Вы находитесь на странице: 1из 10

Madness!

Cast : Lee Jinki aka Onew’s stalker fans, and Lee Jinki himself

Length : Oneshot

Rating : PG-15

Genre : Angst

Disclaimer : Own nothing except the story, relax…

===

Aku tahu aku menginginkannya.

Bukan sebagai idola, tapi sebagai milikku.

Seutuhnya.

===

Lee Jinki, lebih dikenal dengan nama Onew, leader SHINee. Semua orang tahu dia. Jinki tidaklah
setampan Choi Minho, ia juga tidak seimut Lee Taemin. Tapi senyumnya memikat hatiku.
Senyumnya telah menyelamatkanku dari kehidupan yang buruk ini. Senyumnya yang selalu ia
lontarkan di hadapanku. Kata-katanya yang terkadang tidak sesuai situasi kondisi, yang selalu keluar
apa adanya, jujur melihat keadaan. Gerakan tangannya yang tidak beraturan ketika sedang
menjelaskan sesuatu. Matanya yang selalu ikut terpejam ketika tertawa. Gerakan naik turun
bahunya ketika tertawa. Semuanya. Semua yang ia miliki pada dirinya, telah memikatku untuk terus
melihat kepadanya, dan hanya kepadanya.

===

Lama-lama, ini menjadi obsesi. Obsesi yang dimulai dari khayalan yang terlalu tinggi. Obsesi yang
dimulai dari kekaguman semata. Aku tak tahu. Apa obsesiku untuk memilikinya terlalu kuat?

===

Dimulai dengan kecelakaan tak disengaja, ketika ia belum menjadi bintang terkenal. Di saat ia masih
seorang Lee Jinki, seorang anak lugu yang rajin membantu ibunya di toko daging. Ia menabrakku,
menumpahkan jus buahku, membuat baju putihku memiliki bercak kuning yang bahkan sampai
sekarang tak bisa hilang. Aku berteriak kepadanya, menyalahkannya, meminta ganti rugi kepadanya,
bahkan hampir memukulinya. Tapi ia tetap diam. Di tengah teriakanku, dia tetap diam, tidak
berusaha melakukan perlawanan. Dan di saat aku lelah berteriak, dia mulai berani menatapku,
tersenyum padaku, dan berkata, jwaesonghamnida, aku akan menggantinya. Dia membantuku
berdiri, bertanya apakah aku terluka, dan sebagainya. Aku? Aku telah kehabisan suaraku. Lelah,
bercampur terperangah. Aku lelah berteriak, dan aku terperangah melihat senyumnya. Senyumnya…
apakah ia malaikat?

===

여자는 Rahma
Aku tahu dia bukan hakku! Aku sama sekali tak punya hak milik atasnya! Ia milik orang tuanya, ia
milik fansnya. Ia bukan milikku, dan aku bukan miliknya. Tapi aku bersedia memberikan apapun
milikku, agar ia mau memilikiku.

===

Dimulai dengan kecelakaan, diakhiri dengan perkenalan. Ia tahu namaku, aku tahu namanya. Ia tahu
tempat tinggalku – karena ia bersikeras mengantarkanku sampai rumah setelah kecelakaan itu – dan
aku pun tahu di mana rumahnya. Toko daging ibunya cukup terkenal di daerah sini, jadi hampir
semua orang tahu, termasuk aku. Kami bertukar nomor telepon, saling mengutarakan harapan kami,
semoga kami bisa bertemu di lain kesempatan, dengan kejadian yang lebih baik, bukan dalam
kecelakaan seperti ini. Setelah saling mengucapkan selamat tinggal, dan permohonan maaf yang
bertubi-tubi dari Jinki, aku membalikkan badan dan masuk rumah. Dan Jinki, perlahan menjadi nama
yang kukenal sebagai “bocah daging penabrak”. Setiap aku datang ke toko daging ibunya, ia akan
duduk di belakang meja kasir, tersenyum kepadaku, dan berkata, “Tidak usah bayar, ini untukmu.”

===

Setiap melihat penampilanmu, setiap melihat kau tersenyum di setiap penampilanmu, aku marah.
Aku geram. Beraninya kau memberikan senyuman hangatmu itu untuk orang lain, untuk publik. Ini
tak boleh terjadi. Senyuman itu milikku. Raga itu milikku. Kau, hanya boleh menjadi milikku.

===

Perlahan tapi pasti, karena kita semakin lama semakin jarang bertemu, nama Lee Jinki, bocah daging
penabrak, mulai terlupakan olehku. Lee Jinki dengan segera menjadi bagian dari masa lalu yang
tersembunyi di sudut kepala, menjadi satu dengan kenangan kecil lainnya di Gyeonggi-do. Hingga
suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kita bertemu lagi, kita bertemu dengan cara kecelakaan lagi.
Aku menabrakmu di lorong rumah sakit. Kali ini aku tak marah, karena bajuku tak terkena tumpahan
jus buah lagi kali ini. Toh, kali ini aku yang salah, karena aku berjalan sambil membaca. Aku hanya
tersenyum ketika kau mengucapkan maaf sambil membantuku berdiri. Gwaenchana, akulah yang
harus minta maaf, merupakan kata-kata pertamaku ketika bertemu kau kali itu. Dan aku masih
belum bisa melupakan ekspresi wajahmu, ketika matamu bertemu dengan mataku, bibirmu
mengucapkan kata tanpa suara, “Kau…”

===

Yah, pertemuan kita adalah takdir. Apa kau tak menyadari, pertemuan kita, tak pernah kita
rencanakan langsung. Tuhan-lah yang merencanakan pertemuan kita. Ia menggerakkan kita, bak
menggerakkan bidak catur, hingga akhirnya kita bertemu di tengah papan catur. Jinki-ya, kau
takdirku, aku takdirmu.

===

Pertemuan di rumah sakit itu, berakhir dengan minum kopi bersama di kafe rumah sakit. Kita
menghabiskan waktu bersama layaknya dua sahabat karib yang sudah lama tidak bertemu. Kita
saling menanyakan kabar masing-masing, menanyakan pekerjaan, rumah, bahkan hal-hal yang tidak
penting seperti ‘apa kau punya hewan peliharaan?’. Yah, hal-hal semacam itulah. Kita tertawa, saling

여자는 Rahma
memukul ringan lengan satu sama lain, berpura-pura cemberut ketika kita saling mengolok, kita
benar-benar terlihat seperti sahabat. Aku tertawa lepas, tak menyadari bahwa pertemuan kita hari
itu adalah awal malapetaka. Malapetaka bagiku, terutama bagimu, Jinki.

===

Aku sudah memilikimu sebagai idola, karena, asal kau tahu saja, aku adalah seorang Shawol, Jinki-
ya. Tapi, seperti yang sudah kukatakan tadi, aku ingin memilikimu lebih dalam, lebih eksklusif. Kau,
tak boleh tak menjadi milikku sendiri.

===

Pertemuan kita semakin intens terjadi. Kadang hanya sekedar makan siang biasa, kadang kita
menghabiskan akhir pekan bersama, kadang aku membantumu – lebih tepatnya, aku mengacau –
menyelesaikan suatu hal. Hingga akhirnya, kau melihat iklan itu. Iklan audisi yang dipasang oleh
SMEntertainment di sebuah harian. Kau berkata, aku ingin mengikutinya, aku bisa menyanyi, tapi
kurasa aku cukup bodoh dalam menari, katamu sedih. Sebagai sahabat yang baik, aku tentu
menyemangatimu, berkata bahwa kau pasti bisa, tarian itu bisa dilatih, asal kau berusaha kau pasti
bisa, kata-kata penyemangat semacam itulah. Dan perlahan, senyummu yang tadi menghilang
karena kau khawatir, kini mulai terkembang lagi. Kau mengucapkan terimakasih, dan memintaku
menemanimu mendaftar audisi. Sekali lagi, karena aku merasa aku harus menjadi teman baikmu,
aku menyanggupinya. Kau tertawa senang, aku tersenyum bahagia karena melihat tawamu. Dan kau
membayar semua tagihan makanan yang sedang kita makan waktu itu, sebagai tanda terimakasih.
Bodohnya aku, saat itu aku mengelak bahwa aku sedih, bahwa aku tahu pasti dia bisa diterima, dan
itu berarti aku akan kehilangannya. Tapi aku menutupi semua itu, tak menyadari bahwa semua
perasaan itu akan menjadi pemicu utama malapetaka ini.

===

Melihatmu duduk diam di situ, ini membuat pertahananku mulai melemah. Tidak, aku tidak boleh
lemah. Kalau aku lemah, aku tak bisa memilikimu. Aku harus kuat. Kau, Lee Jinki, harus ada di
genggamanku.

===

Akhirnya, aku menemanimu ikut audisi itu. Banyak orang mengira kita ini pasangan kekasih, apa kau
ingat itu? Saat itu, kita terus-menerus mengelak. Bahkan kau bersikeras mengatakan bahwa aku ini
sepupumu, bukan pacarmu. Aku memang hanya diam dan tersenyum ketika mendengarmu
memperkenalkan aku sebagai sepupumu, tapi, tahukah kau? Hatiku, hatiku yang rapuh ini kian
melemah mendengar pernyataanmu itu. Aku masih belum bisa menghilangkan rasa khawatirku
tentang kehilanganmu, dan sekarang aku harus mendengarkan ini? Mendengarkan kau terus
memperkenalkan aku sebagai sepupumu? Jinki-ya, apa aku memang hanya sekedar temanmu?
Sekedar orang yang kau kenal? Bukan seseorang yang memiliki arti spesial bagimu? Aish, perasaan
apa ini? Apa aku… mencintaimu? Kenapa aku harus merasakan ini??

===

여자는 Rahma
Aku kembali ragu. Setiap aku melihatmu duduk diam di situ, kilasan kenangan ini terus kembali. Tiap
kembali, rasa sakit ini juga kembali. Rasa cemburu yang rasanya seperti membakar dada. Dan tiap
kembali, sepertinya perasaan ini bertambah kian kuat. Aku lemah melihatmu diam seperti ini.

===

Siksaan yang kudapat ketika menemanimu audisi itu, berakhir setelah kita berdiri mengantri selama
5 jam. Aku menunggumu di balik pintu ruang audisi. Dan ketika kau keluar, raut mukamu, sama
sekali tidak bisa dibaca. Kau menarik tanganku menjauh, mencari tempat yang sepi. Ketika kita
sampai di sebuah lorong, kau tiba-tiba berhenti, dan tiba-tiba saja, kau memelukku dengan erat.
Apakah ini berarti kau gagal audisi? Aku balas memelukmu, berusaha menenangkan hatimu dengan
membisikkan kata-kata penyemangat, walaupun sebenarnya aku akan sangat senang kalau ternyata
kau tak lulus audisi. Kau melepaskan pelukanmu, menatapku dalam, dan kemudian tersenyum lebar,
berkata – setengah berteriak – aku lolos audisi! Ketakutanku menjadi nyata, dan walaupun aku ikut
berteriak senang bersamamu, aku meneteskan air mata, aku takut kehilanganmu, batinku. Ketika
kau tanya kenapa aku menangis, aku menjawab, ini air mata bahagiaku untukmu. Dan kau tertawa
semakin keras.

===

Kurasa aku harus menguatkan diriku sendiri dulu. Aku berjalan mondar-mandir di depan Jinki,
berusaha mengingat kenapa aku melakukan ini. Dan ketika aku mengingat alasanku, aku menjadi
kuat, dan semakin kuat. Aku menoleh ke arahmu, dan kau balas menatapku dalam diam. Diam ini
mencekam. Dan diam ini harus diakhiri secepatnya.

===

Aku akan debut! Kau berteriak kepadaku. Aku kaget setengah mati. Cangkir yang sedang kupegang
jatuh, dan pecah berkeping-keping. Suara jatuh cangkir itu rupanya cukup keras, karena Jinki yang
sedang berada dalam percakapan telepon mendengarnya dan bertanya dengan cukup panik,
gwaenchana?! Setelah aku pulih dari shock-ku, aku menjawab, ya, aku tak apa-apa, ngomong-
ngomong, chukkae-yo. Dan pembicaraan kita di telepon berakhir dengan janji darimu bahwa kau tak
akan melupakanku.

Janji memang mudah diucapkan, ya kan? Setelah debut, kau hampir tak punya waktu untukku,
bahkan untuk sekedar meneleponku. Baiklah, temanku memang tak cuma kau seorang, tapi ini
keterlaluan, kau sendiri yang berjanji akan menghubungiku, bahkan setelah debutmu sukses. Tapi
mana? Yang kudapat hanyalah suara voicemail yang selalu menyambutku ketika aku berusaha
menghubungi ponselmu. Dan dulu, dulu aku bisa melihat wajahmu kapanpun aku mau, tapi
sekarang? Aku hanya bisa melihat wajahmu via media. Via langsung, kalau saja aku mau
mengorbankan badanku untuk berdesak-desakkan dalam setiap penampilan, konser, atau
fanmeeting SHINee. Tapi aku tak mau membuang-buang waktuku hanya untuk orang yang
melupakan janjinya.

===

This is not good. Semakin aku berjalan mendekat ke arahmu, aku semakin lemah. Tekad kuat yang
kubangun tadi perlahan luluh lantak. Kau masih diam. Senyummu hilang. Kau tak terlihat takut, tapi

여자는 Rahma
kau malah terlihat kuat, bahkan ketika kau memejamkan mata. Dan tanganku, mulai bergetar
sangat hebat.

===

Tapi, sikap acuh tak acuh itu tak bertahan lama. Aku, dengan sadar menyadari, bahwa perasaanku ini
mulai tumbuh. Bukan perasaan kagum lagi, tapi, pasti, ini pasti cinta. Aku… mencintai Lee Jinki.
Setiap aku melihat fotonya, atau penampilannya, aku pasti membayangkannya menjadi milikku.
Awalnya ini khayalan yang menyenangkan, mengobati kekecewaan hatiku – entah bagaimana
caranya, tapi setiap memikirkan hal ini, hatiku menjadi tenang – dan khayalan ini menjadi hal rutin
yang kulakukan setiap hari. Dari khayalan, hal ini berkembang menjadi obsesi. Obsesi untuk
memilikimu seutuhnya. Obsesi ini tumbuh, mengakar dalam hati dengan sangat kuat, seperti kanker
yang tak bisa sembuh. Obsesi ini mempengaruhi tubuh dan pikiranku. Jinki, Jinki, Jinki, hanya Jinki
yang ada di pikiranku. Dan kemudian, tak lama setelah SHINee melakukan comeback stage-nya
kemarin, hal ini terpikirkan olehku. Jinki… harus menjadi milikku. Harus.

===

Mau tahu satu hal? Sebenarnya, rasa takutlah yang menguasai otakku saat ini. Tapi obsesi ini telah
mengakar kuat, terutama di dalam hati. Obsesi yang menyebabkan rasa cemburu ketika melihatnya
muncul di depan publik, untuk publik, untuk Shawol, untuk pekerjaan, bukan untukku lagi. Rasa
cemburuku telah menutup otakku. Kini hatiku yang mengendalikanku, bukan otakku lagi.

===

‘Geobu hal su eopneun neo-ae maryeok-eun Lucifer’

Jeritan dan tepuk tangan menggema. Seperti biasa, penampilan yang luar biasa, Jinki-ya. Aku ikut
memberi tepuk tangan kepadamu – dan juga kepada member yang lain – sebelum aku bersiap
melakukan ini. Aku sudah memakai seragam karyawan stasiun televisi ini, ID Card, dan masker,
untuk mencegahmu mengenali diriku. Aku meraba pinggangku, bagus, benda itu sudah ada di sana.
Dan aku bersiap melakukan misiku, khusus untukmu.

Aku menghampirimu yang sedang turun dari panggung, menepuk bahumu, dan memberi isyarat
supaya kau mengikutiku. Mungkin karena kau menyangka aku benar-benar karyawan stasiun televisi
ini, kau mematuhi perintahku, walaupun mukamu seperti tidak yakin akan tindakanmu. Well, apabila
kau memiliki perasaan tidak enak sekarang, perasaan itu benar, Jinki-ya.

Dan ketika sampai di pojok backstage, diam-diam aku mengeluarkan saputangan yang sudah kuberi
kloroform. Dengan gerakan cepat, aku membekap mulutmu. Kau memberontak, berulangkali
meneriakkan kata ‘tolong’, ‘apa-apaan ini’, dan ‘siapa kau’. Aku hanya tersenyum kecil, dan berkata,
“Diam.” Dan kata itulah yang terakhir dia dengar, karena setelah itu seorang Lee Jinki telah pingsan.
Aku memapahnya ke arah pintu keluar, memasukkannya ke troli barang agar tak seorang pun curiga,
dan akhirnya, membawanya ke mobilku untuk kemudian kubawa ke tempat itu.

===

.: Jinki’s POV :.

여자는 Rahma
Ugh, pusing. Kepalaku terasa seperti habis dipukuli. Tunggu, di mana aku? Kenapa gelap begini?
Tempat berbaringku juga keras sekali. Apa aku tertidur di lantai waiting room? Eits, sepertinya tidak.
Badanku tidak bisa digerakkan, sepertinya ada tali yang membelit tubuhku. Eh… Tali? Ruang gelap?
Lantai? Apa aku sedang diculik? Aish.

Aku tidak bisa duduk, jadi aku tetap berbaring. Sambil berbaring, aku berusaha mengingat kenapa
aku bisa berada di sini. Ah, iya, ada seorang kru yang menuntunku ke tempat sepi, ia membekapku,
dan aku pingsan. Begitu aku tersadar, aku sudah berada di sini. Ya, sepertinya aku benar-benar
diculik. Hhh. Apa para memberku menyadari bahwa aku menghilang? Apakah mereka menyadari
bahwa aku diculik? Harusnya aku tidak terlalu sering menghilang tiba-tiba hanya karena sepotong
ayam~ Aigo. Semoga mereka merasa bahwa hilangku kali ini bukan hilang main-main. (T.T)

Pintu terbuka dan lampu ruangan dinyalakan. Silau. Aku harus mengerjapkan mataku beberapa kali
sebelum mataku terbiasa dengan cahaya lampu itu. Seseorang mendekat dengan membawa
nampan berisi susu dan biskuit. Dan… sebilah pisau berada di dekat biskuit itu. Apa orang ini bodoh?
Makan biskuit kan tidak perlu memakai pisau.

“Makanlah, Jinki-ssi,” perintah orang itu.

Hening. Beberapa saat kemudian, aku bertanya dengan suara bergetar, “Kau… siapa?”

Orang itu tampak mengernyitkan alisnya dan mendengus, “Tsk, kau bahkan lupa padaku? Kau lupa
padaku, bocah daging?”

Bocah daging… seseorang memberikanku nama julukan itu ketika aku kecil. Aku berusaha mengingat
nama orang itu. Dan, ketika orang itu membuka masker yang menutupi wajahnya, aku tersentak.
Dia… Aku tahu orang ini!

“Kau, kau, kenapa, apa, kenapa…” aku tak mampu berkata-kata.

“Kau ingin bertanya, kenapa aku melakukan hal ini? Sederhana, karena aku ingin memilikimu.”

Memilikiku? “Apa? Tapi, kau sudah memilikiku. Kita… teman kan?” tanyaku tak mengerti.

Ia menyeringai, “Teman? Rupanya kau memang menganggapku hanya teman ya.” Dia tampak
berpikir sebentar. “Sudahlah, toh ini sebentar lagi berakhir.” Dan sambil berkata seperti itu, ia
membungkuk, mengambil pisau, dan membuka ikatanku. “Makanlah.” Kemudian ia pergi.

Ikatanku dilepas. Aku menggosok bagian tanganku yang diikat tadi. Sakit. Setelah rasa sakitnya
mereda, aku mulai mengambil biskuit karena aku lapar sekali. Dan tepat saat aku menghabiskan
susuku, ia kembali masuk, kali ini sambil bernyanyi kecil. Melihat biskuit dan susunya habis, dia
tersenyum dan bertanya, “Sudah kenyang, Jinki-ya?”

Aku merasakan sesuatu yang tidak enak di sini. Kurasa aku harus bersikap waspada. Perlahan aku
mengangguk. Dia masih tersenyum ketika berkata, “Bagus. Sekarang saatnya kita meluruskan
beberapa hal.”

Dia lalu menarik kursi di dekatnya, lalu duduk menghadapku. “Kira-kira, sudah berapa lama kita tidak
bertemu ya? Dua? Tiga tahun?”

여자는 Rahma
Aku mengangkat bahu, “Dua kurasa.”

Dia mengangguk-angguk, “Kau belum berubah ya.”

Ini hanya basa-basi. Aku tak menyahut, tapi bertanya, “Kenapa aku dibawa ke sini?”

Dia tertawa, “Ah, jadi kau mau to the point, begitu? Baiklah. Kalau begitu, aku juga akan to the point
kepadamu. Aku ingin kau jadi milikku. Seutuhnya.”

Dia… gila. Apa dia sa-saeng fans? Stalker-ku? Tapi dia kan temanku, dari dulu. “Aku milikmu, dari
dulu aku milikmu. Aku temanmu. Kita menghabiskan masa kecil di daerah yang sama. Orang tua kita
bahkan saling mengenal. Aku ini, sudah menjadi milikmu.”

Dia menggeleng pelan mendengar jawabanku. “Tidak seperti itu, Jinki. Kurasa kau tidak mengerti.
Kau memang sudah menjadi milikku, tapi belum seutuhnya. Kau masih bisa disentuh orang lain, kau
masih bisa berinteraksi dengan orang lain. Kalau kau sudah menjadi kau milikku, kau hanya akan bisa
mendengarku dan menyentuhku, begitupula sebaliknya. Tidak akan ada orang yang menganggu kita.
Mengerti?” Melihatku menggeleng tak percaya, dia meneruskan, “Dan hanya ada satu cara untuk
mewujudkan hal itu, Jinki. Kita… akan mati. Kita harus mati bersama.”

Hening. Aku tak mampu berkata apapun. Ini tak sesuai harapanku. Aku ingin mati di tempat tidur,
didampingi keluargaku, mati dengan damai, bukan mati di tangan stalker seperti ini.

“Kau mau teriak? Mau minta tolong? Percuma, tak ada orang yang akan mendengarnya. Kita sedang
ada di villa pribadimu, kau tahu? Kau dulu pernah menunjukkan ruang rahasia ini padaku ketika kita
sedang berlibur bersama di sini. Dan di sinilah kita. Di ruang rahasia kita. Dan kita akan mati berdua.
Bukan, bukan mati, kurasa mati istilah yang salah, yang benar hidup abadi, berdua, kau dan aku. Dan
omong-omong, ponsel yang ada di sakumu itu sudah kurusak, jadi kau tak bisa minta bantuan
kepada teman-teman sya-i-ni-mu, ataupun kepada orangtuamu.”

Dia benar-benar gila. Jadi, kami berada di ruang rahasia villaku. Aish, apa yang harus kulakukan? Aku
tak punya tenaga untuk melawan. Biskuit dan susu tak cukup untuk membuat tenagaku pulih. Ia
tampaknya senang melihatku tak mampu berkata-kata. Lalu ia berdiri, mengambil sesuatu dari meja
yang ada di dekat pintu masuk, dan berbalik menghadapku. Sesuatu berkilat di genggamannya.
Butuh beberapa saat untukku agar menyadari bahwa yang ada di tangannya adalah pisau dapur yang
cukup besar ukurannya. Apakah, pisau itu, alat pembunuhku?

Ia tak langsung berjalan ke arahku. Dia terdiam sambil memandangi pisau itu, lalu pandangannya
berganti ke arahku, berganti lagi ke arah pisau. Sepertinya ia bimbang. Ia sempat memejamkan
matanya sebentar, mungkin mencoba untuk meyakinkan dirinya. Dan ketika ia membuka matanya,
sinar kegilaan itu tampak makin jelas di matanya. Ia berjalan pelan ke arahku, kedua tangannya
menggenggam erat pisaunya. Aku ingin berteriak, tapi suaraku mengkhianatiku, suaraku sama sekali
tak mau keluar. Langkahnya semakin dekat, pelan tapi pasti, hembusan nafasnya semakin tenang
dan ia tampak semakin mantap. Dan aku, dikendalikan ketakutan yang amat sangat, hanya bisa diam
dan memejamkan mataku. Langkahnya semakin dekat. Jantungku tak bisa kukendalikan. Suara
langkah itu terhenti. Aku belum berani membuka mataku. Tapi hembusan nafas itu mendekat ke
arahku. Bisa kudengar suara nafasnya yang tenang. Bisa kurasakan hembusan nafas itu di leherku,
naik ke wajahku, dan beralih ke telingaku. Ia mencium pipiku sebelum akhirnya berbisik, maaf,

여자는 Rahma
saranghae, aku terpaksa melakukan ini, aku sudah merencanakan ini selama berbulan-bulan,
saranghae-yo. Dan kurasakan pukulan keras di tengkukku. Dan sekali lagi, aku pingsan.

===

“Onew-hyung…”

“Onew-hyung? Ireobwa, jebal, kumohon…”

“Hyung, hiks, hyung, hiks, hiks.”

Suara-suara apa ini? Apa mereka sedang meratapiku? Ah, aku mengerti. Aku sudah mati rupanya.
Mereka tentu sedang meratapi kematianku. Aku mengenali suara mereka. Jonghyun, Key, dan
Taemin. Minho mungkin sedang diam sambil menatap jasadku. Hah, jadi ini rasanya mati. Tidak
sakit, apalagi jika ada orang yang membunuhmu ketika kau sedang pingsan. Tapi… kenapa
sekelilingku gelap? Bukankah biasanya ruh orang mati akan melayang-layang di dekat jasadnya dan
menatap nanar para pelayat, dan jasadnya sendiri? Ini aneh. Apa aku masih terjebak di badanku,
sehingga aku tak bisa melihat apa-apa?

“Dia tidak apa-apa, dia akan segera bangun, lihat, detak jantungnya sudah normal kembali.”

Itu suara Minho. Eh? Detak jantung? Apakah roh punya detak jantung? Tidak, mereka tidak punya.
Sebentar, semua suara itu, mereka membuatku bingung. Aku ini… hidup, atau mati, sih?

Sebenarnya ada cara mudah untuk mengetahuinya. Aku bisa mencoba mengendalikan salah satu
anggota badanku. Mata misalnya. Ya, mata. Aku bisa mencobanya, akan kucoba apakah aku bisa
membukanya atau tidak. Dan kita akan tahu, apakah aku sudah benar-benar mati.

Berat. Susah payah aku membuka mataku. Tapi usaha kerasku menimbulkan hasil. Mataku mau
terbuka. Aish, silau sekali di sini, dan buram. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Beberapa kerjapan
mata dan, tadaa, penglihatanku mulai jelas. T-t-tung-tunggu, aku bisa membuka mataku, aku bisa
melihat, dan itu berarti… aku masih hidup? (o.O). Ya Tuhan, syukurlah. Kau masih memberiku
kesempatan untuk hidup. God, I love you!!

“Hyu-hyu-hyung, hyung, li-li-lihat Onew-hyung,” kata Taemin terbata-bata kepada Key yang sedang
menangis ketika pandanganku bertemu dengan pandangannya. Aku tersenyum lemah kepadanya.
Dan sekejap kemudian, empat pasang tangan berebut memelukku yang bahkan belum mampu
bernafas dengan benar.

“Hei, hei, hen-tyi-kan, a-kuh-se-sakh-naf-ash, hen-tih,” kataku tersengal-sengal ketika tangan yang
aku tak tahu milik siapa secara tidak sengaja menarik selang oksigenku. Aigo, apa mereka ingin
membunuhku? (><)

Jonghyun yang pertama berdiri dan membenarkan selang oksigenku. Kemudian ia tertawa keras
sambil membantu Key dan Taemin yang sedang menangis di tanganku untuk berdiri. Minho
memegang bahuku sambil tersenyum lebar. Mau tak mau, aku ikut tersenyum bersama mereka.
Yeorobun, aku kembali.

===

여자는 Rahma
.: A week later, Seoul Restpeace Graveyard, still Jinki’s POV :.

Kata adjusshi juru kunci tadi, nisan kedua dari kiri… yang mana? Apakah yang ini? Ah, ya, betul, yang
ini. Namanya tertera di sini.

Malam kedua aku di rumah sakit, Key – setelah ia memaksaku makan bubur, malam itu giliran dia
menjagaku di rumah sakit – menceritakan semuanya. Tentang kepanikan yang aku timbulkan setelah
aku menghilang, kegiatan SHINee yang akan diliburkan selama 1 bulan penuh karena insiden ini,
sampai cerita bagaimana aku ditemukan. Dari situ aku tahu bahwa mereka berhasil menemukanku –
ingat, aku berada di ruang rahasia villa – karena ada telepon misterius dari seorang yeoja yang tidak
mau menyebutkan namanya. Ia hanya berkata, percaya saja padaku, dan kau akan bisa
mendapatkan leadermu kembali. Usai mendapatkan telepon itu, mereka segera menghubungi polisi,
dan mereka langsung menuju villaku. Setelah dua jam penuh mencari, mereka menemukan pintu
rahasia yang tersembunyi di samping perapian, dan menemukan aku yang sedang pingsan, dan
seorang yeoja yang bersimbah darah di depanku. Ketika tim medis berusaha menyelamatkan yeoja
itu, ia malah tersenyum dan berkata, sudah terlambat, kemudian memberikan segulung kertas kecil
kepada Minho yang sedang menatapnya, mengatakan untuk memberikan gulungan kertas itu
kepadaku. Selang lima menit, yeoja tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Dan dari hasil
penyelidikan, yeoja itulah yang melakukan panggilan ke dorm SHINee untuk memberitahukan
keberadaanku.

Aku tak dapat mengerti pikirannya. Dia temanku, yang selalu tertawa bersamaku, menangis
bersamaku, bahkan yang ingin mati bersamaku, sebelum ia memutuskan untuk bunuh diri di
depanku yang sedang pingsan. Masa iya penyebabnya hanya karena aku tidak mengontaknya selama
dua tahun? Aku memang tak pernah menanyakan kabarnya secara langsung, tapi tiap pulang ke
Gyeonggi-do, aku selalu mampir ke rumahnya, mengunjungi ahjumma-nim dan adjusshi-nim, tak
lupa menanyakan kabarnya. Aku berusaha menghubungi ponselnya, tapi nomornya tidak aktif,
sedangkan nomor ponselku juga ganti karena ponselku rusak. Alamat apartemennya juga pindah.
Dan itulah bagaimana kami bisa lost contact sama sekali. Dan pada saat itu, kami masih merupakan
analog teens, kami masih belum punya Cyworld atau me2day. Dan komunikasi kami putus sama
sekali. Aku kira, karena aku akan debut, dia tidak mau lagi berteman denganku. Karena alasan itulah,
setelah debut, aku memutuskan untuk berhenti mencarinya.

Tapi gulungan kertas yang diberikannya berkata lain, gulungan kertas itu berkata seperti ini :

Jinki-ya, atau mungkin mulai sekarang aku memang harus memanggilmu Onew, maaf, maaf untuk
semuanya. Maaf karena sempat berpikiran ingin membunuhmu. Maaf karena bersikap egois. Maaf
karena aku kurang keras berusaha mencarimu ketika kita lost contact, maaf untuk semuanya. Maaf
karena ingin memilikimu sendirian, dan maaf, karena aku tak menganggapmu sahabat. Aku
menganggapmu sebagai orang yang kucintai, sebagai orang yang ingin kujadikan orang tempat
menghabiskan sisa hidupku bersama. Maaf telah menjadikanmu sebagai obsesiku. Dan kurasa, aku
harus pergi duluan. Aku sudah tak pantas melihatmu, aku sudah tak pantas ada di kehidupanmu,
bahkan sebagai sahabat. Bocah daging penabrak, kita akan bertemu lagi, tapi dalam waktu yang
lama. Annyeong.

PS : Jinki-ya, eh, Onew, HWAITING! \(^o^)/. Saranghae. Jinjja, jinjja, jinjja saranghandago.

여자는 Rahma
I can’t understand it. Dia bunuh diri, karena dia mencintaiku, karena dia ingin memilikiku, tapi
kemudian ia sadar bahwa itu salah. Aish. Aku tak dapat mengerti jalan pikirannya. ><”

Aku meletakkan bunga yang kubawa di nisannya, kemudian mengelus nisannya sebentar. Setelah
menghela nafas panjang, aku beranjak berdiri dan membungkuk sambil mengucapkan annyeong
pada nisan itu. Perlahan, aku berjalan menjauh dari nisan itu. Ketika hampir sampai di gerbang
pemakaman, aku menoleh kembali ke arah nisan itu. Mataku panas. Ya, aku menangis. Ini akhir yang
tak dapat kuduga. Sahabatku sendiri, menjelma menjadi stalker-ku. Aku menyeka mataku, menatap
nisan itu untuk terakhir kali, dan berjalan keluar pemakaman. Supir yang sudah menungguku
membukakan pintu mobil, dan akhirnya mobil ini meluncur meninggalkan pemakaman.

Mobil itu meninggalkan pemakaman. Jinki sudah pergi. Dan ini juga sudah waktuku untukku pergi.
Aku mengambil bunga yang ditinggalkan oleh Jinki dan kemudian memeluk bunga itu erat-erat.
Perlahan tubuh semuku ini menghilang dihembus angin. Selamat tinggal dunia, dan selamat
tinggal… Jinki…

.: FIN :.

여자는 Rahma

Вам также может понравиться