Вы находитесь на странице: 1из 5

KEBEBASAN INFORMASI

Kebebasan informasi merupakan hak asasi manusia yang diakui oleh hukum internasional
dalam mendapatkan informasi dengan bebas, yang mencakup bukan hanya dalam teks dan gambar
saja tetapi juga pada sarana berekspresi itu sendiri[1] terutama dalam pemanfaatan teknologi
informasi.
Kebebasan informasi terutama dalam mendapatkan hak akses informasi dari Internet serta media
massa lainnya seperti televisi, radio, surat kabar, buku dan lain sebagainya, juga merupakan nilai
dasar dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karena itu kebebasan memperoleh informasi bagi
masyarakat dapat menjadi dasar dalam meningkatan partisipasi dari masyarakat itu sendiri,
mengingat ketersediaan informasi yang memadai tentunya akan dapat mendorong masyarakat untuk
lebih mampu berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan secara efektif dan berarti.
Pengertian Kebebasan
Berasal dari kata dasar “Bebas”
Bebas adalah hak asasi manusia yang paling dasar dimana masih adanya keterikatan terhadap aturan
– aturan atau norma – norma yang berlaku dimana tempat itu berada.
Informasi
Informasi adalah suatu kenyataan, data, item yang menambah pengetahuan bagi penggunanya
Informasi adalah kenyataan yang menunjukkan hasil pengolahan data yang berguna kepada yang
menerimanya.
Privacy Information (Security)
Sebuah informasi harus aman, dalam arti hanya diakses oleh pihak – pihak yang berkepentingan
saja sesuai dengan sifat dan tujuan dari informasi tersebut.
Kebebasan Memperoleh Informasi
kegiatan mempromosikan keterbukaan dan akuntabilitas sektor publik dengan cara memberikan
kewenangan kepada masyarakat untuk mengakses informasi tersebut.
Ciri Kebebasan Informasi
>Keterbukaan maksimum
>Kewajiban untuk mengumumkan informasi
>Memajukan pemerintahan yang terbuka
>Pembatasan cakupan kekecualian
>Proses-proses untuk mempermudah pemerolehan informasi
>Biaya (untuk memperoleh informasi)
>Rapat (lembaga pemerintah) yang terbuka
>Keterbukaan informasi adalah prioritas
>Perlindungan untuk pengungkap (whistle blower)

Manfaat Kebebasan Informasi


Manfaatnya ialah cepatnya informasi tersebar serta cepatnya pula tindakan cepat merupakan
konsekuensi logis dari cepatnya informasi. Namun, segera pula kita melihat implikasinya yang lain,
informasi yang lebih dulu tersebar juga disertai kekhasan, yakni bisa lebih cepat dilakukan dari
respons. Apalagi jika respons itu tidak cukup hanya kontrainformasi, termasuk yang menjelaskan
duduknya perkara, tetapi memerlukan pula aksi alias tindakan konkret secara cepat.

Ritme atau irama kehidupan berubah lebih cepat, bahkan serentak. Mau tidak mau, respons juga
dituntut lebih cepat. Mitra informasi dan komunikasi entah pemerintah, entah swasta dan
masyarakat, dihadapkan pada tantangan serupa.
Dengan sengaja, kita soroti masalah itu karena, suka tidak suka, kita di Indonesia juga hidup dalam
keserentakan informasi. Mau tidak mau, ritme pemerintahan serta respons secara umum oleh
lembaga pemerintah maupun lembaga swasta juga harus lebih cepat. Memberikan respons informasi
sehingga menjadi proses komunikasi tidak senantiasa sederhana, tetapi bisalah dilakukan. Yang
lebih rumit dan kompleks serta makan waktu jika respons itu serentak pula memerlukan respons
berupa langkah dan tindakan.

Pemberi informasi dan penyalur informasi tentu juga mempunyai tanggung jawab. Seperti
informasi agar secermat mungkin, meliput semua pihak yang terlibat, sejauh mungkin disertai
penjelasan perihal duduknya perkara. Namun juga dengan catatan-catatan itu, secara obyektif, tetap
lebih berat dan lebih muskil posisi pemerintah dan lembaga yang harus memberikan respons,
apalagi respons yang berupa langkah-langkah konkret.

Inilah perkembangan yang merupakan implikasi dan konsekuensi dari kondisi yang kita kehendaki
bersama, yakni informasi, kebebasan informasi dengan memanfaatkan teknologi informasi yang
semakin serba canggih, yakni serentak, interaktif, dan global. Kemajuan yang sekaligus membawa
tanggung jawab.

Kebebasan Informasi dan Pembuatan Kebijakan

Rancangan Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) di


urutan ke-6
dalam daftar prioritas tahun 2005 dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009 telah
menimbulkan pro-kontra, tidak hanya dari kalangan pemerintah, namun juga dari pihak koalisi
LSM
(seperti Koalisi untuk Kebebasan Informasi), yang memperjuangkan diluluskannya RUU ini.
Mengacu pada daftar prioritas RUU Prolegnas 2005 yang diputuskan paripurna DPR pada 1 Februa
2005, tampak jelas bahwa KMIP tidak lebih penting ketimbang rahasia negara. RUU KMIP berada
d
bawah RUU Rahasia Negara, RUU tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara; RUU tentang Lembaga Kepresidenan; RUU tentang Kementerian Negara.
RUU Rahasia Negara (RN) yang diajukan pemerintah lebih dikedepankan ketimbang RUU KMIP
yang inisiatif DPR. RUU RN dilihat bakal menghalangi atau bahkan merenggut kebebasan
masyarakat dalam mendapatkan informasi dan menghambat partisipasi mereka secara efektif dalam
proses pembuatan kebijakan masyarakat. Singkatnya, kekuatiran akan kembalinya negara pada era
ketertutupan seperti pada masa-masa sebelum reformasi. Padahal memperoleh informasi
masyarakat sudah seharusnya menjadi basis bagi peningkatan partisipasi masyarakat dan
merupakan nilai mendasar dalam demokrasi.
Dibukanya peluang untuk mendapatkan informasi masyarakat dengan peraturan perundangan-
undangan yang jelas seperti halnya RUU KMIP, akan menunjukkan niat baik pemerintah akan
usahamewujudkan suatu pemerintahan yang baik, yang percaya bahwa warga negara mampu
menjadi
mitra yang potensial untuk membuat kebijakan yang lebih relevan/peka dan tentunya juga lebih
baik
mengingat ketersediaan informasi yang memadai yang membuat masyarakat lebih mampu
berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan secara efektif dan berarti.
Proses pembahasan yang tertunda-tunda dan prioritas perundang-undangan nasional yang makin
jauh dari harapan masyarakat, akan melahirkan tanda tanya besar mengenai efektifitas peran serta
unsur-unsur masyarakat dalam pembahasan Prolegnas tersebut. Hal ini juga berpotensi melahirkan
keraguan akan sejauh mana partisipasi masyarakat dan unsur-unsur yang mewakilinya, seperti
koalisi LSM, dapat mempengaruhi kebijakan publik dan mampu mendorong digolkannya kebijakan
publik yang lebih peka dan berpihak kepada masyarakat.

Dikuatkan di Konstitusi
Pertanyaan yang muncul di antaranya apa yang berjalan salah? Ketika proses pelibatan tersebut
telah terjadi dan terwakili, namun hasilnya tidak menunjukkan keberpihakan pada masyarakat.
Prioritas menjadi semu, terutama ketika RUU KMIP ditempatkan tepat di bawah RUU Rahasia
Negara dalam Prolegnas. Intinya, ada kepentingan masyarakat, yang sangat vital akan kebutuhan
untuk memperoleh informasi publik, yang tidak terakomodasi dengan semestinya di sini.
Kenyataan bahwa pembahasan RUU KMIP telah mencapai tahap pembahasan kedua dan telah
melewati debat publik, yang intinya tinggal menunggu amanat dari Presiden, dibandingkan dengan
RUU Rahasia Negara yang masih dalam tahap pembahasan awal dan cenderung tertutup, juga
mencerminkan kemunduran dalam demokrasi. Apakah KMIP yang berpotensi mendorong
partisipasi
masyarakat dianggap akan mengancam keamanan negara, rahasia negara, terutama para pejabat
terkait?
Prioritas Prolegnas sendiri menjadi masalah mencolok ketika menempatkan RUU KMIP di bawah
RUU Rahasia Negara, mengingat permasalahan substansi dan persinggungan-persinggungan yang
muncul dari keberadaan kedua RUU tersebut. Lalu manakah yang harus didahulukan? Kepentingan
masyarakat akan informasi yang benar dan transparan atau keamanan rahasia negara? Atau
bagaimana mengusahakan agar keduanya tidak berkonflik dengan ketentuan-ketentuan yang jelas,
misalnya yang mengatur definisi dan cakupan rahasia negara; apa-apa saja informasi yang dapat
dibuka kepada masyarakat dan bagaimana mekanisme untuk mendapatkannya; dan sebagainya.
Demokrasi dimungkinkan ketika kesempatan untuk berpartisipasi terbuka luas dengan dukungan
ketersediaan informasi publik yang transparan dan benar. RUU KMIP dapat menjadi langkah awal
yang baik untuk mengatur hal-hal seperti jenis-jenis informasi apa yang termasuk dalam kategori
informasi publik; prosedur untuk mendapatkannya, begitu pula mekanisme yang mengatur
partisipasi
publik secara jelas.
Sejumlah negara telah lama mempunyai undang-undang yang khusus mengatur tentang kebebasan
memperoleh informasi publik, seperti Swedia (1766), Finlandia (1951), dan Amerika Serikat
(1966).
Beberapa negara bahkan menguatkan hal ini dengan memasukkannya dalam konstitusi mereka,
seperti yang dilakukan oleh Austria, Belanda, Hungaria dan Polandia.
Usaha keras dan niat kuat untuk menggolkan RUU KMIP, terlepas dari urutannya dalam Prioritas
RUU Prolegnas 2005, merupakan batu loncatan untuk membuka kunci pintu bagi ruang partisipasi
publik yang lebih luas dan juga pemerintahan yang lebih dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Ini
merupakan perjuangan panjang dan rumit, tidak hanya bagi koalisi LSM yang berjuang untuk
menggolkan RUU KMIP, namun juga kita semua.***

Undang-undang Kebebasan Informasi Publik (KIP)


Dalam pasal 17 UU tersebut, ada 10 poin yang dijelaskan, di antaranya selama proses hukum
sedang berjalan, masyarakat tidak diperkenankan untuk mendapatkan informasi soal penanganan
perkara kasus-kasus yang belum disidangkan.

Beberapa poin lain, yang tidak bisa diakses oleh publik adalah terkait soal informasi peralatan
tempur, pasukan TNI, informasi berkaitan dengan intelijen, informasi yang bisa mengganggu
kepentingan nasional, misalnya informasi soal pembelian valuta asing, informasi yang berkaitan
dengan hak kekayaan intelektual.
Selain itu, beberapa informasi yang tidak boleh diakses oleh publik di antaranya informasi yang
bersifat otentik, semisal wasiat seorang ahli waris termasuk pribadi seseorang, rekam medik kecuali
kepada pihak yang bersangkutan. Serta informasi lain yang bisa berpotensi untuk mengeksploitasi
kekayaan alam Indonesia.

Bagi pihak-pihak yang secara sengaja menginformasikan ke publik atau membocorkannya kepada
publik, menurut Alamsyah, mereka akan dikenakan pidana maksimal satu tahun dan uang denda
maksimal Rp 5 juta.

"Sanksinya 1 tahun penjara dan denda Rp 5 juta," ujarnya.

Badan-badan publik yang dimaksud dalam lembaga ini adalah lembaga-lembaga baik yudikatif,
legislatif maupun eksekutif, serta semua badan atau lembaga yang mendapatkan dana dari APBN.

Dalam UU KIP juga dimuat ketentuan hukuman bagi pimpinan badan pemerintah yang melanggar
UU keterbukaan informasi tersebut diatur dalam pasal 52 UU No 14 Tahun 2008.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak
memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala,
informasi publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, informasi publik yang wajib tersedia
setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UU
ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 juta. (

SUMBER :

(^ Puddephatt, Andrew, (2005), Freedom of Expression, The essentials of Human Rights, Hodder
Arnold, pp.128. )

(http://www.detiknews.com/read/2010/0...gkan?991102605 )

adsindonesia.or.id/alumni/articleattachment/articleadindatm04.pdf

http://noerlylee.wordpress.com/2008/06/26/privasi-dan-kebebasan-informasi/

Kompas, 14 April 2007 .(http://www.kebebasaninformasi.org/ver2/detail.php?no_bulentin=22)


Tugas Pengantar Ilmu Informasi dan Perpustakaan
Kebebasan Informasi

Oleh:

Berry Rahmat

210210100060

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU KOMUNUIKASI
JURUSAN ILMU INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN
TAHUN AKADEMIK 2010/2011

Вам также может понравиться