Вы находитесь на странице: 1из 32

BAB I

PENDAHULUAN

Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi.

Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang

paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak

sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau

yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan

suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau

bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya

bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh

atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat

tiduran, ancaman dan lain-lain.

Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus

esksternal, juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan

oleh stimulus yang diterima. Jika diliputi rasa kecemasan yang berat maka kemampuan

untuk menilai realita dapat terganggu. Persepsi mengacu pada respon reseptorsensoris

terhadap stimulus. Persepsi juga melibatkan kognitif dan pengertian emosional akan

objek yang dirasakan. Gangguan persepsi dapat terjadi pada proses sensori penglihatan,

pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan.

Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat

ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan

kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alcohol dan substansi lingkungan.

Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa Medan ditemukan 85%

pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis kasus

tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan

evaluasi.
BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Pengertian

Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu

disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart, 2007).

Persepsi merupakan tanggapan indera terhadap rangsangan yang datang dari luar,

dimana rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan penglihatan, penciuman, pendengaran,

pengecapan dan perabaan. Interpretasi (tafsir) terhadap rangsangan yang datang dari luar itu dapat

mengalami gangguan sehingga terjadilah salah tafsir (missinterpretation). Salah tafsir tersebut

terjadi antara lain karena adanya keadaan afek yang luar biasa, seperti marah, takut, excited

(tercengang), sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi gangguan atau perubahan persepsi

(Triwahono, 2004).

Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara

rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls

dan stimulus eksternal. Dengan maksud bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam

membandingkan dan mengenal mana yang merupakan respon dari luar dirinya. Manusia yang

mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara fantasi dan kenyataaan. Mereka dalam

menggunakan proses pikir yang logis, membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan

serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003).

Perubahan persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa pengertian

mengenai halusinasi di bawah ini dikemukakan oleh beberapa ahli:

1. Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya

penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara

bisikan itu (Hawari, 2001).

2. Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002).
3. Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya

rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat

kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat

klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain

klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan

tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).

4. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan

sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan

dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus

eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).

5. Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat,

mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang

yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).

6. Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).

7. Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan atau mesin, barang,

kejadian alamiah dan musik dalam keadaan sadar tanpa adanya rangsang apapun (Maramis,

2005).

8. Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara

sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien sehingga klien berespon terhadap

suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007).

Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi di atas,

maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca

indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. Sedangkan halusinasi

pendengaran adalah kondisi dimana pasien mendengar suara, terutamanya suara–suara orang yang

sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan

sesuatu.
B. Etiologi

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:

1. Faktor predisposisi

1) Biologis

Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis

yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang

berikut:

a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam

perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan

dengan perilaku psikotik.

b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan

masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.

c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang

signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,

ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil

(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-

mortem).

2) Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi

psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan

orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.

3) Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik

sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai

stress.
2. Faktor Presipitasi

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya

hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.

Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan

kekambuhan (Keliat, 2006).

Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

1) Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta

abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan

untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

2) Stress lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk

menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3) Sumber koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

C. Gejala Halusinasi

Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai

berikut:

1. Bicara sendiri.

2. Senyum sendiri.

3. Ketawa sendiri.

4. Menggerakkan bibir tanpa suara.

5. Pergerakan mata yang cepat

6. Respon verbal yang lambat

7. Menarik diri dari orang lain.


8. Berusaha untuk menghindari orang lain.

9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.

10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.

11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.

12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.

13. Sulit berhubungan dengan orang lain.

14. Ekspresi muka tegang.

15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah.

16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

17. Tampak tremor dan berkeringat.

18. Perilaku panik.

19. Agitasi dan kataton.

20. Curiga dan bermusuhan.

21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.

22. Ketakutan.

23. Tidak dapat mengurus diri.

24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Nasution (2003), seseorang yang

mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:

1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.

2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.

3. Gerakan mata abnormal.

4. Respon verbal yang lambat.

5. Diam.

6. Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.


7. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya peningkatan nadi,

pernafasan dan tekanan darah.

8. Penyempitan kemampuan konsenstrasi.

9. Dipenuhi dengan pengalaman sensori.

10. Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.

11. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada

menolaknya.

12. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.

13. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.

14. Berkeringat banyak.

15. Tremor.

16. Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.

17. Perilaku menyerang teror seperti panik.

18. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.

19. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi.

20. Menarik diri atau katatonik.

21. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks.

22. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.

D. Jenis-Jenis Halusinasi

Menurut Stuart (2007) halusinasi terdiri dari tujuh jenis, yaitu:

1. Pendengaran

Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan

yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada

percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar

dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang

dapat membahayakan.
2. Penglihatan

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan

yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau menakutkan seperti

melihat monster.

3. Penghidu

Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang

tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau

dimensia.

4. Pengecapan

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

5. Perabaan

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik

yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

6. Cenestetik

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau

pembentukan urine.

7. Kinistetik

Merasakan badannya bergerak dalam ruang, atau anggota badannya bergerak ( umpamanya

anggota badan bayangan atau “phantom limb”.

8. Viceral

Perasaan tertentu timbul di dalam tubuhnya.

9. Hipnagogik

Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal. Tepat sebelum tertidur persepsi sensorik

bekerja salah.
10. Hipnopompik

Seperti halusinasi hipnagonik, tetapi terjadi tepat sebelum terbangun sama sekali dari

tertidurnya. Ddisamping itu ada pula pengalaman halusinatorik dalam impian yang normal.

11. Histerik

Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.

E. Tahapan halusinasi

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan

setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:

1. Fase I (conforting)

Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut serta

mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini

klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan

mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.

2. Fase II (condeming)

Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin

mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi

peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda

vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan

kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.

3. Fase III ( controling)

Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi

tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu

mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan

terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.

4. Fase IV (conquering)
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi

perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang

kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

F. Rentang respon halusinasi.

Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif

individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Rentang respon neurobiologi dijelaskan

sebagai berikut:

Respon adaptif: Distorsi pikiran. Respon maladaptif:


Pikiran logis Ilusi Gangguan pikiran
Persepsi akurat Reaksi emosi berlebihan atau kurang. Halusinasi
Emosi konsisten Perilaku aneh/ menarik diri Sulit berespon emosi
Perilaku sesuai. Perilaku disorganisasi
Berhubungan sosial Isolasi sosial

Pikiran logis Yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
Persepsi akurat Yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang

didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang

sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.


Emosi konsisten Yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai

banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.


Perilaku sesuai Perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah

masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum

yang berlaku.
Hubungan social harmonis Yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar individu

dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.


Proses pikir kadang Yaitu menifestasi dari persepsi impuls eksternal melalui alat panca

terganggu (ilusi) indra yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di
otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah

dialami sebelumnya.
Emosi berlebihan atau Yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan atau kurang.

kurang
Perilaku tidak sesuai atau Yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian

biasa masalahnya tidak diterima oleh norma – norma social atau budaya

umum yang berlaku


Perilaku aneh atau tidak Perilaku individu berupa tindakan nyata dalam menyelesaikan

biasa masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya

umum yang berlaku.


Menarik diri Yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,

menghindari hubungan dengan orang lain.


Isolasi sosial Menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam berinteraksi.
Berdasarkan gambar diketahui bahwa halusinasi merupakan respon persepsi paling

maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan

stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan,

penghidu, pengecapan, dan perabaan), sedangkan klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu

stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada.


BAB III

Konsep Dasar Keperawatan

Menurut Carpenito (1996) dikutip oleh Keliat (2006), pemberian asuhan keperawatan

merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien,

keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Asuhan keperawatan

juga menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian menentukan

masalah atau diagnosa, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi.

A. Pengkajian

Menurut Stuart dan Laraia (2001), pengkajian merupakan tahapan awal dan dasar

utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data meliputi data

biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkam

menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan

kemampuan koping yang dimiliki klien. Berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman

pengkajian umum, pada formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat (2006)

meliputi beberapa faktor antara lain:

1. Identitas klien dan penanggung

Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status, pendidikan, pekerjaan,

dan alamat.

2. Alasan masuk rumah sakit

Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak mampu

merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah

sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

3. Faktor predisposisi

a. Faktor perkembangan terlambat

a) Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
b) Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.

c) Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.

b. Faktor komunikasi dalam keluarga

a) Komunikasi peran ganda.

b) Tidak ada komunikasi.

c) Tidak ada kehangatan.

d) Komunikasi dengan emosi berlebihan.

e) Komunikasi tertutup.

f) Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan

komplik orang tua.

c. Faktor sosial budaya

Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu

tinggi.

d. Faktor psikologis

Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga

diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan koping

destruktif.

e. Faktor biologis

Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan besar

dan bentuk sel korteks dan limbik.

f. Faktor genetik

Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu. Namun

demikian kromoson yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai

sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah kromoson

nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar

identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya
mengalami skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak

yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami

skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.

4. Faktor presipitasi

Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:

a. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses

informasi di thalamus dan frontal otak.

b. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme penerimaan abnormal).

c. Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa

dan tidak berdaya.

Menurut Stuart (2007), pemicu gejala respon neurobiologis maladaptif adalah

kesehatan, lingkungan dan perilaku.

a. Kesehatan

Nutrisi dan tidur kurang, ketidaksiembangan irama sirkardian, kelelahan dan infeksi, obat-

obatan system syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan

kesehatan.

b. Lingkungan

Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga, kehilangan kebebasan

hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dalam berhubungan dengan

orang lain, isoalsi social, kurangnya dukungan social, tekanan kerja (kurang terampil dalam

bekerja), stigmasasi, kemiskinan, kurangnya alat transportasi dan ketidakmamapuan

mendapat pekerjaan.

c. Sikap/perilaku

Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa (tidak percaya diri), merasa gagal

(kehilangan motivasi menggunakan keterampilan diri), kehilangan kendali diri (demoralisasi),

merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu memenuhi kebutuhan
spiritual), bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya

kemampuan sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan

dan ketidak adekuatan penanganan gejala. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda –

tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya

sekedar mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang

diperlukan meliputi:

a) Isi halusinasi

Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan

suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, jika

halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap

jika halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi

perabaan.

b) Waktu dan frekuensi.

Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul,

berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi

ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan

bilamana klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi.

c) Situasi pencetus halusinasi.

Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain

itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya

halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.

d) Respon Klien

Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji

dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah

klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap

halusinasinya.
5. Pemeriksaan fisik

Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah), berat

badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan klien.

6. Status Mental

Pengkajian pada status mental meliputi:

a. Penampilan: tidak rapi, tidak serasi dan cara berpakaian.

b. Pembicaraan: terorganisir atau berbelit-belit.

c. Aktivitas motorik: meningkat atau menurun.

d. Alam perasaan: suasana hati dan emosi.

e. Afek: sesuai atau maladaptif seperti tumpul, datar, labil dan ambivalen

f. Interaksi selama wawancara: respon verbal dan nonverbal.

g. Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus yang ada sesuai dengan informasi.

h. Proses pikir: proses informasi yang diterima tidak berfungsi dengan baik dan dapat

mempengaruhi proses pikir.

i. Isi pikir: berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis.

j. Tingkat kesadaran: orientasi waktu, tempat dan orang.

k. Memori

a) Memori jangka panjang: mengingat peristiwa setelah lebih setahun berlalu.

b) Memori jangka pendek: mengingat peristiwa seminggu yang lalu dan pada saat dikaji.

l. Kemampuan konsentrasi dan berhitung: kemampuan menyelesaikan tugas dan berhitung

sederhana

m. Kemampuan penilaian: apakah terdapay masalah ringan sampai berat.

n. Daya tilik diri: kemampuan dalam mengambil keputusan tentang diri.

o. Kebutuhan persiapan pulang: yaitu pola aktifitas sehari-hari termasuk makan dan minum,

BAB dan BAK, istirahat tidur, perawatan diri, pengobatan dan pemeliharaan kesehatan sera

aktifitas dalam dan luar ruangan.


7. Mekanisme koping

a. Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.

b. Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan

tanggung jawab kepada orang lain.

c. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.

8. Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan dengan ekonomi, pekerjaan,

pendidikan dan perumahan atau pemukiman.

9. Aspek medik: diagnosa medik dan terapi medik.

10. Masalah Keperawatan

Menurut Keliat (2006) masalah keperawatan yang sering terjadi pada klien halusinasi

adalah:

a. Perubahan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.

b. Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan.

c. Isolasi sosial : menarik diri.

d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.

e. Intoleransi aktifitas.

f. Defisit perawatan diri.

11. Pohon masalah

Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa

membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal ini terjadi jika halusinasi sudah

sampai pada fase empat, dimana klien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh isi

halusinasinya. Masalah yang menyebabkan halusinasi itu adalah harga diri rendah dan isolasi

sosial, akibat rendah diri dan kurangnya berhubungan sosial maka klien menjadi menarik diri

dari lingkungan (Keliat, 2006).

Berdasarkan masalah-masalah tersebut, maka dapat disusun pohon masalah sebagai

berikut:
Resiko perilaku menciderai diri,
keluarga dan lingkungan
efek:

Gangguan persepsi sensori: halusinasi


Core problem:

Isolasi sosial: menarik diri


etiologi:

Harga diri rendah

Koping individu tidak efektif

kehilangan duka penolakan

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian teknik mengenai respon individu, keluarga,

komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual maupun potensial

(NANDA, 2001 dikutip oleh Keliat, 2006).

Rumusan diagnosis menurut Keliat (2006) dapat berupa:

Problem (masalah) : nama atau label diagnosa.

Etiology (penyebab) : alasan yang dicurigai dari respon yang telah diidentifikasi

dari pengkajian.

Sign dan sympton (tanda dan gejala) : manifesitasi yang diidentifikasi dalam pengkajian yang

menyokong diagnosa keperawatan.

Ada beberapa diagnosa keperawatan yang sering ditemukan pada klien dengan

halusinasi menurut Keliat (2006) yaitu:

a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi

pendengaran.

b. Perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.


c. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktifitas.

C. Perencanaan

Perencanaan tindakan keperawatan menurut Keliat (2006 ) terdiri dari tiga aspek yaitu

tujuan umum, tujuan khusus dan intervensi keperawatan. Rencana tindakan keperawatan pada klien

dengan masalah utama perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran adalah sebagai berikut:

a. Diagnosa 1: Resiko Mencederai Diri Sendiri Orang Lain Dan Lingkungan Berhubungan Dengan

Halusinasi Pendengaran.

Tujuan umum:

Tidak terjadi perilaku kekerasan yang diarahkan kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Tujuan khusus:

TUK 1:

1.1 Klien dapat membina hubungan saling percaya

1.2 Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam,

mau duduk dekat perawat.

Intervensi:

1.1.1 Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi

terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal,

perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai,

jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima

klien apa adanya.

Rasional: hubungan saling percaya sebagaid asar interaksi perawat dan klien.

1.1.2 Dorong klien mengungkapkan perasaannya

Rasional: mengetahui masalah yang dialami oleh klien.

1.1.3 Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati

Rasional: Agar klien merasa diperhatikan.


TUK 2:

2.1 Klien dapat mengenal halusinasinya.

Intervensi:

2.1.1 Adakan kontak sering dan singkat.

Rasional: Menghindari waktu kosong yang dapat menyebabkan timbulnya halusinasi.

2.1.2 Observasi segala perilaku klien verbal dan non verbal yang berhubungan dengan

halusinasi.

Rasional: Halusinasi harus kenal terlebih dahulu agar intervensi efektif

2.1.3 Terima halusinasi klien sebagai hal yang nyata bagi klien, tapi tidak nyata bagi perawat.

Rasional: meningkatkan realita klien dan rasa percaya klien.

2.1.4 Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan situasi.

Rasional: peran aktif klien membantu dalam melakukan intervensi keperawatan

2.1.5 Diskusikan dengan klien faktor predisposisi terjadinya halusinasi.

Rasional: Dengan diketahuinya faktor predisposisi membantu dalam mengontrol

halusinasi.

TUK 3:

3.1 Klien dapat mengontrol halusinasi.

Intervensi:

3.1.1 Diskusikan dengan klien tentang tindakan yang dilakukan bila halusinasinya timbul.

Rasional: Mengetahui tindakan yang dilakukan dalam mengontrol halusinasinya.

3.1.2 Diskusikan dengan klien tentang cara memutuskan halusinasinya.

Rasional: Meningkatkan pengetahuan klien tentang cara memutuskan halusinasi

3.1.3 Dorong klien menyebutkan kembali cara memutuskan halusinasi

Rasional: hasil diskusi sebagai bukti dari perhatian klien atas apa yg dijelaskan

3.1.4 Berikan reinforcement positif atas keberhasilan klien menyebutkan kembali cara

memutuskan halusinasinya.
Rasional: Meningkatkan harga diri klien

TUK 4:

Klien mendapat sistem pendukung keluarga dalam mengontrol halusinasinya.

4.1 keluarga dapat menyebutukan pengertian, tanda, dan tindakan untuk mengatasi halusinasi.

Intervensi:

4.2.1 Kaji kemampuan keluarga tentang tindakan yg dilakukan dalam merawat klien bila

halusinasinya timbul.

Rasional: Mengetahui tindakan yang dilakukan oleh keluarga dalam merawat klien.

4.2.2 Diskusikan juga dengan keluarga tentang cara merawat klien yaitu jangan biarkan klien

menyendiri, selalu berinteraksi dengan klien, anjurkan kepada klien untuk rajin minum

obat, setelah pulang kontrol 1 x dalam sebulan.

Rasional: Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien.

b. Diagnosa 2: Perubahan Persepsi Sensori; Halusinasi Pendengaran Berhubungan Dengan

Menarik Diri.

Tujuan umum:

Klien dapat berhubungan dengan orang lain untuk mencegah timbulnya halusinasi.

Tujuan khusus:

TUK 1:

Klien dapat membina hubungan saling percaya.

1.1 Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam,

mau duduk dekat perawat.

Intervensi:

2.1.1 Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi terapeutik

yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal, perkenalkan nama
perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai, jelaskan tujuan

pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien apa adanya.

Rasional: Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.

2.1.2 Dorong klien mengungkapkan perasaannya.

Rasional: Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.

2.1.3 Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.

Rasional: Agar klien merasa diperhatikan.

TUK 2:

Klien dapat mengenal penyebab menarik diri.

2.1 Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri pada dirinya.

Intervensi:

2.1.1 Kaji Pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri.

Rasional: Untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien tentang menarik diri

2.1.2 Dorong klien untuk menyebutkan kembali penyebab menarik diri.

Rasional: Membantu mengetahui penyebab menarik diri sehingga membantu dlm

melaksanakan intervensi selanjutnya.

2.1.3 Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien dalam mengungkapkan penyebab

menarik diri.

Rasional: Meningkatkan harga diri klien.

TUK 3:

Klien dapat mengetahui manfaat berhubungan dengan orang lain.

3.1 Klien dapat mengungkapkan keuntungan berhubungan dengan orang lain.

Intervensi:

3.1.1 Diskusikan bersama klien manfaat berhubungan dengan orang lain.

Rasional: Meningkatkan pengetahuan klien tentang manfaat berhubungan dengan orang

lain.
3.1.2 Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat berhubungan dengan orang lain.

Rasional: Mengetahui tingkat pemahaman klien tentang informasi yg diberikan.

3.1.3 Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menyebutkan kembali manfaat

berhubungan dengan orang lain.

Rasional: Meningkatkan harga diri klien.

TUK 4:

Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.

4.1 Klien dapat menyebutkan cara berhubungan dengan orang lain secara bertahap.

Intervensi:

4.1.1 Dorong klien untuk berhubungan dengan orang lain.

Rasional: Mencegah timbulnya halusinasi

4.1.2 Diskusikan dengan klien cara berhubungan dengan orang lain secara bertahap.

Rasional: Meningkatkan pengetahuan klien cara yang yg dilakukan dalam berhubungan

dengan orang lain

4.1.3 Beri reinforcement atas keberhasilan yg dilakukan.

Rasional: Meningkatkan harga diri klien

TUK 5 :

Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain.

5.1 Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain.

Intervensi :

5.1.1 Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya berhubungan dengan orang lain.

Rasional: Untuk mengetahui perasaan klien setelah berhubungan dengan orang lain.

5.1.2 Diskusikan dengan klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.

Rasional: Mengetahui pengetahuan klien tentang manfaat berhubungan dengan orang

lain.
5.1.3 Berikan reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat

berhubungan orang lain.

Rasional: Meningkatkan harga diri klien

TUK 6:

Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga.

6.1 Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien yang menarik diri.

Intervensi:

6.1.1 Bina hubungan saling percaya dengan keluarga.

Rasional: Agar terbina rasa percaya keluarga kepada perawat.

6.1.2 Diskusikan dengan anggota keluarga perilaku menarik diri, penyebab perilaku menarik

diri dab cara keluarga menghadapi klien.

Rasional: Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang menarik diri dan cara

merawatnya.

6.1.3 Anjurkan kepada keluarga secara rutin dan bergantian datang menjenguk klien (1 x

seminggu).

Rasional: Agar klien merasa diperhatikan.

c. Diagnosa 3: Isolasi Sosial; Menarik Diri Berhubungan Dengan Harga Diri Rendah.

Tujuan umum:

Klien dapat berhubungan dengan orang lain tanpa merasa rendah diri.

Tujuan khusus:

TUK 1:

Klien dapat membina hubungan saling percaya.

1.2 Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam,

mau duduk dekat perawat.

Intervensi:
1.2.1 Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi

terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal,

perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai,

jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima

klien apa adanya.

Rasional: Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien

1.2.2 Dorong klien mengungkapkan perasaannya

Rasional: Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.

1.2.3 Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati

Rasional: Agar klien merasa diperhatikan

TUK 2 :

Klien dapat mengidenfikasi kemampuan dan sisi positif yang dimiliki.

2.1 Klien dapat menyebutkan cita-cita dan harapan sesuai dengan kemampuannya.

Intervensi:

2.1.1 Diskusikan dengan klien tentang ideal dirinya : apa harapan klien bila pulang nanti dan

apa yg menjadi cita-citanya.

Rasional: Untuk mengetahui sampai dimana realitas dari harapan klien.

2.1.2 Bantu klien mengembangkan antara keinginan dengan kemampuan yang dimilikinya.

Rasional: Membantu klien membentuk harapan yang realitas.

TUK 3:

Klien dapat menyebutkan keberhasilan yang pernah dialaminya.

3.1 Klien dapat mengevaluasi dirinya.

Intervensi:

3.1.1 Diskusikan dengan klien keberhasilan yg pernah dialaminya.

Rasional: Mengingatkan klien bahwa tidak selamanya dia gagal.

3.1.2 Diskusikan dengan klien kegagalan yang pernah terjadi pada dirinya.
Rasional: Mengetahui sejauh mana kegagalan yg dialami oleh klien

3.1.3 Beri reinforcement positif atas kemampuan klien menyebutkan keberhasilan dan

kegagalan yang pernah dialaminya.

Rasional: Meningkatkan harga diri klien

TUK 4:

Klien dapat membuat rencana yang realistis.

4.1 Klien dapat menyebutkan tujuan yang ingin dicapai.

Intervensi:

4.1.1 Bantu klien merumuskan tujuan yang ingin di capai.

Rasional: Agar klien tetap realistis dengan kemampuan yang dimilikinya.

4.2 Klien dapat membuat keputusan dalam mencapai tujuan.

Intervensi:

4.2.1 Motivasi klien untuk melakukan kegiatan yang telah dipilih.

Rasional: Menghargai keputusan yang dipilih oleh klien.

4.2.2 Berikan pujian atas keberhasilan yang telah dilakukan

Rasional: Meningkatkan harga diri.

TUK 5:

Klien dapat memanfaatkan system pendukung keluarga.

5.1 Keluarga memberi dukungan dan ujian.

Intervensi:

5.1.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentan cara merawat klien dengan harga diri

rendah.

Rasional: Untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien dengan

harga diri rendah.

5.1.2 Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat


Rasional: Support system keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat

penyembuhan klien

5.2 Keluarga memahami jadwal kegiatan harian klien.

Intervensi:

5.2.1 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah

5.2.2 Jelaskan cara pelaksanaan jadwal kegiatan klien di rumah

Rasional: Untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang perawatan klien di rumah

5.2.3 Anjurkan memberi pujian pada klien setiap berhasil

Rasional: Meningkatkan harga diri klien.

d. Diagnosa 4: Defisit Perawatan Diri Berhubungan Dengan Intoleransi Aktifitas.

Tujuan umum:

Klien dapat meningkatkan motivasi dalam mempertahankan kebersihan diri.

Tujuan khusus:

TUK 1:

Klien dapat membina hubungan saling percaya.

1.1. Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas

salam, mau duduk dekat perawat.

Intervensi:

1.1.1. Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi

terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal,

perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai,

jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima

klien apa adanya.

Rasional: Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien
1.1.2. Dorong klien mengungkapkan perasaannya

Rasional: Mengetahui masalah yang dialami oleh klien

1.1.3. Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.

Rasional: Agar klien merasa diperhatikan

TUK 2 :

Klien dapat mengenal pentingnya perawatan diri.

2.1 Klien dapat menyebutkan tanda kebersihan diri yaitu badan tidak bau, rambut rapi,

bersih dan tidak bau, gigi bersih dan tidak bau, baju rapi tidak bau, kuku pendek.

Intervensi:

2.1.1 Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan

pengertian tentang aarti bersih dan tanda-tanda bersih.

Rasional: Meningkatkan pemahaman klien tentang kebersihan diri

2.1.2 Dorong klien untuk menyebutkan kembali tanda-tanda kebersihan diri

Rasional: Mengetahui pemahaman klien tentang kebersihan dir

2.1.3 Berikan pujian atas kemampuan klien menyebutkan kembali tanda-tanda kebersihan

diri

Rasional: Meningkatkan harga diri klien

2.2 Klien dapat menyebutkan tentang pentingnya dalam perawatan diri, memberi rasa

segar, mencegah penyakit mulut dan memberikan rasa nyaman.

Intervensi:

2.2.1 Beri penjelasan kepada klien tentang pentingnya dalam melakukan perawatan diri.

Rasional: Meningkatkan pemahaman klien tentang kebersihan diri

2.2.2 Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat dalam melakukan perawatan diri.

Rasional: Mengetahui pemahaman informasi yang telah diberikan

2.2.3 Berikan pujian atas keberhasilan klien menyebutkan kembali manfaat perawatan diri.

Rasional: Meningkatkan harga diri klien


2.2.4 Klien dapat menjelaskan cara merawat diri yaitu mandi 2 x sehari, pakai sabun , gosok

gigi minimal 2 x sehari , cuci rambut 2- 3 x sehari dan ganti pakaian 1 x sehari.

TUK 3:

Klien dapat melakukan kebersihan diri secara mandiri maupun bantuan perawat.

3.1 Klien berusaha untuk memelihara kebersihan diri.

Intervensi:

3.1.1 Motivasi dan bimbingan klien untuk memelihara kebersihan diri.

Rasional: Agar klien melaksanakan kebersihan diri

3.1.2 Anjurkan untuk mengganti baju

Rasional: Memberikan kesegaran

TUK 4:

Klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri.

4.1 Klien selalu rapi dan bersih.

Intervensi:

4.1.1 Beri Reinforcement positif jika klien berhasil melakukan kebersihan diri.

Rasional: Meningkatkan harga diri sendiri.

TUK 5:

Klien mendapat dukungan keluarga dalam melakukan kebersihan diri

5.1 Keluarga selalu mengingat hal-hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.

Intervensi:

5.1.1 Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga kebersihan diri.

Rasional: Untuk memberi penjelasan kepada keluarga tentang penyebab kurangnya

kebersihan pada klien

5.1.2 Diskusikan bersama keluarga tentang tindakan yang dilakukan klien selama di RS dalam

menjaga kebersihan
Rasional: Klien dapat mengetahui tentang tindakan perawatan diri yang mampu

dilakukan oleh klien

D. Implementasi

Menurut Keliat (2006), implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana

tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang aktual dan

mengancam integritas klien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan

yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih

dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini (here and now). Hubungan saling percaya

antara perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.

E. Evaluasi

Evaluasi menurut Keliat (2006) adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek

dari tindakan keperawatan kepada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien

terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu

evaluasi proses atau formatif yang dilakukan tiap selesai melakukan tindakan keperawatan dan

evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respons klien dengan tujuan

yang telah ditentukan.

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP dengan penjelasan

sebagai berikut:

S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan. Dapat diukur dengan

menanyakan pertanyaan sederhana terkait dengan tindakan keperawatan seperti “coba bapak

sebutkan kembali bagaimana cara mengontrol atau memutuskan halusinasi yang benar?”.

O : Respon objektif dari klien terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan. Dapat diukur

dengan mengobservasi perilaku klien pada saat tindakan dilakukan.


A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap

atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula

membandingkan hasil dengan tujuan.

P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien yang terdiri dari

tindak lanjut klien dan tindak lanjut perawat. Rencana tindak lanjut dapat berupa:

a. Rencana diteruskan, jika masalah tidak berubah.

b. Rencana dimodifikasi jika masalah tetap, semua tindakan sudah dijalankan tetapi hasil belum

memuaskan.

c. Rencana dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan masalah yang

ada serta diagnosa lama diberikan.

Hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien dengan halusinasi adalah:

a. Klien mampu memutuskan halusinasi dengan berbagai cara yang telah diajarkan.

b. Klien mampu mengetahui tentang halusinasinya.

c. Meminta bantuan atau partisipasi keluarga.

d. Mampu berhubungan dengan orang lain.

e. Menggunakan obat dengan benar.

f. Keluarga mampu mengidentifikasi gejala halusinasi.

g. Keluarga mampu merawat klien di rumah dan mengetahui tentang cara mengatasi halusinasi

serta dapat mendukung kegiatan-kegiatan klien.


DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan

Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Hawari, Dadang. (2001). Pendekatan Holistik pada gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University Press.

Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi 3.

Philadelphia: F. A. Davis Company

Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St. Louis: Mosby Year

Book.

Вам также может понравиться