Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN BAMBU
Seribu species bambu dalam 80 genera telah ditemukan di dunia, sekitar 200 species
dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja, 1995), sedangkan di
Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis. Tanaman bambu Indonesia ditemukan di dataran rendah
sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 m dpl.
Barisan rumpun bambu seringkali dijadikan sebagai pembatas dari suatu wilayah desa.
Barisan rumpun bambu ini bertindak sebagai benteng bagi desa berasngkutan, karena rumpun
bambu yang rapat sangat sulit ditembus orang, sehingga bambu berpengaruh pada keamanan
lingkungan. Sisi positif lain dari adanya rumpun bambu, adalah mencegah terjadinya erosi
pada daerah tepian sungai. Hal ini dikarenakan akar dan batang bambu yang kuat dan rapat
mampu meningktakan kestabilan tanah agar tidak longsor ke sungai.
Bambu dapat digunakan untuk hal yang berbeda-beda sesuai dengan umurnya:
a. Kurang dari tiga puluh hari dapat dimakan
b. Antara enam sampai sembilan bulan dapat digunakan untuk keranjang
c. Antara dua sampai tiga tahun dapat digunakan untuk laminasi atau papan bambu
d. Antara tiga sampai enam tahun dapat digunakan untuk konstruksi
e. Enam tahun kekuatan bambu berangsur-angsur berkurang sampai dengan umur 12 tahun
2.4.1. Anatomi
Struktur anatomi bambu berkaitan erat dengan sifat-sifat fisik dan mekaniknya.
Menurut Liesse (1980), bambu memiliki cici-ciri pertumbuhan primer yang sangat cepat
tanpa diikuti pertumbuhan sekunder, batangnya beruas-ruas, semua sel yang terdapat pada
inter nodia mengarah pada sumbu aksial, sedang pada nodia mengarah pada sumbu
transversal. Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel
penghubung (pembuluh dan sieve tubes) Dransfield dan Widjaja (1995). Parenkim dan sel
penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari batang, sedangkan serat lebih
banyak ditemukan pada bagian luar. Sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar
buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya
berkurang. Serat-serat bambu merupakan unsur-unsur penyusun jaringan sklerenkim. Serat
berfungsi sebagai faktor kekuatan bambu. Serat merupakan sel yang berdinding tebal,
berbentuk memanjang dan bagian ujungnya meruncing. Panjang serat semakin bertambah dari
dinding dalam ke dinding luar.
Perubahan dimensi bambu tidak sama dari ketiga arah struktur radial, tangensial dan
longitudinal, sehingga bambu bersifat anisotropis. Kedua jenis perubahan dimensi
mempunyai arti yang sama penting, tetapi berdasarkan pengalaman praktis yang lebih sering
menggunakan bambu dalam keadaan basah, maka pengerutan bambu menjadi perhatian yang
lebih besar dibanding pengembangannya. Angka pengerutan total untuk bambu normal
berkisar antara 4,5% sampai 14% dalam arah radial, 2,1% sampai 8,5% dalam arah tangensial
dan 0,1% sampai 0,2% dalam arah longitudinal (Prawirohatmojo, 1988).
2.5.
Sifat Fisika dan Mekanika
Menurut Haygreen dan Bawyer (1980), sifat fisika dan mekanika kayu dipengaruhi oleh tiga
hal yaitu :
a. Volume rongga
b. Struktur sel
c. Kadar air
Liesse menyatakan bahwa secara anatomi dan kimiawi bambu dan kayu hampir sama, oleh
karena itu faktor-faktor kadar air dan berat jenis yang sangat berpengaruh pada kayu juga
berpengaruh pada sifat-sifat bambu.
Tabel 2: Sifat fisis dan mekanis bambu hitam dan bambu apus
Bambu
No. Sifat Bambu apus
hitam
1. Keteguhan lentur statik
a. Tegangan pada batas proporsi (kg/cm2) 447 327
b. Tegangan pada batas patah (kg/cm2) 663 546
c. Modulus elastisitas (kg/cm2) 99000 101000
d. Usaha pada batas proporsi (kg/dcm3) 1,2 0,8
e. Usaha pada batas patah (kg/dm3) 3,6 3,3
2. Keteguhan tekan sejajar serat (tegangan maximum, kg/cm2) 489 504
3. Keteguhan geser (kg/cm2) 61,4 39,5
4. Keteguhan tarik tegak lurus serat (kg/cm2) 28,7 28,3
5. Keteguhan belah (kg/cm2) 41,4 58,2
6. Berat Jenis
a. KA pada saat pengujian 0,83 0,69
KA : 28% KA : 19,11%
b. KA kering tanur 0,65 0,58
KA : 17% KA : 16,42%
7. Keteguhan pukul
a. Pada bagian dalam (kg/dm3) 32,53 45,1
b. Arah tangensial (kg/dm3) 31,76 31,9
c. Pada bagian luar (kg/dm3) 17,23 31,5
Sumber : Ginoga (1977)
Bambu sangat lemah diarah radial, sehingga pembebanan tegak lurus atas sumbu
batang sedapat mungkin dihindarkan atau ditempatkan pada ruas batang. Morisco (1996),
mengadakan pengujian kekuatan bermacam-macam bambu seperti yang ada pada tabel
berikut ini, dimana terlihat bahwa kekuatan bambu dengan nodia lebih rendah daripada
bambu tanpa nodia.
Sumber:Morisco,1999
Pengujian sifat mekanik yang ditujukan untuk membedakan kekuatan tarik sejajar
sumbu batang dilakukan pada bambu tanpa maupun dengan buku menunjukkan bahwa
bambu tanpa buku lebih kuat daripada bambu dengan buku. Hal ini disebakan karena pada
buku ada sebagian serat bambu yang berbelok, dan sebagian lagi tetap lurus. Karena itu
buku bambu adalah bagian terlemah terhadap gaya tarik sejajar sumbu batang. Dengan
demikian perancangan struktur bambu sebagai batang tarik harus didasarkan pada bagian
buku.
Selain itu kekuatan pada bambu juga dipengaruhi oleh posisinya, bagian terkuat dari
bambu adalah kulit. Kekuatan kulit ini sangat jauh lebih tinggi daripada kekuatan bambu
bagian dalam. Sedangkan kuat tekan bambu semakin meningkat sesuai dengan umur
bambu tersebut.
Tabel 7: Kuat tarik dan kuat tekan rata-rata bambu pada berbagai posisi
Jenis bambu Bagian Kuat tarik Kuat tekan
(kg/cm²) (kg/cm²)
Petung Pangkal 2.278 2.769
Tengah 1.770 4.089
Ujung 2.080 5.479
Tutul Pangkal 2.394 5.319
Tengah 2.917 5.428
Ujung 4.488 4.639
Galah Pangkal 1.920 3.266
Tengah 3.350 3.992
Ujung 2.324 4.048
Tali Pangkal 1.442 2.158
Tengah 1.368 2.880
Ujung 1.735 3.354
Dendeng Pangkal 2.214 4.641
Tengah 2.513 3.609
Ujung 3.411 3.238
Sumber:Morisco,1999
Salah satu kendala pemakain bambu untuk struktur bangunan adalah tingkat keawetan
bambu yang rendah sehingga masa layan bangunan pun menjadi lebih pendek dibanding
material lain seperti kayu, beton, baja, dll.
Menurut Liese (1980), bambu tanpa pengawetan hanya dapat tahan satu sampai-tiga
tahun jika langsung berhubungan dengan tanah dan tidak terlindung terhadap cuaca. Bambu
yang terlindung terhadap cuaca dapat tahan empat sampai tujuh tahun. Tetapi untuk
lingkungan yang ideal, sebagai rangka, bambu dapat tahan sepuluh sampai 15 tahun. Adapun
upaya yang bisa dilakukan untuk memperpanjang masa layan bambu untuk bangunan adalah
dengan berbagai macam cara.
Perencanaan yang dimaksud adalah pengaturan letak, posisi dari struktur bambú itu
sendiri, yang intinya agar bambu tidak berhubungan langsung dengan cuaca luar dan tanah,
yaitu dengan:
a. Membuat struktur bambu tidak berhubungan langsung dengan tanah, agar tidak
terpengaruh kelembaban. (rumah panggung, membungkus bambu dengan beton, dll)
b. Melindungi struktur bambu dari pengaruh langsung cuaca, misalnya dengan: membuat
tritisan lebar, memakai penutup atap yang rapat air, dll
c. Mengatur posisi batang bambu, bambu yang disusun secara vertical ternyata lebih
awet dibanding susunan bambu horizontal, karena pada susunan vertical air lebih
mudah/cepat mengalir
2.8.2. Pengawetan
Menurut Liese (1980), bambu tanpa pengawetan hanya dapat tahan satu sampai-tiga tahun
jika langsung berhubungan dengan tanah dan tidak terlindung terhadap cuaca. Bambu yang
terlindung terhadap cuaca dapat tahan empat sampai tujuh tahun. Tetapi untuk lingkungan
yang idea, sebagai rangka, bambu dapat tahan sepuluh sampai 15 tahun. Pengawetan bambu
sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, agar zat pengawet dapat cepat meresap dalam batang
bambu.
a. Tradisional
i. Perendaman
Perendaman bambu di dalam air mengalir, tergenang, atau lumpur selama kurun
waktu 3-12 bulan. Sulthoni (1988) menjelaskan bahwa perendaman bambu di
dalam air akan mengakibatkan proses biologis yang rnengakibatkan terjadinya
fermentasi pada pati yang terkandung di dalam bambu, sehingga hasil fermentasi
ini dapat larut di dalam air. Dengan demikian perendaman bambu di dalam air
dapat menurunkan kadar pati bambu, sehingga bambu tidak diserang kumbang
bubuk.
ii. Pengasapan
iii. Pelaburan kapur dan kotoran sapi pada gedek dan bilik bambu.
iv. Penentuan masa tebang yaitu pada saat musim kemarau, dimana bambu
mempunyai kadar pati rendah
b. Modern
Bahan kimia yang dimasukkan kedalam bambu dinilai efektif untuk membunuh
serangga dan Namur. Dr. Boucherie dari Perancis pada tahun 1838 melakukan
pengawetan kayu dengan memasang satu wadah berisi larutan pengawet pada pohon
yang masih berdiri atau baru saja dipotong, masih lengkap dengan kulit,
cabang-cabang, serta daun-daun. Larutan pengawet itu dimasukkan ke dalam kayu
lewat pembuluh aliran sap (air bambu). Penguapan kandungan air melewati daun-daun
akan mengakibatkan cairan pengawet terserap naik sampai ke ujung. Cara
pengawetan ini tidak mudah pelaksanaannya dan keberhasilnya sulit untuk dikontrol.
c. Boucherie- Morisco
Pada tahun 1997 Morisco telah melakukan penelitian untuk memodifikasi pengawetan
Boucherie, dengan cara menggantikan pompa listrik dengan tabung bertekanan yang
dapat dipompa secara manual seperti pada gambar berikut. Sistem pengawetan seperti
ini dinilai sangat efektif dalam mencegah serangan serangga pada bambu, karena zat
pengawet lebih meresap ke dalam kulit dan daging bambu akibat adanya tekanan yang
sangat tinggi.
Menurut Morisco (1999), sistem pengawetan ini terdiri atas beberapa bagian utama,
yaitu: tabung udara bertekanan tinggi, manometer, pipa penyalur tekanan udara,
tabung cairan pengawet, pipa penyalur cairan pengawet, nosel dan pipa karet seperti
terlihat pada gambar dibawah. Semua sambungan yang dibuat harus dilengkapi
dengan seal secukupnya agar tidak bocor.
i. Persiapan
2.8. Pengeringan
Proses pengeringan bambu dibutuhkan guna menjaga stabilisasi dimensi bambu, perbaikan
warna permukaan, juga untuk pelindung terhadap serangan jamur, bubuk basah dan
memudahkan dalam pengerjaan lebih lanjut. Kekuatan bambu juga akan bertambah dengan
bertambah keringnya bambu. Pengeringan bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena
apabila dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah) atau suhu dan
kelembaban yang terlalu berfluktuasi akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit
mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang terlalu lambat
akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan warnanya tidak cerah atau
menjadi gelap.
Pengeringan bambu dapat dilakukan secara alami (air drying), pengasapan, pengeringan
dengan energi tenaga surya (solar collector drying) atau kombinasi dengan energi tungku, dan
pengeringan dalam dapur pengering. Penelitian mengenai metode pengeringan bambu telah
dilakukan oleh Basri (1997). Basri menginformasikan bahwa dengan sistem pengasapan dan
energi tenaga surya sebaiknya dilakukan setelah kadar air bambu di bawah 50% agar kualitas
bambu tetap terjaga. Bambu yang masih sangat basah setelah dipotong sesuai ukuran yang
akan dipergunakan, dibersihkan dan ditumpuk berdiri dengan posisi saling menyilang atau
ditumpuk secara horisontal selama kurang lebih satu minggu.