Вы находитесь на странице: 1из 15

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes merupakan salah satu penyakit degeneratif tidak menular yang


kian meningkat jumlahnya (Suyono,2007). Data statistik WHO (2008)
menyatakan bahwa penderita diabetes di Indonesia diperkirakan akan mengalami
peningkatan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000, menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun
2030. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan faktor resiko yaitu obesitas,
kurang aktivitas fisik, merokok, dan hiperkolesterol (Yusharmen,2005). Pada
tahun 2005 diketahui bahwa 1,1 juta jiwa meninggal akibat diabetes dan hampir
80% kematian dijumpai pada negara-negara berkembang terutama di usia 45-64
tahun (WHO,2008).
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan
karakteristik terjadinya hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ
tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Diebetes
mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan 90% dari kasus DM yang ada dan mempunyai
pola familial yang kuat (Mansjoer Arif, 2007).
Angka kejadian dan prevalensi penyakit Diabetes Mellitus (DM), semakin
lama semakin meningkat. Penderita DM mempunyai resiko dua sampai empat kali
lebih tinggi dibanding populasi normal untuk timbulnya penyakit kardiovaskuler
ataupun komplikasi mikro dan makro angiopati (Beckman,2002). Komplikasi
tersebut sangat terkait dengan beratnya keadaan hiperglikemi yang ada dan ikut
bertanggung jawab terhadap peningkatan angka mortalitas yang mencapai 75%
dari kematian akibat DM (Gutterman,2002).
Hiperglikemia dan resistensi insulin merupakan faktor penting dari
patomekanisme DM. Keadaan hiperglikemia pada DM akan berpengaruh pada
peningkatan pembentukan AGEs dan ROS. Sedangkan peningkatan produksi
ROS akan menginduksi aktivasi NF-κB akibat pelepasan IκB. Resistensi insulin
pada DM berpengaruh pada peningkatan kadar leptin dan penurunan adiponektin
serum. Adanya Ob-R pada sel endothel menyebabkan induksi tidak langsung
disfungsi endothel melalui aktivasi NF-κB akibat stimulasi MAPK. Peningkatan
akivasi NF-κB baik akibat induksi leptin maupun ROS akan menyebabkan
meningkatnya respon proinflamasi dan adhesion molecules yang bertindak dalam
patomekanisme terjadinya komplikasi vaskuler pada DMT2 (Shutenko,2009).
Terapi akupuntur merupakan salah satu bagian dari pengobatan
komplementer dan alternative telah dipercaya secara ilmiah sebagai komponen
yang berguna pada praktek klinik di asia timur. Pada prakteknya, terapi akupuntur
digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan mempertahankan kesehatan. WHO
sudah mendata lebih dari 40 indikasi pengobatan untuk akupuntur dan National
Institutes of Health telah menerima validitas dari pengobatan akupuntur.
Penelitian yang dilakukah Sam-Woong Rho bahwa stimulasi akupuntur
berpengaruh pada aktivitas seluler, ekspresi gen, dan aktivitas metabolisme. Studi
fMRI lain pada hewan juga menunjukkan bahwa akupuntur dapat secara langsung
meningkatkan aktivitas otak, khususnya pada daerah hipotalamus (HT)
(Culliton,2007).
2

Titik ST36 adalah titik akupuntur yang disebut Zusanli. Titik ini terdapat
di kaki di bagian depan dan sedikit di bawah lutut yang biasa disebut Stomach
Meridian Point #36 atau ST36. Pengobatan akupuntur pada titik ini diketahui
memperbaiki gangguan pencernaan, anemia, kelelahan, dan kelemahan. Studi
Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) menunjukkan bahwa akupuntur
pada titik ST36 yang merupakan titik akupuntur utama pada kaki memodulasi
aktivitas neural dari CNS manusia (Cho ZH, 2008).
"All things are poison and nothing is without poison, only the dose permits
something not to be poisonous" Paracelsus (1493-1541). Pada penemuan terbaru
Bee venom mengandung Melittin. Melittin sudah di buktikan dapat mensupresi
NF-κB pada proliferasi vascular smooth muscle cell (VSCM) (S.S. Kang, 2002).
Oleh karena itu, tujuan dari gagasan tertulis ini adalah untuk mengetahui
potensi dan penerapan kombinasi stimulasi akupuntur dengan Bee Venom pada
titik ST36 sebagai penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner pada penderita DM
Tipe 2.

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui bahwa kombinasi akupuntur dengan bee venom pada titik ST36
dapat menurunkan aktivasi NF-κB, ROS, dan MAPK pada penderita Diabtes
Mellitus Tipe 2.
2. Mengetahui bahwa kombinasi Akupuntur dan injeksi toksin Bee Venom pada
titik ST36 dapat mencegah komplikasi vaskuler pada penderita Diabetes
Mellitus Tipe 2.
3. Mengkaji aplikasi pengolahan,dosis konsumsi, cara dan batasan penggunaan
kombinasi akupuntur dengan Bee Venom pada titik ST36 untuk mencegah
komplikasi vaskuler pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.

C. Manfaat Penulisan

1. Dapat dijadikan sebagai dasar teori untuk menambah khasanah ilmu


pengetahuan dalam bidang kesehatan tentang kegunaan akupuntur dan toksin
Bee Venom dalam mencegah komplikasi vaskuler DM tipe 2.
2. Dapat dijadikan dasar ilmiah untuk mengungkapkan bukti ilmiah khasiat
akupuntur dalam mengobati berbagai penyakit.
3. Dapat menjadi dasar dalam pengembangan pengobatan tradisional dengan
penelitian ilmiah sebagai alternatif dari pengobatan konvensional.

GAGASAN

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi, Etiologi, dan klasifikasi


Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat, di mana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga
menyebabkan keadaan hiperglikemia. Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan
3

hiperglikemia (peningkatan glukosa darah) kronik disertai berbagai kelainan


metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran
basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer Arif, 2007).
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus bermacam-macam
dan akhirnya lebih mengarah pada insufisiensi insulin. Tetapi determinan genetik
juga memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes mellitus
(Price, 2006).
Menurut anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI),
sesuai dengan anjuran American Diabetes Association (ADA) 1997, DM bisa
diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes
dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (Mansjoer Arif, 2007).

2. Patogenesis Diabetes Mellitus


Keadaan hiperglikemia akan menyebabkan peningkatan produksi radikal
bebas sehingga akan menyebabkan disfungsi endothel. Efek hiperglikemia pada
sel endothel dapat melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) produksi reactive
oxigen intermediate, (2) aktivasi langsung pada protein kinase C, (3) aktivasi jalur
aldose reductase yang menyebabkan akumulasi sorbitol dan menipisnya myo-
inositol, (4) glikosidasi nonenzimatik pada long-live macromolecule. Oleh karena
glikooksidasi protein dan lipid yang terjadi pada diabetes melitus adalah
irreversible, maka hal ini menyebabkan disfungsi vaskuler jangkan panjnag. Pada
awalnya, pemaparan gugus asam amino bebas terhadap gula tereduksi (misal,
glukosa) menyebabkan pembentukan early glycation products, Schiff bases dan
Amadori products yang keduanya bersifat reversible. Oksidasi lebih lanjut kedua
produk tersebut membentuk AGEs (Advanced Glycosilated End producs) yang
bersifat irreversible. AGEs berperan pada patofisiologi sel endothel karena dapat
memodifikasi protein sehingga tidak berfungsi normal atau merusak komponen
sel, jika AGEs berikatan dengan reseptor yang dikenali AGEs termasuk RAGE
(receptor AGE) dan macrophage scavenging receptor (Van Acker, 2005).

3. Komplikasi Diabetes Mellitus


Bila tidak dikelola dengan baik, DM akan meneyababkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati.
Hiperglisolia kronik yang terjadi pada DM akan mengubah homeostasis
biokimiawi dari sel yang meliputi beberapa jalur yaitu reduktase aldosteron, jalur
stes oksidatif sitoplasmik, jalur peleotropik protein kinase C, dan terbentuknya
spesies glikosilasi lanjut intaselular (Guyton dan Hall, 2004).
Komplikasi dari DM antara lain: 1) diabetes retinopati, pada diabetes
retinopati proliferatif biasanya terjadi kehilangan sel perisit dan terjadi
pembentukan mikroaneurisma. Disamping itu juga terjadi hambatan pada aliran
pembuluh darah dan penyumbatan kapiler yang menyebabkan kelainan
mikrovaskuler berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Diabetes retinopati
adalah faktor penting penyebab kebutaan pada usia kerja, prevalensi terjadinya
retinopati pada pasien diabetes berkisar 60%; 2) diabetes nefropati, manifestasi
klinis paling awal dari diabetes nefropati yang baru terjadi adalah perkembangan
dari mikroalbuminuria yang bersifat persisten. Diabetes nefropati adalah faktor
penyebab ESRD dan telah dilaporkan sebagai penyabab tingginya angka
4

mortalitas dan morbiditas pada pasien diabetes (Guyton dan Hall, 2004). 3)
aterosklerosis dan CHD, aterosklerosis akan bermanifestasi pada terjadinya CHD.
Prevalensi terjadinya CHD pada DMT2 berkisar 70% dan merupakan penyebab
kematian pada DMT2. Postpandrial hiperglikemia dapat menginduksi
pembentukan AGEs dan ROS yang berperan pada terjadinya kelainan
kardiovaskuler; 4) diabetes neuropati, Neuropati diabetik berhubungan denagn
faktor risiko dari komplikasi vaskuler lain, seperti buruknnya kontrol
metabolisme, dislipidemia, hipertensi, BMI, merokok, mikroalbuminuria, dan
retionopati; 5) penyakit pembuluh darah perifer seperti kaki diabetes dan ulkus
diabetes (Guyton dan Hall, 2004).

4. Resistensi Insulin DMT2


Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino yang
dihasilkan oleh sel β pankreas. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin
rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis, glukoneogenesis,
dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa di hepar (Guyton dan Hall, 2004).
Resistensi insulin dimulai sebelum onset DMT2 muncul. Kondisi itu terjadi pada
saat gangguan toleransi glukosa muncul sebagai akibat kerusakan sel beta dan
defisiensi insulin. Beberapa faktor berhubungan dengan perkembangan resistensi
insulin pada individu dengan ganguan toleransi glukosa dan DMT2, antara lain
genetik, pengaruh lingkungan, obesitas, dan kondisi lain yang terkait dengan
inflamasi kronis atau infeksi.
Terjadinya resistensi insulin pada DMT2 juga menyebabkan peningkatan
leptin dan menurunkan adiponektin serum. Leptin merupakan hormon yang
diproduksi oleh jaringan adiposity dan berfungsi dalam regulasi intake makanan
melalui inhibisi neuropeptida Y dan meningkatkan metabolisme basal terutama
metabolisme lamak (Guyton dan Hall, 2004). Ob-R diekspresikan pada sel
endothel, peningkatan produksi leptin pada DMT2 akan meningkatkan pula
ikatan leptin dengan Ob-R. Leptin dapat menginduksi secara tidak langsung
disfungsi endothel melalui NF-κB akibat stimulasi MAPK. MAPK selain
menginduksi NF-κB juga menyebabkan peningkatan mitokondrial ROS akibat
stres oksidatif yang menghasilkan oksigen radikal (Guyton dan Hall, 2004).

B. Solusi yang Pernah Ditawarkan atau Diterapkan Sebelumnya

Kerangka utama penatalaksanaan DM yaitu perencanan makan, latihan


jasmani, obat hipoglikemik dan penyuluhan :
1. Perencanaan makan (meal planning)
Pada konsensus PERKENI telah ditetapkan bahwa standar yang
dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang, berupa karbohidrat
(60% - 70%), protein (10%-15%), dan lemak (20%-25%). Jumlah kalori
disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan
jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Dalam perencanaan makan ini,
dibutuhkan kedisiplinan dari penderita. Tanpa adanya kedisiplinan, penderita
akan kesulitan dalam menangani penyakitnya.(Suyono, 2007).
2. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3 – 4 kali tiap minggu selama ± 0,5
jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
5

Endurance training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki,
jogging, lari, renang, bersepeda, dan mendayung(Suyono, 2007).
3. Obat hipoglikemik
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang
teratur tetapi kadar glukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan
pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik. Walaupun mudah dipakai, penggunaan
obat ini harus sesuai dosis atau berdasarkan petunjuk dokter, bila dosis terlalu
rendah komplikasi kronis akan muncul lebih dini, sedangkan dosis yang berlebih
atau cara pemakaian yang salah dapat menimbulkan hipoglikemia. (Suyono,
2007).
a. Obat hipoglikemik oral
1) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara menstimulasi
pelapasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi
insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa.. Klorpropamid berbahaya untuk insufisiensi renal dan
orang tua karena resiko hipoglikemia yang berkepanjangan,
demikian juga glibenklamid. (Suyono, 2007).
2) Biguanid
Biguanid menurunkan kadar glukosa darah. Preparat yang ada dan
aman adalah metformin. (Suyono, 2007).
3) Inhibitor α glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α
glukosidase untuk menurunkan penyerapan glukosa(Suyono, 2007).
b. Insulin
Preparat insulin yang tersedia, antara lain :
1) Kerja pendek (Actrapid Human 40/humulin, Actrapid Human 100)
2) Kerja sedang (Monotard Human 100, Insulatard, NPH)
3) Kerja panjang (PZI)
4) Campuran kerja pendek dan sedang/panjang seperti Mixtard
(Suyono, 2007)
Obat- obat hipoglikemik ini memiliki beberapa efek samping, contohnya
seperti efek samping pada saluran pencernaan yaitu rasa tak nyaman di perut,
diare, rasa seperti logam di lidah, dan kembung.

C. Potensi Kombinasi Stimulasi Akupuntur dengan Bee Venom pada Titik


Akupuntur ST36 sebagai Pendekatan Preventif Komplikasi Vaskuler
pada DMT2

1. Akupuntur
Terapi akupuntur merupakan salah satu bagian dari pengobatan
komplementer dan alternative telah dipercaya secara ilmiah sebagai komponen
yang berguna pada praktek klinik di asia timur. Berdasarkan TCM (Traditional
Chinese Medicine), energi vital yang disebut aliran Qi melalui meridian tubuh.
Ketika aliran energy (Qi) mengalami obstruksi pada meridian, nyeri atau gejala
akan muncul. Tujuan dari pengobatan akupuntur adalah membuka kembali
meridian dan mengembalikan aliran dari qi (Culliton BJ, 2007). Pada prakteknya,
terapi akupuntur digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan mempertahankan
6

kesehatan. WHO sudah mendata lebih dari 40 indikasi pengobatan untuk


akupuntur dan National Institutes of Health telah menerima validitas dari
pengobatan akupuntur (Culliton BJ, 2007).
Teknik utama akupuntur melibatkan penetrasi kulit dari jarum padat tipis
yang ditusukkan secara manual atau stimulasi elektrik. Studi dari akupuntur telah
melaporkan jalur sinyal transmisi dari akupuntur pada saraf, efek melalui reflex
spinalis, dan reaksi pada otak (Cho ZH, 2008). Disamping itu, mekanisme neural
dari pengurangan nyeri telah jelas, anestesi dengan akupuntur melalui opioid
endogen, seperti endorphin dan enkephalin (Chung SH, 2005).
Peningkatan aliran darah dari target organ dengan pengobatan akupuntur
merupakan alasan utama dari efektifitas akupuntur (Niimi, 2005). Banyak proses
seluler dan fisiologi diregulasi pada level transkripsi dari ekspresi gen. Identifikasi
gen yang secara spesifik memodulasi selama proses akupuntur akan menjadi
langkah awal untuk menjelaskan mekanisme dasar dari teknik ini (Chung SH,
2005). Mekanisme yang mungkin dari aksi akupuntur antara lain, aktivasi jalur
system saraf otonom, sentral, dan perifer, pelepasan banyak neurochemichal, dan
control inhibisi racun (Chung SH, 2005).
Studi eksperimental menunjukkan bahwa akupuntur memiliki efek
sirkulasi dan biokimiawi dengan pelepasan transmitter dan peptide dari otak dan
spinal cord. Secara fisiologi, akupuntur menstimulasi saraf aferen dari kulit dan
otot (Chung SH, 2005). Pada tahun 1996, FDA mereklasifikasi jarum akupuntur
dari alat medis eksperimental menjadi alat yang sejenis scalpel operasi, dan jarum
suntik hipodermik. Baru-baru ini, consensus panel National Institutes of Health
(NIH) menyatakan bahwa jarum akupuntur sebagai pengobatan efektif untuk
nyeri gigi pascaoperasi dan pengobatan untuk nausea dan vomit yang disebabkan
oleh anestesi, kemoterapi, dan kehamilan. Pertemuan itu menyimpulkan bahwa
penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk membuktikan area tambahan dimana
intervensi akupuntur berguna (Gongwang L, 2004).

a) Ketidakseimbangan Oksidan dan Antioksidan Akibat Hiperglikemi pada


DMT2
Berdasarkan data yang terkumpul diketahui bahwa pada DMT2 resistensi
insulin merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia.
Selain itu, resistensi insulin juga menimbulkan peningkatan kadar leptin pada
plasma. Adanya Ob-R pada endothel pembuluh darah, secara langsung akan
meningkatkan ikatan antara leptin dan Ob-R yang mampu mengaktivasi MAPK.
Dalam proses selanjunya aktivasi ini akan menyebabkan peningkatan ROS di
mitokondria.
Keadaan hiperglikemia juga menginduksi pembentukan ROS di mitokondria
dan memicu oksidasi glukosa. Terjadinya peningkatan glikosilasi protein pada
DMT2 bersama dengan oksidasi glukosa secara bersama-sama akan menyebabkan
terjadinya reaksi Maillard (glication). Dalam reaksi ini glukosa dan protein akan
saling melekat tanpa bantuan enzimatik dan menghasilkan amodory product (1-
amino, 1-deoksi, 2-ketose) sebagai produk utama pembentuk AGEs. Menurunnya
konsentrasi glukosa akan melepaskan ikatan glukosa dari asam amino yang
diikatnya. Sedangkan tingginya konsentrasi glukosa akan memberikan efek
sebaliknya. AGEs merupakan produk yang bersifat irreversibel. Produksi AGEs
7

yang meningkat pada DMT2 meningkatkan risiko terjadinya komplikasi pada


DMT2.
Karakteristik dari AGEs adalah kemampuannya membentuk ikatan kovalen
antar protein, yang berakibat pada berubahnya struktur dan fungsi protein, seperti
pada matriks seluler, membran dasar, dan komponen dinding pembuluh darah.
Disamping itu, AGEs memiliki interaksi dengan cell-surface AGE-binding
receptors yang berakibat pada aktivasi molekul – molekul proinflamasi dan
radikal bebas. AGEs selanjunya akan memfasilitasi pembentukan ROS melalui
perubahan struktural dan fungsi protein dari membran sel maupun pembuluh
darah. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan saling mempengaruhi antara
produk glikasi lanjut dengan pembentukan ROS, begitu pula sebaliknya.
Glukosa yang tinggi dalam plasma akan direduksi oleh aldose reductase
(AR) menjadi sorbitol. Sorbitol selanjutnya dioksidasi menjadi fruktosa dengan
mereduksi NAD+ menjadi NADH oleh sorbitol dehidrogenase (SDH).
Peningkatan aktivasi jalur ini menyebabkan meningkatnya turn over NADPH,
diikuti dengan menurunnya rasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP+. Hal ini
sangat penting karena NADPH sitosoloik juga berperan sebagai defense
antioksidan. Penurunan availability dari NADPH sitosolik berpengaruh pada
penurunan aktivitas glutathione reductase (GRD). Akibatnya terjadi kompetisi
antara AR dengan GRD yang memicu deplesi GSH, sehingga menurunkan
aktivitas antioksidan endogen dan meningkatkan produksi okigen radikal.
Resistensi insulin maupun keadaan hiperglikemia pada DMT2 pada
dasarnya bersama-sama meningkatkan produksi ROS. ROS yang berlebih dalam
tubuh menimbulkan ketidakseimbangan antara oksidan den pertahanan
antioksidan endogen. Akibatnya ROS akan menyerang membran lipid, protein
maupun DNA yang mengarah pada kerusakan sel dan jaringan di dalam tubuh.

b) Komplikasi Vaskuler Sebagai Akibat Ketidakseimbangan Oksidan dan


Antioksidan pada DMT2
Efek nagatif dari ROS tidak berakhir sampai disitu, ROS bersama-sama
dengan MAPK juga berperan sebagai stimulus pengaktivasi IKK yang memicu
fosforilasi subunit IκB dari kompleks NF-κB p50/p65 heterodimer melalui
ubiquitin-proteosome system. Akibatnya, terjadi degradasi subunit IκB oleh
proteosome dan terjadi aktivasi NF-κB. NF-κB yang aktif dengan mudah akan
melakukan translokasi dari sitoplasma ke nukleus. Di dalam nukleus NF-κB akan
berikatan dengan κB-binding site pada promoter gen target dan menginduksi
terjadinya transkripsi menjadi mRNA yang selanjutnya meningkatkan ekspresi
faktor-faktor inflamasi dan molekul adhesi, seperti TNF-α, TNF- β, ICAM-1,
VCAM, MCP-1, dll.
Peningkatan regulasi terhadap faktor inflamasi dan molekul adhesi akibat
peningkatan aktivitas NF-κB berhubungan dengan disfungsi endothel dan proses
terjadinya inflamasi. Kerusakan endothel menyababkan terjadinya aterosklerosis.
Ini disebabakan karena endothel yang terlepas dalam sirkulasi akan bergabung
dengan platelet dan makrofag akibat stimulasi molekul adhesi dan memicu
terjadinya trombosis. Keadaan yang demikian meningkatkan risiko terjadinya
CHD sebagai komplikasi utama penyebab kematian pada DMT2.
c) Peningkatan Antioksidan dan Penurunan Radikal Bebas Akibat Akupuntur
pada Titik ST36
8

Studi melalui functional magnetic resonance imaging (fMRI)


menunjukkan bahwa akupuntur pada ST36 mampu mengubah aktivitas transkripsi
dan memodulasi aktivitas neural dari CNS manusia. Studi fMRI pada hewan juga
menunjukkan bahwa akupuntur secara langsung meningkatkan aktivitas otak,
terutama pada bagian hipotalamus. Penemuan ini menunjukkan bahwa akupuntur
memodulasi berbagai fungsi otak pada hipotalamus, yang mana hipotalamus
merupakan pusat control nyeri desenden dan modulasi endokrin terhadap
imunitas.
Penelitian Liu et al dengan pengobatan akupuntur terhadap otak tikus
menunjukkan bahwa stimulasi akupuntur meningkatkan aktivitas superoxide
dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase (GPx), serta menurunkan produksi
Reactive Oxygen Species (ROS) pada hippocampus. Peningkatan aktivitas SOD
pada HT sesuai dengan peningkatan regulasi transkripsi gen SOD1. Untuk
memastikan bahwa stimulasi akupuntur benar-benar menurunkan produksi ROS
Liu et al mengukur ROS pada LV. Ternyata ROS mengalami penurunan secara
signifikan dengan stimulasi akupuntur pada titik ST36, yaitu sebesar 28,2%
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun ternyata stimulasi akupuntur di
luar titik ST36 tidak mengakibatkan penurunan ROS. Hasil penelitian itu
menunjukkan bahwa stimulasi akupuntur pada titik sembarang di tubuh tidak
mengakibatkan efek yang sama dibandingkan stimulasi pada titik spesifik ST36.

d) Perubahan Mikrosirkulasi Sebagai Efek Akupuntur


Stimulasi akupuntur dilaporkan mampu meningkatkan mikrosirkulasi.
Stimulasi akupuntur secara langsung mampu meningkatkan diameter dan
kecepatan aliran darah pada arteriol perifer yang diakibatkan oleh stimulasi fisik,
sehingga dapat berperan sebagai pengobatan suportif untuk penyakit yang
berkaitan dengan rendahnya aliran darah perifer.

Gambar 1. Perubahan diameter arteriol (Makiko K, 2009).


Pada gambar 4.3 diameter arteriol meningkat secarasignifikan pada
akupuntur, yaitu 131%±14%, Diameter arteriol mencapai nilai maksimal pada 20
menit setelah stimulasi akupuntur berakhir.
9

Gambar 2. Perubahan kecepatan aliran darah (Makiko K, 2009)

Pada gambar 4.4 kecepatan aliran darah meningkat secara signifikan


menjadi 131%±14% dan 220%±66% pada akupuntur. Kecepatan aliran darah
memperlihatkan kecenderungan perubahan yang sama seperti perubahan diameter
arteriol. Studi ini menunjukkan bahwa aliran darah arteriol mulai meningkat
setelah 10 menit akupuntur dimulai, meningkat secara maksimal setelah 20 menit
akupuntur berakhir, dan Efek akupuntur bertahan 40 – 50 menit setelah stimulasi
berakhir.
Sudah banyak penelitian yang membuktikan efek akupuntur pada
perubahan aliran dan pembuluh darah, antara lain: Boutouyrie et al
memperlihatkan bahwa stimulasi akupuntur menyebabkan vasodilatasi dari arteri
radialis. Hsieh et al menemukan bahwa aliran darah dari hipotalamus, midbrain,
dan cerebellum meningkat setelah stimulasi akupuntur. Uchida et al. juga
menunjukan bahwa stimulasi akupuntur meningkatkan aliran darah serebrum yang
diukur dengan menggunakan flowmeter laser Doppler pada tikus yang dianestesi
(Uchida S, 2005).
Loaize et al melaporkan bahwa diameter arteriol pada kapsul sendi lutut
meningkat sekitar 25% setelah stimulasi akupuntur pada otot quadriceps tikus
yang dianestesi Untuk memeriksan mekanisme dari vasodilatasi, dia mempelajari
efek NO yang merupakan vasodilator yang dilepaskan dari sel endotel dan saraf.
Ternyata vasodilatasi tidak terjadi setelah pmberian inhibitor NO, yaitu L-NAME
(N-nitro-l-arginine). Penelitian ini mengindikasikan Nitric Oxide berperan pada
vasodilatasi yang disebabkan oleh stimulasi akupuntur. Tsuchiya et al
mempelajari efek akupuntur terhadap kadar NO. Kadar NO pada plasma dari
lengan yang diberi akupuntur secara signifikan meningkat pada menit ke-5 dan
ke-60 setalah akupuntur. Aliran darah dari Jaringan subkutan palmar pada lengan
yang mengalami akupuntur juga meningkat. Berbagai bukti penelitian tersebut
merupakan indikasi yang kuat bahwa akupuntur mampu memperbaiki fungsi
vaskuler.

2. Bee Venom
Pengobatan bee venom (BV) sebagai suatu pengobatan oriental sudah
digunakan bertahun-tahun lalu untuk mengobati penyakit inflamasi seperti
rheumatoid arthritis (RA), suatu penyakit autoimun yang belum diketahui
penyebabnya. Pada penelitian yang dilakukan baru-baru ini, kadar sitokin
proinflamasi TNF-α memiliki kadar yang lebih rendah pada kelompok BV
10

dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pengobatan


dengan BV bisa digunakan untuk menghambat penyakit jantung koroner
(Lariviere WR, 2002). Pada beberapa tahun sebelumnya, dilaporkan bahwa injeksi
suatu larutan yang mengandung BV pada kaki tikus, menunjukkan ekspresi yang
khas persistent spontaneous nociception (PSN) dan hipersensitivitas inflamasi
yang mencerminkan status nyeri patologik (Lariviere WR, 2002) .
Capsaicin-sensitive primary afferents (CSPA) menunjukkan peranannya
sebagai BV dalam menginduksi PSN yang berlangsung lebih dari 1 jam. sebaik
hypersensitivity mekanis atau termal yang mana berlangsung 3-4 hari. Meskipun
begitu BV juga dipercaya memproduksi anti nyeri ketika di tusukkan ke poin
akupuntur atau bagian yang sakit, baik di hewan atau studi klinis.
BV tersusun dari banyak agen kimia diantaranya polipeptida (melittin,
apamin, mast cell degranulating peptide (MCDP), etc.), enzim-enzim
(hyaluronidase, phospholipase A2 (PLA2), etc.), amin (histamine, dopamine, etc.)
dan lainnya (Tu AT, 2007).

a) Mekanisme Bee Venom dalam Mensupresi NF-κB pada DMT2


NF-κB memicu transkripsi gen yang berhubungan dengan aterosklerosis
(VCAM-1, MCP-1, Tumor Necrosis Factor (TNF), Metaloproteinase Matriks
(MMP) -9 dan faktor jaringan procoagulant). Serangkaian kejadian ini
menyebabkan akumulasi makrofag pada dinding arteri yang yang kemudian akan
membentuk foam cell. Di sisi lain NF-κB juga meningkatakan enzim-enzim
inflamasi yang juga berperan pada proses pembentukan plak aterosklerosis.
Bee venom mengandung zat yang bernama melittin. Melittin sudah di
buktikan dapat mensupresi NF-κB pada proliferasi vascular smooth muscle cell
(VSCM). Dengan adanya supresi NF-κB maka secara otomatis ekspresi molekul
adhesi dan ekspresi enzim inflamasi pun akan terhambat. Dengan demikian akan
mencegah terjadinya komplikasi vaskuler pada DMT2.

3. Mekanisme Kerja Akupuntur dengan Bee Venom pada Titik ST36 (Zusanli)
dalam Mencegah Komplikas Vaskuler pada DMT2.
Pada DMT2 yang menjadi fokus permasalahan dalam terjadinya
komplikasi vaskuler adalah ROS. ROS bekerja sebagai sebagai perusak membran
lipid sel, protein, maupun DNA. Diketahui bahwa, kombinasi akupuntur dan bee
venom pada titik akupuntur ST36 mampu mengakibatkan perubahan ekspresi gen
di hipotalamus dan perubahan aktivitas enzim antioksidatif. Titik ST36 atau titik
Zusanli terletak pada 3 inci di bawah tepi inferior patella dan 1 inci disebelah
lateral anterior crest dari tibia. Bee venom akupuntur pada titik ST36 mampu
meningkatkan aktivitas superoxide dismutase, Glutatione Peroxidase, dan
menurunkan ROS. Apabila induksi akupuntur dengan bee venom telah
menghambat peningkatan ROS pada DMT2, maka diduga bahwa terjadinya
kerusakan protein dan DNA dapat dihambat. Tidak hanya itu, dengan
dihambatnya ROS melalui bee venom akupuntur, pembentukan AGEs juga akan
dapat ditekan sehingga dapat menurunkan amplifikasi pembentukan ROS oleh
AGEs.
Adanya hambatan terhadap ROS oleh akupuntur menyebabkan turunya
aktivitas ROS dalam menstimulasi IKK, dengan demikian aktivasi NF-κB dapat
ditekan. Bee venom akupuntur tidak hanya mampu mengahambat ROS, namun
11

juga mampu menghambat aktivitas MAPK dan NF-κB secara langsung, sehingga
kerja akupuntur menjadi lebih kompleks yaitu pada radikal bebas yang terbentuk
pada DMT2 dan secara genomik. Dengan hambatan pada ROS, MAPK, dan NF-
κB maka aktivitas NF-κB pada gen target akan mengalami down-regulation
dalam menghasilkan enzim inflamasi, molekul adhesi, sitokin, maupun kemokin
yang berperan terhadap disfungsi endothel dan komplikasi vaskuler.
 Leptin
plasma
BEE VENOM + AKUPUNTUR
INSULI

OB-R Hiperglikemia
INSULIN
RESEPTO

IRS 
MAPK

NFκB RAG
IKK  Polyol pathway

 antioxidant
 Glucose autoxidation
IκB defend  Protein glycosylation

Schiff Base

 ROS
κB-binding site
Amadory products

 ekspresi molekul adhesi AG


 ekspresi inflamatory enzymes

Komplikasi
Gambar
Vaskuler 4.6 Skema usulan analisis potensi bee venom akupuntur

Gambar 3. Skema Usulan Analisis Potensi Bee Venom Akupuntur sebagai


Preventif Komplikasi Vaskuler pada DMT2 Melalui Kajian Biomolekuler
12

D. Pihak-Pihak yang Dipertimbangkan dapat Membantu Implementasi


Gagasan

Untuk mengembangkan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee Venom


sebagai salah satu pilihan terapi preventif terhadap komplikasi vaskuler pada
DMT2, diperlukan kerjasama dari berbagai macam pihak, diantaranya yaitu :

1. Pengusaha Lebah, yaitu pihak yang nantinya dapat mempermudah untuk


mendapatkan Bee Venom
2. Penerapi akupuntur, yaitu pihak yang berperan dalam mengaplikasikan terapi
kombinasi akupuntur dengan Bee Venom
3. Tenaga Kesehatan, yang nantinya berperan penting pada sosialisasi
penggunaan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee Venom sebagai terapi
preventif terhadap komplikasi vaskuler pada DMT2.
4. Pasien, merupakan mata rantai terakhir, karena pada akhirnya pasien yang
menjadi target utama penggunaan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee
venom, maka diperlukan kerjasama dari pasien DMT2 itu sendiri, sehingga
pasien mau melakukan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee Venom.

E. Teknik Implementasi Penggunaan Akupuntur dengan Bee Venom pada


Titik Akupuntur ST36 sebagai Preventif Komplikasi Vaskuler pada
Diabetes Mellitus Tipe II

1. Pengolahan Bee Venom


Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melepaskan Bee Venom
dari lebah. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melepaskan Bee Venom, salah
satunya dengan menyetrum lebah. Hal ini dimaksudkan agar lebah merasa
terancam dan selanjutnya lebah akan mengeluarkan Bee Venom. Setelah lebah
mengeluarkan Bee Venom, selanjutnya adalah tahap pengolahan Bee Venom.
Sekitar 200 mg Bee Venom mentah dilarutkan pada 0,01 M larutan asam asetat,
lalu dilakukan sentrifigasi pada 10.000 r.p.m. selama 5 menit pada suhu 4 °C.
Endapan dari sentrifugasi tidak digunakan, sedangkan yang dimanfaatkan adalah
supernatant.

2. Dosis Penggunaan Kombinasi Akupuntur dengan Bee Venom


Dosis kombinasi Akupuntur dengan Bee Venom mengacu pada dosis
pada penelitian Y-N Chen (2006). Dosis sengatan pada dasarnya selain
bergantung pada ketahanan tubuh pasien terhadap Bee Venom, juga tergantung
kondisi dan keparahan dari DMT2 yang diderita. Secara umum, dosis yang
dibutuhkan adalah 0,1 ml Bee Venom yang ditusukkan dengan metode akupuntur
pada titik ST36 yang terdapat pada 3 inci di bawah tepi inferior patella dan 1 inci
disebelah lateral anterior crest dari tibia. Hal ini dilakukan 2 kali seminggu,
dengan total 5 kali.

3. Cara Penggunaan Kombinasi Akupuntur dengan Bee Venom


Jarum akupuntur yang akan digunakan berbeda dengan jarum akupuntur
yang biasa dipakai. Jarum akupuntur ini dimodifikasi sehingga pada jarum ini di
dapatkan lubang khusus yang ditujukan sebagai tempat Bee Venom, sehingga Bee
13

Venom bisa masuk ke dalam kulit bersamaan dengan ketika jarum ditusukkan ke
kulit pasien. Sebelum jarum akupuntur ditusukkan, sebaiknya diberikan antiseptik
di permukaan kulit pasien yang akan di tusuk. Hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya infeksi pada pasien.

4. Batasan Penggunaan Kombinasi Akupuntur dengan Bee Venom


Terdapat kondisi-kondisi tertentu di mana terapi kombinasi akupuntur dan
Bee Venom tidak dapat dilakukan, yaitu pada pasien yang mempunyai riwayat
hiperalergi atau menderita komplikasi penyakit jantung kronis dan lever. Selain
itu, pasien yang berusia di bawah 8 tahun sebaiknya tidak melakukan terapi
kombinasi ini, hal ini dilakukan untuk menghindari pasien yang belum tahan
terhadap sengatan lebah. Setelah diberi terapi, pasien dianjurkan untuk tidak
minum obat-obatan apotek pada hari itu.

KESIMPULAN

Melalui metode studi pustaka dan pengumpulan data, maka didapatkan


bahwa kombinasi akupuntur dengan Bee Venom di titik ST36 dapat digunakan
untuk mencegah komplikasi vaskuler pada DMT2. Pada DM, hiperglikemia dan
resistensi insulin merupakan faktor penting dari patomekanisme. Keadaan
hiperglikemia pada DM akan berpengaruh pada peningkatan pembentukan AGEs
dan ROS. Sedangkan peningkatan produksi ROS akan menginduksi aktivasi NF-
κB. Resistensi insulin pada DM berpengaruh pada disfungsi endothel melalui
aktivasi NF-κB. Peningkatan akivasi NF-κB akan menyebabkan meningkatnya
respon proinflamasi dan adhesion molecules yang bertindak dalam
patomekanisme terjadinya komplikasi vaskuler pada DMT2.
Pada DMT2 yang menjadi fokus permasalahan dalam terjadinya
komplikasi vaskuler adalah ROS. Diketahui bahwa, kombinasi akupuntur dan bee
venom pada titik akupuntur ST36 mampu mengakibatkan perubahan ekspresi gen
di hipotalamus dan perubahan aktivitas enzim antioksidatif. Bee venom akupuntur
pada titik ST36 mampu meningkatkan aktivitas superoxide dismutase, Glutatione
Peroxidase, dan menurunkan ROS. Apabila induksi akupuntur dengan bee venom
telah menghambat peningkatan ROS pada DMT2, maka diduga bahwa terjadinya
kerusakan protein dan DNA dapat dihambat. Dengan dihambatnya ROS melalui
bee venom akupuntur. pembentukan AGEs juga akan dapat ditekan. Adanya
hambatan terhadap ROS oleh akupuntur menyebabkan aktivasi NF-κB dapat
ditekan. Bee venom akupuntur juga mampu menghambat aktivitas MAPK dan
NF-κB secara langsung, sehingga kerja akupuntur menjadi lebih kompleks yaitu
pada radikal bebas yang terbentuk pada DMT2 dan secara genomik. Dengan
hambatan pada ROS, MAPK, dan NF-κB maka aktivitas NF-κB pada gen target
akan mengalami down-regulation dalam menghasilkan enzim inflamasi, molekul
adhesi, sitokin, maupun kemokin yang berperan terhadap disfungsi endothel dan
komplikasi vaskuler.
Teknik kombinasi akupuntur Bee Venom untuk mencegah komplikasi
vaskuler pada DMT2 dilakukan dengan menggunakan jarum akupuntur yang telah
dimodifikasi. Pada jarum akupuntur diberikan lubang khusus sebagai tempat
masuknya Bee Venom sehingga pada waktu jarum ditusukkan, Bee Venom juga
14

dapat masuk ke dalam kulit. Dosis yang dibutuhkan 0,1 ml Bee Venom yang
ditusukkan dengan metode akupuntur pada titik akupuntur ST36 yang terdapat
pada 3 inci di bawah tepi inferior patella dan 1 inci disebelah lateral anterior crest
dari tibia. Metode ini dilakukan 2 kali seminggu, dengan total 5 kali.
Terapi kombinasi akupuntur dan Bee Venom tidak dapat dilakukan yaitu
pada pasien yang mempunyai riwayat hiperalergi atau menderita komplikasi
penyakit jantung kronis dan lever. Selain itu, pasien yang berusia di bawah 8
tahun sebaiknya tidak melakukan terapi kombinasi ini, hal ini dilakukan untuk
menghindari pasien yang belum tahan terhadap sengatan lebah.
 Cara Pengolahan
Diabetes Mellitus  Dosis
Tipe 2  Cara Penggunaan
 Batasan Penggunaan

Resistensi insulin Hiperglikemia AGEs

Leptin Akupuntur Bee Venom

ROS
Titik ST36
NF-κB
(Zusanli)

Batasan Penggunaan Cara Pengolahan


Komplikasi vaskuler
Dosis Cara Penggunaan

Mencegah Komplikasi Vaskuler

Gambar 4. Mekanisme dan Implementasi dari Kombinasi Akupuntur


dengan Bee Venom pada Titik ST36

Manfaat dan dampak yang diperoleh dari gagasan ini antara lain dapat
menurunkan angka kejadian komplikasi vaskuler pada DMT2 di Indonesia, selain
itu, dari segi ekonomi gagasan ini bermanfaat dalam menciptakan lapangan kerja
baru dan meningkatkan pendapatan bagi penduduk yang bekerja pada bidang
peternakan lebah di Indonesia dan juga meningkatkan nilai jual dari lebah dengan
memanfaatkan pula Bee Venomnya untuk dijadikan bahan terapi kombinasi
dengan akupuntur.

DAFTAR PUSTAKA
Beckman JA, Creager MA, Libby P. Diabetes and atherosclerosis: epidemiology,
pathophysiology, and management. JAMA, 287:2570-81, 2002
Boutouyrie P, Corvisier R, Azizi M, Lemoine D, Laloux B, Hallouin M-H,
Laurent S. Effects of acupuncture on radial artery hemodynamics:
controlled trials in sensitized and naïve subjects. Am J Physiol Heart Circ
Physiol 2001;280:H628–H633
15

Chung SH, Dickenson A. Pain, enkephalin and acupuncture. Nature 283: 243-
244, 2005.
Culliton BJ. Neuroimmunie basis of acupuncture. Nat Med 3: 1307, 2007.
Gongwang L, Hyodo A. Fundamentals of Acpuncture and Moxibustion. Tianjin,
China: Tianjin Science and Technology Translation and Publishing Corp.,
2004.
Gutterman D. Vascular dysfunction in hyperglycemia. Is Protein Kinase-C the
culprit. Circ Res. 90:5-7, 2002
Guyton dan Hall. 2004. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Lariviere WR, Melzack R. 2006. The bee venom test: a new tonic-pain test. Pain
66:271–277.
Lee JH, Kwon YB, Han HJ, Mar WC, Lee HJ, Yang IS, Beitz AJ, Kang SK.
2001. Bee venom pretreatment has both an antinociceptive and anti-
inflammatory effect on carrageenan-induced inflammation.J Vet Med Sci
63:251–259.
Makiko Komori, Katsumi Takada. Microcirculatory Responses to Acupuncture
Stimulation and Phototherapy.Anesth Analg 2009;104:308–11
Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius.
Price, S.A. and Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit (Volume 2 Edisi 6). Jakarta : EGC.
Shutenko Z, Henry Y, Pinard E, et al. 2009. Influence of antioxidant quercetin in
vivo on the level of nitric oxide determined by electron paramagnetic
resonance in rat brain during global ischemia and reperfusion. Biochem
Pharmacol;57:199-208.
Suyono, Slamet. (2007). “Patofisiologi Diabetes Melitus” dalam Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid RSUP
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Tu AT. 2007. Venoms: Chemistry and molecular biology. Toronto: John Wiley.
Uchida S, Kagitani F, Suzuki A, Aikawa Y. Effect of acupuncture-like stimulation
on cortical cerebral blood flow in anesthetized rats. Jpn J Physiol 50: 495-
507, 2000. Acupuncture. NIH Consensus Statement 15: 1-34, 2007.
Van Acker SA, Tromp MN, Haenen GR, etal. 2005. Flavonoids as scavengers of
nitric oxide radical. Biochem Biophys Res Commun ;214:755-9.
WHO. 2008. Diabetes. (Online) (http://www.who.int/diabetes/facts/
world_figures/en/, diakses 18 September 2010)
Yusharmen, I Nyoman Kandun, Hariadi Wibisono, Endang R Sedyaningsih,
Widarso. 2005. New England Journal of Medicine, 355(21) : 2186-94.

Вам также может понравиться