Вы находитесь на странице: 1из 4

REFLEKSI KEMERDEKAAN RI KE - 63

Oleh. Hendra Manurung


----------------------------------------------
Peringatan perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus telah menjadi kebiasaan
rutin masyarakat Indonesia, dimana sering kali dimeriahkan dengan berbagai bentuk
kegiatan seremonial dan seolah hanya menjadi bentuk “ibadah kegiatan ritual” bangsa
dan masyarakat Indonesia. Dalam peringatan perayaan proklamasi kemerdekaan tersebut,
selalu diisi berbagai bentuk pesta rakyat, pasar murah, berbagai pertandingan olah raga,
dan pertunjukkan hiburan rakyat, sebagai cara berpikir dan berperilaku masyarakat
modern memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ini semua adalah elaborasi
dan implementasi semangat patriotisme masyarakat Indonesia di abad millenium.
Berbagai bentuk kegiatan tersebut menggambarkan semakin hilangnya substansi
dan esensi semangat patriotisme dan nasionalisme-kebangsaan masyarakat, karena telah
digerogoti “proses modernisasi berkelanjutan yang konsumtif”. Hal ini diakibatkan oleh
pengaruh budaya barat yang modern dan jelas-jelas telah dimiliki negara-negara maju
dunia selama ini. Cara pandang mengejar kenikmatan semata (hedonis) lebih dominan
mewujud dalam perilaku masyarakat dan memengaruhi pola pemikiran masyarakat,
dibandingkan menempatkan “ruh/roh inti” yang sebenarnya dari semangat proklamasi itu
sendiri. Secara sadar maupun tidak sadar, fenomena hedonis ini telah terpola dan
terstruktur, yang kemudian menjadi sebuah bentuk regenerasi pola pikir dan perilaku
yang berjalan secara dinamis di Indonesia selama 63 tahun kemerdekaan negeri kita.
Apabila tidak segera kita sadari, maka akan semakin menjauhkan dan meminggirkan
masyarakat untuk dapat mengenal jati dirinya sendiri dari realitas kehidupan yang
sebenarnya.
Kemudian, pertanyaannya adalah apa yang sebenarnya menggerakkan logika
modernitas yang memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia dewasa ini ?

Konsep Negara-Bangsa (Nation - State)


Bangsa Indonesia tentu saja seharusnya lebih menempatkan dan memosisikan
semangat patriotisme dan kepahlawanan, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal
dalam perilaku kehidupannya sehari-hari. Sejarah peradaban yang berbeda antara negara-
negara Eropa dan Indonesia telah mampu dibentuk oleh para proklamator (the founding
fathers) kemudian mewujud ke dalam sebuah komunitas imajiner, yang disebut
“Nusantara”. Padahal dalam sejarah peradaban di Indonesia (Indonesian Civilization),
sama sekali tidak pernah mengalami revolusi sistem nilai dan transformasi teosentrisme
sebagaimana yang pernah terjadi di benua Eropa, dengan adanya Revolusi Industri,
Sekulerisasi Agama (Abad 16), Revolusi Perancis, dan Revolusi Komunis Uni Soviet
(Revolusi Bolshevich, 1907 & 1917-1918).
Dengan bekal pengetahuan geopolitik seadanya, para pendiri republik kita
mampu, cerdas, dan berani menempatkan subtansi dari konsep negara-bangsa yang
dipadukan oleh budaya (culture) dan akar tradisi ke-Indonesiaan ke dalam satu sistem
nilai dan peradaban yang kemudian menjadi ruh/roh dan semangat pergerakan nasional
pada tahun 1920-an (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1945), yang kemudian menjadi
fondasi Republik Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Akhirnya dengan perjuangan panjang dari para pahlawan nasional kita selama
hampir 350 tahun (1596-1942) dijajah Belanda dan kemudian 3,5 tahun dijajah Jepang
(1941-1945), disertai dengan tidak terhitungnya pengorbanan nyawa, darah, harga diri,
serta pengorbanan material, para pahlawan mampu membuktikan untuk mengantarkan
Indonesia menuju gerbang kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Cita-cita abadi nan luhur para pendiri republik tersebut telah didistorsikan oleh
Orde Baru (Orba) dengan berbagai bentuk hegemoninya, yang tentunya untuk
mempertahankan “status quo” kekuasaan rezim Soeharto beserta kroni-kroninya. Pola-
pola hegemoni yang mewujud dalam Orde Baru di antaranya : pertama, dengan tetap
mempertahankan budaya feodal-paternalistik masyarakat Indonesia, dengan cara
menempatkan mitos tentang proklamasi sebagai satu bagian dari teks sejarah. Hal ini
dilakukan dengan cara mengeramatkan dan menyakralkan angka 17, hari Jumat dan bulan
Ramadhan yang nyata-nyata adalah hari Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagai satu nilai
dari proklamasi tersebut. Padahal, diakui bahwa hal-hal tersebut adalah merupakan
terminologi agama (Islam, Hindu, Budha) serta terminologi Jawa (Kejawen) yang
dibangun oleh Orde Baru yang bebas nilai. Di sisi lain, proklamasi yang dilaksanakan
pada 17 Agustus 1945, lebih didasari karena begitu kuatnya pemahaman dan pengetahuan
geopolitik nasional, regional, dan global yang dimiliki oleh para proklamator kita pada
masa itu.
Kedua, kemampuan dan keberhasilan para proklamator untuk memadukan perbedaan
ruang dan waktu yang notabene berasal dari Eropa dengan Indonesia sehingga
memunculkan konsep negara-bangsa ala Indonesia, ternyata tidak mampu dilanjutkan
oleh pemerintahan Orde Baru. Komunitas imajiner (Nusantara) yang dibayangkan oleh
para proklamator didekontruksi oleh Orde Baru menjadi paham wawasan nusantara yang
kurang sesuai dengan sistem nilai dan kultur tradisional masyarakat Indonesia.
Akibatnya, nasionalisme dan kebangsaan yang dianut oleh Indonesia menjadi
tercerabut dari akar dan basis tradisi masyarakat Indonesia yang sebenarnya. Hal tersebut
didasari karena, pertama, ketidakmampuan pemerintah Orde Baru untuk menempatkan
dan memosisikan diri dalam arus besar pembangunan ekonomi dunia yang terprogram,
berkelanjutan, dan menggurita di akhir tahun 1970-an. Ketidakmampuan yang
mengakibatkan terciptanya kolonialisasi model baru yang diterapkan sendiri oleh
pemerintahan Orde Baru yang otoriter untuk melakukan dominasi dan hegemoni
penguasa secara sewenang-wenang terhadap sebagian besar masyarakat; kedua,
pemahaman nasionalisme dan kebangsaan yang berbeda antara para proklamator yang
notabene adalah penggagas konsep negara-bangsa ala Indonesia (1945-1965) dengan
pemimpin pemerintahan Orde Baru (1966-1998).
Ketiga, perbedaan pemahaman nasionalisme-kebangsaan ini terus dipertahankan
dengan melakukan pelembagaan lembaga-lembaga politik dalam sistem “monarki
absolut” (untuk menyebut republik ala Orde Baru) serta melakukan dikotomi sipil-militer
atau dwifungsi ABRI yang diperkuat dengan dikeluarkannya UU No.20/1982
tentang,”Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara”, dan UU No.2/1988
tentang,”Prajurit ABRI”, sehingga memberikan peran dalam keikutsertaannya mengatur
dan mengelola kehidupan sosial politik negara.

Upaya Reinventing Negara-Bangsa


Peringatan proklamasi kemerdekaan RI ke-63jelas-jelas merupakan sebuah
tonggak sejarah baru bagi pembentukan bangsa Indonesia modern, karena kedaulatan
rakyat harus dijunjung tinggi dengan cara memberikan kebebasan kepada setiap insan
masyarakat untuk dapat menyalurkan aspirasinya kepada pemerintah. Keterlibatan dan
partisipasi langsung masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini jelas
nantinya menggambarkan bagaimana komitmen dan kesiapan masyarakat secara aktif
terhadap proses-proses pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia.
Momentum perayaan kemerdekaan proklamasi kemerdekaan di tahun 2008ini,
harus menjadi awal dari sebuah kesadaran penuh seluruh lapisan komponen masyarakat
untuk lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara menjadi sebuah cita-cita masa
depan secara bersama-sama, serta menjadikan momen tersebut sebagai semangat untuk
perumusan cara pandang (paradigma) baru bagi pemerintahan sekarang dan mendatang.
Sehingga komitmen demokrasi yang dimiliki masyarakat harus dapat direspons dengan
baik oleh para pimpinan nasional yang duduk dalam kekuasaan (SBY-JK). Demikian pula
dengan para pemimpin nasional lainnya seyogyanya memiliki kewajiban moral dan
tanggung jawab sosial dalam melaksanakan mandat politik yang telah diberikan dan
dipercayakan masyarakat melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 dan Pilkada DKI
akhir-akhir ini.
Upaya strategis dan sekaligus merupakan tugas berat bagi pemerintahan SBY-JK
dalam orde reformasi dan duet kepemimpinan Fauzi Bowo-Prijanto sekarang dan
mendatang, adalah bagaimana mengembalikan paham nasionalisme-kebangsaan (nation-
state) yang dapat disesuaikan dengan adanya sistem nilai, kultur, akar tradisi, dan
peradaban masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Hal ini menjadi sebuah
implementasi strategis untuk upaya dan proses pencarian jati diri bangsa Indonesia yang
sebenarnya serta untuk meminimalisasi segala bentuk campur tangan asing (intervensi)
dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara dari pemerintahan dan
masyarakat Indonesia.

Вам также может понравиться