Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah
Dari judul diatas, maka dalam makalah ini kami membatasi perumusan
masalah tentang bagaimana paradigma baru perguruan tinggi berkualitas antara
lain: kualitas dosen, kuantitas dan kualitas dosen tetap, kuantitas dan kualitas
proses pembelajaran, kualitas perpustakaan, kualitas penyajian materi kuliah,
proses penilaian prestasi belajar, peran alumni, sarana dan prasarana pendidikan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
berupaya mendorong minimal 25 Perguruan Tinggi masuk dalam deretan
Universitas Bertaraf Internasional. Kemudian kita mulai mengenal beberapa
metode pemeringkatan yang saat ini masih sering dijadikan acuan yakni
Academic Ranking of World Universities (ARWU) dari Shanghai Jia Tong
University, Times Higher Education Supplement (THES) QS World Univeristies
Rankings (THES=QS), Webometrics Ranking of World Universities (WRWU),
dan Performance Ranking of Scientific Papers for World Universities (SPWU)
dari National Taiwán University.
A. Kualitas dosen
Kualitas dosen dosen di Indonesia dinilai masih jauh di bawah standar.
Bahkan,kualitasnya disejajarkan dengan guru SD. Penilaian itu disampaikan pakar
pendidikan dan guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof Dr HAR Tilaar.
Menurut dia, dalam Undang- Undang (UU) 14/2005 tentang Guru dan Dosen
disebutkan bahwa para pendidik jenjang pendidikan dasar dan menengah harus
memiliki pendidikan minimal sarjana (S-1).
Sementara untuk pendidik dijenjang pendidikan akademis S-1 sekurang-
kurangnya bergelar magister (S-2). ”Begitu pun bagi program pascasarjana,
pengajarnya harus bergelar doktor (S-3) dan profesor,”
Namun, yang terjadi di Indonesia justru pengajar di perguruan tinggi hanya
memiliki gelar sarjana saja. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pemerintah
dan pengelola perguruan tinggi telah melanggar UU. Pendapat ini didukung survei
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) pada Desember 2007–
Februari 2008.
Dalam surveinya, APTISI menemukan bahwa 67% dosen hanya lulusan
sarjana dengan kompetensi mengajar terbatas. Ketua APTISI Suharyadi
mengatakan, kualitas dosen memang jauh di bawah standar.
Pemerintah harus bertanggung jawab dan konsisten dalam menjalankan
UU Guru dan Dosen. Diketahui sebelumnya, Departemen Pendidikan Nasional
4
(Depdiknas) menyatakan lebih dari separuh dosen yang ada di Indonesia hanya
memiliki pendidikan setingkat S-1.Padahal, standar untuk menjadi pengajar di
perguruan tinggi harus memiliki pendidikan setingkat S-2.
Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti)
Depdiknas Muchlas Samani mengaku, 60.000 dari 120.000 atau 50,65% dosen
tidak memenuhi syarat pendidikan minimal pengajar universitas.
Sementara itu,Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Prof Dr
Soedijarto meminta pemerintah menetapkan regulasi dan ketentuan tegas agar
perguruan tinggi dapat mensyaratkan pendidikan S-2 bagi pengajarnya.
Dari 270.000 dosen perguruan tinggi negeri dan swasta terdapat 50%
tenaga dosen yang belum S2 atau masih S1, dan 23.000 dosen bergelora S3 atau
10% dari jumlah keseluruhan dosen. (Indo pos 11/08/2010)
Keberadaan UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 19 Tahun 2005 yang
mengatur tentang tenaga pendidik sebenarnya dapat dijadikan sebagai acuan
standard qualifikasi kualitas dosen di Indonesia. Namun, berjalannya aturan ini
harus diimbangi dengan kesiapan Perguruan Tinggi. Dengan diakuinya seorang
tenaga pendidik, baik secara tertulis maupun secara kualitas, maka dapat menjadi
bargaining position bagi Indonesia di bidang pendidikan.
5
“(1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh
melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan
bidang keahlian.
(2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:
a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan
b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana.
(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat
menjadi dosen.”
Aturan mengenai tenaga pendidik juga tertuang dalam PP No 19 Tahun
2005 tentang standard nasional pendidikan, misalnya pasal 31 yang berbunyi:
(1) Pendidik pada pendidikan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan minimum:
a. lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) untuk program diploma;
b. lulusan program magister (S2) untuk program sarjana (S1); dan
c. lulusan program doktor (S3) untuk program magister (S2) dan program doktor
(S3).
PP No. 19 Tahun 2005, bahwa kompetensi yang harus dimiliki mencakup
kedalam 4 ranah kompetensi yaitu :
1. Kompetensi Pedagogik ;
Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancanangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
2. Kompetensi Kepribadian
Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian
yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik, dan berahlak mulia.
3. Kompetensi Profesional
Yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan
materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya
6
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam
Standar Nasional Pendidikan.
4. Kompetensi Sosial
Yang dimaksud dengan kompetensi social adalah kemampuan pendidik sebagai
bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik,
dan masyarakat sekitar.
Mengacu pada Dikti bahwa rasio dosen dengan mahasiswa untuk bidang
eksakta adalah 1 : 25 dan bidang IPS 1 : 30. Melihat jumlah perbandingan riil
antara jumlah dosen sekitar 270.000 dibagi dengan jumlah PTN sebanyak 82 buah
dan ditambah PTS sekitar 2.561 maka kuantitas dosen sangat tidak memenuhi
acuan dikti. Karena rasio dosen adalah lebih dari 1 : 25 atau 1 : 30.
Sehingga dapat kami simpulkan bahwa kuantitas dan kualitas dosen tetap
di Indonesia masih jauh dari berkualitas, dan tidak sesuai dengan aturan dikti.
7
i. Memanfaatkan umpan balik berdasarkan penilaian
j. Membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang
memadai. Mizikaci (2006)
D. Kualitas Perpustakaan
Perpustakaan adalah jantung setiap program pendidikan dan pengajaran.
Nilai suatu lembaga pendidikan, perguruan tinggi ataupun lembaga riset dan ilmu
pengetahuan itu dapat diukur kualitasnya antara lain pada kelengkapan dan
kesempurnaan jasa yang dapat diberikan oleh perpustakaannya. Kualitas jasa
perpustakaan terhadap para penggunanya merupakan suatu hal yang sangat
penting yang pada akhirnya akan mampu memberikan kepuasan kepada
penggunanya sehingga diharapkan fungsi dan tujuan perpustakaan tersebut dapat
tercapai. Metoda yang digunakan untuk mengukur kualitas perpustakaan adalah
LibQual. Pada metode LibQual, nilai kepuasan pelanggan terhadap kualitas
layanan perpustakaan dapat diukur berdasarkan dimensi Library as Place,
Information Control, Affect of Service. Dengan metoda indeks PGCV kita dapat
mengetahui variabel-variabel yang harus diperhatikan untuk ditingkatkan
berdasarkan nilai potensial kepuasan konsumen. Dengan metode Pugh hasil
analisa dari indeks PGCV akan dijadikan sebagai alternatif- alternatif perbaikan
layanan sehingga akan dihasilkan alternatif perbaikan layanan terbaik yang akan
diimplementasikan pada perpustakaan tersebut.
Alat untuk mengukur kepuasan pemakai
Banyak pakar menentukan karakter kualitas organisasi perpustakaan.
Misalnya konsep Servqual yang dipelopori oleh Parasuraman yang membagi
menjadi lima karakteristik kualitas. Empat universitas terkemuka di Australia
yang bergabung di University 21 juga memiliki karakteristik kualitas yang agak
berbeda, demikian pula yang dikembangkan oleh ARL yang memodifikasi apa
yang telah dilakukan oleh Parasuraman menjadi Library Quality (LibQUAL)
Secara ringkas karakteristik kualitas dan para pelopornya dapat dilihat pada
gambar di bawah:
Karakteristik Kualitas Perpustakaan
8
Parasuraman University 21 libQUAL
Tangible (Bukti Fasilitas/Kelengkapan Perpustakaan sebagai
Langsung) tempat
Reliability (Keandalan) Kualitas Layanan Keandalan
Responsiveness Kualitas Layanan Pengaruh Layanan
(daya tanggap)
Assurance (Jaminan) Komunikasi Akses Informasi
Emphaty (Empati) Manusia Kelengkapan Koleksi
Sumber: Surtiawan (2006)
Benchmark adalah jati diri perpustakaan. Untuk mengungkapakan jati diri
tersebut, perpustakaan perlu melakukan evaluasi dengan cara mengukur hasil
pencapaian (kinerja) yang telah dilakukan. Dengan mengetahui kinerja yang
diperoleh maka perpustakaan akan mampu merencanakan pengembangan
perpustakaan dengan lebih baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan pemakai
yang semakin hari semakin berkembang.
9
f. F. Portofolio
Peran alumni:
a. Pertama, menjadi motivator dan fasilitator bagi para alumni untuk
mengabdi kepada bangsa, negara, dan agama dalam berbagai aspek
kehidupan dan dalam pemerintahan, lembaga-lembaga negara, ataupun
di jalur profesional dan swasta.
b. Kedua, membantu dalam pengembangan universitas, termasuk
memfasilitasi dalam membangun jaringan (networking) serta
membantu peningkatan fasilitas atau sarana. Ketiga, berpartisipasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
c. Menyumbangkan pokok-pokok pikiran tentang pembangunan
ekonomi, penegakan hukum, solusi atas kemiskinan yang mendera
bangsa, serta turut mewarnai percaturan pemikiran tentang masa depan
Indonesia.
10
secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu lembaga dalam
yang menjadi tolok ukur mutu sekolah dan perlu peningkatan terus
arah.
11
BAB III
KESIMPULAN
Daftar pustaka
12
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/08/index.html
http://www.bataviase.co.id
13