Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Desa Bolapapu-Sulawesi Tengah sebagai pusat pemerintahan kecamatan seiring
dengan perkembangan zaman, saat ini memiliki dua pemimpin lokal yang berasal dari
Golongan Tua dan Golongan Pemuda. Masyarakat Adat (MA) Bolapapu yang bertempat
tinggal di dalam hutan Lore Lindu memiliki kearifan tradisional dalam mengelola dan
memanfaatkan hutannya. Pada sisi lain hutan tersebut pada tahun 1978 ditetapkan
menjadi Taman Nasional (TNLL) sebagai aplikasi dari peraturan pemerintah. Posisi
Bolapapu yang dihimpit oleh TNLL di sebelah timur dan penghijauan di sebelah barat
membatasi MA untuk memperluas wilayahnya, sementara itu kebutuhan akan lahan
seiring dengan populasi yang bertambah juga meningkat.
Kabupaten Bengkalis-Riau memiliki potensi sumberdaya pesisir yang belum
dikelola secara optimal, seiring dengan ditetapkannya UU no 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah, membuat Pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan terkait
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. Kebijakan tersebut antara lain
berupa penetapan tiga jalur penangkapan ikan dan pemberian izin menangkap ikan
menggunakan Jaring Batu, dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi sebesar
15.000 ton per tahun. Penetapan kebijakan tersebut berpengaruh terhadap dua komunitas
nelayan yang bertempat tinggal di sekitar wilayah Bengkalis, antara lain Komunitas
Nelayan Parit III dan Komunitas Nelayan Melati.
Perumusan Masalah
MA Bolapapu merasa memiliki hak menggunakan lahan yang termasuk dalam
wilayah TNLL, sehingga MA seringkali dengan sengaja merambah lahan di TNLL
dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Sementara itu Golongan
Pemuda yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, menilai bahwa masalah
sebenarnya adalah bagaimana caranya mempertahankan hutan agar tetap lestari guna
memenuhi kebutuhan MA. Berdasarkan itu maka Golongan Pemuda berinisiatif untuk
merevitalisasi pengetahuan lokal terkait pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Adapun revitalisasi tersebut ditempuh dengan cara meninjau ulang hukum adat
yang berlaku sekaligus mengadaptasikannya kedalam sistem pemerintahan lokal. Akan
tetapi hal ini ditentang oleh Golongan Tua karena berdasarkan adat istiadat, hanya
Maradika dan Totua Ngata yang memiliki wewenang untuk meninjau ulang hukum adat.
Berdasarkan itu maka aksi reformasi Golongan Pemuda tersebut, oleh Golongan Tua
dianggap sebagai tindakan menyimpang yang menyalahi adat istiadat setempat.
Komunitas Nelayan Parit III di wilayah Bengkalis merupakan komunitas nelayan
tradisional yang menangkap ikan di wilayah Jalur I, yaitu wilayah penangkapan ikan
yang hanya menggunakan alat tangkap konvensional seperti rawai atau jaring tanpa
modifikasi. Komunitas Nelayan Melati merupakan komunitas nelayan modern yang
menangkap ikan di wilayah Jalur II dan III, yaitu wilayah penangkapan ikan yang
menggunakan alat tangkap yang dimodifikasi seperti Jaring Batu. Komunitas nelayan
tradisional senantiasa menjaga kelestarian laut menggunakan cara-cara yang ramah
lingkungan saat berinteraksi dengan sumberdaya pesisir.
Sedangkan komunitas nelayan tradisional hanya mengembangkan interaksi sosial
antar nelayan dan tidak memiliki aturan-aturan yang berhubungan dengan alam, sehingga
Tugas m.k. Dasar Dasar Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Sekolah Pasca Sarjana-Institut Pertanian Bogor
Nama : Andini Tribuana T. Hari : Jumat
NIM : P 052100111 Tanggal : 28 Januari 2011
TINJAUAN PUSTAKA
Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih individu yang memiliki
atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher dalam Shaliza,
2004). Pandangan lain disampaikan Kriesberg dalam Shaliza (2004), yang beranggapan
bahwa konflik sosial dapat terjadi ketika dua atau lebih individu atau kelompok
memperlihatkan keyakinan bahwa mereka mempunyai tujuan yang tidak harmonis. Lebih
lanjut Dharmawan dalam Sardi (2010) menyatakan bahwa konflik sosial dapat
berlangsung pada aras antar ruang kekuasaan, yang terdiri dari tiga ruang yaitu : Ruang
Kekuasaan Negara, Masyarakat Sipil atau Kolektivitas-Sosial, dan Sektor Swasta.
Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan beerlangsung makin
kompleks, manakala unsur-unsur pembentuk sebuah ruang kekuasaan tidak
merepresentasikan struktur sosial dengan atribut atau identitas sosial yang homogen. Di
ruang kekuasaan negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat laten
(terselubung atau terpendam) maupun manifest (terbuka atau berwujud nyata). Fisher
dalam Shaliza (2004), menyatakan bahwa konflik dapat terjadi dikarenakakan beberapa
hal, antara lain :
1. Polarisasi, ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda
dalam suatu masyarakat -Teori Hubungan Masyarakat-
2. Terdapat posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik
oleh pihak-pihak yang mengalami konflik -Teori Negosiasi Konflik-
3. Adanya usaha untuk menghalang-halangi pemenuhan kebutuhan dasar manusia, baik
kebutuhan fisik, mental, dan sosial –Teori Kebutuhan Manusia-
4. Terancamnya identitas yang sering berakar pada hilangnya sesuatu hal atau karena
penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan –Teori Identitas-
5. Ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda
–Teori Kesalahpahaman antar Budaya-
6. Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-
masalah sosial, budaya, dan ekonomi –Teori Transformasi Konflik-
Tugas m.k. Dasar Dasar Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Sekolah Pasca Sarjana-Institut Pertanian Bogor
Nama : Andini Tribuana T. Hari : Jumat
NIM : P 052100111 Tanggal : 28 Januari 2011
Konflik dapat berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas,
ketegangan, dan kekerasan yang berbeda (Fisher dalam Idris, 2010). Tahap-tahap ini
penting sekali diketahui dan dapat diperoleh berdasarkan pada lima tahap analisis dasar,
antara lain :
1. Pra Konflik
Periode dimana terdapat ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih sehingga
timbul konflik tersembunyi, juga terdapat ketegangan hubungan dan keinginan untuk
menghindari kontak satu sama lain.
2. Konfrontasi
Konflik semakin terbuka dan terdapat perilaku konfrontatif seperti pertikaian dan
kekerasan pada tingkat rendah, bahkan masing-masing pihak mungkin akan
mengumpulkan sumberdaya, kekuatan, atau sekutu guna meningkatkan konfrontasi.
3. Krisis
Merupakan puncak konflik yaitu ketika ketegangan atau kekerasan terjadi paling
hebat dan menelan korban.
4. Akibat
Apapun keadaannya pada periode ini tingkat ketegangan, konfrontasi, dan kekerasan
agak menurun disertai dengan kemungkinan adanya penyelesaian.
5. Pasca Konflik
Situasi terselesaikan, ketegangan berkurang, dan hubungan antar kedua pihak
menjadi lebih normal, namun jika isu-isu dan masalah yang timbul tidak diatasi tahap
ini akan kembali menjadi situasi Pra Konflik.
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel di atas, terlihat jelas bahwa pada masing-masing contoh kasus
terjadi dua konflik, dimana munculnya konflik kedua merupakan lanjutan dari konflik
pertama yang tidak terselesaikan dengan baik. Kasus 1 merupakan contoh konflik yang
terjadi di Desa Bolapapu-Sulawesi Tengah, sedang kasus 2 merupakan contoh konflik
yang terjadi di Kabupaten Bengkalis-Riau. Adapun penjelasan konflik pada kedua kasus
secara jelas adalah sebagai berikut :
Tugas m.k. Dasar Dasar Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Sekolah Pasca Sarjana-Institut Pertanian Bogor
Nama : Andini Tribuana T. Hari : Jumat
NIM : P 052100111 Tanggal : 28 Januari 2011
Alternatif Solusi
KASUS 1 : Konflik Kepentingan di Desa Bolapapu-Sulawesi Tengah
o Pengelola harus melibatkan MA dalam perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan
SDA dalam hutan, dalam rangka pemberdayaan masyarakat seperti yang tertulis
dalam UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
o Diharapkan dengan adanya keterlibatan masyarakat tersebut akan memberikan
pengertian kepada masyarakat terkait TNLL dan peraturan-peraturannya, sehingga
pemanfaatan yang dilakukan MA dapat berjalan secara lestari dan berkelanjutan.
o Pemerintah turut serta dalam mediasi antara kedua golongan yang ada didalam
masyarakat, agar kearifan tradisional (hukum adat) dan peraturan pemerintah (hukum
positif) dapat berjalan secara bersamaan
KASUS 2 : Konflik Kepentingan di Kabupaten Bengkalis-Riau
o Membentuk tim pengawasan di lapangan sebagai suatu bentuk penegasan batas antar
jalur, untuk menjaga agar setiap nelayan berada pada jalur penangkapan yang benar
sesuai peraturan berlaku
o Menindak tegas setiap nelayan yang melanggar batas jalur penangkapan dan
pemberian sangsi oleh Pemerintah Pusat kepada pihak berwenang yang lalai dalam
tugasnya
o Pemerintah Provinsi harus senantiasa memikirkan kesejahteraan masyarakat lokal
selain menetapkan target produksi untuk kepentingan perekonomian wilayah, dengan
melakukan pemberdayaan pada masyarakat lokal yang diharapkan nantinya akan
meningkatkan perekonomian wilayah secara tidak langsung
KESIMPULAN
Perbedaan konflik antara kedua daerah yang menjadi contoh kasus dalam
makalah ini terletak pada tipe dan kedalaman konfliknya. Pada Desa Bolapapu-Sulawesi
Tengah karena Konflik 2 sifatnya lebih terbuka dan berada pada tahap konfrontasi, maka
konflik yang dominan adalah konflik kepentingan antara Golongan Pemuda dan
Golongan Tua (Konflik 2). Sementara itu pada Kabupaten Bengkalis-Riau, walau kedua
konflik yang ada di sana sama-sama bersifat terbuka namun salah satu konflik telah
mencapai tahap Pasca Konflik yang tidak terselesaikan secara baik, sehingga munculah
konflik baru dan menjadi konflik yang dominan pada daerah tersebut yaitu konflik
kepentingan antara Komunitas Nelayan Parit III dengan pihak DPK dan kepolisian
setempat (Konflik 2).
DAFTAR PUSTAKA