Вы находитесь на странице: 1из 11

Artikel

Menko Polhukam Bantah Pemerintah Berbohong

Sriwijaya Post - Rabu, 12 Januari 2011 18:54 WIB

JAKARTA - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto


mengatakan, pemerintah tidak pernah berbohong kepada rakyat tentang prestasi yang
telah dicapai.

"Pemerintah tidak pernah berbohong," kata Djoko di Kantor Kepresidenan, Jakarta,


Rabu, menyikapi editorial sebuah media massa.

Menurut Djoko, editorial media cetak itu menyebutkan bahwa pemerintah sudah terlalu
banyak melakukan kebohongan kepada rakyat. Djoko menyebutkan, editorial juga
menyerukan ajakan kepada rakyat untuk memerangi kebohongan tersebut.

Editorial media massa itu dibuat berdasarkan pernyataan sejumlah tokoh yang menyebut
tentang kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, Djoko tidak menanggapi
tudingan tokoh-tokoh tersebut, tapi lebih memilih menanggapi editorial media massa.

Djoko menegaskan, pemerintah bekerja dengan sungguh-sungguh dan tidak memiliki niat
sedikitpun untuk berbohong kepada rakyat.

Semua daftar prestasi pemerintah, katanya, disampaikan berdasar data dari lembaga
resmi. Bahkan, Djoko menegaskan, pemerintah juga dengan terbuka dan jujur
menyampaikan beberapa program yang belum tercapai.

Djoko mengatakan, pemerintah lebih bisa menerima jika dianggap belum berhasil dalam
melaksanakan program kerja di beberapa bidang.
"Tapi kalau pemerintah berbohong, saya kira ini terlalu jauh," katanya.

Dia menyatakan, pemerintah selalu membuka ruang diskusi jika ada pihak-pihak tertentu
yang memiliki data tandingan yang tidak sama dengan data yang dimiliki pemerintah.

Djoko berharap semua pihak menggunakan forum diskusi dalam menyatakan pendapat,
bukan menuding pemerintah berbohong.

Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa juga menegaskan, semua
fakta yang disampaikan oleh pemerintah selalu berdasarkan data yang terukur.

Data itu adalah data resmi yang dikeluarkan oleh lembaga kredibel seperti Badan Pusat
Statistik.

Inilah 18 Kebohongan Rezim SBY

Sejumlah tokoh lintas agama, pemuda, dan LSM membeber kebohongan Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin
(10/11) kemarin. Para tokoh lintas agama yang hadir dalam acara itu antara lain Syafii
Ma’arif, Andreas Yewangoe, Din Syamsuddin, D. Situmorang, Bikkhu Pannyavaro, KH
Salahuddin Wahid (Gus Solah), Romo Benny Susetyo, dan I Nyoman Udayana Sangging.
Selain itu sejumlah tokoh pemuda dan LSM juga hadir dalam acara tersebut untuk
membacakan pernyataan para tokoh lintas agama.

Mereka menyatakan, hingga detik ini kantong-kantong kemiskinan sangat mudah


ditemukan di tanah air. Maraknya perusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) menyebabkan kemiskinan tersebut kian bertambah akut. Kenyataan itu
merupakan sebuah pengkhianatan pemerintah yang harus segera dihentikan.

“Kami mengimbau kepada elemen bangsa, khususnya pemerintah, untuk menghentikan


segala bentuk kebohongan publik,” kata Romo Benny Susetyo saat membacakan
pernyataan bersama tokoh lintas agama tersebut.
Selain itu, para tokoh lintas agama sepakat, bahwa sistem ekonomi neo liberalisme yang
dijalankan pemerintah telah gagal meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,8
persen. Sebab rakyat kecil tidak pernah merasakan keadilan dari pertumbuhan ekonomi
semu itu. “Ini berlawanan dengan tuntutan Pasal 33 UUD 1945,” lanjut Romo Benny.

Ekonomi Indonesia, kata Romo Benny, sudah keluar dari jalur Undang-Undang Dasar
(UUD). Kecenderungan pasar bebas dalam sistem ekonomi Indonesia dinilai sebagai
pengkhianatan terhadap pembukaan UUD 1945. Kondisi tersebut, lanjutnya, diperburuk
oleh sikap pemerintah yang masih mengedepankan pencitraan. “Dan, terindikasi berpura-
pura, tidak satu antara kata dan perbuatan,” katanya.

Pemerintah, selama ini dinilai hanya berpura-pura dalam menegakkan hukum dan Hak
Asasi Manusia (HAM), memberantas korupsi, serta menjaga lingkungan hidup, dan
kekayaan Indonesia. “Marilah kita canangkan tahun 2011 ini sebagai tahun perlawanan
kebohongan,” pungkas Romo Benny.

Kebohongan 2010

Selain menyampaikan pernyataan terkait sembilan kebohongan lama pemerintah, para


tokoh lintas agama dan pemuda membacakan sembilan kebohongan baru pemerintah
yang terjadi sepanjang 2010. Sembilan kebohongan baru pemerintah itu berkenaan
dengan kebebasan beragama; kebebasan pers; perlindungan terhadap TKI—pekerja
migran; transparansi pemerintahan, pemberantasan korupsi; pengusutan rekening
mencurigakan (gendut) perwira Polisi; politik yang bersih, santun, beretika; kasus mafia
hukum yang salah satunya adalah kasus Gayus H Tambunan; dan terkait kedaulatan
NKRI.

Salah seorang pemuda, Riza Damanik, dalam kesempatan itu menyampaikan,


kebohongan pertama pemerintah adalah saat presiden berpidato pada 17 Agustus 2010
yang isinya menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, dan kebebasan beragama. Padahal
kenyataannya, janji tersebut tidak terpenuhi.
Sepanjang 2010 terjadi 33 penyerangan fisik atas nama agama. “Mantan Kapolri
Bambang Hendarso Danuri mengatakan 2009 terjadi 40 kasus kekerasan ormas, 2010
menjadi 49 kasus,” katanya.

Kebohongan kedua, terkait kebebasan pers. Presiden menjanjikan jaminan terhadap


kebebasan pers dan kepolisian berjanji akan menindak tegas setiap kasus kekerasan
terhadap insan pers. “Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat selama
2010 kasus kekerasan pers sebanyak 66 kasus meningkat dari 2009 yang 56 kasus,” kata
Riza.

Ketiga, kebohongan terkait perlindungan terhadap TKI atau pekerja migran. Presiden
berjanji akan melengkapi TKI dengan telepon genggam agar tidak terjadi ketertutupan
informasi, namun nyatanya, telepon genggam tidak juga diberikan dan memorandum
untuk melindungi para TKI tidak juga dilakukan.

Keempat, terkait transparansi pemerintahan, dibacakan aktivis pemuda Stefanus Gusma.


Isinya menyebutkan Presiden SBY menyatakan bahwa kepindahan mantan menteri
keuangan Sri Mulyani ke Bank Dunia adalah atas dasar permintaan Bank Dunia. Namun,
di sebuah media nasional diungkapkan bahwa kepindahan Sri Mulyani sesungguhnya
merupakan paksaan dari presiden. Seorang pejabat Kementerian Keuangan mengatakan
bahwa Sri Mulyani tidak pernah berniat mengundurkan diri.

Kelima, lanjut Gusma, terkait pemberantasan korupsi. Presiden berkali-kali berjanji akan
memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia. “Namun, riset ICW, dari
pernyataan SBY yang mendukung korupsi hanya 24 persen yang terlaksana,” katanya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris
Azhar melanjutkan, kebohongan keenam pemerintah adalah tentang pengusutan rekening
gendut para pewira Polri. Presiden menginstruksikan jika ada pelanggaran hukum, yang
terkait harus diberikan sanksi. Jika tidak, Kapolri harus menjelaskan kepada masyarakat.
Namun kenyataannya, kata Haris, sampai saat ini baik masalah rekening gendut maupun
pelaku penganiayaan aktivis ICW, Tama S Langkan masih misterius. “Bahkan 7 Agustus
2010 dan 29 Desember 2010 dua Kapolri mengatakan kasus ini ditutup,” katanya.

Kebohongan ketujuh, Presiden menjanjikan politik yang bersih, santun, dan beretika.
Padahal kenyataannya, lanjut Haris, hingga kini, Andi Nurpati masih menjadi pengurus
Partai Demokrat meskipun sudah diberhentikan tidak hormat oleh Dewan Kehormatan
Komisi Pemilihan Umum (KPU). ”Andi Nurpati melanggar peraturan KPU,” imbuhnya.

Kedelapan, lanjut aktivis ICW, Tama S Langkun, terkait kasus mafia hukum. Kapolri
Jenderal Timur Pradopo berjanji menyelesaikan kasus pelesiran terdakwa mafia pajak
Gayus H Tambunan dalam 10 hari. Tapi kenyataannya tidak ada keterangan pers tentang
hal tersebut.

“Kapan Gayus keluar, pergi naik apa, dengan siapa, aktivitasnya, sekarang malah
mencuat kasus baru, Gayus pelesir ke luar negeri,” kata Tama.

Dan kesembilan, kebohongan pemerintah menyangkut kedaulatan NKRI. Pada 1


September di Mabes TNI Cilangkap Presiden menyampaikan bahwa perlakuan tidak
patut terhadap tiga petugas KKP sedang diusut. Pemerintah Malaysia sedang
menginvestigasi masalah tersebut. “Tapi sampai saat ini tidak pernah diumumkan
penjelasan atau hasil investigas apa pun,” pungkas Tama.

(Sulitnya) Melindungi Pekerja Migran Indonesia

Dari tahun ke tahun, kondisi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih
memperlihatkan kondisi menderita dan tereksploitasi di diri para pekerja migran itu.
Perlindungan pekerja migran Indonesia memang masih menjadi hal yang kompleks,
namun sebetulnya bukan sulit tidak sulit, melainkan serius atau tidak Pemerintah dan
pemangku kepentingan mengatasinya.

Hingga tahun 2010, tidak kurang dari 6 juta warga negara Indonesia yang mengadu nasib
sebagai pekerja migran di luar negeri. Sebagian terbesar yaitu 80 persen adalah
perempuan dan 70 persen dari TKW Indonesia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Arab Saudi menjadi negara tujuan penempatan TKI terbesar di kawasan Timur Tengah.
Sementara Malaysia menjadi negara tujuan penempatan TKI terbesar di kawasan Asia
Pasifik.

Seperti diketahui, pekerja migran Indonesia masih banyak dirundung malang. Tidak
hanya ketika bekerja pada majikannya di negara penempatannya, namun TKI terlebih
TKW (tenaga kerja wanita) asal Indonesia, banyak mengalami eksploitasi, penipuan,
penyiksaan dan kriminalisasi, mulai dari saat rekrutmen, penempatan, bekerja, hingga
saat kembali ke tanah air. Hingga awal tahun 2010 saja, menurut data Migrant Care tidak
kurang dari 2.878 TKI mengalami kekerasan di seluruh negara penempatan. Sementara
setidaknya 215 orang TKI meninggal ketika bekerja di Arab Saudi dan 683 orang di
Malaysia.

Temuan Migrant Care tentang tipologi masalah TKI di negara-negara penempatan adalah
sebagai berikut. Tipikal masalah TKI di Malaysia adalah legalitas pekerja, di Hongkong
mayoritas adalah upah rendah, di Taiwan banyak gaji TKI tidak dibayar dan pemutusan
hubugan kerja (PHK) sepihak, di Singapura TKI banyak terjebak dalam rekrutmen untuk
penyelundupan (smugling in person) dan di Arab Saudi TKI terutama TKW banyak
mengalami kekerasan fisik dan pelecehan seksual.

Masalah kesejahteraan pekerja migran Indonesia, termasuk perlindungan keselamatan


dan hak-hak mereka sebagai pekerja, menjadi hal yang kompleks. Masalah yang harus
dibenahi meliputi banyak hal.

Pertama, kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dari pekerja migran Indonesia.
Mayoritas pekerja migran Indonesia yang dikirim ke luar negeri direkrut dari pedesaan,
di mana tingkat pendidikan masyarakatnya masih rendah. Belum lagi diskriminasi akses
pendidikan perempuan yang terpinggirkan, sementara mayoritas yang dikirim bekerja ke
luar negeri adalah perempuan. Kualitas dan kapasitas pekerja migran Indonesia yang
terutama adalah minimnya kemampuan bahasa yang menjadi bahasa komunikasi di
negara penempatan. Selain itu, penguasaan ketrampilan menggunakan perkakas kerja
yang semakin canggih, membuat pekerja migran Indonesia sering membuat kesalahan
dalam kerja, yang dampaknya memicu kemarahan pihak majikan.

Kegagalan komunikasi karena pekerja tidak memiliki kemampuan bahasa yang


digunakan di negara penempatan, membuat hubungan antara majikan dan pekerja
menjadi penuh ketegangan dan kekecewaan. Dampaknya, majikan menjadi rawan
melakukan perlakuan salah (abuse) terhadap pekerja berupa hukuman fisik, kekerasan
verbal, hingga penyiksaan dan pelecehan; bahkan akhirnya menjadi kerap dilakukan
tanpa alasan atau sebab yang jelas lagi.

Kedua, kebijakan Pemerintah yang menempatkan TKI sebagai komoditas penghasil


devisa dan remitansi, mendorong pengiriman sebanyak-banyaknya tenaga kerja upah
murah ke luar negeri. Secara psikologis pun, pekerja murah rawan menjadi korban
pelecehan martabat kemanusiaannya. Pemerintah harus menegakkan martabat TKI
dengan menghentikan kebijakan ekspor tenaga kerja murah.

Ketiga, “mafia” rekrutmen, pengiriman, dan penempatan TKI ke luar negeri, di mana
banyak pihak yang mengambil keuntungan (baik agen resmi maupun tidak resmi, dengan
memungut biaya di atas tarif resmi), membuat nasib TKI lagi-lagi menjadi obyek
eksploitasi yang jauh dari jaminan perlindungan apalagi kesejahteraan. Pemerintah harus
memberantas mafia TKI baik di dalam maupun di luar birokrasi Pemerintah.

Apabila ketiga permasalahan tersebut di atas masih belum dibenahi, namun Pemerintah
masih membuka kran ekspor pekerja migran Indonesia ke luar negeri, artinya Pemerintah
memang tutup mata. Artinya pula, Pemerintah hanya tahu mengeksploitasi SDM murah
dan membiarkan SDM Indonesia tidak berkualitas dan kapasitas, sehingga menjadi
bulan-bulanan dan obyek perundungan di negeri seberang. Untuk itu, setiap kali ada TKI
kembali ke kampung halaman hanya tinggal nama dan tubuh dalam peti jenazah,
Pemerintah pantaslah dituntut pertanggungjawabannya.
Review

Artikel berjudul “Inilah 18 Kebohongan Rezim SBY” yang kami sajikan mengandung
banyak aspek yang dapat ditelaah dan dinilai oleh masyarakat mengenai
kejelasannya. Aspek tersebut dapat menyangkut aspek ekonomi, hukum, bidang
pertahanan dah keamanan, bidang keagamaan,sosial dan sebagainya. Mengenai
kebenaran berita tersebut, hanya public yang dapat menilai apakah kebohongan
pemerintah itu benar atau memang hanya berita saja.

Contoh yang akan kami ambil yaitu mengenai kebohongan pemerintah mengenai
perlindungan terhadap TKI dan pekerja migrant. Hal ini berkaitan dengan pengendalian
pemerintah di sektor pertahanan dan keamanan Negara.

Trafiking yang merupakan masalah yang terjadi hampir diseluruh Negara. Masalah ini
semakin berkembang dengan meluasnya dampak globalisasi di seluruh dunia. Masalah
tersebut juga dialami oleh Indonesia. Indonesia menjadi pemasok, dan perantara dari
pengiriman TKI ini

Seperti yang telah diketahui trafiking merupakan suatu problema yang dilematis sehingga
diperlukan suatu penangan yang komperhensif dari pemerintah dan seluruh lapisan
masyarakat. Jika ditelaah lebih rinci inti permasalahan trafiking ini terletak pada masalah
kemiskinanan dan pendidikan. Masyarakat selama ini terjebak dalam lingkaran
kemiskinan yang tidak ada hentinya, karena kemiskinan masyarakat tidak memiliki
pendidikan yang layak, begitu juga sebaliknya karena pendidikan yang kurang masyrakat
menjadi miskin dan tidak mampu bersaing

Selama ini pemerintah telah berupaya menangani masalah trafiking ini. Hal ini terbukti
dengan banyaknya Perpu dan UU yang mengatur mengenai permasalahan trafiking
sebagai bentuk pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah.
Namun, permasalahan trafiking tidak dapat dihentikan hanya dengan keluarnya UU.
Permasalahan sebenarnya terletak pada tidak tersedianya lapangan kerja bagi rakyat
Indonesia. Hal tersebut memaksa masyarakat untuk bekerja di luar negeri menjadi TKW
dengan berbagai resikonya. Bahkan dari sebagian masyarakat rela mengorbankan dirinya
sebagai alat pembayar hutang keluarganya. Hal tersebut juga diperburuk dengan kondisi
pendidikan masyarakat yang rendah. Oleh karena itu untuk menangani permasalahan
trafiking hendaknya pemerintah tanggap dengan melakukan pemarataan pembangunan di
dalam negeri dan pemberian pendidikan yang cukup juga dapat diikuti oleh partisipasi
masyarakat.

Hal pertama yang dapat dilakukan yaitu memperkuat ekonomi dalam negeri. Hal ini
dapat dilakukan dengan membuka lapangan tenaga kerja seluas-luasnya secara merata
dengan memanfaatkan sumber daya manusia lokal. Cara lain yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Dengan program ini diharapkan
masyarakat menjadi lebih mandiri, kreativ dan inovativ. Masyarakat yang mandiri akan
mampu menyelesaikan masalah dan mengubah tantangan menjadi kesempatan. Selain itu
pengatasan masalah pendidikan dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sistim
pendidikan yang lebih mengarahkan pelajar untuk lebih kreatif bukan hanya
mengutamakan kognetif semata. mempermudah akses pendidikan bagi masyarakat juga
harus dilakukan pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan mempebanyak sekolah dari
SD hingga SMA/SMK di seluruh tingkat kabupaen hingga kecamatan.
Selain peningkatan ekonomi serta kapasitas SDM dalam negeri, perlindungan terhadap
para TKI yang ada diluar negeri juga seharusnya ditingkatkan oleh pemerintah. Hal ini
dapat dilakukan melalui meningkatkan kerjasama bilateral dalam rangka perlindungan
TKI diluar negeri. Selain itu untuk menghindari terjadinya trafiking terhadap para TKI
dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan terhadap calon TKI yang akan
diberangkatkan. Perbaikan mental SLB (street level birokrat) seharusnya juga dilakukan.
Sehingga para SLB tidak mudah untuk disuap dan pengiriman TKI ilegal juga dapat
ditekan.

Kesimpulan : Pengendalian pemerintah dalam hal pekerja migrant ini belum baik, karena
hingga saat ini segala macam bentuk pengendalian yang diupayakan pemerintah belum
mencapai hasil yang diharapkan.
Tugas Mata Kuliah Akuntansi Sektor Publik

NAMA KELOMPOK:

1. Susan Katarina (08.1.045)

2. Melisa (08.1.401)

3. Chika Yulina (08.1.403)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI MUSI


PALEMBANG
2010
Daftar Pustaka

http://www.theindonesianinstitute.com/index.php/pendidikan-publik/wacana/285-
sulitnya-melindungi-pekerja-migran-indonesia

http://palembang.tribunnews.com/view/57330/menko_polhukam_bantah_pemerintah_ber
bohong

http://gokilbo.wordpress.com/2011/01/11/inilah-18-kebohongan-rezim-sby/

Вам также может понравиться