Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TUJUAN + NIAT
Nasihat Kyai
Edit
KH Miftahul Lutfi Muhammad al Mutawakkil: Niat
Indeks > Artikel > Nasihat Kyai > Miftahul Lutfi Niat 09oct07
{إ ّنما األعمال بالنِيات:سمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول
ُ :ب رضي هللا عنه قال ّ
ِ الخطا ابن
ِ عمر
َ ُؤمنين أبي َح ْفص
َ َو َعنْ أ ِميْر الم
و من كانت هجرته لدنيا يصيبها أو إلى امرأة, فهجرته إلى هللا و رسوله, فمن كانت هجرته إلى هللا و رسوله,و إ ّنما لك ّل امرئ ما نوى
) فهجرته إلى ما جر إليه (متفق عليه3ينكحها
Dari Amirul mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab ra, ia berkata, "Saya mendengar Rasulallah saw
bersabda,
"Sungguh amal perbuatan itu [tergantung] pada niat-[nya]. Dan sungguh segala [amal perbuatan]
seseorang itu [berdasarkan pada] apa yang telah [menjadi] niat-[nya]. Barang siapa hijrahnya kepada
Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya tertuju kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barabg siapa yang
hijrahnya untuk kepentingan dunia yang diharapkannya atau perempuan yang hendak dinikahinya,
maka hijrahnya mendapatkan segenap apa yang telah menjadi niatnya."
(H.R. Bukhari & Muslim, muttafaqun ‘alaih, Kitab Arba'in Nawawiyah, No. 1)
Makna Bahasa
Niat atau an-niatu adalah jamak dari niyyatun, yang artinya "tujuan". Secara bahasa adalah tergeraknya
hati menuju apa yang dianggapnya sesuai dengan tujuan baik berupa perolehan manfaat atau
pencegahan madlarat. Adapun secara syara' dipahami sebagai kehendak kepada perbuatan dalam
rangka mencari ridla-Nya dan mematuhi segenap hukum-Nya.
Hijrah atau al-hijrah ( ) الهجرةberasal dari kata al-hajru ( )الهجرadalah meninggalkan suatu tempat menuju
tempat lain, guna mendapatkan keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan ini. Sebagai upaya di
dalam menegakkan dinullah dalam rangka mengingkari setiap kejadian yang bertentangan dengan
neraca syari'at.
Dunia atau ad-dunya ( )الدنياberasal dari kata ad-dunuwwu ( ّ)الدنو, yang artinya "dekat". Hal ini difahami
bahwa hidup di dunia itu waktunya sangat temporal. Adapun hidup yang kekal adalah di negeri akhirat.
Maka, negeri akhiratlah yang sebenarnya menjadi masa depan kita.
Kedudukan Hadits
Kedudukan hadits ini adalah shahih lagi masyhur. Keshahihannya telah disepakati oleh Imam Bukhari
dan Imam Muslih (muttafaqun ‘alaih). Hadits ini termasuk hadits yang penting. Ia merupakan pokok
dalam dinul Islam, dan kepadanya bermuara seluruh hukum syariat. Seperti dikatakan oleh para ulama',
sebut saja Imam Abu Daud ra, ia mengatakan, "Hadits ini setengah dari Islam. Sebab, agama itu terbagi
dengan yang tampak, yakni amal; dan yang batin, yakni niat."
"Hadits ini merupakan sepertiga ilmu. Sebab, seorang hamba akan mendapatkan pahala berkat
perbuatan hati, lisan, dan anggota badannya; dan niat dilakukan dalam hati yang merupakan salah satu
di antara yang tiga. "Maksud sepertiga ilmu menurut Imam Baihaqi ra, bahwa amalan hamba itu
dilakukan oleh hati, lidah, dan anggota badannya. Maka, niat merupakan salah satu dari ketiga kategori
itu dan merupakan kategori amalan yang paling utama. Karena ia merupakan ibadah yang berdiri
sendiri. Sedangkan amalan lain memerlukannya. Karena itu, dikatakan, "Niat seorang mukmin itu lebih
baik daripada amalnya."
"Tidak ada kandungan hadits-hadits Nabi saw yang faedahnya lebih luas dan lebih banyak ketimbang
hadits ini."
Para ulama salaf, seperti Imam Bukhari ra dan Imam Nawawi ra di setiap menulis kitabnya selalu
mendahulukan hadits ini. Hal itu mengandung maksud agar menjadi pengingat betapa sangat
pentingnya kedudukan niat di setiap amal perbuatan.
Kunci Kata
إ ّنما األعمال بالنيات
(H.R. Bukhari & Muslim, muttafaqun ‘alaih, Kitab Arba'in Nawawiyah, No.1)
Niat memegang peranan penting di dalam kehidupan seorang hamba. Suatu amal diterima di sisi-Nya
karena niat yang benar. Sebaliknya, apabila niatnya salah, maka amal perbuatannya menjadi tertolak di
sisi-Nya.
Karenanya, seorang muslim untuk mendapatkan kehidupan yang berkah hendaknya di dalam beramal
harus memenuhi 3 hal pokok:
Niatnya harus benar,
Caranya harus benar,
Akibat, dampak, dan pengaruhnya harus benar.
Jika ketiga hal tersebut telah terpenuhi, maka perbuaan yang dilakukannya akan membawa keberkahan.
Jika salah satu dari ketiganya tidak ada, maka lebih baik ditinggalkan semata mencari ridla-Nya.
Dikisahkan, ada seorang pemuda yang sangat mencintai Ummu Qa'is. Ummu Qa'is adalah seorang gadis
Makkah yang menyertai hijrah Nabi saw ke Madinah. Di Makkah ia sangat dicintai oleh seorang pemuda
setempat. Karena dorongan cinta yang kuat, maka si pemida itu ikut hijrah ke Madinah.
Demikianlah, sebab-sebab keluarnya hadits tentang niat (asbabul wurud) di atas. Maka, akhirnya
pemuda itu benar-benar menikahi Ummu Qa'is.
Pemahaman Hadits
Disyariatkannya Niat
Para ulama bersepakat bahwa amal yang dilakukan oleh seseorang mukallaf yang mukmin tidak
dipandang mempunyai nilai ibadah dan tidak akan mendapat pahala, kecuali didasarkan atas niat. Pada
ibadah yang bersifat pokok, seperti: shalat, haji, puasa, semua rukunnya tidak sah melainkan dengan
niat. Menurut Imam Abu Hanifah ra, "Niat sebagai syarat kesempurnaan untuk mendapatkan pahala."
Sedangkan menurut Imam Syafi'I ra, "Niat merupakan syarat sahnya ibadah, maka tidak sah semua
ibadah sarana tersebut, kecuali dengan niat."
Waktu & Tempat Niat
Waktu niat adalah pada awal ibadah, seperti pada takbiratul ihran pada shalat, dan saat ihram ketika
haji. Sedangkan pada ibadah puasa, maka cukup mencamkan niat sebelumnya karena sulitnya
memantau terbitnya fajar.
Tempat niat adalah hati. Dan boleh diucapkan melalui lisan jika disertai dengan hadirnya niat dalam hati.
Karenanya, dihukumi sunnah jika hal itu dapat membantu hati dalam mengahdirkannya. Namun yang
utama adalah tidak perlu untuk diucapkan.
Disyaratkan menentukan niat untuk membedakan suatu ibadah dari ibadah yang lainnya. Maka, tidak
cukup meniatkan shalat, tetapi harus menentukan niat shalat dhuhur misalnya untuk membedakan dari
shalat ashar begitu seterusnya.
Terkandung Isyarah
Hadits ini menjelaskan sebuah pemahaman bahwa barang siapa yang berniat melakukan suatu amal
saleh, lalu terdapat halangan padanya yang secara syara' tidak dapat dihindarkannya, seperti sakit,
wafat, dan yang lainnya, maka ia tetap akan mendapat pahala.
Memotifasi Untuk Berperilaku Tulus
Hadits ini menjadi Motivasi Kecerdasan (Motivation Quotient) kepada segenap komunitas muslim, agar
di kehidupannya senantiasa memiliki ketulusan niat di dalam menetapakan niatnya kepada Allah azza
wa jalla. Sebab suatu amal perbuatan akan tertolak di sisi-Nya jikalau di dalam berniat telah menduakan-
Nya. Seperti diterangkan dalam sebuah hadits,
فأنا بريء, من عمل عمال أشرك فيه غيري, {أنا أغنى الشركاء عن الشرك: قال هللا تبارك و تعالى:عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال
)منه} (رواه مسلم
Dari Rasulullah saw bersabda, telah berfirman Allah tabaraka wa ta'ala, "Aku adalah Dzat yang tidak ada
sekutu. Maka barang siapa melakukan suatu perbuatan yang disertai niat ganda, maka Aku memutuskan
hubungan daripadanya." (H.R. Muslim).
Dari Rasulullah saw telah bersabda, "Barang siapa [melakukan perbuatan supaya] didengar [orang],
maka Allah [akan memperdengarkan aib] yang ada padanya. Barang siapa [melakukan amal perbuatan
karena] pamer, [niscaya] Allah [akan memperlihatkan aib] yang ada padanya." (H.R. Bukhari & Muslim).
Menetapkan Prinsip Ibadah
Telah menjadi prinsip di dalam dinul Islam, bahwa setiap amal yang baik lagi bermanfaat apabila disertai
dengan keikhlasan dan mengharap ridla-Nya, maka ia akan diberi niali ibadah.
Membangun Manajemen Diri
Niat di kehidupan seorang muslim mendorong lahirnya kemauan (force of character) untuk melakukan
perubahan perilaku, hingga akhirnya memiliki sebuah kemampuan (ability). NIat yang bagus lagi benar
akan menjadikan seseorang memiliki Manajemen Diri yang baik; insya Allah.
Kekuatan Dari Dalam
Di dalam kehidupan seoarang muslim mukmin, niat merupakan kekuatan dari dalam yang memiliki
kekuatan mengubah, sangatlah dahsyat. Karenanya, alfaqir mendefinisikannya sebagai inner strong
intention, yaitu kekuatan yang kuat yang berasal dari dalam diri seseorang.
Bagi seorang muslim mukmin, niat merupakan daya dorong yang hebat guna menjadikan diri dan
kepribadian seseorang itu melakuakan perubahan perilaku dan pembelajaran sifat (behavior
transformation and character learning). Sebab niat sebuah ibadah dapat dibedakan dengan adat
kebiasaan. Dan sebab niat pula, seorang muslim mukmin dapat mencapai batas mana pun yang dapat
dicapai oleh sebuah amalan.
Penulis:
KH. Miftahul Lutfi Muhammad al Mutawakkil
Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah,
sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai.
Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso
dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa
mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?
"Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.
Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya
membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu
ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa
penasaranku selama ini.
"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak,
Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun.
Tujuannya sederhana saja
yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi
hak cita – cita penyempurnaan iman ".
"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3,
dengan pembagian sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan
keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan
alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing,
meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang
yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah
haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di
setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai
tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan
melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana
yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang
bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali
berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji
itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".
Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini.
Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.
Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri.
Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan
menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya
Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".