Вы находитесь на странице: 1из 10

BANDUNG, KOMPAS.

com - Dengan populasi yang terhitung besar dibandingkan provinsi


lain, Jawa Barat menghadapi masalah kependudukan yang kompleks. Pendidikan diyakini
sebagai sektor kunci dalam penanganan masalah kependudukan ini.

Demikian salah satu masalah yang mengemuka dalam media gathering Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional Jawa Barat bertema Budaya, TKI, dan Ketahanan Keluarga
yang digelar di Bandung, Selasa (26/5). Jabar yang memiliki penduduk sekitar 42 juta
menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang menanggung masalah pendudukan yang
kompleks itu. Meski berdekatan dengan ibu kota, sejauh ini Jabar masih menghadapi masalah
klasik seperti tingginya angka pengangguran yang berdampak pada pengiriman tenaga kerja
di luar negeri, tingginya pertumbuhan jumlah penduduk, serta tingginya angka kematian ibu
dan bayi.

"Pendidikan adalah investasi terbesar untuk menyelesaikan masalah kependudukan. Namun,


faktanya pendidikan kita masih buruk. Pendidikan di sini bukan sekedar bisa baca tulis, tetapi
adalah kemampuan orang untuk menangkap pesan," ujar Valentina Sagala, pendiri Institut
Perempuan yang menjadi salah satu pembicara.

Dalam masalah pengiriman tenaga kerja keluar negeri misalnya, Valentina melihat latar
belakangnya bukan sekedar masalah ekonomi. "Di beberapa daerah yang saya kunjungi,
orang yang mengirim anaknya menjadi TKI punya rumah yang bagus. Artinya, seseorang
mengirim anaknya sebagai TKI karena banyak sebab, bukan sekedar kemiskinan," tegas
Valentina.

Ia menambahkan, sangat tidak mungkin untuk melarang seseorang untuk bermigrasi sebagai
TKI. Melarang migrasi melanggar hak asasi manusia. Namun, kita harus mengatur agar
seseorang melakukan migrasi dengan aman, ujar Valentina. Dengan pendidikan cukup, kata
Valentina, seseorang diharapkan tidak mudah terkena bujukan untuk melakukan migrasi
secara ilegal.

Sementara, dalam pertambahan penduduk, pendidikan cukup juga bisa menjadi rem sekaligus
mendorong peningkatan kualitas keluarga. Dari sisi alat kontrasepsi, 99 persen pasangan usia
subur di Jabar sudah mengenalnya. Namun, yang menjadi masalah adalah masih tingginya
jumlah pasangan usia subur. Hal ini dikarenakan masih maraknya pernikahan dini. "Di Jabar,
usia pernikahan pertama perempuan adalah 18,5 tahun dan itu lebih rendah dari rata-rata
nasional," kata Sekretaris BKKBN Jabar Saprudin Hidayat . Pendidikan, kata Saprudin akan
mendorong perempuan dan laki-laki untuk menikah lebih lambat.

SETIAP kali bertemu, setiap kali kami terlibat pembicaraan tentang Priangan, setiap kali itu pula
almarhum MAW Brouwer selalu memuji keindahan alamnya. “Tuhan menciptakan tanah Priangan
ketika sedang tersenyum,” begitu selalu dikatakan pastor dan psikolog yang kecewa berat karena
gagal menjadikan Priangan sebagai tanah kelahirannya yang kedua.

TANAH Priangan bukan hanya terkenal karena keindahannya sehingga pemerintah kolonial Belanda
pernah merencanakan Kota Bandung sebagai ibu kota pengganti Batavia. Tanah ini juga merupakan
perpaduan yang harmonis antara alam dan penduduk yang ramah. Ke mana kita melangkah, ke sana
akan disambut senyuman. Khas orang Sunda.
Namun, kekhasan itu tak selamanya bisa abadi. Alam Priangan yang indah hanya tinggal secuil yang
tersisa. Di antaranya puisi Priangan Si Jelita karya Ramadhan KH dan lukisan-lukisan karya Yus
Rusamsi yang mengabadikan suasana pedesaan di atas kanvas. Selebihnya adalah fatamorgana
belaka. Tanah Priangan yang dikenal dengan Cekungan Bandung itu kini “amburadul”, sebuah istilah
yang menunjukkan kekecewaan amat sangat karena eksploitasi yang berlebihan.

CEKUNGAN Bandung terdiri dari wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung dengan luas
seluruhnya 326.000 hektar lebih. Namun, setelah 26 tahun, sejak tanggal 17 Oktober 2001, wilayah
administratif pemerintahannya bertambah dengan diresmikannya Cimahi menjadi “kota”. Cimahi
sebelumnya merupakan kota administratif yang berada di wilayah Kabupaten Bandung.

Pusat Cekungan Bandung adalah Kota Bandung yang sekaligus menjadi ibu kota Provinsi Jawa
Barat. Sebagai kota terbesar di Jawa Barat, Kota Bandung dengan beberapa kelebihan sarana dan
prasarana tidak mengherankan memiliki daya tarik yang sangat kuat. Bahkan sedemikian
“serakahnya”, kota ini pernah dijadikan “kota serba muka” yang menampung berbagai aktivitas.
Antara lain sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat, pusat perdagangan lokal dan regional, pusat
pendidikan dan pengetahuan, kota pariwisata, kebudayaan dan konferensi, dan pusat industri.

Bahkan pada masa jaya IPTN yang kini menjadi PT Dirgantara Indonesia, Bandung pernah
direncanakan menjadi “kota dirgantara”. Bayangkan!

Pemberian fungsi-fungsi itu memang menjadi daya tarik investor untuk melakukan investasi. Dengan
demikian, pada gilirannya, akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang selama ini dijadikan
salah satu indikator kemajuan. Harapan itu memang tidak meleset.

Selama periode 1975-1985, misalnya, laju pertumbuhan ekonomi nyata Kota (saat itu masih kota
madya) Bandung mencapai rata-rata 9 persen per tahun berdasarkan harga konstan tahun 1973.
Pada periode 1985-1990 meningkat tajam menjadi 12,02 persen. Jauh di atas rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang sebesar 7,6 persen.

Namun, meningkatnya investasi tersebut pada gilirannya mendorong makin meningkatnya arus
migrasi. Padahal, Kota Bandung bukanlah Surabaya atau apalagi DKI Jakarta. Wilayah fisik Kota
Bandung memiliki beberapa keterbatasan walaupun sudah lima kali mengalami perluasan wilayah.

Ketika pertama kali dibentuk sebagai Gemeente, 1 April 1906, penduduknya 38.403 jiwa dengan luas
wilayah 1.922 hektar. Kini dengan luas wilayah sekitar 17.000 hektar, jumlah penduduknya 2,5 juta
jiwa. Ini berarti, kepadatan rata-rata penduduk sekitar 110 jiwa per hektar, jauh di atas standar yang
ditetapkan PBB, 60 jiwa per hektar (baca: “Kampung di Tengah Metropolitan Bandung”).

KOTA Bandung khususnya, dan Cekungan Bandung pada umumnya, menghadapi masalah serius
dalam kependudukan dengan segala implikasinya, merupakan masalah serius sekarang ini, apalagi
untuk masa yang akan datang. Dan, penduduk wilayah ini akan terus berkembang pesat.

Jika ditelisik lebih rinci, pada periode 1980-1990, laju pertumbuhan penduduk rata-rata beberapa kota
kecil di Kabupaten Bandung meningkat cukup besar. Kota industri Banjaran dan Majalaya tumbuh
7,10 persen dan 5,95 persen. Kota-kota kecil lainnya yang mengalami hal serupa adalah Cimahi 6,50
persen, Cileunyi 6,30 persen, Padalarang 5,80 persen, dan Lembang 3,80 persen.

Betul laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung pada periode yang sama 3,32 persen, lebih rendah
dari laju pertumbuhan penduduk kota-kota kecil di Kabupaten Bandung. Namun, Kepala P3WK ITB
Prof Dr Ir BS Kusbiantoro mengingatkan, secara absolut, penduduk Kota Bandung dalam Repelita X
akan mencapai 3,6 juta jiwa. Jadi, jumlah penduduk kedua wilayah itu pada Repelita X sudah
mencapai 6 juta jiwa.

Jumlah itu sebenarnya sudah terlampaui. Jika kita menyimak hasil Susenas yang dilakukan Badan
Pusat Statistik, penduduk Cekungan Bandung pada tahun 2002 hampir 6,5 juta jiwa. Jumlah
penduduk Kota Bandung 2.142.914 dan Kabupaten Bandung 4.335.578 jiwa.
Meningkatnya jumlah penduduk akan menuntut penyediaan lapangan kerja, perumahan, utilitas, dan
fasilitas kota. Padahal secara geologi, wilayah fisik Cekungan Bandung memiliki beberapa
keterbatasan. Bentang alam Cekungan Bandung berbeda dengan kota-kota besar lainnya yang
umumnya terletak di dekat pantai. Cekungan Bandung yang berada di atas ketinggian 600 meter
lebih dikelilingi jajaran gunung, termasuk gunung api aktif.

Daerah utara pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut sudah lama dinyatakan
sebagai daerah resapan, yang menjadi andalan persediaan cadangan air tanah untuk memenuhi
kebutuhan penduduk wilayah ini. Daerah tersebut harus dijaga dan dipertahankan kelestariannya jika
tidak ingin wilayah ini ditinggalkan penduduknya karena ketidaktersediaan air.

Air merupakan segalanya yang bisa mendatangkan kehidupan. Kota Mekah tidak akan menjadi kota
yang berkembang seperti sekarang jika saja Siti Hajar, istri Nabi Ismail AS, tidak menemukan air
zamzam di sana. Dalam sejarah, banyak kota di dunia yang mati karena ditinggalkan penduduknya
akibat tidak tersedianya air.

Padahal, jika kita menoleh ke belakang, sebagai daerah pegunungan, Cekungan Bandung terkenal
memiliki cukup banyak sumber air permukaan dan cadangan air tanah. Berdasarkan toponomi,
Cimahi itu berasal dari kata “cai mahi”. Cai dalam bahasa Sunda artinya air dan mahi artinya cukup
atau mencukupi.

Sampai tahun 1950-an, air di Kota Bandung masih “cur-cor” di mana-mana. “Saya sering mandi di
selokan dekat rumah karena airnya bening,” kenang Ny Djoeningsih Abdul Muis, salah seorang tokoh
pejuang Jawa Barat. “Cur-cor” merupakan istilah bahasa Sunda yang menunjukkan air mengalir di
mana-mana.

Akan tetapi, hanya dalam kurun waktu beberapa periode, cadangan air di Cekungan Bandung
merosot tajam, dari segi kuantitas maupun kualitas. Pencemaran yang berasal dari limbah rumah
tangga dan industri telah menurunkan kualitas air permukaan. Padahal, Cekungan Bandung
merupakan daerah hulu aliran Sungai Citarum dan sejumlah anak sungainya.

Sekarang mari kita lihat bagaimana neraca air tanahnya. Di berbagai tempat, penduduk kesulitan
memperoleh air dari sumur dangkal. Apalagi pada musim kemarau. Indikasi ini secara sederhana
memperlihatkan permukaan air tanah di berbagai tempat di Cekungan Bandung menurun tajam.
Secara ekstrem, hal ini terlihat di daerah-daerah yang merupakan konsentrasi industri akibat
pengambilan air tanah yang melampaui kemampuan daya dukung debit tersimpannya di dalam
akuifer. Sebagian besar akuifer yang paling banyak dimanfaatkan adalah akuifer pada kedalaman 40-
150 meter.

Selama 16 bulan dilakukan penelitian, akibat pengambilan air tanah secara berlebihan, laju
penurunan muka air tanah di Cimindi, Cibaligo (Cimahi) sekitar 0,25-0,37 meter setiap bulan. Di
Leuwigajah (Cimahi), muka air tanah turun sekitar 0,18-0,31 meter setiap bulan. Sedangkan di daerah
Sudirman, Cibuntu, dan Holis, muka air tanah turun 0,25-0,5 meter.

Muka air tanah di Cicaheum dalam periode yang sama turun 0,37-0,5 meter per bulan. Di daerah
Rancaekek, muka air tanah turun rata-rata 0,37-0,5 meter. Sementara di daerah Jalan Moh Toha dan
Buahbatu, muka air tanah turun rata-rata 0,12-0,31 meter per bulan.

Daerah-daerah itu merupakan konsentrasi industri tekstil dan produk tekstil. Industri tersebut memang
telah mengangkat pamor Jawa Barat menjadi daerah penghasil utama yang memberikan kontribusi
sekitar 70 persen produksi tekstil nasional. Namun, industri tekstil menggunakan sumber daya air
cukup besar.

Selain itu, terjadinya penurunan muka air tanah di Cekungan Bandung dipengaruhi makin kecilnya
daerah resapan sehingga sebagian besar imbuhan yang berasal dari air hujan lebih banyak menjadi
air larian yang mengakibatkan terjadinya banjir. Keadaan ini disebabkan perubahan tata guna lahan
di daerah resapan.
Wilayah Bandung utara, yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi, dalam beberapa tahun terakhir
dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan mewah, tempat wisata terpadu, dan berbagai alasan
lainnya. Ruang terbuka hijau di Kota Bandung dan Cimahi maupun Kabupaten Bandung terus
menyusut. Jadi, di atas kertas, para ahli sangat boleh jadi bisa mengalkulasi kapan tragedi menimpa
Cekungan Bandung.

Apabila tidak ada usaha dan langkah yang sungguh-sungguh dari semua pihak di Kabupaten
Bandung, Kota Bandung, maupun Kota Cimahi, apalagi yang kelak bisa dibanggakan dari wilayah
yang pernah mendapat julukan “priangan si jelita” ini? “Jangan cuma omdo,” sebuah ungkapan yang
dipinjam dari Direktur Eksekutif Bandung Heritage Frances Affandi, yang artinya hanya “omong
doang”.

Karena itu, jika dulu kita sering menyalahkan penjajah yang merusak Tanah Air tercinta ini, sekarang
siapa lagi. Sejak proklamasi kemerdekaan, Cekungan Bandung sudah lebih dari 59 tahun berada di
tangan kita.

Her Suganda Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat/FWJB

Alunan musik dangdut yang mendayu-dayu yang mengiringi suara tiga wanita muda
berpakaian minim yang menampakkan lekuk kewanitaan, suatu sore akhir 2009,
membaur dalam kesibukan warga Kampung Gambongkaran, Kelurahan Taman Sari,
Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sore itu, di salah satu sudut kampung padat di Bandung, anak-anak muda, pria dan
wanita, termasuk beberapa ibu muda membawa serta anaknya dalam gendongan
maupun tuntunan tangan mereka, ikut menonton pertunjukan dangdut pada pesta salah
satu warga kampung itu.

Seorang bapak, terlihat lebih tua dari warga lainnya, dengan leluasa menyaksikan pula
para artis dangdut lokal itu bergoyang seronok, dari tempat duduknya di bawah kios
dagangan yang sedang tidak digunakan pemiliknya.

Bau menyengat dari tumpukan sampah di sekitarnya, di dekat belasan berbagai jenis
mobil yang sedang parkir ada panggung kecil penyanyi dangdut itu yang persis berada
di bawah jembatan layang, sepertinya tidak mengusik warga yang menonton panggung
hiburan gratis tersebut.

Rumah-rumah warga di kampung itu, nampak berhimpitan satu sama lain, membuat
nyaris tak ada jalan lebar bisa leluasa dilewati.

Sepeda motor yang masih bisa lewat, harus berjalan pelan-pelan, dan pengguna jalan
lain harus meminggirkan badannya kalau tidak ingin disenggol atau bertubrukan.

Suasana di sebuah sudut kota berjuluk "Paris Van Java" itu merupakan masalah khas
kependudukan yang kompleks, seperti halnya persoalan serupa pada banyak kota besar
lain di Indonesia.

Kawasan itu menjadi potret yang diketengahkan Perkumpulan Keluarga Besar Indonesia
kepada peserta program beasiswa singkat orientasi wartawan tentang keluarga
berencana, kesehatan reproduksi, dan kependudukan. Kegiatan itu di 20 wartawan dari
berbagai daerah.

Menurut Sekretaris RW 15 Kelurahan Taman Sari Muy Sunardi (63), terdapat sekitar
2.000-an jiwa atau 689 KK warga di lingkungan yang rumahnya cukup padat dan fasilitas
tempat tinggal umumnya seadanya.

"Tapi kepadatan di sini mungkin belum separah beberapa kampung lain di Bandung ini,
sehingga hampir tidak ada lagi ruang terbuka antara rumah satu dan rumah lainnya,"
kata Muy yang sebelumnya pegawai PT Kereta Api Indonesia.

Dia menyebutkan, selain padat, sedikitnya 40 persen warga setempat tergolong miskin,
sehingga perlu mendapatkan hak layanan kesehatan bagi keluarga miskin untuk
membantu mereka.

"Masih banyak warga kami yang terus mengurus surat keterangan miskin di sini," kata
dia lagi.

Kondisi perkampungan ini, menurut beberapa warga setempat, kendati padat,


cenderung menjadi kumuh dan sumpek, namun telah menjadi bagian sehari-hari
kehidupan mereka yang mesti terus dijalani.

Darmawati (24), salah satu gadis kampung padat di Bandung itu, tinggal bersama ibunya
dan satu kakak perempuannya yang telah bercerai dengan suaminya, di rumah
kontrakan yang sempit dan seadanya.

Hamparan tikar lusuh menjadi tempat duduk, saat menerima tamu di rumah kontrakan
seharga Rp700.000 per bulan itu.

Ayah Darmawati sudah meninggal terkena stroke, sehingga dia membantu ibunya
dengan bekerja di kawasan pusat belanja Cihampelas Bandung.

"Untuk air minum sehari-hari, harus mengambil dari masjid yang agak jauh dari rumah
ini, karena di kontrakan ini tidak ada air PDAM. Susah juga memang," ujar dia, dengan
raut muka sendu dan berucap agak pelan.

Selain kondisi gang-gang yang sempit, saat memasuki perkampungan itu, di kiri kanan
gang itu, terlihat aktivitas keseharian warga, seperti memasak, mencuci, dan kegiatan
lain mereka.

Anak-anak kecil pun berseliweran di gang-gang sempit itu, terlihat lebih banyak,
dibandingkan para remaja wanitanya.

Tapi menurut Muy Sunardi, sejak dia tinggal di kampung itu tahun 1968/1969 sangat
jarang terjadi kebakaran atau keributan antarwarga.

"Tak terbayangkan kalau sampai terjadi kebakaran, bisa habis semuanya karena rumah-
rumah yang sangat padat ini," kata Muy lagi.

Namun di kampung itu, setiap kali hujan deras berjam-jam, sejumlah rumah yang
lokasinya lebih rendah atau bersaluran pembuangan air kecil dan mampat, hampir pasti
akan kebanjiran.

"Yah, beginilah kondisi kami masyarakat di sini yang bagaimana pun keadaannya tetap
harus menjalani kehidupan seterusnya," ujar dia, seraya berusaha tetap mencoba
tersenyum, pastinya bukan senyuman kebahagiaan.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat Inne
Silviane, persoalan kependudukan yang dialami masyarakat Indonesia --termasuk di kota
besar seperti DKI Jakarta dan Bandung itu-- dapat menjadi pemandangan sehari-hari saat
ini.

"Apalagi setelah program KB cenderung diabaikan pada era otonomi daerah, dan KB
tidak lagi diperhatikan di daerah-daerah," ujar Inne.

Dia menyebutkan, sebelumnya Indonesia dinilai sukses melaksanakan Program KB,


sehingga dapat menekan pertambahan penduduk sebanyak sekitar 80 juta, namun saat
ini ancaman ledakan kelahiran baru ("baby booming") dan kepadatan penduduk sangat
menghantui lagi.

Tahun 2008, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta lebih, dengan tingkat
kelahiran 2,6. Namun penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah dan mengatur
kehamilan hanya 61,4 persen.

"Masih ada sekitar 9,1 persen yang tidak ber-KB, tapi tidak mau punya anak dan ingin
menunda kehamilan," kata Inne pula.

Padahal menurut ahli demografi Universitas Indonesia (UI) Lilis Heri Mis Cicih MSi, jumlah
penduduk Indonesia masa depan akan terus semakin meningkat. Apalagi jika Program
KB tidak lagi menjadi perhatian dan prioritas dalam program pemerintah pusat dan
daerah-daerah.

"Angka kelahiran harus tetap turun, untuk mencapai penduduk bisa tumbuh secara
seimbang," kata Lilis.

Dia mengingatkan, tanpa pengendalian dan pengaturan kelahiran serta penguatan


kapasitas SDM, Indonesia sebentar lagi akan menghadapi ancaman "Baby Booming" dan
persoalan ikutan yang kompleks sebagai dampaknya.

Aktivis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat Cecep Hidayat
membenarkan, pihaknya perlu memberikan perhatian khusus kepada warga
perkampungan padat di Bandung, dengan kecenderungan usia kimpoi semakin muda
dan berpotensi makin padat dan kumuh lingkungannya itu.

Beberapa program dan pendampingan warga dijalankan di Taman Sari, antara lain
penyuluhan KB dan kesehatan serta penataan lingkungan maupun penguatan keluarga,
melalui aktivitas daur ulang sampah menjadi kompos dan tas serta barang kerajinan
lainnya dengan melibatkan kaum wanitanya.

Hasil kerajinan dari daur ulang sampah dipasarkan secara lokal dan menerima pesanan
dari sini maupun ke beberapa daerah untuk berpameran, kata Cecep.

PKBI dan Koalisi Jabar Sehat 2010 juga mendorong program penataan lingkungan dan
permukiman di Taman Sari itu, agar kendati warganya tinggal di kampung padat dan
cenderung kumuh, masih bisa melengkapi berbagai infrastruktur dana sarana dasar
kesehatan yang diperlukan.

Tujuannya adalah agar warga di kampung padat itu, tetap dapat hidup dalam lingkungan
yang lebih sehat, dan juga berpeluang mengembangkan kemampuan ekonominya
melalui dukungan peran kaum wanita setempat.

Apalagi masih terbilang jarang warga kampung ini yang berkesempatan mengenyam
pendidikan tinggi hingga bisa lulus kuliah, selain masih banyak warga miskin.

Kampung itu, kendati dikelilingi beberapa perguruan tinggi, termasuk PTN ternama ITB,
namun warganya justru lebih banyak yang tidak bisa kuliah karena keterbatasan
pendapatan dan ekonomi mereka.

Kehidupan ribuan warga Taman Sari--di tengah kemajuan Kota Bandung yang berjuluk
"Paris Van Java"--yang terpotret ini, diharapkan tidak menjadi termarjinalkan dan tersisih
dalam derap laju kota ini serta kota besar lain di Indonesia.

Sumber : http://beritadaerah.com/artikel.php?...b=column&page=

Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan Propinsi yang pertama
dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Propinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU
No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak
pembentukannya, wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni
Kabupaten Subang (1968); Kota Tangerang (1993); Kota Bekasi (1996); Kota Cilegon dan Kota
Depok (1999). Padahal dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang
pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan.
Jawa Barat merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang
indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber
Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir
dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian.
Dalam kurun waktu 1994-1999, secara kuantitatif jumlah Wilayah Pembantu Gubernur tetap 5 wilayah
dengan tediri dari : 20 kabupaten dan 5 kotamadya, dan tahun 1999 jumlah kotamadya bertambah
menjadi 8 kotamadya. Kota administratif berkurang dari enam daerah menjadi empat, karena Kotip
Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom.
Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Propinsi Banten, maka Wilayah Administrasi
Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Propinsi Banten dengan daerahnya
meliputi : Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten/Kota
Tangerang serta Kota Cilegon.
Adanya perubahan itu, maka saat ini Propinsi Jawa Barat terdiri dari : 16 Kabupaten dan 9
Kotamadya, dengan membawahkan 584 Kecamatan, 5.201 Desa dan 609 Kelurahan.
Adapun monografinya : Data tahun 2005
Luas
Jumlah Kepadatan
No Kabupaten/Kota Wilayah
Penduduk (Jiwa/Km2)
(Km2)
1 Kab. Bogor 3.440,71 3.945.111 1.147
2 Kab. Sukabumi 3.934,47 2.210.091 562
3 Kab. Cianjur 3.432,96 2.079.306 606
4 Kab. Cirebon 988,28 2.084.572 2.109
5 Kab. Indramayu 2.000,99 1.749.170 874
6 Kab. Kuningan 1.178,58 1.073.172 911
7 Kab. Majalengka 1.204,24 1.184.760 984
8 Kab. Bekasi 1.484,37 1.917.248 1.292
9 Kab. Karawang 1.737,53 1.939.674 1.116
10 Kab. Purwakarta 969,82 760.220 784
11 Kab. Subang 2.051,76 1.406.976 686
12 Kab. Bandung 2.000,91 4.134.504 2.066
13 Kab. Sumedang 1.522,21 1.043.340 685
14 Kab. Garut 3.065,19 2.260.478 737
15 Kab. Tasikmalaya2.680,48 1.635.661 610
16 Kab. Ciamis 2.556,75 1.522.928 596
17 Kota Depok 200,29 1.353.249 6.756
18 Kota Bogor 21,56 833.523 38.661
19 Kota Sukabumi 12,15 278.418 22.915
20 Kota Cirebon 37,54 276.912 7.376
21 Kota Bekasi 210,49 1.931.976 9.178
Kota Bandung
22 167,27 2.290.464 13.693
23 Kota Cimahi 48,42 482.763 9.970
24 Kota Tasikmalaya471,62 579.128 1.228
25 Kota Banjar 1.135,90 166.868 147
Jumlah 34.816,96 39.140.812
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah Tahun 2004

Geografi

Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan 104°48' - 104°48 BT
dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI
Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia
di Selatan dan Selat Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera
Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda); luas
wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.

Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari
segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan
kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di
kawasan tengah.

Dengan ditetapkannya Wilayah Banten menjadi Propinsi Banten, maka luas wilayah Jawa Barat saat
ini menjadi 35.746,26 Km2.

Topografi

Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif)
yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan
dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di
atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100 1.500 m dpl, wilayah
dataran luas di utara ketinggian 0 . 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai.

Iklim
Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9 0 C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 0 C di
Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan
antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.

Populasi

Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten terpisah
berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi
35.500.611 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju
pertumbuhan penduduk selama dasawasra 1990 - 2000 mencapai angka 2,17 %.

Sedangkan pada tahun 2003, jumlah penduduk telah bertambah menjadi 38.059.540 jiwa dengan
kepadatan penduduknya mencapai rata-rata 1.064 jiwa per kilometer persegi.

Sosial Budaya

Masyarakat Jawa Barat di kenal sebagai masyarakat yang agamis, dengan kekayaan warisan budaya
dan nilai-nilai luhur tradisional, serta memiliki prilaku sosial yang berfalsafah pada silih asih, silih
asah, silih asuh, yang secara harfiah berarti saling mengasihi, saling memberi pengetahuan dan
saling mengasuh diantara warga masyarakat.

Tatanan kehidupannya lebih mengedepankan keharmonisan seperti tergambar pada pepatah;


Herang Caina beunang laukna yang berarti menyelesikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru
atau prinsip saling menguntungkan.

Masyarakat Jawa Barat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kebajikan. Hal ini
terekspresikan pada pepatah ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan; yang berarti konsisten
dan konsekuen terhadap kebenaran serta menyerasian antara hati nurani dan rasionalitas, seperti
terkandung dalam pepatah sing katepi ku ati sing kahontal ku akal, yang berarti sebelum bertindak
tetapkan dulu dalam hati dan pikiran secara seksama.

Jawa Barat di lihat dari aspek sumber daya manusia memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia
dan sebagai Propinsi yang mempunyai proporsi penduduk dengan tingkat pendidikan, jumlah lulusan
strata 1, strata 2 dan strata 3, terbanyak dibandingkan dengan propinsi lain.

Вам также может понравиться