Вы находитесь на странице: 1из 3

MAKNA MAHAR

07 July 2010 | 26 Rajab 1431 Redaksi


Mahar merupakan salah satu syarat sah sebuah akad nikah yang pada zaman modern saat ini
mulai mengalami pergeseran nilai. Pemberian mahar pada saat ini hanya dianggap sebagai
salah satu bagian dalam ritualitas akad nikah sehingga tujuan syari (al-maqosid syariah)
dari kewajiban mahar tereduksi oleh nilai-nilai lain selain Islam. Sehingga wajar jika
pemberian mahar atau bentuk mahar yang diberikan atau diminta saat ini aneh-aneh
bentuk dan nilainya. Ada mahar yang berupa sejumlah uang dg nilai sesuai dengan tanggal
nikah, ada juga mahar berupa kumpulan uang yang dibentuk menyerupai benda tertentu.
Bahkan ada mahar dalam bentuk skripsi, ijazah kelulusan, dan lain sebagainya. Mahar yang
paling sederhana dan paling umum di masyarakat kita adalah mahar seperangkat sholat
dan al-qur’an yang telah menjadi tradisi turun temurun, entah darimana asalanya yang
jelas mahar tanpa dua benda tersebut dirasa kurang “afdhol”. Dan yang sering terjadi salah
kaprah juga terjadi dikalangan para aktivis da’wah, ada sebuah kesan bahwa jika maharnya
berupa hafalan satu surat atau beberapa ayat Al-Qur’an seakan-akan itu sesuatu yang
hebat, sesuatu yang sangat berharga, dan seakan-akan menjadi bentuk mahar yang paling
baik, padahal asumsi dan kesan tersebut sama saja menjadikan nilai dan makna mahar dari
sisi Al-Maqosid syariah menjadi hilang.
Mari kita tengok peristiwa-peristiwa pernikahan Rasulullah dan para sahabat, utamanya bentuk
maharnya seperti apa. Rasulullah pada saat menikahi Khadijah maharnya adalah puluhan
unta, yaitu kurang lebih 40 unta (bisa dicek jumlah tepatnya dalam sirah) dan sejumlah
emas, yang jika diuangkan dalam masa kini mahar Rasulullah saat menikahi khadijah
kurang lebih 1/2 milyar. Ada juga sahabiah hindun yang akan menikah dg abu sofyan
meminta mahar dg keislaman abu sofyan. Bahkan ada seorang sahabat yang menikah
hanya memberi mahar bacaan Al-Qur’an karena saat itu dia tidak memiliki apa-apa.
Memang bentuk dan rupa mahar tidak ada ketentuan yang jelas dalam syariat Islam,
cuman Rasulullah memberikan rambu-rambu bahwa mahar itu harus sesuatu yang
mempunyai nilai bagi mempelai putri walau itu berupa cincin dari besi, dan tidak
memberatkan bagi pihak laki-laki. Dan pada saat ada sahabat yang ingin menikah tapi tidak
mampu memberikan mahar maka Rasulullah menyuruh sahabat tadi menikah dg mahar
hafalan Al-Qur’an yang dia miliki. Bahkan beberapa ulama fiqih saat ini menyatakan mahar
yang diberikan itu harus sesuatu yang produktif bukan hanya bernilai saja.
Tujuan pemberian mahar dalam prespektif al-maqosid syariah adalah untuk menjaga kemulian
wanita. Mungkin tujuan ini sekilas tidak nyambung dengan pemberian mahar, bahkan para
orientalis menyatakan mahar itu melecehkan kaum wanita karena wanita diibaratkan
dengan barang dagangan. Para orientalis menganggap pemberian mahar ibarat proses
barter dalam perdagangan. Itulah pikiran picik dari para orientalis. Memang manfaat
mahar untuk menjaga kemulian wanita pada saat menikah tidak terasa, nuansa dan rasa
yang ada hanyalah nuansa untuk membandingkan nilai mahar dengan nilai wanita.
Sehingga wajar kemudian masyarakat saat ini menjadikan mahar hanya sebatas ritualitas
dalam akad nikah yaitu hanya sekedar menggugurkan suatu kewajiban agar dapat
terlaksananya suatu hukum, karena mereka sudah “teracuni” oleh pemikiran para
orientalis tersebut.
Mahar yang diterima oleh seorang istri akan menjadi harta pribadi milik sang istri, sehingga istri
mempunyai hak penuh untuk mengelolanya tampa harus tunduk atau dibawah perintah
suami. Suami tidak boleh menggunakan harta yang berasal dari mahar tersebut tampa se-
ijin istri. Mulai dari pemahaman atas kedudukan mahar dalam masalah status harta maka
akan menjadi jalan masuk kita untuk memahami bahwa mahar adalah untuk menjaga
kemulian wanita. Jika mahar yang menjadi harta milik wanita maka bisa dibayangkan jika
maharnya adalah harta yang produktif seperti sapi, kerbau, tanah pertanian, mobil, uang,
emas dll maka harta tersebut akan dapat digunakan oleh istri untuk melakukan investasi
dan usaha yang akan menjamin kebutuhannya sehingga dia tidak perlu lagi bekerja di luar,
dan tidak perlu lagi untuk “mengemis” uang nafkah ke suami. Sehingga kemandiriannya
sebagai wanita akan terwujud, dan kemualiannya akan terjaga karena akan banyak
terhindar dari kasus KDRT yang sering terjadi akibat lemahnya kedudukan wanita dalam
rumah tangga. Dan yang lebih terasa lagi manfaatnya adalah jika suaminya meninggal dan
meninggalkan beberapa orang anak, maka selain harta warisan sang suami, harta dari
mahar pun akan mampu menjaga kemualian seorang wanita pada saat dia berstatus janda.
Dengan harta mahar yang besar dan bernilai serta produktif maka seorang janda tidak akan
kebingungan untuk memikirkan nafkah dan biaya hidup untuk diri dan anak-anaknya,
sehingga dia tidak perlu “mengemis” ke orang lain. Coba bayangkan jika mahar kita hanya
seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an, atau hanya hafalan hadist dan ayat Al-Qur’an, atau
sejumlah uang dan benda-benda yang tidak jelas nilainya, maka mahar itu tidak bisa
menjadi harta bagi istri kita yang bisa menjaga kemulian dia sebagai wanita pada saat
menjadi istri atau pun saat dia menjadi janda. Itulah makna dan maksud kenapa mahar itu
menjadi salah satu syarat syahnya akad nikah. Semakin besar nilai manfaat dan nominal
dari mahar yang kita berikan kepada istri kita menunjukkan semakin tinggi rasa tanggung
jawab kita sebagai suami untuk menjaga kemulian seorang wanita dan istri sehingga kita
memang pantas untuk bisa menjadi lelaki yang qowam.

Вам также может понравиться