Вы находитесь на странице: 1из 4

Hasil ketik ulang dari dokumen asli

(dokumen asli terlampir di bawah) :

SUMBER : BERITA YUDHA MINGGU, 10 Mei 1992

Mengenang Nyak Abbas


Mengawali Pencarian Bendera Lepas
Di tengah situasi perfilman Indonesia yang sedang dalam titik nadir
perkembangan, Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengadakan Pekan
Retrospeksi Film Nyak Abbas Akub, 29 April hingga 3 Mei 1992, untuk mengenang
setahun kematian sutradara pemegang bendera warisan “bapak film nasional” Usmar
Ismail itu.
Kematian Nyak Abbas pada tangga l 14 Februari 1991 sekaligus membuat
bendera yang diwariskan Usmar itu jatuh, kata Ketua DKJ Salim Said dalam
sambutannya ketika membuka pekan retrospeksi itu di Taman Ismail Marzuki (TIM)
Jakarta, Rabu (29/4) petang. Acara pembukaan itu diwarnai dengan suguhan musik
tradisional Tanjidor.
Tetapi, Salim mengingatkancalon peserta diskusi yang sedianya dijadwalkan
untuk menutup pekan retrospeksi itu Minggu (3/5) tetapi, karena “masa tenang”
Pemilihan Umum (Pemilu) 1992, dimajukan ke Jumat (1/5) – agar tidak
membicarakan nasib malang film nasional yang katanya “tidak akan ada habis-
habisnya dibicarakan”.
Ia minta agar diskusi itu diperbincangankan film Nyak Abbas Akub saja. Ini
adalah untuk yang kedua kalinya Salim Said, wartawan yang meraih gelar sarjana
dengan mengamati perkembangan pembuatan film di Indonesia, menunjukkan
keengganannya membahas nasib industri yang tak pernah kunjung dewasa ini.
Dalam seminar “Mengkaji Aspek Kesehatan dalam film Indonesia” yang
diadakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, 29
Februari lalu, Dokter Salim juga bersikap demikian, meski pada akhirnya, setelah
terpancing oleh uraian sutradara Teguh Karya, ia berbicara berapi-api.
Pada acara pembukaan itu, salah satu sahabat dekat Nyak Abbas, penyunting
film Soemardjono Demang Wiryokusumo, seirama dengan istilah ‘pembawa bendera’
yang disebut Salim, menyebut Nyak Abbas sebagai ‘murid yang baik’ di antara para
kader yang dididik oleh Usmar Ismail di N.V Perfini.
Nyak Abbas masuk studio di Jalan Menteng Raya 24-A itu pada tahun 1953,
setelah Perfini perusahaan film Indonesia pertama yang berciri nasional memasang
iklan untuk mengundang anak muda lulusan SMA guna dididik menjadi asissten, baik
untuk sutradara, juru kamera, penata artistik, maupun penyunting film.
Dari sekitar 200 calon yang diuji, hanya lulus 25 orang. “Bung Usmar
berbangga hati, karena diantara calon itu, terdapat nama MD Aliff, Suwargono, Nur
Alam, Abdul Moeis, Nyak Abbas, dan Sriyani, anak manis yang kemudian menjadi
penata artistik”, kata Soemardjono, yang ketika itu anggota direksi Perfini.
Dalam ujian akhir Kursus Sinematografi Pefini, Nyak Abbas tidak hadir tanpa
kabar. Ia kemudian minta maaf, karena pada waktu yang sama harus menempuh ujian
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setiap peserta kursus yang tidak disiplin
otomatis dinyatakan gugur, tetapi Nyak Abbas mendapat dispensasi dari Usmar
Ismail.
Manajemen produksi gaya baru

Pada saat itu, Perfini sedang membangun studio film di Desa Mampang
Prapatan dan mempersiapkan pembuatan film berjudul “Kafedo”, adaptasi dari
sandiwara radio E.M. Tahar, yang kemudian bergabung menjadi penulis skenario di
perusahaan film yang berlambangkan banteng itu.
Menurut Soermardjono, Usmar, yang baru pulang dari studio perfilman di
Amerika Serikat, menerapkan manajemen produksi film dengan gaya baru yang
sangat intensif. “Lulusan kursus Perfini mendapat tempat yang terhormat dalam
manajemen itu”, katanya.
Salah satu system manajemen itu adalah “script conference”, yaitu rapat
khusus untuk membicarakan skenario, yang sekaligus menjadi ajang yang amat
efektif untuk belajar menulis skenario yang benar. NYak Abbas tercatat sangat rajin
mengikuti rapat semacam itu. Ia akhirnya terpilih Usmar untuk asissten sutradara
“Kafedo”.
Ketika Perfini tidak berhasil baik dalam memasarkan filmnya, meski filmnya,
teutama karya Usmar dan Djagoef Djayakusuma, mendapat pujian dari pers nasional,
muncul gagasan ‘revolusionere’ untuk memberikan kesempatan kepada kader untuk
membuat film sendiri. Nyak Abbas muncul sebagai pahlawan.
Dengan catatan ‘biaya produksi harus ditekan serendah mungkin’ Nyak Abbas
menyutradarai “Heboh” dengan pemeran utama Mang Udel dan Mang Cepot yang
sudah terkenal di RRI Jakarta. “Pemotretan komedi banyolan yang teramat lucu oleh
situasi konyol ini berjala n lancar dengan pengunaan bahan baku yang amat irit”, kata
Soemardjono.

Вам также может понравиться