Вы находитесь на странице: 1из 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang
ditandai adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat
penyumbatan saluran nafas, termasuk dalam kelompok penyakit
saluran pernafasan kronik. World Health Organization (WHO)
memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan
jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai
180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien
asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus
meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan
prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang serta
mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup
pasien(1).
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering
menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan
olahraga serta aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi
sistem saraf pusat, menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan
menimbulkan masalah pembiayaan. Selain itu, mortalitas asma relatif
tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat asma (2).
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi
lainnya, dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga
saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat
serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari
faktor penyebab(2).

1
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patologi,
patogenesis, patofisiologi, manifestasi klinis, klasifikasi, diagnosis,
penatalaksanaan, status asmatikus, diagnosis banding, komplikasi dan
prognosis asma.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran
nafas yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis
tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan
yang menyebabkan episode wheezing, apneu, sesak nafas dan batuk-
batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini
berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang bersifat
reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi (3).
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan
kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan
lumen saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak
menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang (4).
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang
berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama
pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik
dengan atau tanpa pengobatan(1).
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa
gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan
gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (1).

B. Etiologi dan Faktor Risiko


Sampai saat ini penyebab penyakit asma belum diketahui
secara pasti meski telah banyak penelitian oleh para ahli di dunia
kesehatan. Namun demikian yang dapat disimpulkan adalah bahwa
pada penderita asma saluran pernapasannya memiliki sifat yang khas
yaitu sangat peka terhadap berbagai rangsangan (bronchial

3
hyperreactivity = hipereaktivitas saluran napas) seperti polusi udara
(asap, debu, zat kimia), serbuk sari, udara dingin, makanan, hewan
berbulu, tekanan jiwa, bau/aroma menyengat (misalnya; parfum) dan
olahraga.(1,5)
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: (1,6)
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik

2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,
kacang, makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-
blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca

C. Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau
NCHS (2003), prevalensi  serangan asma pada anak usia 0-17 tahun
adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2  juta) dan pada dewasa >

4
18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita  yang
mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Sedangkan  berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487
kematian akibat asma atau 1,6 per 100  ribu populasi(2).

D. Patogenesis

Gambar 1. asma terjadi karena penyempitan, peradangan


dan konstriksi otot bronkus6

Gejala asma, yaitu batuk seseak dengan mengi merupakan


akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik
dan hiperaktivitas bronkus.

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya


hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung.
Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan
beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien.
Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus

5
ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara
dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah


faktor antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi
respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early
asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma
reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-
akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan
se-kitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan
monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma


merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena
lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di
permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah
membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal
mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan
mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan
napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit.

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,


makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
memperbesar reaksi yang terjadi.

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung


menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti
eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga

6
mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens. Tromboksan,
PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.
Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan
hipereaktivitas bronkus.

Gambar 2. Respon kekebalan tubuh6

Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu


faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi
sebelum pasien menjadi asma:

1) Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan


apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan
timbul sensitisasi pada dirinya.
2) Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu
menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi
pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama
atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hiperreaktivitas bronkus.
3) Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh
pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).

7
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau
debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak,
jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok; pemacu: Rinovirus,
ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus: Semua faktor
pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin,
histamin dan metakolin(1)

E. Diagnosis
Gejala Klinik
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak,
disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase
ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai
serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma,
keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas
penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat
(11)
atau tiba-tiba menjadi lebih berat.
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya
wheezing tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar
masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot
pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak
terdengar sama sekali. Batuk hamper selalu ada, bahkan seringkali
diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental dahak,
maka keluhan sesak akan semakin berat.(11)
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai
posisi duduk membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang
kedua lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien dengan Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai
sesak napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan
irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat
(takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak
gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan
penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik.

8
Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas,
karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan
PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut
nadi sampai 110-130 / menit, karena peningkatan konsentrasi
(11)
katekolamin dalam darah akibat respons hipoksemia.

a. Anamnesis(1)
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara
lain:
1) Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam
menjelang dini hari?
2) Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau
batuk setelah terpajan alergen atau polutan?
3) Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond
cold) merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi
berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
4) Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah
melakukan aktifitas atau olah raga?
5) Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah
pemberian obat pelega (bronkodilator)?
6) Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan
musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
7) Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi,
konjunktivitis alergi)?
8) Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara
kandung, saudara sepupu) ada yang menderita asma atau
alergi?
b. Pemeriksaan fisik(1)
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai
didapatkannya kelainan. Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan
penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan
adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan

9
mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat
berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien
dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan
asma dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai derajat
serangan :
Inspeksi
 pasien terlihat gelisah,
 sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga,
retraksi epigastrium, retraksi suprasternal)
 sianosis
Palpasi
 biasanya tidak ditemukan kelainan
 pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
Perkusi
 biasanya tidak ditemukan kelainan
Auskultasi
 ekspirasi memanjang
 mengi,
 suara lendir
c. Pemeriksaan penunjang(1)
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
 Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible,
cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah
melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon

10
aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri
tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi. (11)
 Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada
tidaknya alergi.
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada
asma. Pemeriksaan menggunakan tes tempel(11)
 Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit selain asma.
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal.
Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada
paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan
rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi
bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah
sebagai berikut:
 Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus
akan bertambah.

 Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran


radiolusen akan semakin bertambah.

 Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate


pada paru

 Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal

 Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan


pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru. (11)

F. Klasifikasi Asma(1)

11
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala
malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta
obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu
pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru
dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang
sangat penting dalam penatalaksanaannya.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma
saat serangan (akut).
a) Asma saat tanpa serangan
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis
secara umum pada orang dewasa

b) Asma saat serangan

12
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat
yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan
berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA)
membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala
dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.
Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat.

c) Berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma

13
Dibagi menjadi 3 yaitu asma terkontrol, asma terkontrol
(16)
sebagian (partial), dan asma tak terkontrol

Keterangan :
*) Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di
bawah 5 tahun
**) Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya
apakah benar-benar adekwat
***) Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma
takterkontrol
Sumber : GINA 2006

G. Tatalaksana Asma(12)
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :

14
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

a) Terapi Non Farmakologi


Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma.
Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
 meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara
umum dan pola penyakit asma sendiri)
 meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan
asma sendiri/asma mandiri)
 meningkatkan kepuasan
 meningkatkan rasa percaya diri
 meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
 membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan
dan mengontrol asma
b) Terapi Farmakologi
1. Simpatomimetik
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah
sebagai berikut :
1) Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan
terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan
peningkatan tekanan darah.

15
2) Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi
peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.
3) Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi,
peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan
menstimulasi otot skelet.
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor
penentu utama penggunaan secara klinik dan untuk
memprediksi efek samping yang umum. Obat simpatomimetik
selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang
paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi
asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan
meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih
cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar
terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang
menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara
sistemik. Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan efek
farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai obat
simpatomometik yang digunakan pada terapi asma.

16
Tabel Perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik bronkodilator
simpatomimetik

Dosis dan Cara Penggunaan

2. Xantin
Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan
turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos
bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP,
menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan
menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan stimulan
pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat pada
kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian
mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas
pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan
kronik.

17
 Teofilin. Obat ini tidak tersedia di Puskesmas. Dosis : 16-20
mg/kg BB/hari oral atau IV.
 Aminofilin. Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 200
mg dan injeksi 240 mg/ampul. Dosis intravena : 5-6 mg/kg
BB diberikan pelan-pelan. Dapat diulang 6-8 jam kemudian ,
bila tidak ada perbaikan. Dosis : 3-4 X 3-5 mg/kg BB
3. Antikolinergik
Ipratropium Bromida
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan
cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang
dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat
sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat
antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi
kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung.
Dosis dan Cara Penggunaan
Bentuk Sediaan Dosis
Aerosol 2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Pasien
boleh menggunakan dosis tambahan tetapi tidak
boleh melebihi 12 inhalasi dalam sehari
Larutan Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit dosis
dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali
sehari dengan menggunakan nebulizer oral,
dengan interval pemberian 6-8 jam. Larutan dapat
dicampurkan dalam nebulizer jika digunakan
dalam waktu satu jam.

4. Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid
sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan
glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan
aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat
beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi
mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos

18
secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek
lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal.
Nama obat Bentuk Dosis
Sediaan
Deksametason Tablet Dewasa 0,75 - 9 mg dalam 2 – 4 dosis terbagi
0,024 – 0,34 mg/kg berat badan dalam 4 dosis
Anak
terbagi
Metil Tablet Dewasa 2 – 60 mg dalam 4 dosis terbagi
Prednisolon 0,117 – 1,60 mg/kg berat badan setiap hari
Anak
dalam 4 dosis terbagi
Prednison Tablet Dewasa 5 – 60 mg dalam 2 – 4 dosis terbagi
0,14 – 2 mg/kg berat badan setiap hari dalam 4
Anak
dosis terbagi
Triamsinolon Aerosol Dewasa 2 inhalasi (kira-kira 200 mcg), 3 sampai 4 kali
oral sehari atau 4 inhalasi (400 mcg) dua kali
sehari. Dosis harian maksimum adalah 16
inhalasi (1600 mcg).
Dosis umum adalah 1-2 inhalasi (100-200
Anak
mcg), 3 sampai 4 kali sehari atau 2-4 inhalasi
(200-400 mcg) dua kali sehari. Dosis harian
maksimum adalah 12 inhalasi (1200 mcg).
Beklometason Aerosol Dewasa Pasien yang sebelumnya menjalani terapi
oral asma dengan bronkodilator saja: 40 – 80 mcg
sehari. Pasien yang sebelumnya menjalani
terapi asma dengan kortikosteroid inhalasi : 40
-160 mcg sehari.
Pasien yang sebelumnya menjalani terapi
Anak asma dengan bronkodilator saja : 40 mcg
sehari.
Budesonid Serbuk Dewasa Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma
dan dengan bronkodilator saja : 200 – 400 mcg sehari.
Suspensi Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma
untuk dengan kortikosteroid inhalasi : 200–400 mcg
Inhalasi sehari. Pasien yang sebelumnya menjalani terapi
asma dengan kortikosteroid oral 200 – 400 mcg
sehari.
Anak > 6 Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma
tahun dengan bronkodilator saja : 200 mcg dua kali
sehari. Pasien yang sebelumnya menjalani terapi
asma dengan kortikosteroid inhalasi:200 mcg
sehari.
Flutikason Aerosol Usia > Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma
12 thn dengan bronkodilator saja : 88 mcg dua kali sehari.
Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma
dengan kortikosteroid inhalasi : 88 – 220 mcg
sehari.
Tabel Dosis Golongan Kortikosteroid

19
5. Antagonis Reseptor Leukotrien
Zafirlukast
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4
yang selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat
(SRSA - slow-reacting substances of anaphylaxis). Produksi
leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema
saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan
aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi,
yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
Dosis dan Cara Penggunaan
Dewasa dan anak > 12 tahun : 20 mg, dua kali sehari
Anak 5 – 11 tahun : 10 mg, dua kali sehari.
Oleh karena makanan menurunkan bioavailabilitas
zafirlukast, penggunaannya sekurang-kurangnya satu jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan.
6. Ekspektoran.
Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di
dalam saluran pernafasan menjadi salah satu pemberat
serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan
dikeluarkan. Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang
mengandung antihistamin, sedian yang ada di Puskesmas
adalah Obat Batuk Hitam (OBH), Obat Batuk Putih (OBP),
Glicseril guaiakolat (GG)
Antibiotik Hanya diberikan jika serangan asma
dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi saluran
(10)
pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.

c) Pengobatan profilaksis
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara
pengobatan yang paling rasional, karena sasaran obat-obat
tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan

20
bronkospasme. Pada umumnya pengobatan profilaksis
berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja obat
sebagai berikut :
a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.

Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :


a) Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b) Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c) Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d) Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi
serangan dan meringankan beratnya serangan.

Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :


a. Steroid dalam bentuk aerosol.
b. Disodium Cromolyn.
c. Ketotifen.
d. Tranilast. (15)

21
22
23
24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan
karakteristik sebagai berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis,
cenderung pada malam hari (nocturnal), musiman, adanya faktor
pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan bersifat reversible baik secara
spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau
atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan
dengan imunologi, maka penderita asma dapat mengalami serangan
berulang. Asma dapat diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang,
episodik sering, dan asma persisten. Sedangkan jika terjadi serangan,
dapat diklasifikasikan sebagai asma serangan ringan, sedang, dan
berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma
tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma
ditanggulangi dengan pemberian bronkodilator, baik secara oral,
parenteral, maupun inhalasi.
Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan
menghindari faktor pencetus asma serta penggunaan obat pengendali
(controller). Diharapkan dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka
panjang dapat mengurangi terjadinya serangan asma, sehingga dapat
meningkatkan quality of life dari penderita asma.
B. Saran
1. Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis dan kriteria diagnosis
agar tidak terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosis sehingga
penangannya menjadi lebih tepat dan adekuat.

25
2. Perlunya pemahaman mengenai penatalaksanaan asma pada saat
serangan dan tidak serangan sehingga dapat meningkatkan quality
of life pasien.
3. Perlunya informasi mengenai asma kepada masyarakat

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen
Kesehatan RI ;2009; 5-11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K,
dkk. Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources,
Inc ; 2006.
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma
Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s
Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group
Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena,
Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs,
Colo : American Academy of Allergy : 2007
8. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

9. Medlinux. (2008, Juli 18). Penatalaksanaan Asma Bronkial. Diakses 8


Februari 2011 dari Medicine and Linux:
http://medlinux.blogspot.com/2008/07/penatalaksanaan-asma-
bronkial.html

27
10. Muchid, dkk. (2007, September). Pharmaceutical care untuk penyakit
asma. Diakses 8 Februari 2011 dari Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik Depkes RI:
http://125.160.76.194/bidang/yanmed/farmasi/Pharmaceutical/ASMA.p
df

11. Medicafarma. (2008, Mei 7). Asma Bronkiale. Diakses 8 Februari 2011
dari Medicafarma: http://medicafarma.blogspot.com/2008/05/asma-
bronkiale.html

12. Direktorat Bina farmasi Komunikasidan Klinik, Ditjen Bina kefarmasian


dan alat Kesehatan Pharmaceutical care untuk penyakit asma.
Departemen Kesehatan RI : 2007

28
TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

ASMA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

OLEH :

NUR HIDAYAH, S.Ked (J 500050007)

PEMBIMBING :

dr. RIANA SARI, Sp.P

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2011

29

Вам также может понравиться