Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB 2

TINJAUAN BAMBU

2.1 Gambaran Umum Bambu


Bambu adalah rumput berkayu berbentuk pohon atau perdu. Bambu adalah tanaman
yang termasuk ordo Gramineae, familia Bambuseae. Bambu merupakan tumbuhan
berumpun, berakar serabut yang batangnya berbentuk silinder dengan diameter bervariasi
mengecil mulai dari ujung bawah sampai ujung atas, berongga, keras dan mempunyai
pertumbuhan primer yang sangat cepat tanpa diikuti pertumbuhan sekunder, sehingga
tingginya dapat mencapai 40 m. Silinder batang bambu tersebut dipisahkan oleh nodia/ruas,
yaitu diafragma-diafragma yang arahnya transversal

Berdasarkan pertumbuhannya, bambu dapat dibedakan dalam dua kelompok besar,


yaitu bambu simpodial dan bambu monopodial. Bambu simpodial tumbuh dalam bentuk
rumpun, setiap rhizome hanya akan menghasilkan satu batang bambu, bambu muda
tumbuh mengelilingi bambu yang tua. Bambu simpodial tumbuh di daerah tropis dan
subtropis, sehingga hanya jenis ini saja yang dapat dijumpai di Indonesia. Bambu
monopodial berkembang dengan rhizome yang menerobos ke berbagai arah di bawah tanah
dan muncul ke permukaan tanah sebagai tegakan bambu yang individual.

Gambar 1a: Bambu Monopodial


Gambar 1b: Bambu Simpodial

Seribu species bambu dalam 80 genera telah ditemukan di dunia, sekitar 200 species
dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja, 1995), sedangkan di
Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis. Tanaman bambu Indonesia ditemukan di dataran rendah
sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 m dpl.
Barisan rumpun bambu seringkali dijadikan sebagai pembatas dari suatu wilayah desa.
Barisan rumpun bambu ini bertindak sebagai benteng bagi desa berasngkutan, karena rumpun
bambu yang rapat sangat sulit ditembus orang, sehingga bambu berpengaruh pada keamanan
lingkungan. Sisi positif lain dari adanya rumpun bambu, adalah mencegah terjadinya erosi
pada daerah tepian sungai. Hal ini dikarenakan akar dan batang bambu yang kuat dan rapat
mampu meningktakan kestabilan tanah agar tidak longsor ke sungai.
Bambu dapat digunakan untuk hal yang berbeda-beda sesuai dengan umurnya:
a. Kurang dari tiga puluh hari dapat dimakan
b. Antara enam sampai sembilan bulan dapat digunakan untuk keranjang
c. Antara dua sampai tiga tahun dapat digunakan untuk laminasi atau papan bambu
d. Antara tiga sampai enam tahun dapat digunakan untuk konstruksi
e. Enam tahun kekuatan bambu berangsur-angsur berkurang sampai dengan umur 12 tahun

2.2. Bentuk Bambu


Bambu adalah material yang berbentuk tidak prismatis dengan bagian melintang mengecil
pada bagian atas, dan mempunyai jarak nodia yang tidak sama sepanjang batang. Hal inilah
yang menjadikan bentuk bambu unik dan artisrik, namun bentuk demikian membuat aplikasi
bambu sebagi struktur sulit dalam perangkainya.
2.2.1. Potongan melintang bambu
Bambu mempunyai potongan melintang sebagai berikut:
a. Kulit luar
Kulit luar adalah bagian yang paling luar atau paling atas, biasanya berwarna hijau atau
hitam . Tebal kulit bambu relative seragam pada sepanjang batang yaitu kurang lebih
1mm, sifatnya keras dan kaku. Maka dari itu bambu yang tipis akan mempunyai porsi
kulit besar, sehingga kekuatan rata-ratanya tinggi, sedangkana pada bambu tebal berlaku
sebaliknya (Morisco).
b. Bambu bagian luar
Bagian ini terletak dibawah kulit atau diantara kulit luar dan bagian tengah. Tebal bagian
ini kurang lebih 1mm, sifatnya keras dan kaku.
c. Bagian tengah
Bagian tengah terletak dibawah luar atau antara bagian luar dan bagian dalam, disebut
juga daging bambu. Tebalnya kurang lebih 2/3 dari tebal bambu, seratnya padat dan
elastis. Untuk bagian tengah yang paling bawah sifat seratnya agak kasar
d. Bagian dalam
Bagian dalam adalah bagian yang paling bawah dari tebal bambu, sering disebut pula hati
bambu. Sifat seratnya kaku dan mudah patah.

Gambar 2: Potongan Bambu


2.2.2. Bagian batang bambu
Seperti halnya tebu, bambu mempunyai ruas dan buku. Pada ruas-ruas ini pula tumbuh akar-
akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-
potongan setiap ruasnya, disamping tunas-tunas rimpangnya.
Batang bambu terdiri atas dua bagian yaitu:
a. Nodia (ruas/buku bambu)
Nodia adalah bagian terlemah terhadap gaya tarik sejajar sumbu batang dari bambu,
karena pada nodia sebagain serat bambu berbelok. Serat yang berbelok ini sebagian
menuju sumbu batang, sedang sebagian lain menjauhio sumbu batang , sehingga pada
nodia arah gaya tidak lagi sejajar semua serat (Morisco).
Secara umun nodia mempunyai kapasitas memikul bahan yang tidak efektif baik dari segi
kekuatan ataupun deformasi. Meskipun demikian adanya nodia pada batang bambu
mencegah adanya tekuk local yang sangat penting dalam perancangan bambu sebagai
elemen tekan (kolom)
b. Internodia (antar ruas)
Internodia adalah daerah antar nodia, semua sel yang terdapat pada inter nodia mengarah
pada sumbu aksial, sedang pada nodia mengarah pada sumbu transversal. Dalam intenodia
tidak ada elemen-elemen radial,
Tiap-tiap jenis bambu mempunyai jarak internodia yang berbeda-beda. Bagian internodia
adalah bagian yang paling kuat dari bambu, sehingga mempunyai kapasitas memikul
bahan yang efektif. Internodia sangat berpengaruh pada perancangan bambu sebagai
elemen tarik (balok).
2.3. Jenis-Jenis Bambu
Tanaman bambu di Indonesia merupakan tanaman bambu simpodial, dengan batang-batang
yang cenderung mengumpul didalam rumpun karena percabangan rhizomnya di dalam tanah
(Sindusuwarno, 1963). Batang bambu yang lebih tua berada di tengah rumpun, sehingga
kurang menguntungkan dalam proses penebangannya.
Di Indonesia terdapat lebih dari 13 spesies bambu yang biasa digunakan masyarakat untuk
struktur bangunan.
Tabel 1: Jenis Bambu di Indonesia
Nama Ilmiah Nama Lokal
Bambusa Spinosa Bluemeana Bambu duri, bambu gesing, bambu greng,
haur cucuk, pring greng
Bambusa Bambos Cruce Bambu duri, pring ori
Bambusa Multiplex Raeusech Awi krisik, bambu cina, pring gendani, pring
cendani, bambu pagar
Bambusa Vulgaris Schrad Bambu tutul, jajang gading, awi koneng
Dendrocalamus Asper (Schult, F) Black ex Awi betung, bambu petung, deling peting,
Heyne jajang betung, pring petung
Gigantochloa Verticillite (Willa) Munro Andong gombong, awi gombong,awi
hideung, bambu hitam, pring wulung, pereng
sorat
Gigantochloa Nigrociliata (Bues) Kurz Bambu lengka tali, awi tela, bambu lengka
Gigantochloa Apus Awi tali, bambu tali, deling apus, pring tali,
pring apus
Gigantochloa Hasskarlina (kurz) Back ex Awi lengka tali, awi tela
Heyne
Phyllostachuhys Aurea Pring unceu, bambu cina
Schizostashyum Blumei Nees Awi bunar, awi tamiyang, pring wuluh, buluh
sumpitan
Schizostashyum Zollingeri (Steud) Kurz Bambu perling, awi cakeutreauk
Schizostachy Branchycladium Kurz Awi bulu
Sumber: Siopongco Munandar
Dari ketiga belas jenis bambu, tersebut yang mudah ditemui dan aplikasinya di Indonesia
sebagai bahan konstruksi paling banyak adalah:
a. Gigantochloa Apus (Bambu apus, bambu tali)
Menurut Morisco bambu apus dapat tumbuh di dataran rendah maupun pegunungan,
dengan tinggi batang 8 – 13 m, jarak ruas 45 – 65 cm, diameter 5 -8 cm dan tebal 3 – 15
mm. Warna kulit batang bambu apus hijau tua sampai hitam. Jenis bambu ini kuat, liat ,
lurus sehingga baik untuk bahan bangunan. Disamping itu seratnya yang panjang dan kuat
akan menghasilkan anyaman yang stabil. Menurut Sulthoni (1988), karena pahit bambu
apus paling tahan terhadap serangga sekalipun tidak diwetkan.
b. Dendrocalamus Asper (Bambu petung)
Bambu ini mempunyai diameter relative besar bila dibandingkan bambu jenis lain. Bila
dibandingkan dengan diameternya , maka ruas bambu petung lebih pendek yaitu antara 40
-60 cm, dengan diameter menacapai 20 cm, tebal 10 -15 cm, dan panjang batang 10 -20
m. Karena itu bambu petung biasa dipakai sebagai elemen tekan (kolom) karena
kemampuan menahan tekuk tinggi.
c. Bambusa Spinosa Bluemeana (Bambu ori)
Sifat bambu ori hampir sama dengan bambu petung, yaitu kuat, keras dan berdiameter
besar, dengan jarak ruas pendek-pendek. Bagian luar bambu ori lebih halus dan licin bila
dibanding bambu lainnya (Frick, 2004). Dari hasil penelitian memperlihatakan bambu ori
mempunyai kuat tarik yang tertinggi.
d. Gigantochloa Verticillite (Bambu wulung/hitam)
Bambu wulung mempunyai rumpun yang tidak rapat, dengan warna kulit batang hitam,
hijau kehitaman, dan ungu tua, bergaris kuning muda, panjang ruas 40-50 cm, diameter 6-
8 cm (morisco). Karena sifatnya yang tidak liat (getas), bambu wulung banyak dipakai
sebagai bahan kerajinan.

2.4. Sifat Dasar Bambu


Pengetahuan tentang sifat dasar material merupakan informasi penting guna memberi
petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang dihasilkan. Hasil pengujian sifat
fisis dan mekanis bambu telah diberikan oleh Ginoga (1977) dalam taraf pendahuluan.
Pengujian dilakukan pada bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam
(Gigantochloa nigrocillata Kurz.).

2.4.1. Anatomi
Struktur anatomi bambu berkaitan erat dengan sifat-sifat fisik dan mekaniknya.
Menurut Liesse (1980), bambu memiliki cici-ciri pertumbuhan primer yang sangat cepat
tanpa diikuti pertumbuhan sekunder, batangnya beruas-ruas, semua sel yang terdapat pada
inter nodia mengarah pada sumbu aksial, sedang pada nodia mengarah pada sumbu
transversal. Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel
penghubung (pembuluh dan sieve tubes) Dransfield dan Widjaja (1995). Parenkim dan sel
penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari batang, sedangkan serat lebih
banyak ditemukan pada bagian luar. Sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar
buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya
berkurang. Serat-serat bambu merupakan unsur-unsur penyusun jaringan sklerenkim. Serat
berfungsi sebagai faktor kekuatan bambu. Serat merupakan sel yang berdinding tebal,
berbentuk memanjang dan bagian ujungnya meruncing. Panjang serat semakin bertambah dari
dinding dalam ke dinding luar.

2.4.2. Perubahan Dimensi Bambu

Perubahan dimensi bambu tidak sama dari ketiga arah struktur radial, tangensial dan
longitudinal, sehingga bambu bersifat anisotropis. Kedua jenis perubahan dimensi
mempunyai arti yang sama penting, tetapi berdasarkan pengalaman praktis yang lebih sering
menggunakan bambu dalam keadaan basah, maka pengerutan bambu menjadi perhatian yang
lebih besar dibanding pengembangannya. Angka pengerutan total untuk bambu normal
berkisar antara 4,5% sampai 14% dalam arah radial, 2,1% sampai 8,5% dalam arah tangensial
dan 0,1% sampai 0,2% dalam arah longitudinal (Prawirohatmojo, 1988).

2.5.
Sifat Fisika dan Mekanika
Menurut Haygreen dan Bawyer (1980), sifat fisika dan mekanika kayu dipengaruhi oleh tiga
hal yaitu :

a. Volume rongga
b. Struktur sel
c. Kadar air
Liesse menyatakan bahwa secara anatomi dan kimiawi bambu dan kayu hampir sama, oleh
karena itu faktor-faktor kadar air dan berat jenis yang sangat berpengaruh pada kayu juga
berpengaruh pada sifat-sifat bambu.

Tabel 2: Sifat fisis dan mekanis bambu hitam dan bambu apus
Bambu
No. Sifat Bambu apus
hitam
1. Keteguhan lentur statik
a. Tegangan pada batas proporsi (kg/cm2) 447 327
b. Tegangan pada batas patah (kg/cm2) 663 546
c. Modulus elastisitas (kg/cm2) 99000 101000
d. Usaha pada batas proporsi (kg/dcm3) 1,2 0,8
e. Usaha pada batas patah (kg/dm3) 3,6 3,3
2. Keteguhan tekan sejajar serat (tegangan maximum, kg/cm2) 489 504
3. Keteguhan geser (kg/cm2) 61,4 39,5
4. Keteguhan tarik tegak lurus serat (kg/cm2) 28,7 28,3
5. Keteguhan belah (kg/cm2) 41,4 58,2
6. Berat Jenis
a. KA pada saat pengujian 0,83 0,69
KA : 28% KA : 19,11%
b. KA kering tanur 0,65 0,58
KA : 17% KA : 16,42%
7. Keteguhan pukul
a. Pada bagian dalam (kg/dm3) 32,53 45,1
b. Arah tangensial (kg/dm3) 31,76 31,9
c. Pada bagian luar (kg/dm3) 17,23 31,5
Sumber : Ginoga (1977)

Tabel 3: Nilai sifat fisis dan mekanis bambu


Bambu ater Bambu petung Bambu andong
No. Sifat fisis dan mekanis
kg/cm2 kg/cm2 kg/cm2
1. Keteguhan lentur maksimum 533,05 342,47 128,31
2. Modulus elastisitas 89152,5 53173,0 23775,0
3. Keteguhan tekan sejajar serat 584,31 416,57 293,25
4. Berat jenis 0,71 0,68 0,55
Sumber : Hadjib dan Karnasudirdja (1986)
2.5.1. Sifat Mekanika
Sifat mekanik adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan bahan dan merupakan
ukuran kemampuan suatu bahan untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya. Sifat
mekanika bambu diketahui dari berbagai penelitian yang bertujuan untuk memanfaatkan
bambu secara maksimal sebagai struktur dan bahan bangunan. Salah satu penelitian tentang
bambu dilakukan oleh Morisco, penelitian ini didorong oleh kenyataan bahwa kuat tarik
bambu sangat tinggi, sedang dalam praktek kekuatan ini belum dimanfaatkan karena belum
adanya metoda penyambungan bambu yang dapat menghasilkan sambungan dengan kekuatan
yang memadai. Sifat mekanik bambu dipengaruhi oleh:
a. Jenis spesies
b. Umur saat ditebang
c. Kandungan air
d. Posisi batang (pangkal, tengah, ujung)
e. Posisi nodia dan internodia.
Sifat-sifat mekanik daripada bambu yang meliputi tegangan tarik, tekan, lentur dan
modulus elastisitas seperti yang terdapat pada tabel berikut ini.
Tabel 4: Kuat batas dan tegangan ijin bambu
Macam tegangan Kuat batas (kg/cm²) Tegangan Ijin (kg/cm²)
Tarik 981-3920 294,2
Lentur 686-2940 98,07
Tekan 245-981 78,45
E Tarik 98070-294200 196,1 x 10³
Sumber:Tular dan Sutidjan, 1961

Tabel 5: Hasil pengujian 3 spesies bambu, Gigantochloa Apuz Kruz, Gigantochloa


Verticillata Munro, dan Dendracalamus Asper Backer
Sifat Kisaran Jumlah
spesimen
Kuat tarik 1180 - 2750 kg/cm² 234
Kuat lentur 785 – 1960 kg/cm² 234
Kuat tekan 499 – 588 kg/cm² 234
E tarik 87280 – 313810 kg/cm² 54
E tekan 55900 – 211820 kg/cm² 234
Batas regangan tarik 0.0037 – 0.0244 kg/cm² 54
Berat jenis 0.67 – 0.72 kg/cm² 132
Kadar lengas 10.04 – 10.81 % 117
Sumber: Siopongco dan Munandarr,1987
Tabel di atas merekomendasikan tegangan ijin yang dapat dipakai untuk berbagai
macam bambu. Tentunya tegangan ijin yang direkomendasikan ini cenderung pada
sistem yang aman untuk pemakaian berbagai macam bambu. Dengan demikian angka-
angka tersebut jika dipakai sebagai dasar dalam perancangan, tentunya akan
menghasilkan struktur yang aman (Morisco, 1999)

2.5.1.1. Kuat Tarik dan Tekan Bambu


Bambu mempunyai kuat tarik dan kuat tekan yang baik. Kuat tarik yang sama terdapat
di sepanjang batang, sedangkan kuat tekannya semakin meningkat sesuai dengan umur bambu
tersebut. Terdapat perbedaan dalalm menentukan pengujian sifat bambu yang sesuai, dimana
setidaknya bambu diuji pada umur tiga tahun, dan pengujian dilakukan pada potongan bambu
pada ruasnya dan pada nodialnya. Beberapa penelitian pengujian belum menggunakan
parameter ini, sehingga hasil pengujian yang dilakukan tidak dapat dimanfaatkan.

Bambu sangat lemah diarah radial, sehingga pembebanan tegak lurus atas sumbu
batang sedapat mungkin dihindarkan atau ditempatkan pada ruas batang. Morisco (1996),
mengadakan pengujian kekuatan bermacam-macam bambu seperti yang ada pada tabel
berikut ini, dimana terlihat bahwa kekuatan bambu dengan nodia lebih rendah daripada
bambu tanpa nodia.

Tabel 6: Kuat tarik rata-rata bambu kering oven

Jenis Tanpa Nodia Dengan Nodia


bambu (kg/cm²) (kg/cm²)
Ori 2.910 1.280
Petung 1.900 1.160
Htam 1.660 1.470
Legi 2.880 1.260
Tutul 2.160 740
Galah 2.530 1.240
Tali 1.515 552

Sumber:Morisco,1999
Pengujian sifat mekanik yang ditujukan untuk membedakan kekuatan tarik sejajar
sumbu batang dilakukan pada bambu tanpa maupun dengan buku menunjukkan bahwa
bambu tanpa buku lebih kuat daripada bambu dengan buku. Hal ini disebakan karena pada
buku ada sebagian serat bambu yang berbelok, dan sebagian lagi tetap lurus. Karena itu
buku bambu adalah bagian terlemah terhadap gaya tarik sejajar sumbu batang. Dengan
demikian perancangan struktur bambu sebagai batang tarik harus didasarkan pada bagian
buku.
Selain itu kekuatan pada bambu juga dipengaruhi oleh posisinya, bagian terkuat dari
bambu adalah kulit. Kekuatan kulit ini sangat jauh lebih tinggi daripada kekuatan bambu
bagian dalam. Sedangkan kuat tekan bambu semakin meningkat sesuai dengan umur
bambu tersebut.
Tabel 7: Kuat tarik dan kuat tekan rata-rata bambu pada berbagai posisi
Jenis bambu Bagian Kuat tarik Kuat tekan
(kg/cm²) (kg/cm²)
Petung Pangkal 2.278 2.769
Tengah 1.770 4.089
Ujung 2.080 5.479
Tutul Pangkal 2.394 5.319
Tengah 2.917 5.428
Ujung 4.488 4.639
Galah Pangkal 1.920 3.266
Tengah 3.350 3.992
Ujung 2.324 4.048
Tali Pangkal 1.442 2.158
Tengah 1.368 2.880
Ujung 1.735 3.354
Dendeng Pangkal 2.214 4.641
Tengah 2.513 3.609
Ujung 3.411 3.238
Sumber:Morisco,1999

2.5.1.2. Modulus Elastisitas Bambu


Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tular dan Sutijan (1961), modulus
elastis E bambu berkisar antara 98070 – 294200 kg/cm², tetapi untuk perancangan dipakai
E sebesar 294200 kg/cm².

2.5.1.3. Kuat Geser


Kuat geser bambu sangat rendah, maka dari itu perancangan bambu sebagai struktur
sebagai batang tunggal lebih efektif bila dibandingkan batang ganda. Namun
perkembangan teknologi penyambungan bambu seperti yang dilakukan Mardjono dan
Morisco telah menjawab masalah ini yaitu dengan membuat sambungan bambu sebagai
bahan komposit.

2.5.2. Sifat Fisika Bambu


2.5.2.1. Berat Jenis
Berat jenis bambu adalah perbandingan berat bambu terhadap berat suatu volume air yang
sama dengan volume bambu tersebut. Berat jenis dan kerapatan bambu menentukan sifat
fisika dan mekanikanya. Hal ini disebabkan nilai berat jenis dan kerapatan bambu ditentukan
oleh banyaknya zat kayu. Menurut Liese (1980) berat jenis bambu berkisar antara 0,5 – 0,9
gr/cm³.
Bambu mempunyai perbandingan kekuatan dan berat yang sangat tinggi sehingga efisien dan
efektif untuk digunakan sebagai bangunan.

2.5.2.2. Kandungan air


Bambu seperti halnya kayu merupakan zat higroskopis artinya mempunyai afinitas terhadap
air, baik dalam bentuk uap atau cairan. Kandungan air pada bambu akan berpengaruh pada
kekuatan bambu. Menurut Janssen (1998) kekuatan suatu bahan menurun dengan naiknya
kadar air pada bahan tersebut.
Penyerapan dan pengeluaran air yang berulang-ulang biasanya diikuti dengan retak dan pecah
pada bambu. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka beberapa cara yang perlu diperhatikan
diantaranya adalah menyimpan bambu pada ruang yang tidak lembab, lantai kering dan
sirkulasi udara lancar.
Morisco dan Triwiyono (2000) melakukan penelitian kadar air serta berat jenis bambu petung.
Pengukuran kadar air dilakukan seharis etelah penebangan. Hasil penelitiannya adalah
sebagai berikut:

Tabel 8:Kadar Air dan Berat Jenis Bambu Petung


Posisi Nomor Bambu basah Bambu Kering Udara
Kadar Air % Berat Jenis Kadar Air % Berat Jenis
Pankal 1 38,610 0,634 5,381 0,646
2 34,256 0,680 4,390 0,663
3 35,361 0,603 5,909 0,682
Rata-rata 36,06 0,639 5,227 0,664
Tengah 1 41,129 0,695 6,250 0,711
2 36,402 0,701 6,926 0,702
3 35,965 0,712 6,859 0,769
Rata-rata 37,832 0,703 6,678 0,727
Ujung 1 38,699 0,754 6,034 0,763
2 36,078 0,712 8,756 0,697
3 35,517 0,686 6,818 0,820
Rata-rata 36,765 0,717 7,203 0,760
Sumber: Morisco dan Triwiyono (2000)

2.5.2.3. Kembang susut


Kembang susut bambu perlu diperhatikan agar struktur bangunan bambu tidak
mengalami perubahan bentuk dan penurunan kualitas akibat adanya penyusutan. Adanya
perubahan bentuk ini tentunya akan mengurangi nilai fungsi dari sebuah struktur bangunan,
misalnya penyusutan pada pintu dan jendela sehingga tidak bisa dibuka, retaknya kaca, dll.

2.6. Sifat Kimia


Penelitian sifat kimia bambu telah dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988)
meliputi penetapan kadar selulosa, lignin, pentosan, abu, silika, serta kelarutan dalam air
dingin, air panas dan alkohol benzen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kadar selulosa
berkisar antara 42,4% - 53,6%, kadar lignin bambu berkisar antara 19,8% - 26,6%, sedangkan
kadar pentosan 1,24% - 3,77%, kadar abu 1,24% - 3,77%, kadar silika 0,10% - 1,78%, kadar
ektraktif (kelarutan dalam air dingin) 4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air
panas) 5,3% - 11,8%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzene) 0,9% - 6,9%.
Stabilisasi warna

2.7. Stabilisasi Warna


Usaha peningkatan kualitas bambu sebagai bahan kerajinan anyaman adalah dengan
meningkatkan kecerahan warna bambu melalui pemutihan. Bambu tali (Gigantochloa apus)
yang mempunyai serat yang ulet dan ruas yang panjang dan sering digunakan sebagai bahan
anyaman, telah dipilih oleh Zulnely dan Dahlian (1999) sebagai bahan penelitian pemutihan
bambu. Sebagai bahan pemutih digunakan larutan hidrogen peroksida (H2O2) dan digunakan
bahan bambu yang berbeda umurnya, pada ruas yang terpisah. Untuk mengetahui
kemungkinan perubahan kekuatannya dilakukan uji keteguhan tarik.
Tabel 9: Data derajat putih dan keteguhan tarik bambu tali (Gigantochloa apus) yang telah
diputihkan
Derajat putih (%) Keteguhan tarik (kg/cm2)
Umur dan bagian bambu
Diputihkan Tak diputihkan Diputihkan Tak diputihkan
6 bulan
- ujung 67,29 43,54 90,87 102
- tengah 68,42 44,71 98,33 133
- pangkal 60,51 39,42 164 248
1 tahun
- ujung 62,94 38,77 160,27 192
- tengah 56,66 36,86 186,40 239
- pangkal 62,69 37,36 178,53 210
Sumber : Zulnely dan Dahlian (1999)
Selain pencerahan warna bambu, pada beberapa tujuan produksi kadang ditemukan keinginan
untuk menampilkan bambu dalam warna kulit alaminya. Hal ini disebabkan karena
kecenderungan kulit bambu untuk berubah warna menjadi kuning setelah melalui proses
pengeringan alami. Pengawetan mengenai warna hijau kulit bambu telah dilaksanakan pada
bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro.) oleh Barly dan Ismanto (1998). Hasil dari
penelitian ini adalah kulit bambu cenderung untuk tetap berwarna hijau sesuai dengan warna
alaminya. Pengawetan warna hijau kulit bambu andong dengan menggunakan campuran
larutan terusi dan nikel sulfat dengan pengeringan selama 14 - 28 hari.

2.8. Pengawetan Bambu

Salah satu kendala pemakain bambu untuk struktur bangunan adalah tingkat keawetan
bambu yang rendah sehingga masa layan bangunan pun menjadi lebih pendek dibanding
material lain seperti kayu, beton, baja, dll.

Menurut Liese (1980), bambu tanpa pengawetan hanya dapat tahan satu sampai-tiga
tahun jika langsung berhubungan dengan tanah dan tidak terlindung terhadap cuaca. Bambu
yang terlindung terhadap cuaca dapat tahan empat sampai tujuh tahun. Tetapi untuk
lingkungan yang ideal, sebagai rangka, bambu dapat tahan sepuluh sampai 15 tahun. Adapun
upaya yang bisa dilakukan untuk memperpanjang masa layan bambu untuk bangunan adalah
dengan berbagai macam cara.

2.8.1. Perencanaan/desain struktur yang tepat

Perencanaan yang dimaksud adalah pengaturan letak, posisi dari struktur bambú itu
sendiri, yang intinya agar bambu tidak berhubungan langsung dengan cuaca luar dan tanah,
yaitu dengan:

a. Membuat struktur bambu tidak berhubungan langsung dengan tanah, agar tidak
terpengaruh kelembaban. (rumah panggung, membungkus bambu dengan beton, dll)
b. Melindungi struktur bambu dari pengaruh langsung cuaca, misalnya dengan: membuat
tritisan lebar, memakai penutup atap yang rapat air, dll

c. Mengatur posisi batang bambu, bambu yang disusun secara vertical ternyata lebih
awet dibanding susunan bambu horizontal, karena pada susunan vertical air lebih
mudah/cepat mengalir

2.8.2. Pengawetan

Menurut Liese (1980), bambu tanpa pengawetan hanya dapat tahan satu sampai-tiga tahun
jika langsung berhubungan dengan tanah dan tidak terlindung terhadap cuaca. Bambu yang
terlindung terhadap cuaca dapat tahan empat sampai tujuh tahun. Tetapi untuk lingkungan
yang idea, sebagai rangka, bambu dapat tahan sepuluh sampai 15 tahun. Pengawetan bambu
sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, agar zat pengawet dapat cepat meresap dalam batang
bambu.

a. Tradisional

i. Perendaman

Perendaman bambu di dalam air mengalir, tergenang, atau lumpur selama kurun
waktu 3-12 bulan. Sulthoni (1988) menjelaskan bahwa perendaman bambu di
dalam air akan mengakibatkan proses biologis yang rnengakibatkan terjadinya
fermentasi pada pati yang terkandung di dalam bambu, sehingga hasil fermentasi
ini dapat larut di dalam air. Dengan demikian perendaman bambu di dalam air
dapat menurunkan kadar pati bambu, sehingga bambu tidak diserang kumbang
bubuk.

ii. Pengasapan

Pengasapan bambu bertujuan untuk pengeringan, pelindung terhadap serangan


jamur, bubuk basah dan memudahkan dalam pengerjaan lebih lanjut.
Gambar 3: Pengasapan bambu

iii. Pelaburan kapur dan kotoran sapi pada gedek dan bilik bambu.

iv. Penentuan masa tebang yaitu pada saat musim kemarau, dimana bambu
mempunyai kadar pati rendah

b. Modern

Bahan kimia yang dimasukkan kedalam bambu dinilai efektif untuk membunuh
serangga dan Namur. Dr. Boucherie dari Perancis pada tahun 1838 melakukan
pengawetan kayu dengan memasang satu wadah berisi larutan pengawet pada pohon
yang masih berdiri atau baru saja dipotong, masih lengkap dengan kulit,
cabang-cabang, serta daun-daun. Larutan pengawet itu dimasukkan ke dalam kayu
lewat pembuluh aliran sap (air bambu). Penguapan kandungan air melewati daun-daun
akan mengakibatkan cairan pengawet terserap naik sampai ke ujung. Cara
pengawetan ini tidak mudah pelaksanaannya dan keberhasilnya sulit untuk dikontrol.

c. Boucherie- Morisco

Pada tahun 1997 Morisco telah melakukan penelitian untuk memodifikasi pengawetan
Boucherie, dengan cara menggantikan pompa listrik dengan tabung bertekanan yang
dapat dipompa secara manual seperti pada gambar berikut. Sistem pengawetan seperti
ini dinilai sangat efektif dalam mencegah serangan serangga pada bambu, karena zat
pengawet lebih meresap ke dalam kulit dan daging bambu akibat adanya tekanan yang
sangat tinggi.

Menurut Morisco (1999), sistem pengawetan ini terdiri atas beberapa bagian utama,
yaitu: tabung udara bertekanan tinggi, manometer, pipa penyalur tekanan udara,
tabung cairan pengawet, pipa penyalur cairan pengawet, nosel dan pipa karet seperti
terlihat pada gambar dibawah. Semua sambungan yang dibuat harus dilengkapi
dengan seal secukupnya agar tidak bocor.

Gambar 4: Pengawetan bambu Morisco


Prinsip kerja alat ini adalah sebagai berikut (Morisco, 1997):
i. Larutan pengawet (boraks) di dalam tabung didorong dengan udara bertekanan
2-5 kg/cm² masuk ke dalam batang bambu lewat pangkal, mendesak getah
bambu keluar melalui ujung bambu lain, membawa sebagian glukosa yang
terdapat dalam bambu.
ii. Larutan pengawet yang masuk akan meracuni sisa glukosa yang tertinggal di
dalam bambu, sehingga bila ada serangga yang masuk akan teracuni.

Pelaksanaan pengawetan dengan metode Boucherie- Morisco (Morisco, 1999)

Pelaksanaan pengawetan dibagi menjadi tiga tahap yaitu:

i. Persiapan

ii. Proses Pemasukan Bahan Pengawet

iii. Proses Pengeringan

2.8. Pengeringan
Proses pengeringan bambu dibutuhkan guna menjaga stabilisasi dimensi bambu, perbaikan
warna permukaan, juga untuk pelindung terhadap serangan jamur, bubuk basah dan
memudahkan dalam pengerjaan lebih lanjut. Kekuatan bambu juga akan bertambah dengan
bertambah keringnya bambu. Pengeringan bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena
apabila dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah) atau suhu dan
kelembaban yang terlalu berfluktuasi akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit
mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang terlalu lambat
akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan warnanya tidak cerah atau
menjadi gelap.
Pengeringan bambu dapat dilakukan secara alami (air drying), pengasapan, pengeringan
dengan energi tenaga surya (solar collector drying) atau kombinasi dengan energi tungku, dan
pengeringan dalam dapur pengering. Penelitian mengenai metode pengeringan bambu telah
dilakukan oleh Basri (1997). Basri menginformasikan bahwa dengan sistem pengasapan dan
energi tenaga surya sebaiknya dilakukan setelah kadar air bambu di bawah 50% agar kualitas
bambu tetap terjaga. Bambu yang masih sangat basah setelah dipotong sesuai ukuran yang
akan dipergunakan, dibersihkan dan ditumpuk berdiri dengan posisi saling menyilang atau
ditumpuk secara horisontal selama kurang lebih satu minggu.

Вам также может понравиться