesifik .

Terapi
Pada jenis aglutinin panas, steroid adalah obat-obat yang berguna, tetapi agen
imunosupresi lain seperti azatioprin, dapat digunakan jika penderita gagal
berespons dengan steroid. Splenektomi dapat juga berguna pada beberapa
penderita yang tidak berespons dengan steroid. Pada kelompok aglutinin
dingin, tidak ada pengobatan spesifikyang diperlukan karena merupakan
jenis pasca infeksi, agen sitotoksik bcrguna pada jenis idiopatik. Pada
hemoglobinuria dingin paroksismal, terapi obat tidak berhasil meskipun
transfusi dengan darah yang scbelumnya dipanasi sampai 37°C sering
menguntungkan.

Kelenjar Tiroid

Penyakit kelenjar yang melibatkan faktor autoimun telah ditemukan yaitu


tiroiditis dan penyakit Grave. Tiroiditas merupakan suatu keadaan dimana
terjadi tingkat penghancuran kelenjar yang berbeda-beda dengan infiltrasi
inflamatoris. Penderita dapat dalam manifestasi penyakit akut, subakut atau
kronik, yang ditegaskan oleh derajat dan lama inflamasi. Sifat-sifat
imunologik tiroiditis dijelaskan melalui penelitian dengan membuat penyakit
pada kelinci dengan menyuntikkan jaringan tiroid yang diemulsikan dalam
ajuvan Freund lengkap. Meskipun mulanya diduga ditengahi oleh antibodi,
sekarang dirasakan bahwa mekanisme primer injuri imunologik dapat
melibatkan mekanisme lain, misalnya injuri seluler. Tiroiditis akut dapat
supuratif atau nonsupuratif. Ada bukti bahwa bentuk non- supuratif dapat
mempunyai dasar imunologik. Ia tampak dengan gejala demam, sakit

67
tenggorokan, kelenjar tiroid membesar dan lunak. Gejala-gejala
hipertiroidisme dapat ada, dan kadar tiroksin serum dapat naik.

Gejala- gejalanya sama dengan gejala infeksi, dan dapat terjadi kenaikan
jumlah Ieukosit dan laju endap darah yang cepat. Kemungkinan adanya
tiroiditis harus betul-betul dipertimbangkan. Pada penderita yang datang
dengan hipertiroidisme, Ratio wanita terhadap laki-laki adalah enam banding
satu.
Gambaran klinis yang kurang berat terjadi pada tiroiditis subakut. Pada
keadaan ini, terjadi pelunakan nodulus kelenjar tiroid atau struma lokal yang
dapat diragukan dengan Karsinoma. Meskipun pada suatu saat dianggap
jarang ditemukan, tetapi sekarang tiroiditis subakut lebih sering dikenal.
Kekhasannya, penderita adalah eutiroid dan tidak ditemukan kelainan fungsi
tiroid. Pada tiroiditis limfositik kronik (tiroiditis Hashimoto), penderita
berkembang melalui fase akut dan subakut . la dapat tetap eutiroid atau
dapat berkernbang menjadi berbagai tingkat hipotiroidisme. Kehabisan
kelenjar dapat total, yang mengakibatkan mixedema. Pada bentuk klasik,
ditemukan kelenjar yang membesar difus dan tidak lunak. Pada kasus
dengan mixedema, pemeriksaan fisik dapat menunjukkan suatu struma atau
suatu kelenjar tiroid keras, kecil dengan penemuan fungsi tiroid yang
tertekan.

Gambar 9. Tiroiditis Hashimoto

68
Sebagai akibat dari penemuan imunologik yang lebih baru, penyakit Grave
sekarang dipandang sebagai penyakit multisistem dimana ada 3 golongan
yang berbeda secara klinis: (1) hipertiroidisme karena struma difus (2)
oftalmopati infiltratif (eksoftalmus), dan (3) dermopati infiltratif (mixedema
pretibial lokal). Tiga komponen ini mungkin terdapat secara individual atau
dalam kombinasi satu dengan yang lain. Manifestasi oftalmopati infiltratif
dan dermopati infiltratif lebih seing terjadi pada penderita dewasa karena
pada orang dewasa ditemukan insidensi yang lebih tinggi. Hubungan antara
penyakit Grave dan penyakit Hashimoto makin lebih sering dikenal. Kedua
penyakit ini sering ada bersama-sama dan tentu saja dapat menggambarkan
manifestasi yang berbeda dari spektrum biasa. Antibodi dalam sirkulasi serta
respons limfoproliferatif in vitro terhadap berbagai macam unsur pokok
tiroid biasanya ditemukan dalam keduanya, Lagi pula, perubahan-perubahan
patologik dari penyakit Hashimoto sering ditemukan pada kelenjar tiroid dari
penderita dengan penyakit Grave. Di samping antibodi dalam sirkulasi, yang
dapat menggambarkan fenomena autoimun, antibodi telah dibicarakan pada
dua penyakit ini yang tampaknya mengatur aktivitas seluler dan dapat secara
nyata membantu hipertiroidisme. Bantuan ini termasuk stimulator tiroid
berdaya kerja lama (long acting thyroid stimulator = LATS), aktivitas
pelindung LATS (LATS protcctor activity = LPA) dan imunoglobulin yang
merangsang tiroid (thyroid-stimulating imunoglohulin - TSI). Saat ini belurn
jelas apakah aktivitas ini menggambarkan tiga antibodi yang berbeda atau
apakah mereka semua dapat merupakan manifestasi yang berbcda dari
antibodi yang lama spesifisitasnya, hanya berbeda pada cara yang digunakan
untuk deteksi. Antibodi ini dideteksi dengan cara bioassay. LATS dengan
kemampuan in vivonya untuk memperbesar pelepasan hormon tiroid dan
LPA dengan kemampuannya mencegah neutralisasi LATS dengan inaktivator
yang biasanya ada pada ekstrak tiroid manusia. TSl tampaknya mewakili
autoantibodi yang diarahkan pada reseptor tirotropin, yang mampu mengikat
reseptor dan merangsang produksi AMP siklik dan produksi hormon tiroid
yang berlebih-lebihan. Penderita dapat juga mempunyai antibodi yang
diarahkan melawan tiroglobulin dan antigen mikrosom.

69
Patogenesis
Tiroglobulin biasanya dipindahkan dari ruang koloidal ke dalam sel asinar
dengan cara proses pinositosis. Dalam sel asinar, protease melepaskan
tiroksin dari kompleks protein makromolekuler. Secara normal tiroglobulin
tidak masuk sirkulasi dalam jumlah yang berarti. Tiroksin yang dilepaskan
masuk ke dalam struktur kapiler yang mengelilingi sel asinar dan diangkut
ke jaringan perifer. Jika kompleks makromolekuler belum dibersihkan oleh
protease atau dilepaskan utuh, ia mungkin masuk ke dalam sirkulasi dan
merangsang terjadinya respons imun dengan akibat cedera "autoimun"
terhadap tiroid . Hal ini dapat tcrjadi sesudah trauma atau infeksi. Baru-baru
ini, faktor genetik telah dilibatkan dalam patogenesis tiroiditas kronik baik
pada manusia maupun pada binatang percobaan. Dengan penggambaran
LATS, LPA, dan TSI baru-baru ini, diduga bahwa antibodi tambahan dapat
memainkan peran dalam patogenesis penyakit Grave dan tiroiditis limfositik
kronik.

Uji Imunologik
Ada beberapa uji imunologik yang berguna untuk deteksi antibodi terhadap
jaringan tiroid. Antibodi antitiroglobulin dapat dideteksi dengan teknik
presipitasi, aglutinasi lateks, uji sel darah merah warna coklat (tanned red cell
= TRC) dan radioimunoassay. Antibodi mikrosomal dideteksi dcngan fiksasi
komplemen, uji sitotoksisitas, imunofluoresensi dari sel epitel tiroid yang
tidak terikat, radioimmunoassay dan uji hemaglutinasi. Antigen mikrosomal
dikaitkan dengan baik sekali dengan lipoprotein ekstrak tiroid dan dilekatkan
pada bagian membran retikulum endoplasmik yang halus. Antigen kedua
koloid asinar, suatu protein yang berbeda dari tiroglobulin juga dideteksi
dengan imunofluoresensi. Pewarnaan untuk antibodi ini paling cemerlang
pada tiroiditis Hashimoto, meskipun tidak spesifik pada penyakii ini dan
dapat sering ditemukan pada serum penderita dengan tirotoksikosis dan
kanker tiroid. Antibodi permukaan sel spesifik tiroid telah terdeteksi dengan
imunofluoresensi pada suspensi sel tiroid manusia. Arti dari antibodi ini

70
belum diketahui. Stimulator tiroid berdaya kerja lama (long acting thiroid
Stimulatorr = LATS) telah dideteksi pads sekitar 50 persen penderita penyakit
Grave. Imunoglobulin yang merangsang tiroid (thyroid-slimulating
immunoglobulin = TSI) dalam sirkulasi telah dideteksi dalam 90 persen
penderita-penderita penyakit Grave dan 15 persen pada penderita tiroiditis
Hashimoto. Meskipun hipertiroidisme dapat mengkarakterisasi fase tertentu
tiroiditis, tujuan keseluruhan dari proses penghancur diri dari penyakit
Hashimoto tampaknya diarahkan dengan keras pada terjadinya inflamasi
kronik dengan infiltrasi limfosit, penghancuran kelenjar ,dan akhirnya
pengurangan fungsi tiroid dan hipotiroidisme. Sebab dari eksoftalmus pada
penyakit Grave belum diketahui. Namun demikian penelitian baru-baru ini
yang menunjukkan adanya tiroglobulin dalam otot orbita penderita penyakit
grave dapat memperkuat dasar dari injuri imun seluler pada patogenesis
penyakit ini. Aneka macam bentuk tiroiditis dapat dibedakan dcngan
meneliti berbagai macam fungsi tiroid dan antibodi . Pada bentuk akut,
gambaran yang paling sering adalah bertambahnya T4 total bersamaan
dengan berkurangnya pengambilan jodium-131. Antibodi antitiroid biasanya
tidak dideteksi pada tiroiditis akut. Pada tiroiditis subakut, kadar tiroksin
sering normal, tetapi dapat dideteksi bertambahnya senyawa jodium
nontiroksin dalam sirkulasi. Penyerapan jodium-131 seringkali normal.
Antibodi antitiroid biasanya tidak ada pada tiroiditis subakut. Pada bentuk
kronik, fungsi tiroid dapat normal atau berkurang, tergantung pada tingkat
keterlibatan tiroid. Antibodi antitiroid biasanya terdeteksi. Pada penyakit
Grave, T4 total naik, penyerapan 113
I radioaktif meningkat, dan antibodi
antitiroid, terutama LATS dan TSI ada.

71
Gambar 10. Foto mikroskopis kelenjar tiroid yang menunjukkan perubahan tiroiditis kronis
(tiroiditis Hashimoto). Perhatikan penghancuran susunan normal kelenjar
dengan infiltrasi sel-sel mononuklear berat

Pankreas
Antibodi terhadap insulin dalam sirkulasi telah ditemukan dalam serum
penderita diabetes, yang dapat membantu alergi insulin (IgE) atau kekebalan
insulin (IgG, IgA atau IgM) . Namun demikian, antibodi ini tidak ditemukan
secara teratur pada penderita yang tidak diobati. Akhir-akhir ini, kekebalan
insulin telah dilaporkan pada penderita yang tidak diobati dan tampak
dikaitkan dengan dua jenis antibodi: (1) antibodi yang diarahkan terhadap
reseptor molekul insulin, dan (2) antibodi yang diarahkan terhadap reseptor
insulin. Pada kedua keadaan ini, interaksi insulin dengan reseptornya tampak
dirintangi. Antibodi insulin yang dihasilkan pada binatang telah memberikan
dasar untuk uji yang berguna untuk radioimunoassay kadar insulin. Baru-
baru ini, autoantibodi tiroid dan gastrik telah ditemukan dalam serum
penderita diabetes tanpa ada penyakit tiroid secara klinis atau anemia
pernisiosa. Autoantibodi ini lebih sering dideteksi pada jenis tergantung
insulin (Juvenile-onset) dan lebih sering dideteksi pada wanita. Penemuan ini
mungkin merupakan salah satu segi heterogenesitas dari penvakit endokrin
ini.

Kelenjar Adrenal

72
Penemuan antibodi terhadap jaringan adrenal pada penderita penyakit
Addison telah dilaporkan. Antibodi ini telah dideteksi dengan
imunofluoresensi atau fiksasi komplemen. Arti penting penemuan tersebut
pada saat ini belum jelas.

Kelenjar Paratiroid

Hipoparatiroidisme idiotipik terjadi dengan frekuensi lebih besar pada anak-


anak daripada dewasa dan lebih sering pada wanita daripada laki-laki.
Penyakit terkait yang dapat menyertai hipoparatiroidisme, termasuk penyakit
Addison idiopatik, alopesia totalis, anemia pernisiosa dan moniliasis.
Antibodi terhadap tiroid, kelenjar adrenal dan jaringan gastrik telah
dideteksi. Bukti dengan alasan yang meyakinkan telah diperoleh untuk cara
pemindahan autosomal resesif dari cacat yang mendasari macam-macam
penyakit yang terkait ini bila ada kelompok yang terdiri dari dua atau lebih.
Perlu diperhatikan bahwa ada juga hubungan hipoparatiroidisme dengan
kegagalan perkembangan sistem imun tergantung timus pada sindroma
DiGeorge.

e. Pertanyaan minimal yang dikuasai


1. Bagaimanakah mekanisme Autoimun?
2. Bagaimanakah konsep self Tolerance ?
3. Bagaimanakah mekanisme kehilangan self tolerance?
4. Apakah yang dimaksud Major Hystocompatibelity Complex (MHC)
atau Human Leukocyte Antigen (HLA) ?
5. Sebutkan penyakit-penyakit yang berdasarkan mekanisme autoimun !
6. Jelaskan patogenesis penyakit-penyakit yang berdasarkan mekanisme
autoimun !
7. Jelaskan gejala dan tanda kelainan-kelainan yang berdasarkan
mekanisme autoimun !

73
8. Jelaskan pemeriksaan penunjang untuk kelainan-kelainan yang
berdasarkan mekanisme autoimun!

f. Daftar pustaka
- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G. Parslow.,1997.Medical
Immunology 9th edition,Appleton&Lange,USA,pp : 827-862
- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology 6th
edition.Mosby,Barcelona,pp : 401-412
- Joseph A Bellanti, MD. Immunologi III,58-86, 203-212, 223-234, 442-483
- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S. Pober.,2000.Cellular and
Molecular Immunology 4th edition.,Saunders,USA,pp : 41-63.
- Julius M Cruse, Robert E lewis. Immunology. Hostech SA, Spain, 177-205
- CD Imunologi dasar

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 3


(LBM 3)
a. Judul:

74
Imunodefisiensi dan imunokompremaise
b. Sasaran Belajar
1. Melakukan injeksi sub cutan (test alergi), injeksi intra muskuler, dan
injeksi intra vena
2. Menjelaskan mekanisme imunodefisiensi
3. Menjelaskan pengaturan imun (Imunopotensiasi, Toleransi,
Imunosupresi dan imunokompromise)
4. Menjelaskan farmakologi obat-obat imunostimulan, anti inflamasi dan
anti histamin
5. Menjelaskan zat-zat mediator dan imunomodulator respons imun
6. Menjelaskan penyakit-penyakit imunodefisiensi primer dan
sekunder
7. Menjelaskan imunopatogenesis penyakit imunodefisiensi primer
dan sekunder
8. Menjelaskan gejala dan tanda HIV + / AIDS sebagai penyebab
terpenting dari imunodefisiensi sekunder
9. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan penunjang terkait masalah
penyakit imunodefisiensi primer dan sekunder
10. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis terhadap penyakit
imunodefisiensi primer dan sekunder
11. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan penyakit
imunodefisiensi primer dan sekunder serta alasan pemilihan
penanganan tersebut
12. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan pasien
imunodefisiensi primer dan sekunder
13. Menjelaskan penanganan TBC with HIV
14. Menjelaskan Islamic Lifestyle dapat mencegah HIV-AIDS
15. Menjelaskan penanggulangan epidemic dan dampak social HIV/AIDS
16. Menjelaskan pemeriksaan immunohistokimia
17. Menjelaskan teknik Immunodiagnostik

SKENARIO

75
Seorang wanita usia 30 tahun dirawat di bangsal ruang isolasi
bagian Penyakit Dalam RS Pemerintah, dengan keluhan badan lemah,
batuk-batuk, nyeri perut yang hilang timbul, diare, napsu makan
menurun, serta penurunan berat badan yang drastis. Pada anamnesis
diketahui berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Sudah 5
tahun ini penderita hidup dengan pacarnya yang diketahui sebagai
pengguna narkoba injeksi (injection drug user). Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya bercak-bercak kemerahan di sekujur tubuh,
bercak-bercak tersebut muncul sejak 4 bulan yang lalu dan semakin
bertambah banyak. Kadang bercak-bercak tersebut terasa sakit.
Ditemukan pula pembesaran kelenjar limfe multiple. Pada
pemeriksaan lab ditemukan penurunan lekosit. Pada pemeriksaan
radiologi tampak gambaran putih pada lapang paru yang diduga
sebagai gambaran pneumonia. Penderita diambil sampel saliva, urin,
darah, swab vagina guna pemeriksaan gula darah dan skrening p24
antigen test serta pemeriksaan Elisa

Kata Kunci:
Badan lemah, nyeri perut yang hilang timbul, diare, napsu makan menurun,
dan penurunan badan yang dratis, bekas-bekas luka sayat berupa sikatrik
dan keloid, HIV +, bercak-bercak kemerahan

Masalah:
Imunodefisiensi dan imunokompromise

c. Konsep Maping

NAPZA Imun Non Spesifik Infeksi

76
Imunokompromise
HIV+ / AIDS Imunodefisiensi

Keganasan
Imun Spesifik
SEX Bebas

f. Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar untuk
menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang bertujuan mencapai
kompetensi sasaran belajar)

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu suatu kumpulan gejala


penyakit yang timbul akibat lemah atau hilangnya system imun disebabkan
oleh infeksi virus HIV.
HIV kependekan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu suatu
virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia. Dimana target
utama dari virus ini adalah sel T helper. HIV dapat dihentikan oleh system
pertahan tubuh non spesifik. HIV tidak dapat masuk kedalam tubuh melalui
kulit yang intak/utuh. HIV hanya dapat ditularkan melalui pertukaran cairan
tubuh secara langsung, misal hubungan sexual, transfusi darah, melalui
jarum suntik yang terkontaminasi, ibu hamil ke janin yang sedang dikandung
dan saat menyusui. HIV yang ditularkan melalui hubungan sexual, masuk ke
dalam tubuh melalui membrane mukosa vagina, mulut dan rectum.
Makrofag dan sel dendritik pada permukaan mukosa akan mengikat virus
dan akan membawa virus ke limfonodi yang banyak mengandung sel T
helper (CD4+ Tcells)
Kemudian HIV akan menyerang sel T CD4+, dan melakukan replikasi
sehingga terjadi viremia. Dan memperluas penyebaran virus ke jaringan-
jaringan limfonodi yang lain. Respon immune yang dicetuskan oleh virus

77
menimbulkan perlindungan tetapi infeksi kronik tetap berjalan terus.
Produksi sitokin dan sel2 imun yang meregulasi system immune justru akan
menyebabkan replikasi HIV.
Penggantian sel T CD4+ berlangsung cepat seiring dengan jumlah sel
T CD4+ yang dihancurkan oleh HIV. Pada suatu saat limfonodi dan sumsum
tulang yang memproduksi sel-sel imun akan lelah sehingga produksi sel-sel
immune akan berkurang atau tidak ada sama sekali. Hal ini akan
menyebabkan menurunnya atau hilangnya system kekebalan tubuh kita.
HIV berkembang biak (bereplikasi) melalui suatu siklus:

1. HIV akan melakat pada permukaan sel T CD4+, untuk masuk ke


dalam sel memerlukan pengikat yaitu co-reseptor CXCR4 dan CCR5.

78
2. HIV yang sudah tidak berkapsul masuk ke dalam sel dan membalikan
transkrip genom RNA mjd DNA, mengacaukan replikasi RNA satu
frequent untuk tiap2 siklus replikasi
3. DNA virus dapat berintegrasi dengan DNA host dan menjadi bagian
dari genome seluler. Pada tingkat ini infeksi bersifat irreversible dan
itu berarti untuk mengobati atau mengeluarkan (membunuh) virus di
dalam tubuh seseorang yang terinfeksi viru ini menjadi tidak mungkin.
Virus menggunakan mesin seluler ntuk mensintesis protein virus.
Beberapa diantaranya adalah asam amino rantai panjang dimana untuk
memotong rantai ini diperlukan enzim protease virus spesifik sebelum
partikel virus menjadi aktif.

Pada saat pertamakali seseorang terinfeksi HIV, dibutuhkan waktu 1-6


bulan untuk pembentukan antibody yang cukup jumlahnya sehingga dapat
dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Untuk menjadi AIDS tiap-tiap

79
individu memerlukan waktu yang bervariasi demikian pula perjalanan
penyakitnya.
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan spectrum yang berkisar dari
sindroma akut yang berkaitan dengan infeksi primer lalu keadaan
asimptomatik yang berkepanjangan sampai penyakit lanjut.

SINDROMA HIV AKUT


Biasanya terjadi 3- 6 minggu setelah infeksi primer. Gejala biasanya menetap
1-2 minggu dan secara bertahap mereda seiring dengan pembentukan respon
imun terhadap HIV.
Gejala Umum:
1. Demam
2. Faringitis
3. Limfadenopati
4. nyeri kepala/ nyeri retro orbita
5. atralgia / mialgia
6. Letargi / malese
7. Anoreksia dan penurunan berat badan yang drastis, lebih dari 10 kg
dalam waktu 1 bulan
8. Diare berkepanjangan lebih dari 3 bulan.

Gejala neuropati :
1. Meningitis
2. Encephalitis
3. Neuropati perifer
4. Mielopati

Gejala Dermatologis :
1. Ruam makulopapuler eritematosa yang lebih dikenal sebagai sarcoma
Kaposi
2. Ulkus mukokutis

80
STADIUM ASIMTOMATIK – LATENSI KLINIS
Jangka waktu dari infeksi awal sampai pembentukan penyakit klinis sangat
bervariasi dari satu orang ke orang lain, waktu median adalah sekitar 10
tahun. Waktu median ini sangat bervariasi sesuai cara infeksi. Infeksi
transuterin biasanya mengalami perjalanan penyakit yang lebih progresif.
Selama periode asimtomatik ini replikasi virus aktif terus berlangsung.
Penurunan progresif jumlah sel T CD4+ selama periode asimtomatik ini
menimbulkan status imunosupresi yang cukup parah ( jumlah sel T CD4+
< 200 per mikroliter ) yang menempatkanpasien pada resiko tinggi terjangkit
penyakit oportunistik yang tampak secara klinis. Pada pasien-pasien tertentu,
walaupun asimtomatik, mengalami limfadenopati generalisata.

STADIUM SIMTOMATIK DINI


Pada suatu titik selama penurunan jumlah sel T CD4+ dibawah 500 per
mikroliter, pasien mulai memperlihatkan gejala dan tanda penyakit klinis.
Karakteristik klinis penyakit simtomatik dini :
1. Limfadenopati generalisata : pembesaran kelenjar limfe > 1cm di dua
atau lebih tempat ekstrainguinal
2. Trush : infeksi pada mukosa mulut akibat Candida
3. Oral hairy leukoplakia : berupa lesi putih filamentosa biasanya
terdapat pada batas lateral lidah. Disebabkan oleh virus Epstein-Barr.
4. Ulkus aftosa : penyebab tidak diketahui, biasanya terletak di orofaring
posterior dan sangat nyeri sehingga menyebabkan gangguan prose
menelan.
5. Reaktivasi herpes zoster/ shingles. Dijumpai 10 – 20 % pasien infeksi
HIV setelah 5 tahun terinfeksi HIV.
6. Trombositopenia, gejala klinis yang sering muncul adalah perdarahan
gusi, petekie di ekstremitas dan mudah memar.
Gejala klinis lain yang sering dijumpai adalah moluskum kontagiosum,
karsinoma sel basal kulit, kondiloma kuminata, nyeri kepala dan serangan
berulangan herpes oral dan genital.

81
Virus AIDS ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan yang paling
banyak ditemukan pada drah, cairan sperma, dan cairan vagina. Pada cairan
tubuh lain juga bisa ditemukan, seperti misalnya cairan ASI tetapi jumlahnya
sangat sedikit. Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui hubungan seks
(5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual). 3-5% melalui transfusi
darah yang tercemar. Infeksi HIV sebagian besar (>80%) diderita oleh
kelompok usia produktif, 15-49 tahun, terutama laki-laki. Tetapi proporsi
penderita wanita cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90%
terjadi dari ibu yang mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh
ibu pengidap HIV akan menjadi pengidap HIV melalui infeksi yang terjadi
dalam kandungan selama proses persalinan dan melalui pemberian ASI.
Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester akhir risiko
penularan dapat dikurangi menjadi 8%.
Pada dasarnya pencegahan suatu penyakit lebih murah dari pada pengobatan
penyakit tersebut. Proses pencegahan tersebut tidak dapat dipisahkan dari
kondisi lingkungan dan sejarah penyakit.
Dalam proses pencegahan, dilakukan deteksi dan intervensi pada penyebab
dan factor resiko dari penyakit tersebut. Arti pencegahan sendiri adalah
mengadakan inhibisi terhadap perkembangan suatu penyakit.
Tingkat pencegahan penyakit terdiri dari :
 Pencegahan primer (tingkat pencegahan dilakukan pada fase sejarah
alami suatu penyakit), terdiri dari 2 kategori, yang pertama yaitu
peningkatan kesehatan (health promotion) missal perbaikan gizi,
perbaikan kondisi rumah, pendidikan kesehatan); yang kedua pencegahan
spesifik missal immunisasi, penjernihan air minum,pencegahan
kecelakaan,pengaruh diet dan olahraga dan dalam pelaksanaan
dipengaruhi sikap individu dan lingkungan
 Pencegahan sekunder (tingkat pencegahan ini dilakukan pada fase
preklinik dan klinik) ; terdiri 2 macam yaitu penemuan deteksi secara dini
dan pengobatan secara dini

82
 Pencegahan Tersier (pencegahan dilakukan pada fase penyakit yang
sudah lanjut atau fase kecacatan) ;terdiri dari membatasi kecacatan dan
rehabilitasi.
 Dari uraian diatas maka jelas bahwa perilaku dan pola kehidupan
manusia itu sendiri mempunyai pengaruh penting terhadap masalah
kesehatan yang timbul termasuk kasus diatas yaitu penderita AIDS.
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan virus AIDS. Karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui
hubungan seksual. Pencegahan lain adalah melalui pencegahan kontak darah,
misalnya pencegahan penggunaan jarum suntik yang diulang, pengidap
virus tidak boleh menjadi donor darah.
Secara ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C. A adalah
Abstinensia, artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. B
adalah be faithful, artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks
dengan pasangannya saja. C adalah Condom, artinya jika memang cara A dan
B tidak bisa dipatuhi maka harus menggunakan alat pencegahan dengan
menggunakan kondom

g. Pertanyaan minimal yang dikuasai


1. Bagaimanakah mekanisme imunodefisiensi ?
2. Bagaimana pengaturan imun (Imunopotensiasi, Toleransi,
Imunosupresi) ?
3. Jelaskan tentang imunodefisiensi primer dan sekunder
4. Jelaskan patogenesis patogenesis HIV+ / AIDS !
5. Jelaskan tentang HIV+ / AIDS !
6. Jelaskan gejala dan tanda HIV +/ AIDS !
7. Jelaskan pemeriksaaan penunjang HIV+ / AIDS !

h. Daftar pustaka
- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G. Parslow.,1997.Medical
Immunology 9th edition,Appleton&Lange,USA,pp : 187

83
- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology 4th
edition.Mosby,Barcelona,pp : 22.1 – 25.12
- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S. Pober.,2000.Cellular
and Molecular Immunology 4th edition.,Saunders,USA,pp : 424-44
- CD Imunologi dasar

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 4


(LBM 4)

a. Judul:
Bercak merah, gatal, dan bernanah

84
b. Sasaran Belajar :
1. Memahami aspek mikrobiologi dari jamur dermatofita dan non
dermatofita
2. Memahami aspek mikrobiologi dari bakteri gram (+) pembentuk
nanah ( Staphylococcus dan Streptococcus)
3. Memahami reaksi jaringan terhadap masuknya jamur dan bakteri
gram positif
4. Menjelaskan definisi dari impetigenisata
5. Memahami dan menjelaskan apa yang disebut pyoderma primer.
6. Menjelaskan macam-macam pyoderma primer
7. Menjelaskan penatalaksanaan pyoderma primer
8. Melakukan terapi incisi dan drainase pada pyoderma
9. Menjelaskan etiologi bercak merah yang gatal dengan tepi aktif
dan central healing
10. Menjelaskan klasifikasi mikosis superfisialis
11. Menjelaskan penyakit- penyakit yang termasuk dalam mikosis
superfisialis
12. Menjelaskan predisposisi terjadinya mikosis superfisial
13. Menjelaskan etiologi, gejala dan ujud kelainan kulit yang terdapat
pada mikosis superfisialis
14. Menjelaskan terapi anti jamur masing-masing penyakit yang
termasuk dalam mikosis superfisialis baik dewasa maupun anak,
efek samping terapi dan interaksi obat.
15. Bisa menentukan diagnosis banding berdasarkan ujud kelainan
kulit dan predileksi lesi
16. Bisa melakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis mikosis
superfisial
17. Menjelaskan aspek farmakologi terapi jamur
18. Bisa melakukan penulisan resep obat-obat anti jamur
19. Menjelaskan konsep taharoh dalam mencegah penularan penyakit
kulit

85
Bercak Merah Gatal dan Bernanah
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke RISA dengan keluhan sejak
14 hari yang lalu bagian lipat paha timbul bercak merah bersisik yang
tepinya meninggi dan terasa gatal. Gatal akan semakin mengganggu bila
berkeringat. 4 Hari yang lalu bercak merah bertambah lebar dan
SKENARIO
bertambah banyak jumlahnya. Bercak merah timbul pada punggung dan
perut. Bercak merah pada bagian perut karena digaruk timbul luka dan
bernanah. Dari pemeriksaan didapatkan adanya lesi berbentuk polisiklis
yang eritematousa, tepi aktif terdapat papula dan bagian tengahnya
terdapat central healing dengan ujud kelainan kulit berupa
hiperpigmentasi, skuama, pada perut ada pustul, krusta, ekskoriasi, tidak
ada lesi satelit, tidak ada makula eritema dengan skuama halus . Dokter
menyatakan bahwa ada dua kelainan. Yang bernanah merupakan suatu
kelainan kulit yang mengalami proses impetigenisata.. Untuk
meyakinkan diagnosisnya doter menganjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium dengan sample
86 dari dua lokasi yang berbeda
yaitu dari lipat paha dan dari perut pada lesi yang bernanah.
Kata Kunci:
Eritematousa, tepi aktif, central healing, pustul, impetigenisata

Masalah:
Bercak merah gatal dan bernanah

Konsep map

87
Jamur Bercak Merah Gatal

Central healing Tepi aktif Skuama Lesi satelit Lesi kecil


skuama halus

Tinea Kandidosis kutis P. Versikolor


Bakteri Gram (+):
Staphylococcus,
Streptococcus

Impetigenisata
a

Pyoderma sekunder

Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar untuk
menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang bertujuan mencapai
kompetensi sasaran belajar)

BERCAK MERAH GATAL DAN BERNANAH

Bercak merah merupakan perubahan warna kulit menjadi merah. Bila disertai
adanya infiltrat maka akan membentuk papul, nodul, plakat. Banyak
penyakit kulit diawali dengan timbulnya bercak merah. Pada tiap-tiap
penyakit selain adanya bercak merah juga disertai dengan tanda-tanda yang
spesifik sehingga dapat dibedakan antara penyakit satu dengan yang lain.
Bila didapatkan bercak merah maka perhatikan bentuk, ukuran, tepi, skuama,
gejala dan tanda lain yang menyertainya.

88
Bercak merah yang gatal dimana bagian tepinya aktif dan bagian tengahnya
tenang (central healing) disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang
disebut dengan tinea. Namun demikian jamur golongan dermatofita
walaupun spesiesnya sama bila menyerang kepala, telapak kaki, kuku akan
memberi gambaran yang tidak khas yaitu tidak terdapatnya central healing
dan tepi yang aktif. Bila bercak merah disertai adanya lesi-lesi kecil yang
mengelilinginya (lesi satelit) maka disebabkan oleh Candida albican. Bila
bercak merah terdapat pada daerah tertutup diselimuti skuama halus
kemungkinan adalah Pthyriasis versikolor (panu) (PV). PV selain
memberikan warna yang merah dapat juga memberikan gambaran warna
putih dan coklat dengan skuama halus diatasnya.

PENATALAKSANAAN UMUM
Dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk membedakan masing-masing penyakit
Apabila terbentuk pus kemungkinan terjadinya infeksi sekunder (proses
impetigenisata) sehingga terjadi pyoderma sekunder.

DERMATOMIKOSIS

Dermatomikosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur.


Berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi :
1. Mikosis Superfisialis
2. Mikosis Intermediate
3. Mikosis Profunda

MIKOSIS SUPERFISIALIS
Mikosis superfisialis : Penyakit jamur kulit yang mengenai lapisan luar kulit,
kuku dan rambut.
Dibagi menjadi 2:
 Dermatofitosis

89
 Non dermatofitosis

DERMATOFITOSIS
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung
zat tanduk misalnya pada epidermis kulit, rambut dan kuku yang disebabkan
oleh jamur golongan dermatofita. Kedalaman pada pada kulit bisa mencapai
stratum basale. Sinonim: Tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata.
Etiologi:
Jamur golongan dermatofita yang terbagi dalam 3 genus: Mikrosporon,
Tricophyton, dan Epidermophyton. Jamur golongan dermatofita bersifat
keratofilik dan memiliki enzim keratinase yang membantu jamur mencerna
keratin.

Klasifikasi:
Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan lokasi:
- Tinea Kapitis
- Tinea Barbae
- Tinea Kruris
- Tinea Pedis et Manum
- Tinea Unguium
- Tinea Korporis
- Tinea Fasialis
- Tinea Imbrikata
- Tinea Sirsinata
- Pada akhir-akhir ini dikenal nama Tinea inkognito yang berarti
dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati
dengan steroid topikal kuat.
Gejala klinis:
Secara umum penderita merasa gatal sedangkan ujud kelainan pada kulit
yang tidak berambut mempunyai morfologi khas. Lesi berupa plakat
eritematousa berbatas tegas dengan tepi sedikit meninggi ( tepi aktif) yang

90
terbentuk dari vesikel kecil kecil , papul disertai adanya skuama. Bagian
tengahnya cenderung lebih tenang (central healing)
Namun demikian pada lokasi-lokasi tertentu mempunyai gambaran yang
khas.
Diagnosis:
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik dibantu juga dengan peeriksaan
penunjang berupa:
1. Pemeriksaan preparat langsung dengan larutan KOH 10-40%
2. Pembiakan
3. Reaksi imunologis
4. Biopsi atau gambaran histopatlogi
5. Pemeriksaan lampu Wood

Tinea Kapitis
Dermatofitosis yang menyerang rambut dan kulit kepala.
Etiologi:
- Jamur endotrix: Spesies Tricophyton ( T.tonsuran, Tviolaceum)
Infeksi jamur terjadi didalam batang rambut tanpa merusak kutikula
- Jamur ektotrik : Spesies Microsporum (M. auduinii dan M. canis) Infeksi
jamur dimulai dari luar batang rambut sehingga merusak kutikula
rambut.
Dibagi menjadi 2: Yaitu yang menimbulkan reaksi peradangan dan tidak

1. Raksi Peradangan hebat


Kerion.
Bentuk peradangan hebat ditandai dengan adanya pembengkakan, nodul
ayng eritematousa disertai pustul. Bila pustul pecah pus akan keluar dari
lubang lubang bekas pustul . Gambaran ini menyerupai sarang lebah.
Rambut pada lokasi ini putus-putus dan mudah dicabut. Bila sembuh
meninggalkan jaringan parut yang mengakibatkan alopesia ireversibel
Favus

91
Dimulai adanya titik dibawah kulit berwarna merah kuning berkembang
menjadi krusta yang berwarna kuning berbentuk cawan (skutula) melekat
pada kulit. Krusta biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut bila
krusta diangkat terlihat dasar yang cekung. Dapat tecium bau tikus
(mousy odor)

2. Tidak ada peradangan


Black dot ring worm
Rambut putus tepat pada permukaan kulit kepala (pada muara folikel
rambut)yang tertinggal ujung rambut yang mengandung spora. Ujung
rambut tampak sebagai titik-titik hitam sehingga tampak gambaran
sebagai black dot.

Gray pacth ring worm


Dimulai papul eritem kecil melebar kesekitarnya membentuk bercak
berwarna pucat dan bersisik. Rambut menjadi abu-abu rapuh dan mudah
patah diatas kulit kepala.

Tinea Barbae
Dermatofitosis pada jenggot dan kumis.
Etiologi : T.verrucosum, T.mentagrophytes
Tanda klinis:
Folikel rambut didapatkan adanya pustul, papul sering eksudasi dan
krusta. Rambut kumis dan jenggot mudah dicabut dan rontok.

Tinea Kruris dan Tinea korporis

92
T.kruris : Dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong dan kadang sampai perut bagian bawah.
T.korporis : Dermatofitosis pada daerah badan, tungkai dan lengan.
T.kruris dan T.korporis dapat digolongkan menjadi t. glabrosa oleh karena
kelainan terdapat pada kulit yang tidak berambut. Walaupun secara klinis
terdapat murni T kruris atau korporis namun bisa ditemukan tinea kruris
et korporis.
Etiologi: Bisa dari ketiga genus dermatofita.
Gejala dan tanda :
Keluhan yang sering dialami pasien adalah gatal.
Ujud kelainan kulit yang tipikal didapatkan lesi dengan batas tegas tepi
meninggi terdiri dari eritematosa, papulovesikel skuama (tepi aktif)
bagian tengah menyembuh bisa berupa hiperpigmentasi, skuama. Pada t.
kruris bisa terjadi secara unilateral maupun simetris. Daerah skrotum
jarang menunjukkan gambaran klinis. Berbeda dengan kandidiasis yang
sering menunjukkan keterlibatan klinis pada skrotum. Pada t korporis bila
terjadi pada daerah wajah tidak berambut para klinisi menyebutnya
sebagai tinea fasialis. Sedangkan bentuk t.korporis lain yang khas adalah
t.imbrikata yaitu dermatofitosis dengan susunan skuama yang kosentris
dan disebabkan Tricophyton consentricum.

Tinea Pedis et manus

Dermatofitosis pada kaki dan tangan.


Ada 3 bentuk.
1. Tinea pedis /manum interdigitalis
Sering terjadi pada antara jari IV dan V. Didapatkan fisura, skuama
halus dan tipis. Oleh karena daerah ini lembab bisa ditemukan adanya
maserasi. Kelainan ini dapat meluas pada sela jari yang lain.
2. Tinea pedis/ manum hiperkeratosis (moccasin foot)

93
Pada seluruh telapak kaki dan tangan, tepi sampai punggung kaki dan
tangan. Ditemukan adanya penebalan (hiperkeratosis) skuam. Bila
hiperkeratosis hebat bisa ditemukan adanya fisura. Eritema biasanya
ringan.
3. Tinea pedis / manum sub akut.
Dijumpai vesikel, vesiko pustul, bula mula dari sela jari, meluas ke
telapak kaki,dan punggung kaki. Vesikel berisi cairan yang kental bila
pecah meninggalkan skuama yang melingkar disebut koleret.

Tinea Unguium

Kelainan kuku yang disebabkan jamur dermatofitosis.


Ada 3 bentuk:
1. Sub ungual proksimal
Mulai dari pangkal kuku. Bagian distal kukuk biasanya masih utuh.
2. Sub ungual distal
Mulai dari bawah kuku bagian diatal atau distolateral.Permukaan
kuku suram , rapuh dan terbentuk hiperkeratosis sub ungual. Bawah
kuk terdapat detritus yang mengandung elemen jamur.
3. Leukonikia trikofita.
Berupa warna putih pada permukaan kuku yang dapat dikerok. T.
unguium merupakan dermatofitosis yang paling sulit diobati.
NON DERMATOFITOSIS

Pitiriasis Versikolor.
Etiologi : Malassezia furfur  flora normal kulit.
Lokasi : Atas dada meluas lengan atas, leher, perut, tungkai atas
bawah, Aksila inguinal kulit wajah dan kepala.
Gejala dan tanda klinis:
Timbul keluhan timbul bercak berwarna putih sampai kecoklatan yang
kadang gatal bila berkeringat. Bisa pula tanpa keluhan gatal sama sekali.
Ujud kelainan kulit yang dijumpai adanya makula hipopigmentasi berbatas

94
tegas tertutup skuama halus pada orang dengan kulit berwarna sedangkan
pada orang kulit pucat biasanya berupa makula hiperpigmentasi sampai
eritematousa dengan skuama halus. Untuk menunjukkan adanya suamasi
secara sederhana dapat dilakukan dengan garukan maka akan tampak jelas
antara lesi dan kulit yang normal (finger nail sign). Terjadinya hipopigmentasi
disebabkan enzim oksidase pada M.furfur akan mengoksidasi asam lemak
pada kulit sehingga terbentuk asam dekarboksilat yang menghambat
tirosinase pada melanosit epidermal. Selain itu jamur juga mempunyai sifat
sitotoksik pada melanosit. Sedangkan lesi hiperpigmenasi yang terjadi sampai
saat ini belum dapat dijelaskan.
Ada 2 bentuk klinis:
1. Bentuk makular: Makula yang lebar dengan skuama halus
2. Bentuk folokuler: Makula kecil –kecil disekitar folikel rambut.
TERAPI MIKOSIS SUPERFISIALIS
1. Terapi topikal
- Lesi radang akut atau yang mengalami eksudasi di kompres
- Obat –obat topikal dengan kandungan tolsiklat, haloprogin, tolnaftat,
golongan azol: mikonazol, ketokonazol, bifonazol, tiokonazol,
clotrimazol dalam bentuk krim, salep, solusio, shampo, sabun, bedak
- Lesi yang hiperkeratosis dapat diberikan bahan-bahan keratolitik berupa
asam salisilat 3-6%
2. Terapi sistemik
- Griseovulvin harus diminum bersama dengan orange juice karena untuk
melarutkan tablet harus dalam pH asam.
- Azol : ketokonazol, itrakonazol, flukonazol
- Alilamin: Terbinafin
Dosis dan lama pemberian tergantung pada anak atau dewasa serta jenis
penyakit jamur.

PENCEGAHAN
1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi ,
jika faktor lingkungan tidak diperbaiki penyembuhan akan lambat.

95
2. Alas kaki harus pas dan tidak ketat
3. Pasien dengan hiperhidrosis memakai kaos dari bahan katun yang
menyerap keringat
4. Pakaian , handuk agar sering diganti dan dicuci.

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh bentuk klinik dan penyebab
penyakitnya disamping faktor yang memperberat dan memperingan
penyakit.

e. Pertanyaan Minimal
1. Apakah yang dimaksud dengan dermatomikosis?
2. Klasifikasi dermatomikosis.
3. Apakah yang dimaksud dengan mikosis superfisial?
4. Klasifikasi mikosis superfisial
5. Apa yang dimaksud dengan dermatofitosis dan sebutkan jamur yang
termasuk penyebab dermatofitosis.
6. Jelaskan predisposisi penderita mikosis superfisial
7. Jelaskan mengenai Tinea kapitis, Tinea pedis, Tinea Ungueum
8. Jelaskan mengenai Tinea korporis, Tinea kruris
9. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis
10. Jelaskan mengenai Pthyriasis Versicolor?
11. Jelaskan etiologi kandidosis kutis
12. Bagaimanakah ujud kelainan kandidosis kutis
13. Dimana predileksi kandidosis kutis
14. Jelaskan Terapi pada masing-masing mikosis superfisialis dosis dan
lamanya pada anak dan dewasa, serta efek samping.

f. Daftar Pustaka
- Color Atlas and Synopsis Of Clinical Dermatology . Thomas B
Fitzpatrick MD et all edisi 4.

96
- Dermatomikosis superfisialis pedoman untuk dokter dan mahasiswa
kedokteran. Unandar Budimulja dkk. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2001
- Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Prof Dr.dr. Adhi Djuanda dkk.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Edisi 4 2005.
- Penyakit Jamur Kulit. Dr. R.S Siregar Lab I. Penyakit Kulit dan
Kelamin FK UNSRI / RSU Palembang. 1995
- Dermatology in general medicine. Fitzpatrick et all edisi 5/6

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 5


(LBM 5)
a. Judul:
Kelainan Adneksa Kulit
b. Sasaran Belajar:
1. Menjelaskan macam-macam adneksa kulit
2. Menjelaskan macam-macam kelainan adneksa kulit
3. Menjelaskan faktor-faktor yang mendasari kelainan kelenjar kulit
4. menjelaskan mekanisme patogenesis dan patofisiologi kelainan
kelenjar sebasea
5. Menjelaskan gejala klinis macam-macam kelainan kulit

97
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang untuk tujuan penapisan
pada kelainan adneksa kulit
7. Menjelaskan berbagai pilihan cara pengelolaan kelainan adneksa
kulit
8. Menjelaskan terapi kelainan adneksa kulit
9. Menentukan keterampilan terapeutik berkaitan dengan kelainan
adneksa kulit
10. Menentukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya
kelainan adneksa kulit
11. Adab menghadapi penderita penyakit menular

SKENARIO

Kelainan Adneksa Kulit

Remaja putri 15 tahun dengan keluhan timbul bintil-bintil dan benjolan


bernanah di wajah dan punggung dan sudah diderita + 3 bulan terakhir.
Pada bintil-bintil berisi masa putih seperti nasi, sedang pada benjolan
yang bernanah terasa nyeri dan kemerahan. Penderita juga mengeluh
wajahnya sangat berminyak dan pori-porinya tampak lebar.
Pemeriksaan status dermatologi tampak eritem, papula, pustula dan
komedo. Melihat UKK dan predileksinya dokter menduga merupakan
salah satu kelainan adneksa kulit sehingga didiagnosis banding dengan
beberapa kelainan di kelenjar sebasea (seperti : akne, rosasea) dan
kelainan di kelenjar sudorifera (seperti : hidradenitis supurativa dan
miliaria). Ternyata pemeriksaan histopatologi anatomi dari spesimen
biopsi lesi menunjukkan adanya sebukan sel radang kronis di sekitar
folikel sebasea dengan massa sebum di dalam folikel sebasea.
98
Kata Kunci:
Kelainan adneksa kulit, kelainan kelenjar sebasea, kelainan kelenjar
sudorifera
Masalah:
Kulit wajah berminyak dan pori-pori besar, terdapat papula eritem, pustula
dan komedo. Terdapat sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea
dengan massa sebum di dalam folikel sebasea.

INFEKSI

KUKU

TRAUMA
c. Konsep map EKRIN :
Miliaria

KERINGAT
APOKRIN :
EPIDERMIS Hidradenitis
supurativa

Adneksa KELENJAR
KONGENITAL

KULIT DERMIS INFLAMASI :


SEBASEA
Akne, rosasea
Anatomi dermatitis perioral
Fisiologis ALOPESIA :
Histologis Areata
NEOPLASMA
Androgenik
SUB KUTIS

RAMBUT EFLUVIUM
99 TELOGEN
TRIKOTILOMANIA
d. Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar untuk
menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang bertujuan mencapai
kompetensi sasaran belajar)

MACAM-MACAM KELAINAN KELENJAR SUDORIFERA

A. Kelenjar apokrin
a. Bromhidrosis
Adalah suatu keadaan dimana bau yang hebat menusuk hidung
keluar dari kulit. Terdapat dua jenis, bromhidrosis apokrin
(akibat penguraian keringat apokrin oleh bakteri Gram negatif)

100
dan bromhidrosis ekrin (akibat degradasi mikrobiologik pada
stratum korneum yang melunak karena produksi keringat ekrin
yang berlebihan
b. Kromhidrosis
Adalah kelainan yang ditandai adanya sekresi keringat apokrin
yang berwarna, ada dua bentuk klinis : fasial dan aksiler.
Terjadinya diduga disebabkan oleh meningkatnya jumlah
ekskresi keringat apokrin diikuti oleh oksidasi yang meningkat
pada lipofuchsin (pigmen bentuk granuler yang normal terdapat
pada kelenjar apokrin)
c. Hidradenitis supurativa
Hidradenitis supurativa
Definisi : merupakan penyakit kronis supuratif dan sikatrikal
pada kulit lokasi kelenjar apokrin, terutama di aksila dan
anogenital.
Etiopatogenesis : pada awalnya terjadi sumbatan keratin pada
duktus apokrin distal diduga karena gesekan (trauma ketika
mencukur rambut atau pakaian yang ketat) atau iritasi bahan
kimia (anti persipiran deodoran), selanjutnya terjadi pelebaran
duktus, diikuti masuknya bakteri ( yang tersering stapilokokus,
streptokokus dan e. Coli) yang kemudian terjebak di bawah
tempat yang tersumbat. Bakteri tumbuh dan berkembang
dengan lingkungan nutrisi dalam duktus apokrin. Selanjutnya
terjadi peradangan yang menyolok pada kelenjar apokrin yang
tersumbat.
Manifestasi klinik : Awalnya terjadi bisul eritem yang nyeri
tanpa puncak pustuler, pada daerah apokrin. Biasanya soliter,
jika multiple jarang lebih dari tiga. Dalam beberapa hari
menjadi abses yang membesar dan tanpa terapi akan pecah
mengeluarkan cairan purulen atau seropurulen, pada
penyembuhan terjadi fibrosis. Secara keseluruhan terdapat tiga
stadium :

101
 Stadium I
Terjadinya abses soliter, atau bila multipel biasanya terpisah,
tanpa ada jaringan parut atau sinus.
 Stadium II
Terjadinya abses yang rekuren dengan sinus-sinus dan
sikatrik, dapat tunggal atau multipel tapi lesi masih terpisah.
 Stadium III
Terjadinya absesyang difus dengan sinus-sinus multipel dan
saling berhubungan.

B. Kelenjar ekrin
a. Hiperhidrosis(kortikal/emosional,volar,aksilar,hipotalamus,
medularis, spinal, kompensatorik)
Hiperhidrosis adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
sekresi keringat ekrin, dibagi dua jenis neural dan non neural
berdasarkan mekanisme kerja dan respon yang ditimbulkan.

b. Anhidrosis
Suatu keadaan hilangnya sebagian aktifitas kelenjar keringat.
Jarang terjadi secara menyeluruh sehingga lebih tepat disebut
sebagai hipohidrosis. Biasanya kondisi anhidrosis pada satu
tempat diikuti terjadinya hiperhidrosis kompensatoris pada
kelenjar keringat lain yang berfungsi sempurna. Penyebabnya
dibagi 3, yaitu: neuropati, perubahan tingkat kelenjar non neural
perifer dan idiopatik.
c. Miliaria
Suatu keadaan dimana pori-pori keringat tertutup sehingga
timbul retensi keringat di kulit. Terbentuknya sumbat
parakeratotik di duktus diduga akibat lesi pada sel epidermis
pembentuk duktus. Lesi terjadi akibat maserasi yang
ditimbulkan air yang berasal dari keringat yang berlebihan

102
(lingkungan tropis dengan suhu dan kelembaban udara yang
tinggi). Tingkat obstruksi dalam duktus ekrin menentukan tipe
miliaria yang ditimbulkan, ada 3 macam:
 Miliaria kristalina
Sumbatan superfisial pada stratum korneum. Vesikel
yang terbentuk menyerupai kristal jernih. Asimtomatik
dan vesikel sifatnya mudah pecah.
 Miliaria rubra
Sumbatan terjadi pada epidermis yang lebih dalam.
Disertai gejala eritem dan pruritus akibat vasodilatasi
perifer dan stimulasi reseptor gatal oleh ensim sel
epidermis yang rusak. Lesi ditemukan ekstra folikuler
 Miliaria profunda
Sumbatan terjadi pada taut dermoepidermal. Berupa
papul putih dengan diameter 1-3 mm, predileksi di
tubuh/ektremitas. Dapat menimbulkan komplikasi
hiperhidrosis fasial kompensatorik
d. Dishidrosis
Adalah erupsi vesikuler, rekuren non inflamasi pada telapak
tangan atau kaki. Sinonim pomfolik.

MACAM-MACAM KELAINAN KELENJAR SEBASEA


1. Akne
Akne adalah peradangan menahun folikel pilosebasea yang ditandai
adanya komedo, papul, pustula, nodul dan kista.
Klasifikasi menurut Plewig dan Kligman:
A. Akne vulgaris
Pada akne vulgaris terjadi perubahan jumlah dan konsistensi
lemak kelenjar akibat multifaktorial
Varietasnya : Akne tropikalis
Akne fulminan
Pioderma fasiale

103
Akne Mekanika
Akne venenata akibat kontaktan eksternal
Pada akne venenata terjadi penutupan folikel sebasea oleh
massa eksternal.
Varietasnya : akne kosmetika
Pomade akne
Akne klor
Akne akibat kerja
Akne deterjen
B. Akne komedonal akibat agen fisik Pada akne fisis saluran folikel
sebasea menyempit akibat radiasi sinar ultraviolet, sinar matahari
atau sinar radioaktif
Varietasnya : Solar comedones
Akne radiasi

2. Rosasea
Definisi : Merupakan penyakit kronis pada sentral wajah akibat
kelainan kelenjar pilosebasea pada daerah wajah berupa akne yang
meradang disertai peningkatan reaktivitas kapiler sehingga terjadi
flushing dan teleangiektasis.
Etiopatogenesis
Diduga ada beberapa faktor:
a. Makanan
b. Psikis
c. Obat
d. Infeksi
e. Musim
f. Imunologis
Klinis: adanya eritem dan teleangiektasis yang persisten dan tidak
nyeri, papul, edema, pustul dengan predileksi pada sentral wajah
yaitu hidung, pipi, dagu, kening dan alis, lesi umumnya

104
simetris. Komedo biasanya tidak ditemukan jika ada mungkin
kombinasi dengan kelainan akne (akne solaris, akne kosmetika)
Diagnosis banding : akne vulgaris, dermatitis seboreik, dermatitis
perioral, lupus eritematosus
3. Dermatitis perioral (M 2400)
Definisi : Kelainan kulit ditandai erupsi papuler, eksemateus dan
berskuama dengan predileksi lipat nasolabial dan bibir atas dengan
perjalanan penyakit berfluktuasi.
Etiopatogenesis: Belum diketahui pasti. Faktor hormonal dan
penggunaan steroid topikal fluorinated diduga sebagai penyebab.
Perjalanan penyakit: berfluktuasi dengan ruam akut rekuren berupa
eritem dan papul. Ruam mereda meninggalkan bekas berupa bercak
eritem dengan skuama. Siklus bervariasi dari beberapa hari sampai
beberapa bulan.
Diagnosis banding : akne vulgaris, rosasea, dermatitis seboreik,
dermatitis kontak.

MACAM-MACAM KELAINAN RAMBUT


a. Alopesia areata
Adalah jenis kerontokan rambut yang rekuren tanpa
meninggalkan jaringan parut. Dapat terjadi di daerah berambut
manapun.
Patofisiologinya belum diketahui dengan pasti, namun hipotesis
yang dapat diterima adalah suatu keadaan autoimun yang
diperantarai sel T dan cenderung mempunyai predisposisi
genetik.
Klinis biasanya asimptomatik, namun beberapa pasien mengeluh
sensasi gatal atau terbakar pada daerah yang terkena. Lesi
pertama kali terlokalisir kemudian menjadi multipel. Daerah yang
terkena bisa kulit kepala, jenggot, alis mata dan ekstremitas.
Pemeriksaan fisik adanya bercak alopesia halus warna normal atau
eritematosus pada daerah yang terkena. Ditemukan rambut

105
seperti tanda seru (rambut yang menipis di dekat ujung
proksimal).
Terapi dengan steroid intra lesi, steroid topikal potensi kuat,
imunoterapi topikal (dibutilester asam squarik dan
dinitriklorobensen).
b. Alopesia androgenik
Alopesia yang timbul pada pria/wanita pada awal umur
tigapuluhan, rambut rontok secara bertahap mulai dari verteks
dan frontal. Garis rambut anterior menjadi mundur dan dahi
menjadi lebar, puncak kepala menjadi lebar. Hamilton membagi
menjadi 8 tipe untuk pria dan 6 tipe untuk wanita.

c. Efluvium telogen
Adalah kerontokan rambut yang terlalu cepat dan terlalu banyak
pada folikel rambut normal. Biasanya karena rangsangan yang
mempercepat fase anagen dan fase telogen. Dapat mengenai 50%
jumlah rambut keseluruhan. Berdasarkan etiologinya dibedakan
menjadi efluviun telogen pasca partum, efluvium telogen
pascanatal, effluvium telogen psikis, effluvium telogen
pascafebris akut.
d. Trikotilomania
Suatu keadaan dimana terjadi gangguan kontrol impuls ditandai
kebiasaan menarik rambut berulang-ulang sehingga
menyebabkan terjadinya alopesia. Jadi merupakan gangguan
obsesif kompulsif biasanya bersamaan dengan kelainan psikiatri
lain (depresi, cemas)
Klinis dijumpai alopesia tanpa jaringan parut, rambut patah
dengan panjang yang tidak sama. Pada stadium lanjut dapat
ditemukan fibrosis dan alopesia permanen. Mengenai daerah
kepala, alis mata, bulu mata, rambut pubis, biasanya lebih dari
satu tempat terkena. Dapat diikuti dengan trikopagi (memakan

106
rambut tersebut) sehingga dapat terjadi trikobezoar (obstruksi
rambut pada traktus gastrointestinal).
Terapi biasanya sulit jika diserta gangguan psikiatri berat.
Pemberian Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor klomipramine
dikatakan efektif. Dapat juga dilakukan terapi perubahan
perilaku untuk merubah kebiasaan atau dengan hipnoterapi.

KELAINAN KUKU
Paronikia :
Inflamasi jaringan sekitar lipatan kuku. Penyebab tersering karena infeksi
(jamur kuku - onikomikosis, bakteri).
Klinis ditamdai adanya bengkak, kemerahan dan nyeri pada pangkal
kuku. Dapat terjadi pemisahan lipatan kuku dari lempeng kuku oleh
material purulen. Jika penyebabnya onikomikosis terjadi perubahan
warna lempeng kuku menjadi rapuh, warna kuning kecoklatan dan
subungual hiperkeratosis.
Terapi tergantung pada penyebabnya yang penting menjaga kuku agar
tetap kering. Dapat diberikan preparat anti jamur atau anti bakteri.

e. Pertanyaan minimal:
1. Macam-macam adneksa kulit
2. Macam-macam kelenjar sudorifera, distribusi dan perbedaan fungsi
masing-masing
3. Macam-macam kelainan kelenjar sudorifera
4. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis dan penatalaksanaan
miliaria
5. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis dan penatalaksanaan
hidradenitis supurativa
6. Macam-macam kelainan kelenjar sebasea
7. Klasifikasi akne
8. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis diferensial diagnosis dan
penatalaksanaan akne vulgaris

107
9. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis, diferensial diagnosis
dan penatalaksanaan rosasea
10. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis, diferensial diagnosis
dan penatalaksanaan dermatitis perioral
11. Macam-macam kelainan rambut (Alopesia areata, alopesia androgenik,
trikotilomania, effluvium telogen)
12. Apa yang dimaksud dengan paronikia?

f. Daftar Pustaka

- Djuanda S, Sularsito S Adi, ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai


Penerbit FKUI, 2007
- Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Atlas berwarna. Penerbit buku
Kedokteran, EGC. 2005
- Wolff Klaus, Johnson RA, Suurmond Dick. Disorders of sebaceous
and apocrine glands. Dalam Fitzpatrick : Color atlas and synopsis
of clinical dermatology fifth edition, McGraw-Hill, 2005, Hal.8 - 11.
- Strauss John, Plewig G, Kerr Rebecca Er. Disorders of epidermal
appendages and related disorders. Dalam Fitzpatrick: Dermatology
in general medicine, sixth edition, McGraw-Hill 2005, Hal. 633 –
713
- Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology, thirdth ed.
Philadelphia: W. B. Saunders, 1992.

108
109

Вам также может понравиться