Вы находитесь на странице: 1из 4

Demokrasi, HAM dan Pluralisme Perspektif islam

Penerapan demokrasi dianggap sebagai pilihan terbaik untuk mengatasi berbagai kemelut yang
melanda negeri mayoritas muslim ini. Menurut pengagumnya, sistem demokrasi memberikan ruang
dan kesempatan sangat luas bagi rakyat untuk turut terlibat dalam proses kekuasaan. Dengan demikian,
berkuasanya pemerintahan yang korup dan menindas rakyat dapat dicegah. Di samping demokrasi,
beberapa ide lainnya yang yang dianggap mampu memberikan solusi atas carut-marutnya kehidupan
sosial-politik saat ini adalah HAM dan pluralisme. Namun demikian, sebagai bagian dari kaum
muslimin kita patut bertanya, apakah ide-ide itu sejalan dengan Islam? Bolehkah kita mengadopsi ide-
ide tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan?

Lahir dari Sekularisme

Jika ada ide yang kini amat populer dan nyaris tanpa kritik, itulah demokrasi. Kebenaran demokrasi
seolah telah menjadi aksioma yang tak perlu diperdebatkan. Ide yang berasal dari Barat itu telah
dijadikan sebagai parameter penentu kebaikan. Termasuk oleh sebagian kaum muslimin yang terpesona
dengan ide ini. Sehingga, semua gagasan, tindakan, atau kebijakan baru bisa dianggap baik manakala
sejalan dengan nilai-nilai demokrasi.

Perkara penting yang menjadi esensi demokrasi adalah ide tentang kedaulatan rakyat. Dari ide bahwa
rakyat adalah pemilik sah kedaulatan inilah berbagai ide lainnya --seperti hak asasi, kebebasan,
persamaan, pluralisme, dsb-- berpangkal. Karena ide kedaulatan rakyat ini lahir dari ideologi sekular,
maka dapat dikatakan bahwa berbagai ide itu lahir dari Sekularisme. Kedaulatan adalah kekuasaan
tertinggi dan satu-satunya yang berhak menetapkan hukum bagi perbuatan manusia dan benda-benda
yang ada. Apabila kedaulatan di tangan rakyat, maka kekuasaan tertinggi ada pada rakyat Tidak boleh
ada yang membangkang dari kehendak rakyat. Karena itu, semua perundangan dan peraturan yang
berlaku haruslah bersumber dari rakyat. Sebagaimana rakyat berhak membuat perundangan dan
peraturan kapan saja, maka rakyat juga bisa membatalkannya kapan saja.

Menurut konsepnya, dengan memberikan kedaulatan kepada rakyat, berbagai bentuk penindasan dan
kesewang-wenangan sebagaimana yang dijumpai pada sistem teokrasi dan monarchi dapat dihilangkan.
Adalah mustahil rakyat mendzalimi diri mereka sendiri dengan membuat peraturan-peraturan yang
merugikan dirinya. Ini berarti keadilan dapat ditegakkan. Mengingat banyaknya jumlah rakyat, dan
masing-masing memiliki kedaulatan (kekuasaan tertinggi yang tidak di bawah kekuasaan lainnya),
maka setiap rakyat harus diberi kebebasan untuk menentukan pilihan dan keinginannya. Memaksa
rakyat dengan pilihan tertentu berarti merampas kedaulatan dari pemiliknya. Maka kebebasan (baca:
HAM) menjadi keharusan bagi setiap negara yang menerapkan demokrasi.

Secara konseptual, ide HAM memberikan jaminan kebebasan penuh kepada manusia. Menurut HAM,
sejak manusia lahir, ia diberi hak oleh 'Tuhan' untuk memiliki kekebasan. Di antara kebebasan tersebut
adalah kebebasan beragama, kebebasan berekonomi, kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat, dan kebebasan berperilaku. Karena dianggap dari Tuhan, maka tidak ada satu
pun manusia yang boleh mencabut kebebasan tersebut. Negara, bukan saja tidak boleh merampas
kebebasan ini, tetapi justru diadakannya negara untuk melindungi kebesan rakyatnya. Satu-satunya
yang membatasi kebebasan manusia hanyalah apabila kebebasan itu sudah mengganggu kebebasan
orang lainnya. Sehingga, sekalipun sebuah perbuatan itu melanggar syariat Allah SWT yang berarti
kemaksiatan dan kemunkaran, tidak boleh dilarang untuk dilakukan bila itu tidak mengganggu
kebebasan orang lain.
Karena setiap rakyat berhak mengklaim dirinya sebagai pemilik kedaulatan, maka tidak boleh ada yang
merasa lebih dominan. Ketika ada sebagian rakyat terdominasi oleh sebagian lainnya, berarti
kedaulatan mereka telah terampas. Tidak boleh dibedakan antara orang kaya dengan orang miskin,
orang terpelajar dengan preman, bahkan ulama dengan para pelacur. Polarisasi berdasarkan agama
--seperti muslim dan kafir-- dianggap sebagai diskriminasi yang harus dihilangkan. Mereka semua
memiliki kehendak dan keinginan yang harus dihormati. Maka demokrasi mengharuskan adanya
persamaan pada semua warga negara tanpa ada diskriminasi apa pun. Dan karena setiap kelompok
berhak mengaktualisasikan keinginan dan pilihannya, maka keberadaan mereka harus ditoleransi.
Mengusik mereka, berarti telah merampas kedaulatan dari tangan mereka.

Munculnya beraneka ragam kelompok dengan aneka ragam ide, keyakinan, dan pola perilaku adalah
konsekuensi yang harus diterima dalam kehidupan berdemokrasi. Maka pluralisme menjadi sebuah
kemestian dalam sistem kehidupan yang menerapkan demokrasi. Dari paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa kedaulatan rakyat menjadi esensi dalam demokrasi. Namun justru pada ide esensial
inilah demokrasi terihat jelas bertentanga dengan Islam. Jika di dalam demokrasi rakyat dijadikan
sebagai sumber semua hukum dan perundang-undangan, menurut Islam satu-satunya yang berhak
membuat hukum bagi manusia adalah Allah SWT. Sedangkan manusia manusia diperintahkan
mengabdi kepada-Nya dengan mentaati seluruh hukum-hukum-Nya. Allah SWT berfirman:

Menetapkan hukum hanya hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain
Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Yusuf: 40).

Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan apa yang telah diputuskan
Allah dan Rasul-Nya. Tidak patut bagi mereka memiliki pilihan keputusan, peraturan, dan hukum lain,
setelah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) wanita yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka (QS Al Ahzab: 36). Allah SWT telah memerintahkan kepada Rasul-Nya yang mulia --yang
berati juga perintah kepada umatnya-- untuk memberikan keputusan berdasarkan hukum yang telah
diturunkan Allah, dan waspada supaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian yang diturunkan Allah,
serta tidak menyimpang sedikit pun dari hukum Allah SWT. Allah SWT berfirman:

“Dan handaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah dengan tipu daya mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT kepadamu” (QS Al
Maidah: 49).

Diperintahkan pula bagi setiap kaum muslimin mengembalikan setiap perkara yang mereka
perselisihkan kepada hukum yang telah ditetapkan Allah SWT melalui Rasul-Nya, berupa Al Qur’an
dan As Sunnah. Allah SWT berfirman:

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S An Nisa’: 59).

Kata “jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” merupakan qarinah (indikasi)
yang menunjukkan wajibnya mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan (yang menyangkut
persoalan aqidah dan syariat) kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Qarinah ini dipertegas oleh ayat
lainnya yang menafikan keimanan siapa saja yang tidak mau menjadikan syariat sebagai rujukan dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Allah SWT berfirman: “Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan , dan mereka menerima dengan sepenuhnya” ( An Nisa 65)

Ayat ini menafikan (meniadakan) iman seseorang yang tidak menjadikan Rasulullah SAW sebagai
hakim yang memutuskan perkara di antara mereka. Menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim berarti
menjadikan hukum syara’ sebagai acuan, standar, dan parameter untuk menilai baikb buruknya segala
sesuatu. Sebab bertahkim kepada Rasulullah SAW berarti juga bertahkim kepada hukum syara’.
Pengertian tersebut bisa disimpulkan demikian karena Rasulullah SAW tidak memutuskan hukum
apapun berdasarkan undang-undang yang berlaku menurut adat dan kebiasaan masyarakat, ataupun
mitos nenek moyang mereka. Akan tetapi Rasulullah SAW diperintahkan untuk mengadili dan
memutuskan mereka dengan hukum syara’ semata yang berasal dari Allah SWT. Itu semua
menunjukkan bahwa pemegang kedaultan menurut Islam adalah Allah SWT (baca: syara’).

Suara Mayoritas Menurut Al Quran

Di dalam demokrasi, suara terbanyak seolah dianggap sebagai 'kitab suci' yang selalu harus diikuti.
Kebenaran dalam kamus demokrasi indentik dengan suara terbanyak. Sebab, voting adalah solusi akhir
yang harus ditempuh jika kutub-kutub perbedaan tidak bisa dipertemukan. Keputusan apa pun yang
meraup suara terbanyak, harus diterima sebagai keputusan terakhir yang harus ditaati oleh semua
pihak. Tidak peduli apakah keputusan tersebut sejalan atau bertabrakan dengan hukum Allah SWT.

Kesalahan demokrasi dalam 'menuhankan' suara terbanyak ini diperparah oleh konsep one man one
vote. Pada hal, realitas manusia di dalam kehidupan itu berbeda-beda. Ada yang bertakwa, namun tidak
sedikit yang fasik, kafir, dan munafik. Ada yang berilmu luas, ada pula yang sebaliknya. Namun dalam
demokrasi, realitas tersebut dinafikan. Suara seorang ulama yang mukhlis disamakan dengan suara
pelacur, preman pasar, koruptor, atau orang kafir. Suara seorang doktor tidak berbeda dengan suara
seseorang yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan. Maka tidak aneh jika akhirnya
berbagai keputusan yang dihasilkan dengan suara terbanyak tidak selalu benar dan baik.

Jika dalam demokrasi suara mayoritas identik dengan kebenaran yang harus selalu diikuti, tidak
demikian konsep Islam. Menurut Islam, suara mayoritas sama sekali tidak selalu sejalan dengan
kebenaran. Bahkan Al Quran menegaskan bahwa sesungguhnya kebanyakan manusia itu tidak beriman
(lihat QS Al ra’d: 1), tidak mengetahui (lihat QS Yusuf: 40), tidak bersyukur (lihat QS Al Baqarah:
243), musyrik (lihat QS Yusuf: 106), dan tidak mendengar kebenaran (lihat QS Fushilat: 4). Al Quran
juga tegas melarang kita untuk mengikuti mayoritas manusia. Allah SWT berfirman:

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi, niscaya mereka akan
menyesatkan dari jalan Allah (QS Al An’am: 116). Dalam pandangan Islam, kebenaran tidak ditentukan
oleh mayoritas atau minoritas suara rakyat, melainkan didasarkan pada wahyu. Sebab, kebenaran itu
bersumber dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu
(QS Al Baqarah: 146).
Di dalam Islam, suara mayoritas digunakan dalam medan yang amat terbatas, yakni dalam menjalankan
suatu amal yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Semisal, untuk
menentukan siapa yang dipilih sebagai khalifah. Namun suara mayoritas tidak boleh digunakan untuk
menentukan sistem pemerintahan atau syarat-syarat seorang pemimpin. Sehingga pertanyaan: Bolehkah
sistem khilafah diganti dengan sistem republik? Atau: Bolehkah mengangkat orang kafir atau wanita
menjadi khalifah? Harus dijawab oleh hukum syara’, dan bukan suara terbanyak. Berbagai kerusakan
yang sekarang ini terjadi, yang melahirkan aneka persoalan bagi kehidupan manusia adalah karena
menjadikan hawa nafsu sebagai standar kebenaran. Allah SWT berfirman:

Seandainya kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua
yang ada di dalamnya (QS Al Mukminun: 71).

Bertolak dari uraian di atas, haram bagi kaum muslimin mengadopsi dan menerapkan demokrasi serta
berbagai ide yang berpangkal kepadanya.

Ilusi

Demokrasi tidak hanya batil secara konsep, namun juga hanya menawarkan ilusi. Rakyat --yang
dijadikan sebagai pemegang kedaulatan itu-- hanya dilibatkan saat pemilu tiba. Pada musim kampanye,
partai-partai peserta pemilu merayu rakyat dan mengobral janji-janji manis agar rakyat memberikan
suara kepadanya. Setelah mereka memperoleh suara dan berhak mewakili rakyat, mereka berhak
menggunakan untuk apa saja yang dipandang sejalan dengan kepentingannya. Anehnya, mereka
senantiasa mengatasnamakan rakyat. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah berkonsultasi kepada
rakyat pemilihnya. Bahkan, tidak sedikit pula rakyat pemilihnya itu tidak menyetujui manuver-manuver
yang dilakukan partai-partai yang dulu dipilihnya.

Sewaktu berkampanye, di antara partai-partai Islam itu ada yang berjanji akan memperjuangkan
diterapkannya syariat Islam. Di panggung-panggung kampanye, mereka mengecam ide sekular dan
tokoh-tokonya. Dan karena materi kampanye itu, tidak sedikit umat Islam bersimpati kepadanya lalu
mencoblosnya. Namun, tatkala pemilihan presiden, partai-partai Islam itu justru mencalonkan Gus Dur.
Tokoh demokrasi yang sering menyebut partai-partai Islam dengan sebutan sektarian. Kini, partai-
partai Islam itu ramai-ramai mendukung Megawati. Tokoh nasionalis yang menjadi ketua umum
sebuah partai politik yang amat menentang penerapan syariat Islam (kasus terakhir menentang rencana
pemberlakuan syariat Islam di Aceh). Partai-partai tersebut masih saja mengklaim bahwa mereka
mewakili sekian juta dari pemilihnya. Pada hal, setelah menyaksikan perilaku elit-elitnya yang tidak
konsisten dengan Islam, mereka kecewa dan tak lagi mendukungnya. Hal yang sama bisa terjadi pada
partai-partai lainnya. Jika demikian, di manakah peran rakyat? Rakyat hanya diperlukan saat
pengambilan suara. Selebihnya, terserah partai-partai politik itu.

Вам также может понравиться