Вы находитесь на странице: 1из 2

Resensi

Kumpulan Cerpen Memoar

"CINTA, PERANG DAN ILUSI"

Penarang: Dr. Asahan Alham Aidit

XII + 271 halaman

Penerbit: Lembaga Humaniora

POLITIK DAN IDEOLOGI BUKAN BARANG SAKRAL

Soeprijadi Tomodihardjo

MEMBACA 28 cerita dalam buku ini saya mendapat kesan, corak temanya lebih
merupakan kumpulan memoar daripada "kumpulan cerpen memoar" seperti terpapar
pada tajuknya. Cerpen sebagai salah satu genre sastra pada dasarnya mengacu
rumusan yang berbeda dengan memoar, meskipun bisa beraroma sama. Asahan tentu
memiliki rumusan sendiri ketika menyebut bukunya "kumpulan cerpen memoar".
Dalam praksis penulisan sastra dewasa ini kita kenal patokan tertentu yang
dianut pengarang cerpen, tetapi ini sukar disebut rumusan baku yang bisa
memaksa pengarang cerpen, termasuk Asahan, mematuhinya, karena dunia sastra
bukan sebuah institusi yang melembaga.

Dengan sentuhan ini saya sekedar membedakan kedua bentuk karangan tanpa
mengurangi kepercayaan saya pada data-data maupun nilai memoar Asahan bagi
pembaca, mungkin juga bagi sementara sejarawan Indonesia.

Galibnya sebuah memoar, buku ini berisi sejumlah kisah tentang berbagai segi
kehidupan manusia dalam konteks pribadi pengarang. Sebagai manusia normal
bukanlah noda bila Asahan dalam hampir semua "cerpen" memoarnya ini banyak
mengungkap tentang makhluk bernama perempuan di masa remajanya. Sebut saja guru
fonetik yang cantik di Moskwa (5/42), atau Bich Nhu gadis Vietnam yang sukar
dilupakan olehnya (Romantisme Dalam Perang: 8/197). Terasa kesan ini lebih
khusus dan serius ketika Asahan membandingkan kecantikan gadis-gadis Rusia dan
Vietnam: "Semua gadis Rusia adalah bintang film yang tidak melamar jadi bintang
film. Di Vietnam ketika itu, semua gadis tentara. Tapi yang satu ini (Bich Nhu
–pen.), di samping sebagai seorang tentara, saya kira juga seorang bintang film
yang terciduk menjadi tentara." (6/183). Ini adalah ramuan dan fantasi Asahan
tentang kecantikan wanita seperti kita temukan pada hampir semua nomor "cerpen"
memoarnya. Chere cest la femme! Siapa tidak pernah
remaja?

"Saya mengenal Dr. Asahan sebagai ilmuwan dengan pengalaman yang luas dalam
sastra Asia Tenggara, baik sebagai peneliti maupun pengarang yang kreatif dalam
bahasa Vietnam maupun bahasa dan sastra modern Indonesia serta Malaysia", tulis
Prof. Dr. A. Teeuw pada kulit belakang buku ini. Dengan cerdik dan menarik dia
menyodorkan sejumlah catatan tentang pengalamannya selama belajar di Uni Soviet
(1961-1966) dan Vietnam (1966-1984). Cerdik karena dia begitu mudah bersilat
lidah dengan diri sendiri, nyaris mendekati sebuah monologia! Menarik karena
dia mampu memancing pembaca untuk berbagi kesan dan kesimpulan paling mendalam
tentang pengalaman sejarah kemanusiaan abad yang lewat, bahwa politik dan
ideologi bukan barang sakral, tanpa cacat, tanpa kekurangan bahkan kesalahan,
seperti sangka para Pemimpin Partai yang otoriter. Padahal dalam proses
kehidupan sebenarnya setiap politik dan ideologi terbuka lebar untuk banyak
sekali koreksi, bahkan tudingan kejahatan kemanusiaan.
Begitulah Sosialisme dan Komunisme. Begitu pula Kapitalisme alias Dunia Bebas.
Untuk yang terakhir ini globalisasi belum jangkauan memoar Asahan: betapa
Neoliberalisme mengidap bukan saja konflik intern tapi juga penghisapan sumber
alam Dunia Ketiga secara lebih membabibuta.
Lima tahun belajar di Moskwa ditambah 18 tahun tinggal di Vietnam, akhirnya
membuat Asahan ragu: "Apa Ada Solidaritas Kelas?" (12/119). Stalin membunuh
jutaan bekas kawan sekelasnya sendiri. Belakangan Ketua Mao tak kalah kejam,
membunuh jutaan komunis sampai hampir habis, tinggal Deng Siauw Ping, "si botol
kecil yang tak bisa dipecahkan", kata Asahan.

Seluruh jangkauan persoalan yang disodorkan dalam memoar ini terkait ketat
dengan politik. Pengarang ini memang menyandang nama besar kakak sulungnya, DN
Aidit Ketua CC PKI. Tidak dengan gampang dia mencoba melepaskan diri dari
belenggu ini ketika menyiapkan naskah memoarnya. Tetapi berkat nama besar sang
kakak, selama rentang waktu yang panjang di Uni Soviet, Peking maupun Vietnam,
suka tak suka sedikit banyak ikut juga menikmati fasilitas partai, kendati
dengan sikap sedikit tahu diri: "Saya tidak mau jadi tamu yang rewel, apalagi
sebagai tamu negara." (10/103: Bertemu Abang Saya DN Aidit di Peking 1965).

Ketika PKI mulai mengganyang revisionisme modern yang berjangkit dalam tubuh
Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), dia terjepit karena partai sang Abang
mengambil posisi pro Peking. Hidupnya menjadi serba sulit di Moskwa. Fasilitas
kemahasiswaan direduksi. PKI dibenci. Asahan diam-diam dikucilkan. Akhirnya dia
meninggalkan Moskwa menuju Vietnam. Tetapi di sana tetap saja tersekap di bawah
perangkap otoritas pimpinan partai di Utara, namun sempat memaki Revolusi Besar
Kebudayaan Proletar (RBKP) yang sedang dikobarkan oleh Ketua Mao.

Gajah sama gajah berkelahi, pelanduk mati terinjak. Kurang lebih inilah
hikmah yang ingin diwariskan Asahan kepada anak-cucu generasinya, korban
peristiwa 1965 yang sempat selamat. Si pelanduk yang terinjak bukan hanya PKI
melainkan juga seluruh bangsa dan Tanahairnya, terjepit di antara 3 negara
besar yang bertengkar: Uni Soviet, Tiongkok dan Amerika yang sama-sama punya
kepanjangan tangan di Indonesia.

Vietnam mengajarkan pada Asahan, betapa berharga kebebasan dan harga diri
sebuah bangsa untuk dibela dan dipertahankan mati-matian. Dalam 4000 tahun
sejarahnya, bangsa ini pernah mengalami penjajahan dan penghancuran di bawah
kekaisaran Cina. Vietnam adalah sumber simpati sekaligus inspirasi bagi
penulis memoar ini. Tentu bukan karena Sen, istrinya, berkebangsaan Vietnam.

Tetapi saya sempat menduga, buku Asahan akan melengkapi kisah-kisah sejarah
yang tragis tentang peristiwa 1965 di Indonesia. Ternyata tidak, karena dia
memang tidak berada di Tanahairnya ketika terjadi pembantaian itu. Namun ada
yang layak dikutip dari tulisan Asahan ketika berdialog dengan kakak sulungnya,
DN Aidit, waktu bertemu di Peking awal musim panas 1965:

DNA: „Kapan kau pulang ke Indonesia San?“


Asahan: „Masih setahun lagi“
DNA (dengan gaya cukup serius): „Sayang kau tidak ikut revolusi, sekarang
adalah waktu yang terbaik.“

Asahan: „Saya harus tamat dulu, barulah pulang.“


DNA: „Revolusi tidak akan menunggumu.“

Dan dengan itu Asahan memancing reaksi singkat pembacanya, mungkin juga para
sejarawan di Tanahairnya yang berbunyi: Lho!
Revolusi tidak pernah terjadi di Indonesia seperti prediksi kakak sulungnya.
Kudeta memang bukan revolusi.**

Вам также может понравиться