Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
%20LUAR
%20BIASA/195602141980032%20-%20TJUTJU%20SOENDARI/Power
%20Point%20Perkuliahan/Materi%20asesmen/PERSEPSI%20%28asesmen
%29.ppt%20%5BCompatibility%20Mode%5D.pdf
Apakah anda sedang dibohongi? Dikhianati? Anda bisa mengakhiri itu semua
dengan hanya mempelajari informasi penting berikut mengenai pola mata.
Sebuah penelitian membuktikan bahwa setiap arah pandangan mata anda ketika
anda berbicara, atau sedang mendengar orang bicara dikendalikan oleh pikiran
alam bawah sadar anda. Anda bisa menggunakan informasi berikut untuk
mengetahui apakah seseorang itu berbohong.
“Jika seseorang tidak melakukan kontak mata ketika mereka bicara pada anda,
mereka sedang berbohong.” Itulah mitos yang selama ini berkembang, dan harus
dihilangkan. Sebenarnya, ada beberapa alasan mengapa seseorang tidak
melakukan kontak mata. Misalnya, ketidakmampuan bersosialisasi, atau mereka
gugup.
6. Bawah lalu ke kiri – seseorang akan terlihat seperti ini ketika mereka “berbicara
pada diri mereka sendiri.”
Anda bisa menggunakan informasi ini untuk mengetahui bahwa seseorang sedang
berbohong karena biasanya jika seseorang mengalihkan pandangan ke kanan,
mereka sedang membuat kebohongan, dan jika memandang ke kiri, mereka
sedang mengingat sesuatu.
Cobalah pola pandangan mata ini pada diri anda, dengan menguji pertanyaan pada
teman atau keluarga! Yang harus anda lakukan hanyalah membuat beberapa
pertanyaan.
Misalnya, jika anda ingin menguji pola pandangan “atas lalu ke kanan” anda bisa
membuat pertanyaan seperti: “Bisakah kamu membayangkan sapi berkepala
babi?” Dengan dorongan ini mereka secara visual akan membayangkan gambaran
dalam kepala mereka.
Bawah lalu ke kiri - seseorang akan terlihat seperti ini ketika mereka "berbicara
pada diri mereka sendiri."
Anda bisa menggunakan informasi ini untuk mengetahui bahwa seseorang sedang
berbohong karena biasanya jika seseorang mengalihkan pandangan ke kanan,
mereka sedang membuat kebohongan, dan jika memandang ke kiri, mereka
sedang mengingat sesuatu.
Cobalah pola pandangan mata ini pada diri anda, dengan menguji pertanyaan pada
teman atau keluarga! Yang harus anda lakukan hanyalah membuat beberapa
pertanyaan. Misalnya, jika anda ingin menguji pola pandangan "atas lalu ke
kanan" anda bisa membuat pertanyaan seperti: "Bisakah kamu membayangkan
sapi berkepala babi?" Dengan dorongan ini mereka secara visual akan
membayangkan gambaran dalam kepala mereka.
Reply With Quote
24-07-09 07:50 PM
Disleksia visual
dalam kelompok ini masih dibagi dalam dua golongan yaitu : mengalami
kesulitan untuk diskriminasi huruf ( kesulitan membaca akibat kesalahan
decoding ), kesulitan mengingat urutan visual, misal diminta menulis ibu tetapi
menulis iub atau ubi.
http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/disleksia-visual
Oleh kelompok 1:
Semester VI B
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya
saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus
dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada
juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatka perhatian
dan bantuan dari orang lain.
Santrock (2008,219) menyebut anak-anak yang tidak biasa dengan istilah
“exceptional students” adalah anak-anak yang memiliki gangguan atau
ketidakmampuan dan anak-anak yang tergolong berbakat.
Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat, yang secara resmi
disebut pendidikan luar biasa (PLB), selama beberapa dekade yang lalu telah
mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi dalam hal
kesadaran dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan
pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia,
individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak
kehadirannya oleh masayrakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa
anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat
berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang
kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak
sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh
masyarakatnya.
Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan
penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-
macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak
penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek
moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering
disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat
merupakan aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru
mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yamg sama untuk
hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-
anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat
menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang
lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan
bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang
menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar
kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.
Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai
berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang
secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang
menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang
kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan
metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu,
pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari
pendidikan anak lainnya.
Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education,
yang
melahirkan sistem pendidikan segregasi.
Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad
lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung.
Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari
segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan
pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB)
dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap
dua hal yang sama sekali berbeda.
Dilihat dari sudut pandang, paedagogis, psikologis dan filosofis, sistem
pendidikan segregasi,(yang lahir dari konsep special education) mengandung
beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang
cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara paedagogis,
sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang
unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara
psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan
individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan
kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi
menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal
sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari
masyarakat yang alami (David Smith, 1995).
Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus
berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang
berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari
sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan
kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan
tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada
hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan
pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa
dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti
ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain
melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).
Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label
kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki
kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti
digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi
dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan
belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Oleh
karena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus
(Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhab khusus
bukan pengganti istilah anak luar biasa. Layana pendidikan bagi semua anak
berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan
Khusus (Special Needs Education).
B. Tujuan Pembahasan
Dengan mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat memiliki gambaran,
pengetahuan, dan wawasan yang cukup tentang jenis-jenis dan karakterisitk anak
yang tidak biasa ini sehingga pada gilirannya memiliki sikap dan perilaku yang
positif dan mampu memberikan perlakuan secara tepat untuk membantu
mengembangkan potensi yang dimiliki.
BAB II
HAKIKAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang digunakan dan
merupakan terjemahan dari child with specials needs yang telah digunakan secara
luas di dunia nternasional. Ada beberapa istilah lain yang pernah digunakan
diantaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang dan anak
luar biasa. Ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan yaitu
difabel, sebenarnya merupakan pendekatan dari difference ability. Penggunaan
istilah anak berkebutuhan khusus membawa kosekuensi cara pandang yang
berbeda dengan istilah anak luar biasa yang pernah diergunakan dan mungkin
masih digunakan. Jika pada istilah luar biasa lebih menitik beratkan pada kondisi
(fisik, mental, emosi-sosial) anak, maka pada berkebutuhan khusus lebih pada
kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan prestesinya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan
layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak
berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan
hambatan perkembangan (barier to learning and development). Oleh sebab itu
mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hamabatan belajar
dan hambatan perkembang yang dialami oleh masing-masing anak.
Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu:
(a) anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari
kecacatan tertentu (anak penyandang cacat), seperti anak yang tidak bisa melihat
(atunanetra), tidak bisa mendengar (tunarungu), anak yang mengalami cerebral
palsy dst. Dan (b) anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer.
Untuk mengenal apakah anak mengalami gangguan penglihatan, dapat dilihat dari
ciri-ciri fisik, perilaku maupun keluhan.
• Ciri fisik, seperti : mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata
merah, mata infeksi,gerakan mata takberaturan (goyang), mata selalu beair;
• Ciri perilaku, seperti : membaca terlalu dekat, membaca banyak yang
terlewati,cepat lelah ketika membaca/menulis, sering menggerakan kepala ketika
membaca, mengeryitkan kepala ketika melihat papan tulis, seing mengusap mata,
mendongakkan kepala, berjalan sering menabrak benda di depannya, salah
menyalin dalamjarak dekat, dsb.
• Ciri keluhan, seperti : merasa sakit kepala, sulit melihat dengan jelas dari jarak
jauh, penglihatan terasa kabur ketika membaca/menulis, benda terlihat seperti dua
buah, mata sering terasa gatal.
Dampak gangguan penglihatan bermacam-macam. Jika gangguan cukup ringan,
mungkin dengan alat Bantu khusus (seperti kaca mata, loop, atau memperbesar
huruf, penempatan tempat duduk) dapat sedikit membantu mengatasi masalah
belajar anak. Tetapi, untuk gangguan yang sangat serius (sudah samapai tarap
buta tentu mereka tidak dapat mengikuti pendidikan biasa tanpa bantuan layanan
khusus. Mereka tidak lagi menggunakan huruf biasa di dalam belajar. Mereka
sudah harus menggunakan huruf Braille.
Guru perlu mengenal mereka agar sejak dini anak yang mengalami gangguan
penglihatan dapat terlayani secara optimal, baik secara medis, sosial, psikologis,
maupun pendidikan, sehingga tidak menimbulkan kesulitan belajar pada diri anak
dikemudian hari. Dalam hal ini guru perlu kerjasama yang baik dengan orang tua
atau ahli lain yang relevan, seperti doketer mata.
2) Anak dengan gangguan pendenganran
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebutuhan khusus oleh kerusakan
fungsi dari sebagian atau seluruh alat atau organ-organ pendengaran, dapat
diketahui dengan menggunakan alat ukur tertentu (audiometer). Organisasi
Standar Dunia menetapkan bahwa gangguan pendengaran dapat dikelompokan
sebagai berikut :
Sangat ringan = 27-40 db,
Ringan = 41-55 db,
Sedang = 56-70 db,
Berat = 71-90 db,
Berat sekali = 91 db ke atas.
Dengan menggungakan ciri fisik dan prilaku anak, seorang anak dideteksi apakah
mengalami gangguan pendengaran gangguan atau tidak. Ciri-ciri tersebut, antara
lain : sering keluar cairan dari liang telinga, bentuk daun telinga tidak normal,
sering mengeluh atau gatal di lubang telinga, kalau berbicara selalu melihat
gerakan bibir lawan bicara, sering tidak bereaksi jika diajak bicara kurang keras
selalu minta diulang dalam pembicaraan, dan sebagainya.
3) Anak dengan kelainan autistik
Perlunya penanganan khusus bagi anak autis termasuk perkembangan baru dalam
bidang pendidikan luar biasa. Mereka umumnya dikatagorikan sebagai anak
dengan gangguan tunagrahita dan karenanya penanganannya sering dijadikan satu
dengan anak tunagrahita. Namun dalam perkembangan ternyata penyandang autis
tidak selalu mengalami anagrahita. Oleh karena itu dipandang perlu untuk
dijadikan katagori tersendiri sebagai anak yang mengalami kesulitan belajar.
Ciri-ciri umum anak dengan kelainan autistik antara lain adalah :
• Sering berkata tanpa arti.
• Sering menirukan perkataan orang lain secara spontan.
• Tanpa mengerti apa yang dibaca.
• Gerakan/aktivitas kaku, menonton dan berulang.
• Sering memutar, membanting dan membariskan benda.
• Lebih tertarik pada benda mati daripada orang.
• Mempunyai gerakan serba cepat (hiperaktif)
• Sering berprilaku stereotipik (diulang-ulang), aneh tanpa tujuan.
• Minat terhadap objek tertentu secara luar biasa dan tidak lazim misal detik jam,
kipas angin.
• Kadangkala agresif (menyerang, merusak).
• Sulit konsentrasi pada aktivitas/objek tertentu.
• Sering sulit tidur, ngompol atau ngebrok.
• Tidak senang/mudah marah pada perubahan (letak barang di kamar, urutan
kegiatan).
• Sering berubah emosi mendadak tanpa sebab (dari sedih kegembira, atau
sebaliknya).
• Sering terjadi ledakan tawa atau tangis tanpa sebab.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, dkk. 2006. Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Upi Press
Http://Www.Scribd.Com/Doc/17387933/ Mengenal-Anak-Berkebutuhan-Khusus
http://z-alimin.blogspot.com/2008/03/pemahaman-konsep-pendidikan-
kebutuhan.html
Suparno, dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Universitas
Lampung.
http://pendidikaninklusi.blogspot.com/2010_02_01_archive.html
A. Latar Belakang
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru
mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yamg sama untuk
hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-
anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat
menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang
lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan
bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang
menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar
kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.
Sebagai bekal bagi calon seorang pendidik, sudah semestinya harus mengetahui
berbagai jenis karakteristik anak berkebutuhan khusus untuk bisa memberikan
pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut. Karena tidak
menutup kemungkinan pada saat terjun ke SD nanti kita (mahasiswa) akan
menemukan anak-anak yang memerlukan penanganan khusus. Dalam bab ini akan
dibahas tentang anak-anak berkelainan fisik diantaranya yaitu tunanetra,
tunarungu, dan tunadaksa dengan berbagai karakteristiknya. Karakteristik di sini
akan lebih luas cakupannya karena harus dilihat dari berbagai segi, fisik,
akademik, kepribadian, maupun sosial-emosionalnya.
B. Tujuan Pembahasan
BAB II
KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
A. ANAK-ANAK BERKELAINAN FISIK
Anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi
penglihatan, yang dinyatakan dengan tingkat ketajaman penglihatan atau visus
sentralis di atas 20/200 dan secara pedagogis membutuhkan layananpendidikan
khusus dalam belajarnya di sekolah. Beberapa karakteristik anak-anak tunanetra
adalah:
2. Segi Fisik
secara fisik anak-anak tunanetra nampak sekali adanya kelainan pada organ
penglihatan/mata, yang secara nyata dapat dibedakan dengan anak-anak normal
pada umumnya hal ini terlihat dalam aktivitas mobilitas dan respon motorik yang
merupakan umpan balik dari stimuli visual.
3. Segi Motorik
Hilangnya indera penglihatan sebenarnya tidak berpengaruh secara langsung
terhadap keadaan motorik anak tunanetra, tetapi dengan hilangnya pengalaman
visual menyebabkan tunanetra kurang mampu melakukan orientasi lingkungan.
Sehingga tidak seperti anak-anak normal, anak tunanetra harus belajar bagaimana
berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan berbagai
keterampilan orientasi dan mobilitas.
4. Perilaku
anak tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan
perilaku yang tidak semestinya. Manifestasi perilaku itu dapat berupa sering
menekan matanya, membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan
kepala dan badannya, atau berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkap
mengapa tunanetra terkadang mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal itu
terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya rangsangan sensoris, terbatasnya
aktivitas dan gerak di dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial. Untuk
mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka
memperbanyak aktivitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu,
seperti memberikan pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif,
dan sebagainya.
5. Akademik
Secara umum kemampuan akademik, anak-anak tunanetra sama seperti anak-anak
normal pada umumnya. Keadaan ketunanetraan berpengaruh pada perkembangan
keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis.
1. Segi Fisik
• cara berjalannya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya permasalahan
pada organ keseimbangan pada telinga.
• Pernapasannya pendek, dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah
mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersuara atau
mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang baik, sehinga mereka juga tidak
terbiasa mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.
• Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indra yang
paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu. Sehingga cara
melihatnyapun selalu menunjukkan keingintahuah yang besar dan terlihat
beringas.
2. Segi Bahasa
• Miskin kosa kata
• Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan, atau idiomatic.
• Tatabahasanya kurang teratur.
3. Intelektual
• kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak
mengalami permasalahan dalam segi intelektual. Namun akibat keterbatasan
dalam berkomunikasi dalam berbahasa, perkembangan intelektual menjadi
lamban.
• Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa.
4. Sosial-Emosional
• sering merasa curiga dan syak wasangka. Sikap seperti ini terjadi akibat adanya
kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat memahami apa yang
dibicarakan orang lain, sehingga anak-anak tunarungu menjadi mudah merasa
curiga.
• Sering bersikap agresif.
Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat
tubuh yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan
anggota gerak dan kelumpuhan yang disebabkan karena kelainan yang ada di
syaraf pusat atau otak. Disebut dengan Cerebral Palsy (CP) dengan karakteristik
sebagai berikut.
1. Gangguan Motorik
gangguan motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan-gerakan yang tidak
dapat dikendalikan, gerakan ritmis dan gangguan keseimbangan.
2. Gerakan Sensorik
pusat sensoris pada manusia otak, mengingat anak cerebral palsy adalah anak
yang mangalami kelainan di otak, maka sering anak cerebral palsy disertai dengan
gangguan sensorik, beberapa gangguan sensorik antara lain penglihatan,
pendengaran, perabaan, penciuman dan perasa.gangguan pada cerebral palsy
terjadi karena ketidakseimbangan otot-otot mata sebagai akaibat kerusakan otak.
Oleh kelompok 1:
Semester VI B
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya
saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus
dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada
juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatka perhatian
dan bantuan dari orang lain.
Santrock (2008,219) menyebut anak-anak yang tidak biasa dengan istilah
“exceptional students” adalah anak-anak yang memiliki gangguan atau
ketidakmampuan dan anak-anak yang tergolong berbakat.
Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat, yang secara resmi
disebut pendidikan luar biasa (PLB), selama beberapa dekade yang lalu telah
mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi dalam hal
kesadaran dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan
pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia,
individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak
kehadirannya oleh masayrakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa
anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat
berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang
kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak
sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh
masyarakatnya.
Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan
penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-
macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak
penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek
moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering
disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat
merupakan aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru
mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yamg sama untuk
hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-
anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat
menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang
lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan
bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang
menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar
kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.
Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai
berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang
secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang
menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang
kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan
metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu,
pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari
pendidikan anak lainnya.
Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education,
yang
melahirkan sistem pendidikan segregasi.
Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad
lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung.
Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari
segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan
pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB)
dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap
dua hal yang sama sekali berbeda.
Dilihat dari sudut pandang, paedagogis, psikologis dan filosofis, sistem
pendidikan segregasi,(yang lahir dari konsep special education) mengandung
beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang
cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara paedagogis,
sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang
unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara
psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan
individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan
kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi
menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal
sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari
masyarakat yang alami (David Smith, 1995).
Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus
berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang
berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari
sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan
kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan
tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada
hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan
pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa
dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti
ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain
melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).
Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label
kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki
kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti
digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi
dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan
belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Oleh
karena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus
(Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhab khusus
bukan pengganti istilah anak luar biasa. Layana pendidikan bagi semua anak
berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan
Khusus (Special Needs Education).
B. Tujuan Pembahasan
BAB II
HAKIKAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang digunakan dan
merupakan terjemahan dari child with specials needs yang telah digunakan secara
luas di dunia nternasional. Ada beberapa istilah lain yang pernah digunakan
diantaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang dan anak
luar biasa. Ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan yaitu
difabel, sebenarnya merupakan pendekatan dari difference ability. Penggunaan
istilah anak berkebutuhan khusus membawa kosekuensi cara pandang yang
berbeda dengan istilah anak luar biasa yang pernah diergunakan dan mungkin
masih digunakan. Jika pada istilah luar biasa lebih menitik beratkan pada kondisi
(fisik, mental, emosi-sosial) anak, maka pada berkebutuhan khusus lebih pada
kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan prestesinya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan
layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak
berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan
hambatan perkembangan (barier to learning and development). Oleh sebab itu
mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hamabatan belajar
dan hambatan perkembang yang dialami oleh masing-masing anak.
Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu:
(a) anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari
kecacatan tertentu (anak penyandang cacat), seperti anak yang tidak bisa melihat
(atunanetra), tidak bisa mendengar (tunarungu), anak yang mengalami cerebral
palsy dst. Dan (b) anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer.
Untuk mengenal apakah anak mengalami gangguan penglihatan, dapat dilihat dari
ciri-ciri fisik, perilaku maupun keluhan.
• Ciri fisik, seperti : mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata
merah, mata infeksi,gerakan mata takberaturan (goyang), mata selalu beair;
• Ciri perilaku, seperti : membaca terlalu dekat, membaca banyak yang
terlewati,cepat lelah ketika membaca/menulis, sering menggerakan kepala ketika
membaca, mengeryitkan kepala ketika melihat papan tulis, seing mengusap mata,
mendongakkan kepala, berjalan sering menabrak benda di depannya, salah
menyalin dalamjarak dekat, dsb.
• Ciri keluhan, seperti : merasa sakit kepala, sulit melihat dengan jelas dari jarak
jauh, penglihatan terasa kabur ketika membaca/menulis, benda terlihat seperti dua
buah, mata sering terasa gatal.
Dampak gangguan penglihatan bermacam-macam. Jika gangguan cukup ringan,
mungkin dengan alat Bantu khusus (seperti kaca mata, loop, atau memperbesar
huruf, penempatan tempat duduk) dapat sedikit membantu mengatasi masalah
belajar anak. Tetapi, untuk gangguan yang sangat serius (sudah samapai tarap
buta tentu mereka tidak dapat mengikuti pendidikan biasa tanpa bantuan layanan
khusus. Mereka tidak lagi menggunakan huruf biasa di dalam belajar. Mereka
sudah harus menggunakan huruf Braille.
Guru perlu mengenal mereka agar sejak dini anak yang mengalami gangguan
penglihatan dapat terlayani secara optimal, baik secara medis, sosial, psikologis,
maupun pendidikan, sehingga tidak menimbulkan kesulitan belajar pada diri anak
dikemudian hari. Dalam hal ini guru perlu kerjasama yang baik dengan orang tua
atau ahli lain yang relevan, seperti doketer mata.
2) Anak dengan gangguan pendenganran
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebutuhan khusus oleh kerusakan
fungsi dari sebagian atau seluruh alat atau organ-organ pendengaran, dapat
diketahui dengan menggunakan alat ukur tertentu (audiometer). Organisasi
Standar Dunia menetapkan bahwa gangguan pendengaran dapat dikelompokan
sebagai berikut :
Sangat ringan = 27-40 db,
Ringan = 41-55 db,
Sedang = 56-70 db,
Berat = 71-90 db,
Berat sekali = 91 db ke atas.
Dengan menggungakan ciri fisik dan prilaku anak, seorang anak dideteksi apakah
mengalami gangguan pendengaran gangguan atau tidak. Ciri-ciri tersebut, antara
lain : sering keluar cairan dari liang telinga, bentuk daun telinga tidak normal,
sering mengeluh atau gatal di lubang telinga, kalau berbicara selalu melihat
gerakan bibir lawan bicara, sering tidak bereaksi jika diajak bicara kurang keras
selalu minta diulang dalam pembicaraan, dan sebagainya.
3) Anak dengan kelainan autistik
Perlunya penanganan khusus bagi anak autis termasuk perkembangan baru dalam
bidang pendidikan luar biasa. Mereka umumnya dikatagorikan sebagai anak
dengan gangguan tunagrahita dan karenanya penanganannya sering dijadikan satu
dengan anak tunagrahita. Namun dalam perkembangan ternyata penyandang autis
tidak selalu mengalami anagrahita. Oleh karena itu dipandang perlu untuk
dijadikan katagori tersendiri sebagai anak yang mengalami kesulitan belajar.
Ciri-ciri umum anak dengan kelainan autistik antara lain adalah :
• Sering berkata tanpa arti.
• Sering menirukan perkataan orang lain secara spontan.
• Tanpa mengerti apa yang dibaca.
• Gerakan/aktivitas kaku, menonton dan berulang.
• Sering memutar, membanting dan membariskan benda.
• Lebih tertarik pada benda mati daripada orang.
• Mempunyai gerakan serba cepat (hiperaktif)
• Sering berprilaku stereotipik (diulang-ulang), aneh tanpa tujuan.
• Minat terhadap objek tertentu secara luar biasa dan tidak lazim misal detik jam,
kipas angin.
• Kadangkala agresif (menyerang, merusak).
• Sulit konsentrasi pada aktivitas/objek tertentu.
• Sering sulit tidur, ngompol atau ngebrok.
• Tidak senang/mudah marah pada perubahan (letak barang di kamar, urutan
kegiatan).
• Sering berubah emosi mendadak tanpa sebab (dari sedih kegembira, atau
sebaliknya).
• Sering terjadi ledakan tawa atau tangis tanpa sebab.
C. Pervalensi ( pemerataan)
Prakiraaan jumlah anak berkebutuhan khusus sangat dibutuhkan dalam
mengambil kebijakan. Dalam mengemukakan jumlah anak berkebutuhan khusus
terjadi perbedaan antarlembaga, hal ini dimungkinkan adanya perbedaan definisi
dan kebutuhan yang disesuaikan dengan bidang lebaga masing-masing. Jumlah
anak berkebutuhan khusus di negara maju seperti USA ada 11,50% dari populasi,
sedang di negara berkembang seperti Indonesia dimungkinkan lebih banyak.
Sedangkan jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum ada data yang
akurat, hal ini terkait dengan adanya sikap masyarakat yang masih menganggap
anak berkebutuhan khusus sebagai aib keluarga, sehingga setiap ada senss
penduduk yang dilakukan setiap 10 tahun sekali selalu tidak muncul adanya anak
berkebutuhan khusus. Menurut data BPS hasil sensus 2003 di Indonesia terdapat
1,48% penyandang cacat, hal ini sangat jauh bila dibandingkan dengan negara
maju seperti USA sehingga keakuratan data tersebut masih diragukan. Jumlah
anak berkebutuhan khusus yang telah bersekolah di Indonesia ada 81.434 anak
(Dir. PSLB,2006:39).
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, dkk. 2006. Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Upi Press
Http://Www.Scribd.Com/Doc/17387933/ Mengenal-Anak-Berkebutuhan-Khusus
http://z-alimin.blogspot.com/2008/03/pemahaman-konsep-pendidikan-
kebutuhan.html
Suparno, dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Universitas
Lampung.
alus
1. Melempar, dilakukan dengan bola berbagai ukuran dan arah lemparan dari
gurua ke anak, atau sasaran tertentu.
2. Menangkap dengan cara menangkap bola kain, bola plastik yang kurang
memantul.
3. Bermain Bola, setelah anak terampil baru menggunakan bola dengan
berbagai ukuran.
4. Bermain Ban Dalam, digunakan untuk latihan menggelinding dan
menangkap.
5. Aktivitas Koordinasi mata dan Tangan, Menghubungkan dua titik yang
berjauhan, mengarsir gambar, mewarnai dsb.
6. Menjiplak (Tracing I)
7. Menggunting, dengan beberapa teknik yaitu menggunting lurus ditepi
kertas, menggunting lurus ditengah kertas. Memotong bentuk- bentuk
geometri seperti bujur sangkar, empat persegi panjang, segi tiga, dsb.
8. Menempel
9. Melipat
PERKEMBANGAN PERSEPSI
Sistem perseptual bermuatan lebih berarti bahwa penerimaan informasi dari suatu
modalitas mengganggu informasi yang sedang datang dari modalitas lain.
1. Berupa kebingungan
2. Kemiskinan ingatan
3. Kemunduran
4. Menolak tugas
5. Kekurangperhatian
6. Tempertantrum
Ada beberapa jenis persepsi, yaitu persepsi auditoris, persepsi visual, serta
persepsi taktil dan kinestetik. Berbagai jenis persepsi tersebut memiliki kaitan
yang sangat erat dengan belajar akademik. Terjadinya gangguan pada salah satu
jenis persepsi tersebut dapat menimbulkan masalah belajar.
1. Persepsi Visual
2. Persepsi Auditoris
3. Persepsi Heptik
4. Integrasi Sistem Perseptual
Fungsi :
AKTIVITAS PENGEMBANGAN
Materi dan Aktivitas
Diskriminasi Bunyi
Membedakan bunyi jauh – dekat; lemah – kuat; tinggi – rendah. Materi dan
aktivitasnya berupa
• Bunyi Jauh – Dekat; Menutup mata mendengarkan bunyi jauh atau dekat.
• Bunyi keras – lemah; Menutup mata mendengarkan pada anak bunyi keras
dan lemah, dan diminta untuk membedakannya.
• Bunyi tinggi-rendah; Mendengarkan bunyi piano atau orgen, anak diminta
menirukan atau membedakan nada-nada yang keluar.
http://salamahazhar.wordpress.com/2010/01/26/perkembangan-motorik-dan-
perseptual-untuk-anak-usia-dini-bagian-2/
Psikologi Pendidikan
Semester II/2009
Disusun Oleh
Subandri : 0829048
Yani :
0829038
Asep :
0829049
Dosen Pembimbing
Amida. M.A
Fakultas Tarbiyah
2009
Pendahuluan
Dalam zaman era globalisasi ini tak sedikit anak mengalami kesulitan
dalam berbahasa sehingga anak tersebut sulit untuk menyampaikan pendapatnya
karena bahasa yang dipakainya yang tidak semua orang mengerti apa yang
dihendakinya
Disini kami akan membahas factor apa saja yang dapat mempengaruhi anak
dalam kesulitan bahasa dan bagaimana penanngannya agar anak tersebut dapat
menggu7nakan bahasanya yang baik dan benar sehinggah semua orang dapat
mengerti
apa yang sampaikannya.
A. Kesulitan
Belajar Bahasa (Disfasia )
B. Factor
kesulitan bahasa
Ada
beberapa penyebab kesulitan belajar bahasa yaitu;
1.
Kekurangan Kogritif
Ada tuju jenis kekurangan
kogritif yaitu
c. Mengklasifikasikan kata
2.
Kekuranngan dalam memori
3.
Kekurangan kemampuan Menilai
5.
Kekurangan Fragmatik
C. Penanganannya
1. Difa expresif
a) Meluruskan
bicara, tidak membiarkan kesalahan ucapan, contoh “ atu adi ompat”, abel
biara
seperti itu guru paham makudnya, tetapi guru harus langsung meluruskan
denngan
pelan-pelan sehingga abel akan belajar pengucapan yang benar “aku tadi
lompat”
b) Memperlihatkan
mimic wajah dan bibir saat bicara, saat berkumunikasi denngan anak disfasia
ekspresif, guru atau
orang tua dan anak saling berhadapan dan guru menuntunnya untuk bicara
pela-pelanmengerti
c) Mengajarkan
keterampilan lidah dan mulut
Melatih anak disfesia ekspresif dengan senam mulut beberapa menit setiap
hari dengan cara meletakan dua jari diatas mulut lalu diputar-putar jarinya,
kemudian bergantian jari tangan dipindahkan kebawah bibir dan dilakukan
gerakan
yang sama, sedangkan latihan lidah dapat dilakukan dengan menekuk lidah
keatas
dan kebawah
d) Memberikan
dorongan
2. Disfasia
Reseptip
Disfasia Reseptip, ia
dapat mendengnarkan kata-kta yang diucapkan orang lain, tetapi tidak mengerti
apa maksud dari kata-kata yang didengar tersebut karena gangguan dalam
memproses stimulasi yang masuk. Untuk dapat membantu paenderita Disfasia
Reseptip untuk memahami makna dari suatu kata. Latihan-latihan yang dapat
dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut;
Bisa jadi selama ini, dirumahnya, anak penderita disfasia resepif tidak
diajarkan apaarti dari setiap kata-kata yang ia dengar. Misalnya bagaimana
mengambil, bagaimana menaruh, dan bagaimana istirahat.
b.
Memandang Anak Saat Bicara
Hadapkan wajah kepada anak dalam posisi face, dan pegang pundaknya
dengan penuh perhatian saat berbicara
denganya.
c.
Bicaralah denganPelan-pelan dan Singkat
Jika untuk memahami satu kata saja ia sudah cukup sulit, jangan terlalu
panjang dalam memberikan arahan kepadanya akan membuat jaringan di
otaknya yang
mengolah stimulus yang masuk akan makin kacau sehingga membuatnya
“nggak
nyambung”. Untuk mengajak anak mengalami gangguan mengolah stimulus
agar bias
duduk dikursi, cukup mengucapkan, “Fahri bisa duduk?”. Akan menjadi
sangat
membingingkan anak ketika mengarahkannya untuk duduk dengan cara
seperti ini,
“Fahri, kalau belajar duduk ya, lihat teman-temannya semua duduk kan?”.
KEIMPULAN
Kesulitan
belajar bahasa atau distasi adalah: ketidak mampuan atau keterbatasan
kemampuan
untuk menggunakan symbol ungustik untuk berkomunikasi secara verbal.
1.
Kekurangan kognitif
2.
Kekurangan dalam memory
3.
Kekurangan kemampuan melakukan evaluasi
4.
kekurangan dalam memproduksi bahasa
5.
kekurangan fragmatik
Cara penangannya
Jika anak
berkesulitan dalam menyampaikan kata-kata ;
1.
Meluruskan bicara
2.
Memperlihatkan mimik wajah dan bibir saat bicara
3.
Mengajarkan keterampilan lidah dan mulut
4.
Memberikan dorongan
Jika anak
berkesulitan dalam memahami makna dari suatu karya;
1.
Menerangkan arti setiap kata kepada anak
2.
memandang anak saat berbicara
3.
berbicaralah dengan pelan-pelan dan singkat.
http://zanikhan.multiply.com/profile
didukung oleh
1.1. Fonetik
Menurut urutan proses terjadinya:
Fonetik artikulatoris
Fonetik akustik
Fonetik auditoris
1. Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis/fonetik fisiologis
Mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam
menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Dan
fonetik artikulatoris adalah jenis fonetik yang paling berurusan dengan dunia
linguistik karena fonetik ini berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi
bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.
2. Fonetik akustik memperlajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau
fenomena alam. Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getarannya, amplitudonya,
intensitasnya dan timbrenya. Dan fonetik akustik ini lebih berkenaan dengan
bidang fisika.
3. Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa
itu oleh telinga kita. Dan fonetik auditoris ini lebih berkenaan dengan bidang
kedokteran yaitu neurologi, meskipun tidak tertutup kemungkinan linguistik yang
juga bekerja dalam kedua bidang fonetik itu.
1.1.1. Alat Ucap
Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang dibicarakan adalah alat ucap
manusia yang menghasilkan bunyi bahasa. Sebenarnya alat ucap itu juga memiliki
fungsi utama lain yang bersifat biologis. Bunyi-bunyi yang terjadi pada alat-alat
ucap itu biasanya diberi nama sesuai dengan alat ucap itu namun disesuaikan
dengan nama latinnya, misalnya:
Pangkal tenggorokan (larynx) – laringal
Rongga kerongkongan (pharynx) – faringal
Pangkal lidah (dorsum) – dorsal
Tengah lidah (medium) – medial
Daun lidah (laminum) – laminal
Ujung lidah (apex) – apikal
Anak tekak (uvula) – uvular
Langit-langit lunak (velum)
Langit-langit keras (palatum)
Gusi (alveolum) – alveolar
Gigi (dentum) – dental
Bibir (labium) – labial
Selanjutnya sesuai dengan bunyi bahasa itu dihasilkan, maka harus kita
gabungkan istilah dari dua nama alat ucap itu. Misalnya, bunyi apikodental yang
gabungan antara ujung lidah dengan gigi atas.
1.1.2. Proses Fonasi
Terjadinya bunyi bahsa pada umumnya dimulai dengan proses pemompaan udara
keluar dari paru-paru melalui pangkal tenggorok ke pangkal tenggorok yang di
dalamnya terdapat pita suara. Supaya udara bisa keluar, maka pita suara harus
dalam keadaan terbuka.
Adanya empat macam pita suara yang berposisi yaitu (a) pita suara terbuka lebar,
(b) pita suara terbuka agak lebar (c) pita suara terbuka sedikit, (d) pita suara
tertutup rapat-rapat. Proses terjadinya bunyi bahasa disebut proses artikulasi dan
alatnya disebut artikulator. Artikulator aktif adalah alat ucap yang digerakkan.
Striktur adalah keadaan, cara atau posisi bertemunya artikulator aktif dan pasif.
Hasil satu proses artikulasi adalah bunyi tunggal atau bisa juga bunyi ganda.
Labialisasi dilakukan dengan membulatkan bentuk mulut. Palatilisasi dilakukan
dengan menaikkan bagian depan lidah. Velarisasi dilakukan dengan cara
menaikkan belakang lidah ke arah langit-langit lunak. Faringalisasi dilakukan
dengan cara menarik lidah ke arah belakang ke dinding faring.
1.1.3. Tulisan Fonetik
Tulisan yang dibuat untuk studi fonetik biasanya menggunakan aksara latin
dengan menambahkan tanda diakritik dan modifikasi pada huruf latin itu. Dalam
tulisan fonetik setiap huruf atau lambang hanya digunakan untuk melambangkan
satu bunyi bahasa.
Dalam tulisan fonetik setiap bunyi dilambangkan secara akurat artinya
mempunyai lambang sendiri, sedangkan dalam tulisan fonemik hanya perbedaan
bunyi yang signitif saja yakni membedakan makna, lambangnya pun berbeda. Dan
tulisan ortografi adalah tulisan yang umum ada dalam masyarakat.
1.1.4. Klasifikasi Bunyi
Pada umumnya bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal
dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit. Bunyi konsonan terjadi setelah arus
udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar. Jadi, beda
terjadinya bunyi vokal dan konsonan adalah arus udara dalam pembentukan bunyi
vokal, setelah melewati pita suara tidak mendapat hambatan apa-apa sedangkan
dalam pembentukan bunyi konsonan arus udara itu masih mendapat hambatan
atau gangguan.
1. Klasifikasi Vokal
Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah
dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal bisa bersifat horizontal.
Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi (I dan u), vokal tengah (e dan o)
dan vokal rendah (a). Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan (i dan e),
vokal pusat (ә), dan vokal belakang (u dan o).
2. Diftong dan Vokal Rangkap
Disebut diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi
ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Diftong sering
dibedakan berdasarkan letak atau posisi unsur-unsurnya, sehingga dibedakan
adanya diftong naik dan diftong turun. Diftong naik atau diftong turun ditentukan
berdasarkan kenyaringan (sonoritas) bunyi itu.
3. Klasifikasi Konsonan
Bunyi konsonan dibedakan berdasarkan tiga patokan atau kriteria yaitu posisi pita
suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi. Sedangkan berdasarkan posisi pita
suara dibedakan adanya bunyi bersuara dan tak bersuara.
Berdasarkan tempat artikulasinya, konsonan dibedakan menjadi:
a. Bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir (b, p, m)
b. Labiodental yaitu konsonan yang terjadi pada gigi bawah dan gigi atas (f, v)
c. Laminoalveolar yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi (t, d)
d. Dorsovelar yaitu konsonan yang terjadi pada pangkal lidah dan velum/langit (k,
g)
Berdasarkan cara artikulasinya, konsonan dibedakan menjadi:
a. Lambat (letupan, plosif, stop) disini artikulator menurup sepenuhnya (p, b, t, d,
k, g)
b. Geseran atau frikatif, disini artikulator aktif mendekati artikulatif pasif (f, s, z)
c. Paduan atau frikatif, disini artikulator aktif menghambat sepenuhnya aliran
udara (c, j)
d. Sengaran atau nasal, disini artikulator menghambat sepenuhnya aliran udara
melalui mulut (m, n, η )
e. Getaran atau trill, disini artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan
pasif (r)
f. Sampingan atau lateral, disini artikulator aktif menghmbar aliran udara pada
bagian tengah mulut (l)
g. Hampiran atau aproksiman, disini artikulator aktif dan pasif membentuk ruang
yang mendekati posisi terbuka seperti dalam pembentukan vokal (w, y).
1.1.5. Unsur Suprasegmental
Arus ujaran adalah suatu runtunan bunyi yang sambung menyambung dan yang
dapat disegmentasikan disebut bunyi segmental, sedangkan yang berkaitan
dengan keras lembut, panjang pendek dan jeda disebut suprasegmental atau
prosodi.
1. Tekanan atau stres
Tekanan menyangkut masalah keras lunaknya bunyi dalam bahasa Inggris,
tekanan bisa distingtif (dapat membedakan makna) tapi dalam bahasa Indonesia
tidak.
2. Nada dan Pitch
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Nada ini dalam bahasa-
bahasa tertentu bisa bersifat fonemis maupun nonfonemis. Dalam bahasa-bahasa
bernada atau tonal ini bersifat morfemis. Disini dikenal adanya lima macam nada:
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Nada dalam bahasa-bahasa
tertentu bisa bersifat fonemis maupun morfemis, tetapi ada juga yang tidak.
Dalam bahasa tonal ada lima macam nada, yaitu:
a. Nada naik atau meninggi, tandanya/ . . . /
b. Nada datar, tandanya/ . . . /
c. Nada turun atau merendah, tandanya / . . . /
d. Nada turun naik, tandanya / . . . /
e. Nada naik turun, tandanya/ . . ./
3. Jeda atau Persendian
Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar. Biasanya
dibedakan atas sendi dalam/internal juncture (menunjukkan batas antara satu
silabel dan silabel lain, biasanya diberi tanda (+) dan sendi luar/ open juncture
(menunjukkan batas yang lebih besar dari silabel) biasanya dibedakan menjadi
jeda antar kata dalam frase (/), jeda antar frase dalam klausa (//), jeda antar
kalimat (#).
1.1.6. Silabel
Silabel atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau
runtutan bunyi ujaran. Yang dapat disebut bunyi silabis atau puncak silabis adalah
bunyi vokal. Namun secara ritmis, sebuah konsonan juga dapat menjadi puncak
silabis. Bunyi yang sekaligus dapat menjadi onset dan koda pada dua buah silabel
yang berurutan disebut interlude. Dan onset adalah bunyi pertama pada sebuah
silabel.
1. Beep Diphthong
Produced with the quality of the tongue position changes, up and down.
According to Daniel Jones in Yulianto (1988:39) there are 3 kinds of diphthongs:
1. Rising diphthongs (rishing diphthong), occurs when the tongue rises when
produced. As I say the first vowel is lower than the last vowel.
4.
1. Consonant sound (voice consonant), the vocal cords vibrate. The vocal cords in
a close and stretched, so that the resulting heavy sound .. voiced consonant
phonemes / b /, / m /, / w /, / d /, / z /, / n /, / r /, / l /, / j /, / n /, / y /, / g / , and / ŋ /
2. Voiceless consonants (voiceless consonant), the vocal cords are weak in the
resonance. Meranggang vocal cords, so that air easily enter.
1. Bilabial consonants produced by bringing the lower lip upper lip. Consonant / p
/, / b /, / m /, / w /.
2. Consonant labiodental, articulator is the lower lip (labium) with the teeth on the
articulation point (thud). Consonants / f /, / v /
3. Apikodental consonants, resulting tip of the tongue (apex) with a thud (upper
teeth). Consonant / n /, / t /, / d /
4. Apikoalveolar consonants, between the tip of the tongue with teeth curved legs
(alveolum). Consonant / t /, / d /, / l /, / r /
6. Palatal consonants, the tongue (the media) touched the palate (hard palate).
Consonant / c /, / j /, / ś /, / y /, / n /
7. Velar consonants, the tongue (the dorsum) with vellum (soft palate). Consonant
/ k /, / g, / x /, /, and / ŋ /
1. Obstruent (stop), which is produced by air currents tightly closed so that air
immediately stopped, and then released suddenly. The first stage (closure) is
called implosive, for example: / p / on the roof (implosif stop), and / p / on the nail
(explosive)
2. Afrikatif consonant (choir), the sound produced by air currents sealed, then
released gradually Seara. For example: / c /, / j /
3. Fricative consonant (sliding), the sound generated by the flow of air so that air
can still flow out. For example: / f /, / v /, / s /, / z /, / s /, / x /
4. Consonant TRIL (vibration), by way of air currents closed dn repeatedly
opened quickly. For example: / r /
5. Consonant lateral (side), by way of closing the air flow so that air can exit
through one or both sides of the oral cavity. For example: / l /
6. nasal consonants (noses), air flow through the mouth tightly closed, so that the
flow through the oral cavity. Eg / m /, / n /, / n /, and / ŋ /
Part syllable words spoken in one breath. General syllable consists of several
phonemes. There is also the only consist of one phoneme. There is also a syllable
that is not part of the word, meaning a word that only consists of one syllable.
Such words are called monosilabik.
Syllable ends with a peak rate / vocals called open interest, while the ending
syllable koda tribe / tribe called closing consonant.
Penyukuan pattern is not the same as beheading said. Penyukuan words associated
with the word as a unit while the sounds of language related to the execution said
the word as a unit of writing. Syllable pattern is typically marked with the symbol
"V" and "K" which denote the vowels and consonants. Indonesian consonants can
take the form:
4. one consonant, one vowel and one consonant (KVK): per-lu, sa-lam
9. three consonants, one vowel and one consonant (KKKVK): the structure
10. two consonants, one vowel and two consonants (KKVKK): a complex
11. one consonant, one vowel and three consonants (KVKKK): corps
Segmental sounds refers to understanding the sounds that can disegmentasi / split.
Said mature example, can be disegmentasi / m /, / a /, / t /, / a /, / n /, / g /. Sounds
clearly shows the existence of phonemes. Thus, the actual language sounds that
have been previously described segmental sounds.
In the narrative voice is not functional / not distinguish the meaning. Spoken
narrative musical, meaning the same as usual when spoken.
[I], [reading], [books] pronounced with any tone does not change the meaning.
Word [writing] when spoken to first silaba [to] remain the same when spoken
maknannya with emphasis on the second or third silaba. Tomorrow sentence
different from my friends went to Surabaya, can mean five possibilities.
(b) duration
Not functional in the level of words. The word [fell] short or long pronounced in
the first or second silaba same [ja: tuh] or [es: tu: h]
This gap was more functional when compared with other suprasegmental.
(d) tone
In the study intonation, the sentence in the Indonesian language sentences can be
divided into news / declarative, sentence asked / interrogative, and imperative /
imperative
2 33 / 2 33 / 2 31, #
2 33 / 2 33 / 2 2-33, #
Imperative sentences with a high-level intonation. You are now here!
2 33 / 2 33 / 3 33, #
6. Phonemic
Linguistic form [bar] can be split into [p], [a], [l], [a], [n], [g]. fifth linguistic form
has no meaning. If [p] is replaced with other forms, eg [m] on the poor, [d] the
mastermind, and [g] on the shore, proved phonemes [p] serves to distinguish
meaning.
For example in the words: raw, pocket books, new, and trays organized and
compared, for example:
/b//s//a//u//k//r//u//i/
In the merger in the phoneme / b /, / s /, / a /, / u /, / i /, / k /, / r /.
Couple Minimal / minimal pairs is a set of words that have the same phoneme
jumlag, also the same type of phonemes, except different phonemes in the same
order, whereas a different meaning.
funds b, p k,?
t, d, n
Free variation are the sounds that are phonetically similar, if it can replace each
other in a word and does not cause changes in meaning. This is a phoneme. This is
in languages that have several dialects.
There is a diphthong (double vowel), the / ay /, / aw, and / oy / and the consonants
include: / y /, / w /, / l /, / p /, / b /, / f /, / m / , / t /, / d /, / c /, / j /, / s /, / z /, / r /, /
n /, / n /, / ś /,/?/,/ k /, / g /, / X /, / ŋ /, and / h /