Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun oleh
Hamdan Nugroho
07201241024
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009
TEORI MEMBACA SINTOPIS
1. Pengetian Membaca Sintopis
Sebuah topik yang menarik pasti akan diminati banyak orang. Forum-forum diskusi
diselenggarakan untuk mendiskusikan topik tersebut. Banyak orang menulis artikel atau esai
tentang topik tersebut. Tentu saja secara otomatis ada banyak bahan bacaan yang
membicarakan topik yang menarik tersebut atau yang menarik perhatian banyak orang.
Konsekuensi lanjut dari situasi ini adalah adanya beberapa sudut pandang dari beberapa
penulis tentang topik tersebut karena penulis punya kebebasan untuk mengekspresikan ide
atau gagasannya.
Membaca sintopis atau syntopical reading merupakan jenis membaca dengan membanding-
bandingkan ide mengenai topik yang sama pada beberapa teks atau bahan bacaan. Menurut
Adler dalam bukunya How to Read a Book menerangkan bahwa membaca banding-banding
adalah jenis membaca yang bertujuan untuk membaca beberapa materi bacaan dengan topik
yang sama atau yang berkaitan sekaligus untuk menyusun suatu pemecahan masalah yang
dihadapi pembaca.
2. Langkah-langkah Membaca Sintopis
Masih menurut Adler, ada dua tahap pokok membaca sintopis. Tahap pertama adalah tahap
persiapan membaca dan tahap kedua adalah tahap kegiatan membaca. Berikut uraian
langkah-langkah dari masing-masing tahap membaca sintopis.
a. Tahap persiapan
i. Membuat bibliografi untuk sumber pustaka atau literatur yang akan dipakai yang tentu saja
memiliki topik pokok yang sama (dari katalog perpustakaan, buku, internet, dll).
ii. Membaca secara inspeksional bahan bacaan yang telah terkumpul untuk memperoleh ide
yang lebih jelas tentang materi yang akan dipakai.
b. Tahap membaca
i. Membaca secara inspeksional bahan bacaan yang digunakan seperti tahap a.ii untuk
menemukan bagian yang paling penting dan relevan.
ii. Membawa penulis menuju masalah dengan mengkonstruksi terminologi netral dari subjek.
iii. Membangun serangkaian proporsi netral untuk semua penulis dengan membuat kerangka
pertanyaan untuk masing-masing ide.
iv. Mendefinisikan isu atau ide baik besar maupun kecil dengan membuat jarak antara
jawaban penulis dengan beberapa pertanyaan untuk masing-masing ide. Kadang-kadang isu
atau ide ini tidak secara eksplisit dinyatakan dalam teks.
v. Menganalisis topik dengan memberi pertanyaan dan ide dengan beberapa cara untuk
mendapat keterangan yang lebih jelas dari materi. Ide pokok atau umum harus didahulukan
dan relasi antar ide harus jelas.
Dalam kegiatan membaca sintopis, studi atau kajian terhadap bahan bacaan harus dilakukan
secara hati-hati, teliti, mendalam, dan menyeluruh. Pembaca dituntut untuk melakukan studi
komparasi yang detil dan dapat dipertanggungjawabkan. Masing-masing sumber atau bahan
bacaan semestinya dicari persamaan dan perbedaannya yang terangkum dalam sintesis dari
pembaca itu sendiri.
A. Judul
Judul dari karya tulis ini adalah “Pembelajaran Menulis Cerpen dengan Strategi 3M Siswa
kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta ”.
C. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang muncul berkaitan dengan latar belakang masalah dapat diidentifikasikan
sebagai berikut.
1. Penggunaan metode pembelajaran strategi 3M untuk meningkatkan kemampuan menulis
cerpen Siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap Meniru.
2. Penggunaan metode pembelajaran strategi 3M untuk meningkatkan kemampuan menulis
cerpen Siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap Mengolah.
3. Penggunaan metode pembelajaran strategi 3M untuk meningkatkan kemampuan menulis
cerpen Siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap Mengembangkan.
4. Keefektifan penggunaan penggunaan metode pembelajaran strategi 3M untuk
meningkatkan kemampuan menulis cerpen Siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1
Yogyakarta
D. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, peneliti kemudian membatasi masalah pada nomor
satu, dua, dantiga5 yaitu sebagai berikut.
1. Penggunaan metode pembelajaran strategi 3M untuk meningkatkan kemampuan menulis
cerpen siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap Meniru.
2. Penggunaan metode pembelajaran strategi 3M untuk meningkatkan kemampuan menulis
cerpen siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap Mengolah.
3. Penggunaan metode pembelajaran strategi 3M untuk meningkatkan kemampuan menulis
cerpen siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap Mengembangkan.
E. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada identifikasi masalah, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut. Secara umum masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah meningkatkan
pebelajaran menulis cerpen dengan strategi 3M (Meniru-Mengolah-Mengembangkan) di
kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Secara khusus masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut
1. Bagaimanakah penggunaan metode pembelajaran strategi 3M (untuk meningkatkan
kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap
Meniru?
2. Bagaimanakah penggunaan metode pembelajaran strategi 3M untuk meningkatkan
kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap
Mengolah?
3. Bagaimanakah penggunaan metode pembelajaran strategi 3M (untuk meningkatkan
kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada tahap
Mengembangkan?
F. Kajian Teori
Dalam bagian ini secara berurutan diuraikan sebagai berikut: (1) cerita pendek yang meliputi,
(a) pengertian cerita pendek (cerpen) dan (b) unsur-unsur pembangun cerita pendek, (2)
menulis cerpen meliputi, (a) hakikat menulis cerpen, (b) tahapan menulis cerpen, (3)
pembelajaran menulis cerpen yang meliputi, (a) materi pembelajaran menulis cerpen, dan (b)
strategi menulis cerpen dengan strategi 3M.
G. Daftar Pustaka
Akhadiah, Sabarti. 1994. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Penerbit kanisius.
Mulyati, Y. 2002. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Kajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Roekhan. 1991. Menulis Kreatif, Dasar-Dasar dan Petunjuk Penerapannya. Malang. YA3
Malang.
Sumardjo, Jacob. 2001. Beberapa Petunjuk Menulis Cerpen. Bandung: Mitra Kencana.
Suroto. 1990. Teori Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta: Erlangga.
Widyamartaya, Aloys dan Vero Sudiati. 2005. Kiat Menulis Deskripsi dan Narasi, Lukisan
dan Cerita. Yogyakarta: Pusataka Widyatama.
0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Mengenai Saya
• Home
• Buku Tamu
• Logo
• Pengurus
• Unduh
• Visi
• Web
•
Top of Form
Search
Bottom of Form
Posts
Comments
Tak henti-hentinya pembelajaran sastra di sekolah disorot para pengamat, pemerhati, dan
peminat sastra. Hal itu memang cukup beralasan. Proses pembelajaran sastra di sekolah
selama ini dinilai belum optimal; berlangsung seadanya, kaku, tanpa bobot, dan
membosankan, sehingga tidak mampu membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar
sastra secara total dan intens. Akibatnya, apresiasi sastra siswa tidak bisa tumbuh dan
berkembang secara maksimal. Buku-buku sastra di perpustakaan sekolah dibiarkan terpuruk
tak tersentuh, kepekaan moral dan nurani siswa pun dinilai mulai menipis. Tidaklah
berlebihan kalau Danarto pernah menyinyalir, salah satu penyebab maraknya tawuran
antarpelajar ialah lantaran siswa tidak pernah diajar sastra dengan baik.
Mengapa pembelajaran sastra di sekolah menjadi penting untuk dipersoalkan? Setidaknya ada
dua argumen yang layak dikemukakan. Pertama, karya sastra dianggap mampu membuka
“pintu” hati pembacanya untuk menjadi manusia berbudaya, yakni manusia yang responsif
terhadap lingkungan komunitasnya, mengukuhi keluhuran dan kemuliaan budi dalam hidup,
dan berusaha menghindari perilaku negatif yang bisa menodai citra keharmonisan hidup. Hal
itu bisa terwujud manakala seseorang memiliki tingkat apresiasi sastra yang cukup. Artinya,
ia mampu menangkap pernik-pernik makna yang tersirat dalam karya sastra dan sanggup
menikmati “menu” estetika yang terhidang di dalamnya.
Kedua, sekolah diyakini sebagai institusi pembelajaran dan basis penanaman nilai-nilai moral
dan budaya kepada siswa. Dari sisi ini, sekolah diakui sebagai ajang sosialisasi yang tepat
untuk memperkenalkan sastra kepada para siswa, sehingga kelak menjadi generasi-generasi
bangsa yang cerdas, pintar, dan terampil, sekaligus bermoral. Dengan kata lain, jika sekolah
mampu melaksanakan pembelajaran sastra secara optimal, maka negeri kita akan dihuni oleh
penduduk yang bermoral tinggi, berperikemanusiaan, dan sarat sentuhan nilai keluhuran budi
serta kearifan hidup.
***
Berbagai tulisan di media cetak dan berbagai “debat” di forum-forum diskusi pun sebenarnya
telah gencar mengangkat tema kegagalan pembelajaran sasatra. Tujuannya jelas, yaitu
mencari penyebab dan merumuskan solusinya.
Banyak pengamat menilai, kegagalan itu disebabkan oleh sempitnya wawasan guru sastra,
siswa semakin masa bodoh terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan ajaran moral, guru
sastra kurang kreatif, kurikulum yang cenderung memasung dan mengindoktrinasikan
berbagai tuntutan, dan pelajaran sastra masih “nunut” pelajaran bahasa, sehingga porsi waktu
dan muatan materinya kurang mendukung siswa untuk belajar sastra dengan baik. Sedangkan
solusinya, masih menurut para pengamat, penyebab kegagalan tersebut harus diminimalkan
dan harus mampu menciptakan suasana yang kondusif yang memungkinkan siswa untuk
terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran.
Namun demikian, solusi itu belum sepenuhnya mampu diterapkan di lapangan secara praktis.
Persoalannya rumit dan kompleks serta dihadang banyak kendala.
Salah satu solusi yang kini kembali ramai diperbincangkan adalah upaya membangun
“otonomi” pembelajaran sastra di sekolah. Artinya, pelajaran sastra mestinya diperlakukan
sebagai mata pelajaran yang utuh dan mandiri, terpisah dari mata pelajaran bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, status “nunut” yang kini disandang pembelajaran sastra harus ditingkatkan
akreditasinya dengan status “mandiri”. Dengan demikian, meskipun sistem pembelajarannya
masih mengacu pada kurikulum yang berlaku, sastra harus memiliki GBPP (Garis-garis Besar
Program Pengajaran) sendiri dan berhak menentukan nasibnya sendiri.
Mengapa satra harus menjadi mata pelajaran tersendiri? Bukanhkah sastra tak bisa dipisahkan
dari bahasa sebagai medium ungkapnya?
Sebagai produk budaya, sastra memang menjadi mustahil tanpa kehadiran bahasa. Dakam
menggeluti dunia kreativitasnya, seorang sastrawan pada hakikatnya tengah bermain-main
dengan bahasa untuk mengekspresikan perasaan, pikiran, keyakinan, dan pandangan
hidupnya. Bangunan estetika karya sastra sangat ditentukan oleh bangunan bahasa yang
diolah dan direkayasa pengarangnya.
Akan tetapi, teks sastra kreatif yang telah dibangun dan diciptakan dengan susah payah oleh
sastrawan itu akan menjadi tidak bermakna jika tidak ditindaklanjuti dengan upaya sosialisasi
secara gencar kepada publik.
Beranjak dari sisi ini, asumsi bahwa sekolah merupakan ajang sosialisasi yang tepat untuk
memperkenalkan karya sastra kepada para siswa memang cukup beralasan, sebab di balik
tembok sekolah itulah jutaan anak bangsa tengah menuntut ilmu. Tentu saja, upaya sosialisasi
itu harus dibarengi dengan terciptanya atmosfer pendidikan yang memungkinkan proses
pembelajaran sastra berlangsung menarik didukung profesionalisme guru sastra yang andal
dan gairah belajar siswa yang terus meningkat intensitasnya.
***
Kembali pada upaya membangun “otonomi” pembelajaran sastra di sekolah. Jika sastra
diperlakukan sebagai mata pelajaran tersendiri, paling tidak ada dua keuntungan yang dapat
diraih. Pertama, guru sastra bisa lebih berkonsentrasi pada mata pelajaran yang diampu
sehingga terangsang untuk terus meningkatkanb profesionalismenya.
Jika kita melihat fakta di lapangan, diakui atau tidak, guru yang mahir mengajarkan bahasa
Indonesia belum tentu tampil memikat saat mengajarkan sastra. Menyajika puisi, misalnya,
selain ditunbtut menguasai materi ajar, guru juga harus mampu memberi contoh yang meikat
dan sugestif saat membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang
memiliki minat serius dan talenta yang cukup mengenai sastra. Dengan adanya spesialisasi,
maka guru bahasa yang minat dan talentanya lebih condong ke sastra, dapat
mengaktualisasikannya di tengah-tengah proses pembelajaran, sehingga siswa terangsang
untuk mencintai dan menggeluti karya sastra
Kedua, beban berat pendidikan yang mengemban misi memanusiakan manusia akan menjadi
lebih ringan, sebab lewat pembelajaran sastra itu pengetahuan budaya, cipta dan rasa, serta
watak siswa akan lebih bisa berkembang. Dengan tutur lain, “otonomi” pembelajaran sastra
akan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikan.
***
Yang menjadi persoalan, di tengah-tengah kebijakan pembangunan nasional yang mengejar
pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era global, adakah kepedulian para
pengambil keputusan untuk memosisikan sastra –sebagai bagian pendidikan humaniora—
pada aras yang lebih terhormat?
Tahun-tahun di meilenium ketiga mendatang, disebut-sebut para futurolog –termasuk John
Naisbitt dan Patricia Aburdene—akan diwarnai dengan ketatnya persaingan yang berimbas
pada pergeseran dan perubahan tata nilai. Dalam kondisi demikian, para generasi bangsa
yang kini tengah bersikutat menuntut ilmu di bangku pendidikan, mestinya harus lebih
banyak mendapat sentuhan nilai moral, sehingga kelak mereka mampu bersaing secara arif
dan sehat. Pembelajaran bidang humaniora, termasuk sastra, harus ditumbuhkembangkan di
sekolah sebagai basis moral dan mental dalam memasuki era global itu.
Seandainya sastra benar-benar diperlakukan sebagai mata pelajaran tersendiri, jelas LPTK
sebagai pencetak calon guru harus benar-benar “siap”. Artinya, jangan hanya menghasilkan
lulusan “karbitan” yang tampaknya matang tetapi rasanya hambar, tetapi betul-betul lulusan
yaang sudah matang diterjunkan di lapangan dengan taruhan profesi dan kualitas yang bisa
diandalkan.
***
Namun, jika atmosfer pendidikan kita belum memungkinkan untuk menghembuskan
“otonomi” pembelajaran sastra di sekolah, tugas ganda guru bahasa akan tetap berada di
persimpangan jalan. Mereka yang kering mintanya terhadap sastra cenderung akan berusaha
“menghindar” jika harus mengajarkan sastra, dan lebih suka mencekoki siswanya dengan
materi kebahsaan. Seandainya “terpaksa” mengajarkan sastra, materi yang dijejalkan kepada
siswa hanya kulit luarnya saja, tanpa ada upaya untuk memperkenalkan sastra lebih dekat.
Sebaliknya, guru bahasa yang memiliki basis sastra yang kuat akan tampil menggebu saat
mengajarkan sastra dan sering melalaikan tugasnya sebagai guru bahasa. Akibatnya, nilai
bahasa siswa anjlog lantaran selama ini soal-soal ujian, baik ulangan umum maupun ujian,
didominasi oleh sosal-soal yang berkaitan dengan materi kebahasaan.
Yang jelas, di segenap aspek kehidupan, tugas ganda yang dibebankan kepada seseorang
sering tidak bisa berjalan secara mulus; ada salah satu yang dikorbankan. Kita mustahil
menginginkan kondisi itu menimpa pelajaran bahasa dan sastra kita yang selama ini masih
diampu oleh seorang guru. Beranjak dari premis di atas, bagaimana kalau “otonomi”
pengajaran sastra di sekolah mulai dipikirkan? ***
Kamalinev Inc.
Devoted to Linguistics and Literature