Вы находитесь на странице: 1из 5

Beda Bank Syariah dengan Bank

Konvensional
 
Memahami Perbedaan Prinsip Antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Oleh : Ibnu Anwaruddin, SH., Angg. dept. KIM DPP LDII
Email : ian_pujakesuma@yahoo.co.id(Hp. 08174970703, 081383283313)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” QS. Ali Imron, 3:130
Berbicara mengenai perbankan syariah sebenarnya tidak lengkap tanpa mengurai bagaimana
sejarah, tujuan penerapan prinsip syariah, batasan-batasan prinsip syariah, jenis produk
pembiayaan syariah, ketentuan hukum, Dewan Pengawas Syariah dll. Namun untuk mengawali
rubrik syariah ini penulis tidak akan akan memaparkan secara keseluruhan mengenai hal-hal
tersebut di atas, namun lebih kepada pokok permasalahan mengenai perbedaan yang mendasar
antara prinsip syariah dengan prinsip konvensional.

Sebelum membicarakan beberapa perbedaan sistem bank Islam dengan sistem bank
konvensional, perlu diberikan suatu penjelasan perbedaan antara bagi hasil dan pemberian bunga
dalam bidang perniagaan, khususnya dalam operasional bank. Selama 4 tahun mengabdi pada
sebuah bank yang beroperasional secara syariah, penulis banyak menemukan kesalahan
pemahaman di kalangan banyak orang yang menganggap bahwa bagi hasil tidak ada bedanya
dengan pemberian / pengambilan bunga, untuk dapat memahami perbedaan yang sangat
mendasar tersebut terlebih dahulu harus dipahami hal-hal sebagai berikut :

a.   Dasar perniagaan adalah untuk mencari keuntungan karena itu setiap pemilik modal
mengharapkan setiap uang yang dikeluarkan akan mendapatkan keuntungan, ini sesuai dengan
kaedah fiqh, yaitu : pembayaran/pembiayaan dibalas dengan ganjaran. Karena itu Islam
menggalakkan umatnya untuk berdagang.

b.   Dalam pandangan Islam, uang yang disimpan tanpa digunakan tidak akan bertambah, justru
jumlahnya semakin menurun dari tahun ke tahun, karena ia wajib membayar zakat sebanyak
2,5% pertahun hingga sampai dibawah nisab (batas minimal jumlah harta yang wajib
dikeluarkan). Karena itu Islam mengakui konsep bunga yang diperoleh seseorang jika
menyimpan uangnya di bank misalnya dan dianggap riba, kecuali jika bank itu diberikan
kekuasaan untuk memakai uang tersebut. Lalu jika bank mendapat keuntungan, maka dibagi
dengan orang tersebut berdasarkan berapa persen dari untung yang didapat, bukan berapa persen
dari uang yang disimpan. Maka jumlah yang diterima dari bank itu dianggap sebagai untung.

c.   Islam tidak mengakui bunga dalam pembayaran hutang, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW, yang artinya bahwa setiap hutang yang membawa keuntungan material bagi si pemberi
hutang adalah riba.

d.   Tujuan Islam mengharamkan riba selain karena mengandung unsur penindasan, riba juga
merupakan sistem yang hanya mengutamakan kepentingan individu saja tanpa memperhatikan
kepentingan masyarakat, padahal Islam lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dari pada
individu.
Secara singkat perbedaan-perbedaan antara bunga dengan bagi hasil dapat terlihat pada tabel di
berikut :

  

Bunga Bagi Hasil


No.
1. Penentuan bunga dibuat sewaktuPenentuan bagi hasil dibuat
perjanjian tanpa berdasarkan sewaktu perjanjian dengan
kepada untung/rugi. berdasarkan kepada untung/rugi.
2. Jumlah persen bunga
Jumlah nisbah bagi hasil
berdasarkan jumlah uang (modal)
berdasarkan jumlah keuntungan
yang ada. yang telah dicapai.
3. Pembayaran bunga tetap sepertiBagi hasil tergantung pada hasil
perjanjian tanpa diambil
proyek. Jika proyek tidak
pertimbangan apakah proyek mendapat keuntungan atau
yang dilaksanakan pihak kedua mengalami kerugian, maka
untung atau rugi. resikonya ditanggung kedua belah
pihak.
4. Jumlah pembayaran bunga tidak Jumlah pemberian hasil
meningkat walaupun jumlah keuntungan meningkat sesuai
keuntungan berlipat ganda. dengan peningkatan keuntungan
yang didapat.
5. Pengambilan/pembayaran bunga Penerimaan/pembagian
adalah haram. keuntungan adalah halal
 
 Perbedaan pokok antara sistem bank Konvensional dengan sistem bank Islam secara
ringkas dapat dilihat dari 4 (empat) aspek seperti terlihat pada tabel berikut ini :

Perbedaan Aspek Bank Bank


No Konvensional
Islam
1 Falsafah Tidak berdasarkan atas Berdasarkan atas
bunga, spekulasi dan bunga
ketidakjelasan
2 Operasional -  Dana masyarakat - Dana
berupa titipan dan masyarakat
investasi yang baru berupa simpanan
akan mendapatkan yang harus
hasil juka diusahakan dibayar bunganya
terlebih dahulu pada saat jatuh
tempo
 
- Penyaluran
- Penyaluran pada pada sektor yang
sektor usaha yang menguntungkan,
halal dan aspek halal tidak
menguntungkan menjadi
pertimbangan
utama
3 Sosial Dinyatakan secara Tidak tersirat
eksplisit dan tegas secara tegas
yang tertuang dalam
Visi & Misi perusahaan
4 Organisasi Harus memiliki Dewan Tidak memiliki
Pengawas Syariah Dewan
(DPS). Pengawas
Syariah.
 Tabel di atas hanyalah sebagian kecil konsep produk pembiayaan syariah yang berprinsip pada system
bagi hasil, masih banyak lagi produk pembiayaan yang berbasis jual beli (bai’), sewa (ijarah), gadai (rahn)
dll. Dan dari table tersebut hendaknya kita dapat membaca dan memahami perbedaan yang sangat
mendasar antara bunga dan bagi hasil atau perbedaan prinsip antara bank syariah dan bank konvensional.
Namun tentu tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak yang meragukan apakah prinsip syariah
tersebut benar-benar dapat dijalankan secara utuh, bukan karena kepentingan untuk menjaring pasar
semata tanpa memperhatikan kemaslahatan usaha yang dijalankan.

Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada tahun 1991 merupakan bank pertama di Indonesia yang
murni menerapkan prinsip-prinsip syariah, baik dari segi permodalan maupun dari kegiatan usaha yang
dijalankan. Kemudian setelah itu bermunculan bank yang turut mengaplikasikan operasionalnya secara
syariah, diantaranya; Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Niaga Syariah, BRI Syariah, Bank
Syariah IFI dll.

Saat ini belum semua bank syariah merupakan bank yang murni berdiri sendiri tanpa keterkaitan dengan
bank induk atau bank konvensionalnya. Masih ada beberapa bank syariah yang merupakan unit usaha dari
bank konvensional, yang mana notabene permodalan unit syariah tersebut pada dasarnya berasal dari
bank konvensional atau bank induknya, sehingga masih ada mata rantai yang tidak terputus antara syariah
dan konvensional. Selain itu, ada juga bank yang melakukan konversi dari konvensional menjadi syariah,
hal mana patut dipertanyakan mengenai asset dan permodalan yang sebelumnya berasal dari hasil usaha
konvensional.

Fenomena ini tentu membuat gamang tidak sedikit muslim yang ingin berinvestasi atau melakukan
kegiatan usaha yang memerlukan layanan perbankan. Namun kita juga tentu tidak ingin terus-menerus
terjebak dalam kegiatan riba dengan melakukan transaksi di bank konvensional yang terus membelenggu
masyarakat muslim di Indonesia khususnya. Bebas murni dari riba mungkin tidak semudah yang kita
bayangkan karena praktik konvensional telah berjalan ratusan tahun lalu, sedangkan praktik syariah di
Indonesia belum genap dua dasa warsa. Paling tidak saat ini kita harus berupaya meminimalisir
penggunaan bank konvensional dan beralih ke bank syariah agar iklim investasi syariah terus meningkat
dan praktik syariah dapat terus memasyarakat.
Selain untuk memenuhi keinginan umat Islam untuk berhubungan dengan lembaga perbankan yang bebas
bunga, bank Islam tentu diharapkan dapat menghasilkan keuntungan dan keselarasan dengan aspek
moralitas Islam yang melandasi operasionalnya. Pendirian Bank Islam juga mempunyai tujuan khusus,
yang selaras dengan tujuan LDII yang telah dijabarkan dalam rekomendasi Munas VI 2005 dan diperkuat
dengan Rakernas LDII 2007 tentang pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Hal tersebut
diantaranya ;

1.Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan kualitas kehidupan sosial
ekonomi masyarakat muslim.
2.Menggalang partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang
ekonomi syariah.
3.Mengembangkan lembaga perbankan dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan
partisipasi masyarakat dalam menggalakkan usaha-usaha ekonomi masyarakat dengan memperluas
jaringan lembaga-lembaga keuangan syariah hingga ke daerah-daerah terpencil.
 
Dewan Pengawas Syariah

Selain beberapa perbedaan prinsip operasional di atas, salah satu ciri yang membedakan antara bank
Islam dengan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada Bank
Islam. DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Dengan kata lain DPS bertanggung jawab atas produk dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat agar
sesuai dengan prinsip syariah; investasi atau proyek yang ditangani oleh bank harus juga sesuai dengan
prinsip syariah, dan tentu saja bank itu harus di-manage sesuai dengan prinsip syariah.

Secara umum anggota pengawas syariah tentulah harus merupakan orang yang memiliki otoritas di bidang
syariah. Mekanisme penentuan anggota Dewan Pengawas Syariah berbeda pada setiap negara. Pada
beberapa negara yang sudah mengatur secara sentral keberadaan dan operasional bank Islam, seperti
Malaysia, Mesir, Jordania, Kuwait, Pakistan, Indonesia; mekanismenya telah diatur dalam undang-undang
atau peraturan negra. Filosofi dari mekanisme ini adalah untuk menjaga independensi Dewan Pengawas
Syariah.

Di Indonesia, otoritas masalah keagamaan di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk mengantisipasi
agar tidak terjadi kebingungan di kalangan umat akibat banyak dan beragamnya DPS. MUI sebagai
payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Indonesia menganggap perlu dibentuknya suatu dewan
syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan. Pada bulan Juli 1997 dalam
acara Lokakarya Reksadana Syariah dihasilkan rekomendasi pembentukan Dewan Syariah Nasional
(DSN). Lembaga ini didirikan pada tahun yang sama dan merupakan badan otonom MUI yang diketuai
secara eks-oficio oleh Ketua MUI. Sedangkan untuk kegiatan sehari-hari DSN dilaksanakan oleh Badan
Pelaksana Harian DSN. Bagi perusahaan yang akan membuka bank Islam atau lembaga keuangan
syariah lainnya, mereka harus mengajukan rekomendasi anggota DPS kepada DSN. Saat ini, Dewan
Syariah Nasional di Ketuai oleh KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI Pusat yang cukup produktif
menulis berbagai buku mengenai ekonomi syariah.

Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan
teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Jika
lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang diberikan, DSN dapat mengajukan
rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan
untuk memberikan sanksi.

Sumber penulisan :
1. DR. Syafiie Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek.
2. Dr. Ir. H. M. Amin Azis, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia.
3. Artikel Khusus, “Bank Menurut Konsep Syariah Islam”, Majalah Mimbar Ulama, MUI.
4. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia.

http://nuansaonline.net/index.php?option=com_content&task=view&id=132&Itemid=30

Вам также может понравиться