Вы находитесь на странице: 1из 3

Sunarsip / 7/11/2008

Berbagi Beban Subsidi1


Oleh Sunarsip ∗

Pemerintah berencana menjadikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebagai unsur
pengurang Dana Alokasi Umum (DAU) pada tahun 2009. Ini merupakan salah satu upaya berbagi
beban atau sharing the pain antara pemerintah pusat dan daerah. Melalui kebijakan ini, daerah
secara tidak langsung akan ikut menanggung beban subsidi BBM yang selama ini ditanggung
pemerintah pusat.
***
Langkah untuk membagi beban kepada daerah terkait dengan subsidi BBM merupakan
langkah yang tepat. Perlu diketahui bahwa subsidi BBM yang ditanggung pemerintah pusat adalah
produk kebijakan ketika sistem keuangan negara masih tersentralisasi di pusat. Sehingga bisa
dimengerti bila pemerintah pusat harus menanggung subsidi BBM. Ini mengingat, di era
sentralisasi, seluruh penerimaan negara (baik itu perpajakan dan sumber daya alam) masuk ke
pemerintah pusat. Di era sentralisasi, daerah hanya mendapatkan bagian dari penerimaan negara
melalui belanja otonomi yang besarnya ditentukan berdasarkan prioritas yang ditentukan
pemerintah pusat.
Dahulu, tidak ada kewajiban, dimana pusat harus melakukan pembagian pendapatan
(revenue sharing), baik itu terkait dengan penerimaan sumber daya alam termasuk dana alokasi ke
daerah. Bahkan, berdasarkan UU No. 33/2004, besarnya revenue sharing sudah ditentukan
prosentasenya sehingga pusat tidak bisa menentukan besarnya hak keuangan yang diterima
daerah sesuka hatinya. Khusus mengenai DAU, DAU yang harus dialokasikan ke daerah setidaknya
harus sebesar 25% dari jumlah penerimaan negara dalam APBN. Ini berbeda dengan kondisi di
era sentralisasi.
Disinilah letak ketidakadilan bagi pemerintah pusat manakala sistem otonomi daerah telah
diberlakukan sejak tahun 2001. Ketika revenue sharing sudah diberlakukan, ternyata banyak
beban yang sesungguhnya milik daerah masih melekat pada pusat, termasuk beban subsidi BBM.
Oleh karenanya, bila kita mau menerapkan kebijakan otonomi daerah secara konsisten, mau tidak
mau daerah juga harus ikut sharing beban yang selama ini masih melekat di pusat, tidak hanya
terkait dengan subsidi BBM termasuk juga beban lainnya seperti ketahanan pangan, pengentasan
kemiskinan, dan lain-lain. Dengan penerapan sharing the pain yang konsisten dengan revenue
sharing ini, baru akan didapat penilaian yang fair atas kinerja pemerintah baik pusat dan daerah.
***
Salah satu faktor yang perlu dicermati terkait dengan subsidi BBM ini adalah selain
memunculkan ketidakadilan terhadap pusat, juga memunculkan ketidakadilan kepada daerah
lainnya, terutama daerah yang terbelakang. Sebagaimana kita ketahui bahwa tingginya beban
subsidi BBM adalah akibat tingginya konsumsi BBM. Konsumsi BBM, selain dari industri, juga
disebabkan oleh konsumsi individu akibat pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor. Saat ini,
sekitar 15% dari pendapatan negara digunakan untuk beban subsidi BBM.

1 Dimuat oleh Koran Jakarta, Kamis, 10 Juli 2008

-1-
Sunarsip / 7/11/2008

Apa implikasi dari tingginya beban subsidi BBM ini? Pertama, tingginya beban subsidi BBM
telah menyebabkan ketidakadilan secara personal. Pada umumnya, para pengguna BBM adalah
mereka yang memiliki kendaraan motor. Berdasarkan data, pada Triwulan I 2008, pertumbuhan
penjualan mobil meningkat 62%, penjualan motor naik 35% dibandingkan Triwulan I 2007. Itu
artinya, kita sesungguhnya telah mensubsidi orang-orang yang semestinya tidak layak disubsidi.
Implikasinya, subsidi BBM yang berlebih menyebabkan berkurangnya hak kaum miskin untuk
mendapatkan dana yang cukup bagi program pengentasan kemiskinan.
Kedua, tingginya beban subsidi BBM telah menyebabkan ketidakadilan secara
spasial.Tingginya konsumsi BBM kebanyakan terjadi di Pulau Jawa, khususnya Jawa bagian barat.
Bila APBN terus membiarkan pola subsidi BBM seperti ini, yang terjadi adalah APBN mensubsidi
wilayah perekonomian yang sudah maju di satu sisi, di sisi lain mengabaikan aspek keadilan bagi
daerah tertinggal. Tingginya beban subsidi BBM menyebabkan alokasi dana untuk pembangunan
infrastruktur, khususnya di wilayah yang tertinggal, menjadi berkurang.
Dengan demikian, pola kebijakan sharing the pain atas beban subsidi BBM melalui
mekanisme pengurangan DAU bagi daerah yang tinggi konsumsi BBM-nya bisa menjadi instrumen
penting untuk mengarahkan alokasi belanja negara ke arah yang lebih adil. Selain itu, kebijakan
ini juga dapat menjadi insentif bagi daerah untuk turut serta membatasi subsidi BBM.
Namun, pola sharing the pain ini harus dirancang agar kebijakan ini tidak terkesan untuk
mengalihkan beban subsidi BBM dari pemerintah pusat ke daerah semata. Selain itu, pola
pengalihan beban ini perlu diarahkan secara adil serta tidak mengganggu aktivitas perekonomian.
Sebagai usul, baiknya pola sharing the pain atas beban subsidi BBM ini dirancang
berdasarkan data konsumsi BBM yang digunakan oleh pengguna kendaraan bermotor (pribadi dan
perusahaan), tidak termasuk konsumsi BBM untuk industri (sebagai bahan baku). Alasannya, bila
pengalihan subsidi BBM ke daerah termasuk konsumsi BBM untuk industri, dikhawatirkan akan
mengganggu aktivitas perekonomian daerah.
Selain itu, perlu dirancang pula insentif bagi daerah yang berhasil menekan konsumsi BBM-
nya dalam tingkat tertentu. Tentunya, ukurannya bukan besaran absolut, namun lebih kepada
angka prosentase tertentu. Sebagai usul, hasil pengalihan subsidi BBM kepada daerah melalui
pengurangan DAU, perlu sebagian dialihkan ke daerah yang konsumsi BBM-nya rendah. Tujuannya,
selain sebagai redistribusi pendapatan, juga dapat menjadi insentif bagi daerah untuk ikut
mensukseskan program penghematan energi.
***
Berdasarkan konfigurasi ini memang wajar bila pola kebijakan subsidi perlu diubah. Kita
memang harus mengupayakan agar alokasi subsidi tepat sasaran. Bahkan, kalau bisa jumlah
subsidi justru ditingkatkan terutama untuk program jaring pengaman sosial (social safety net),
ketahanan pangan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat bawah. Oleh karenanya, secara gradual harus dilakukan pengalihan dari subsidi
harga barang (price goods subsidies) ke dalam bentuk subsidi orang, baik secara langsung (seperti
subsidi langsung) maupun tidak langsung seperti melalui program-program pemberdayaan
ekonomi masyarakat yang efektif.
Tentunya ini bukan pekerjaan yang mudah. Ini mengingat, pola kebijakan subsidi yang keliru
ini sudah berlangsung begitu lama. Namun demikian, saat-saat seperti ini memang menjadi
momentum untuk memulai langkah pembenahan ini.***

-2-
Sunarsip / 7/11/2008


Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence . Beralamatkan di www.iei.or.id dan dapat dihubungi di
sunarsip@iei.or.id.

-3-

Вам также может понравиться