Вы находитесь на странице: 1из 3

(Demo)grafi Sumatera Barat

Oleh : Elfindri

Dosen FE-Unand dan ketua koalisi kepedudukan untuk pembangunan Sumbar

Apa yang penting ingin disampaikan dalam tulisan


ini? Bahwa pembangunan Indonesia dan juga
Sumatera Barat, sejak tahun 2000 tidak lagi melihat
penduduk sebagai instrumen pembangunan. Tidak
seperti pada masa periode sebelumnya, di mana isu
kependudukan terintegrasi ke setiap perencanaan
pembangunan daerah, serta pelaksanaan
pembangunan.

Dari begitu semangatnya  tokoh-tokoh kependudukan


seperti Prof Wijoyo Nitisastro, Prof Emil Salim dan
Prof Haryono Soeyono memasukan unsur
kependudukan dalam perencanaan pembangunan,
sampai gaung kependudukan semakin redup pasca-
itu.

Sehingga, setiap pembahasan rencana pembangunan


jangka menengah (RPJM) dan rencana tahunan mulai dari pusat, provinsi sampai kabupaten dan
kota boleh dikatakan persoalan kependudukan tidak menjadi titik sentral perhatian lagi. Bahaya
memang. Kita akan menuai persoalan yang kurang kita sadari sejak awal. Itu asal muasal dari
mengabaikan kependudukan.

Bahaya sangat besar ketika mulai dari nasional sampai ke daerah tidak kembali memperbaiki
sikap dan komitmen untuk menempatkan penduduk sebagai salah satu instrumen penting dalam
pembangunan. Buktinya, sangat gampang kita temukan. Begitu Sensus Penduduk tahun 2010
diumumkan hasilnya, hampir semua kita kaget bahwa ternyata jumlah penduduk kita lebih
sekitar 2,5 juta dari yang diperkirakan, dan angka kelahiran dalam kurun lima tahun terakhir
tidak mengalami penurunan. Kalau sikap bahwa Indonesia memang tidak menganut rezim
antinatalis, maka penduduk memang tidak perlu dijadikan sebagai salah satu instrumen
pertimbangan kebijakan.

Persoalan penduduk bukanlah semata membicarakan keluarga berencana, mengingat instrumen


KB adalah salah satu bagian kecil dari kebijakan yang menempatkan penduduk sebagai modal
dalam jangka panjang. Penduduk mesti dilihat dari keluarga yang besarnya tidak terencana
sampai keluarga mampu merencanakan sampai terbentuknya keluarga sejahtera dan sakinah.

Penduduk juga bisa dilihat tidak sekadar bagaimana kematian bayi terjadi, namun adalah
bagaimana kualitas kelangsungan hidup, berupa kesehatan dan gizi generasi yang akan datang,
sehingga dapat menjadi dasar bagi generasi kelak untuk memiliki ketahanan dan kekuatan dalam
menghadapi tantangan pada zamannya.

Demikian juga penduduk, tidak saja dilihat dari bagaimana selisih antara kejadian kematian dan
kelahiran. Namun, mesti dilihat lebih apa implikasi yang ditimbulkannya. Untuk konteks
Sumatera Barat misalnya, ada penciri khusus dimensi kependudukan. Di antaranya adalah
Sumatera Barat sebagai salah satu di antara provinsi yang memiliki komposisi penduduk tua di
atas 5 persen. Yang menandakan dalam waktu yang akan datang persoalan penduduk tua, dengan
segala dimensi sosial ekonominya adalah menjadi penting. Penduduk tua berimplikasi kepada
pelayanan kesehatan dan bagaimana mengoptimalkan masa usia tua, sehingga mereka bisa lebih
berfungsi. Demikian juga perbedaan jumlah penduduk lelaki dan perempuan, dengan arti jumlah
wanita melebihi dari pria, khusus pada kelompok usia muda. Kenyataan ini tentunya
memberikan implikasi penting terhadap pola perkawinan, dan bentuk sosial lainnya.

Jika, kita integrasikan kependudukan dalam proses pembangunan, maka Sumbar akan menikmati
hari-hari tertentu seperti Lebaran lebih baik lagi. Kenapa? Karena angka migrasi keluar Sumbar
relatif tinggi, dan berimplikasi kepada arus migrasi balik ketika masa Lebaran. Sekiranya kita
tahu bahwa pada masa Lebaran, maka kemacetan lalu lintas Padangpanjang-Bukittinggi dan
Payakumbuh tidak akan terjadi. Namun persoalan itu belum masuk menjadi agenda (demo)grafi,
maka tak tersentuh ke dalam kebijakan jangka panjang pembangunan. Hampir tidak ada
pimpinan bupati (Tanahdatar, Agam) dan wali kota (Bukittinggi), dan gubernur duduk bersama
menangani persoalan yang klasik, sebagai akibat tidak pernah melihat sisi bahaya tidak
tersentuhnya aspek kependudukan dalam kebijakan pembangunan untuk kasus di atas.

Sama halnya dengan Padang, dulu kita tidak mengetahui bahwa akan tumbuh costumer 3.000,
artinya rumah tangga yang berpenghasilan USD 3.000 per tahun. Di Padang jumlah rumah
tangga yang masuk kategori ini sangat pesat sekali dalam 5 tahun terakhir, termasuk di
Bukittinggi, Solok, dan Payakumbuh. Kita lihat permintaan kendaraan bermotor roda dua dan
empat tajam sekali, dan implikasinya apa? Kita bisa merasakan dalam 3 tahun terakhir sudah
mulai dirasakan kemacetan, sudah mulai adanya muncul daerah kumuh, pembangunan bangunan
liar sepanjang jalan, dan sebagainya. Ini semua akibat dari dinamika kependudukan yang belum
kita sentuh menjadi agenda penting dalam pembangunan.

(Demo)grafi Sumatera Barat khususnya mesti mendapatkan sorotan bersama. Semua sadar
bahwa aspek kependudukan akan penting dalam menata proses pembangunan jangka panjang.
BKKBN tidak akan bisa berjalan sendiri. Kementerian sosial juga demikian. Dinas Kesehatan
dan Pendidikan juga tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Namun, kalau dibiarkan, maka aspek
kependudukan menjadi hilang dan kita akan menemui persoalan yang semakin kompleks
sebagaimana dikhawatirkan Sir Thomas Robert Malthus. Karenanya, lahirnya Koalisi
Kependudukan dalam pembangunan Indonesia, kemudian diikuti provinsi dan kabupaten
bukanlah sekadar berkumpul, namun menuntut para cendikia untuk memberikan waktunya, dan
mengkritisi apa yang terjadi di balik fenomena kependudukan. Semoga kehadiran Koalisi
Kependudukan dapat (mendemo)grafi kependudukan, lebih khusus untuk Sumbar. (*)

Вам также может понравиться