Вы находитесь на странице: 1из 5

BERBAGAI VERSI TENTANG SEBUAH TRAGEDI:

Sebuah Analisa Terhadap Gerakan 30 September 1965

KONTROVESI ISTILAH G 30 S

Rasanya tidak ada ungkapan dalam bidang pendidikan di Indonesia yang


seheboh istilah G 30 S. Sampai-sampai seorang menteri terlibat langsung dalam
kontroversi istilah ini melalui peraturan dan surat yang dikeluarkannya tahun 2006.
Akhir September 1965, terjadi penculikan yang berujung pada kematian
enam jenderal. Pelakunya adalah pasukan tentara atas komando Gerakan 30
September. Empat puluh hari setelah peristiwa itu Departemen Pertahanan
mengeluarkan buku berjudul 40 hari Kegagalan "G 30 S". Belum dicantumkan
kata PKI saat itu walaupun sejak hari pertama percobaan kudeta, para pembantu Mayor
Jenderal Soeharto seperti Yoga Sugama dan Sudharmono sudah yakin bahwa PKI
berada di belakangnya.
Ketika itu terjadi persaingan dua istilah. Pertama, Gestok yang diucapkan dalam
pidato-pidato Presiden Sukarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Alasannya,
peristiwa itu terjadi dini hari tanggal 1 Oktober. Sebaliknya pers militer
menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini menyalah kaidah
bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo,
polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu.
Tahun 1966 rezim Orde Baru telah memakai istilah G30S/PKI. Sejak itu, buku-
buku yang memuat versi lain dilarang. Di luar negeri misalnya terbit tulisa Ben
Anderson dan Ruth McVey (1966) yang menganggap ini persoalan internal Angkatan
Darat.
Beragam penyebutan itu berdasarkan waktu terjadinya peristiwa tersebut dan
perspektif orang/kelompok yang menamakannya. Yang paling obyektif tentu saja
menamakan peristiwa sebagaimana pelaku gerakan itu menyebut diri mereka yaitu
Gerakan 30 September. Itu yang tertulis secara nyata dalam dokumen-dokumen yang
dikeluarkan Letnan Kolonel Untung tanggal 1 Oktober 1965 mengenai "Pembentukan
Dewan Revolusi" serta "Penurunan dan Penaikan Pangkat". Bahwasanya kemudian
muncul penafsiran tentang dalang peristiwa itu yang berbeda-beda tentu sah saja (PKI,
Angkatan Darat, Central Intelligence Agency (CIA), Sukarno, Soeharto, "kudeta
merangkak MPRS", dan lain sebagainya).
Setelah Soeharto berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia tahun 1998,
bermunculan buku-buku yang tentunya dilarang bila terbit semasa Orde Baru. Terbit
pula buku-buku sejarah dengan beragam versi mengenai Gerakan 30 September.
Tidak mengherankan dalam kurikulum 2004 peristiwa itu disebut G 30 S dan pada
tingkat SMA diajarkan versi-versi mengenai G 30 S. Kurikulum 2004 (dalam bentuk
buku dan disket) diterbitkan Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pada
Oktober 2003 dengan pengantar dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Indra Jati Sidi dan Kepala Balitbang Boediono.
Anehnya, dalam kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
yang diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24
tahun 2006 ditetapkan kembali istilah G 30 S/ PKI. Kemudian Kejaksaan Agung
mendatangi Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan menanyakan

1
siapa yang menghilangkan kata PKI dari istilah G 30 S? Jawab mereka, kurikulum itu
disusun berdasarkan masukan dari para ahli (sejarawan, pakar psikologi dan
pendidikan serta kurikulum) dengan mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam
bidang sejarah. Selanjutnya Kejaksaan Agung juga memeriksa beberapa penerbit.
Karena menteri Pendidikan Nasional meminta instansi ini untuk menarik buku-buku
sejarah yang menghilangkan kata PKI di belakang singkatan G 30 S.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional itu dapat membingungkan
masyarakat, terutama guru dan siswa. Kebijakan ini semakin menjauh dari tujuan
"mencerdaskan kehidupan bangsa".

BERBAGAI VERSI TENTANG PERISTIWA G 30 S

Telah lebih 30 tahun Tragedi 30 September terjadi. Banyak fakta objektif yang
bersifat mutlak dan tidak bisa dipungkiri, antara lain: keterlibatan PKI, ambiguitas
Soekarno, intrik dalam tubuh militer (khususnya AD), serta kedekatan hubungan
personal antara pelaku utama G 30 S dengan Mayjen Soeharto yang pada saat itu
menjabat sebagai Pangkostrad/Pangkopkamtib.
Tidak dapat diabaikan, G 30 S juga menjadi faktor pemicu bagi operasi paling
efektif pembasmian sebuah ideologi di suatu negara. Stigmatisasi yang diterapkan Soeharto
terhadap mereka yang tidak terlibat langsung dengan komunisme pun dilakukan,
misalnya dengan mengadakan pelarangan anak-anak mantan tahanan politik menjadi
pegawai negeri juga merupakan cara efektif untuk menutup kemungkinan bangkitnya
komunisme di negeri ini.
Telah banyak penelitian, kajian maupun literatur yang mengkaji hancurnya
komunisme di Indonesia, baik yang ditulis oleh pakar luar negeri maupun dalam negeri.
Berbagai versi tentang G 30 S pun muncul. Setidaknya, ada enam teori yang ada dalam
penulisan mengenai G 30 S, masing-masing sebagai berikut:
Pelaku Utama G 30 S adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Biro
Khusus
Dengan memperalat unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), tokoh-
tokoh Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan pemberontakan ini
sejak lama. Tujuannya adalah merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis
di Indonesia. Tentu saja, pemerintah Orde Baru merupakan pihak yang pertama
menyetujui teori pertama ini. Buku Putih Pengkhianatan G 30 S PKI terbitan Se-
kretariat Negara (1994) merupakan penjelasan secara lengkap atas peristiwa paling tragis
tersebut. Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh adalah penulis domestik pertama yang
menulis versi ini, bukunya berjudul Percobaan Kup Gerakan 30 September di Indonesia
(terbitan Jakarta, 1968). Penulis luar negeri yang dikategorikan masuk dalam versi ini
adalah Arnold Brackman, penulis buku The Communist Collapse in Indonesia
(terbitan New York, 1969).
G 30 S adalah Persoalan Internal Angakatan Darat
Versi kedua beranggapan bahwa G 30 S merupakan persoalan internal
Angkatan Darat yang didalangi sebuah klik (kelompok terbatas). Persiapan gerakan
dilakukan secara teliti oleh klik tersebut dengan cara menyusupi Partai Komunis
Indonesia. Versi kedua ini ditulis oleh MR Siregar (Tragedi Manusia dan Ke-
manusiaan, Kasus Indonesia: Sebuah Holokaus yang Diterima sesudah Perang
Dunia Kedua yang terbit pertama kali 1993 di Amsterdam). The 30 September
Movement karya Coen Holtsappel juga termasuk dalam versi kedua ini. Demikian pula
CorneIl Paper (A Preliminary Analysis of the October 1,1965: Coup in Indonesia).
Karya Ben Anderson dkk. yang diterbitkan di Ithaca, 1971. Whose Plot? New Light on
the 1965 Events karya W.F. Wertheim juga mengacu pada versi yang memojokkan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), khususnya Angkatan Darat ini. Buku
karya Wimandjaja K. Litohoe, Primadosa, juga mengarah pada sintesis bahwa G 30 S
merupakan kudeta yang dirancang oleh klik Angkatan Darat di bawah pimpinan Soeharto.
G 30 S Digerakkan oleh Central Intelligence Agency (CIA)
Versi ketiga ini beranggapan bahwa pelaku utama/dalang G 30 S adalah Central
Intelligence Agency (CIA) atau pemerintah Amerika Serikat. Central Intelligence
Agency (CIA) bekerjasama dengan sebuah klik Angkatan Darat untuk memprovokasi
Partai Komunis Indonesia dengan tujuan akhir untuk menggulingkan Soekarno. Artikel Peter
Dale Scott ("US dan the Overthrow of Soekarno: 1965-1967", Pacific Affairs, 1985) dan
tulisan. Geoffrey Robinson (Some Arguments Concerning US Influence and Complicity
in the Indonesia Coup of October 1, 1965) merupakan analisis yang mengasumsikan bahwa
Central Intelligence Agency (CIA) adalah dalang utama G 30 S. Kepentingan
Amerika Serikat sangat jelas, yakni jangan sampai Indonesia menjadi basis komunisme.
Pada awal dekade 1960-an, mereka mencemaskan Teori Domino, bahwa komunisme di
Indo-China (Vietnam-Kamboja) bisa bersambung dengan komunisme di Indonesia, yang
kemudian menciptakan poros Jakarta - Pyongyang - Beijing yang sangat ditakuti Amerika
Serikat.
Bertemunya Kepentingan Inggris dan Amerika Serikat
Versi ini pada intinya mensinyalir bahwa G 30 S adalah "pertemuan" antara
rencana Inggris dan Amerika Serikat. Inggris berkeinginan agar sikap konfrontatif Soekarno
terhadap Malaysia bisa diakhiri dengan penggulingan kekuasaan, sedangkan Amerika
Serikat menginginkan Indonesia terbebas dari komunisme. Greg Poulgrain, penulis
buku The Genesis of Confrontation: Malaysia, Brunai and Indonesia, 1945-1965,
percaya pada asumsi bahwa G 30 S adalah buah pertemuan kepentingan Inggris dan
Amerika Serikat.
Soekarno Dalang Gerakan 30 September
Versi yang lebih kontroversial, karena mengasumsikan Soekarno adalah dalang G 30
S. Kepentingan Soekarno adalah untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi
Angkatan Darat terhadap kepemimpinannya. Partai Komunis Indonesia (PKI) ikut terseret
karena kedekatannya dengan sosok Soekarno. Versi ini dikembangkan oleh Antonie Dake
dalam karyanya, In The Spirit of the Red Banteng, The Devious Dalang: Soekarno and so-
called Untung Putsch; juga oleh John Hughes (The End of Soekarno, 1968 atau Indone-
sian Upheaval, 1967). Bagian dari buku Ulf Sundhaussen (Politik Militer Indonesia
1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI) juga mengarah pada dugaan bahwa Soekarno adalah
pelaku utama G 30 S.
Teori Chaos
"Tidak ada dalang tunggal G 30 S", ini adalah versi keenam, yang menyerupai Teori
Chaos. Tidak ada grand scenario, semua lebih didominasi oleh improvisasi lapangan.
Manai Sophiaan (Kehormatan Bagi yang Berhak), Oei Tjoe Tat (Memoar Oei Tjoe
Tat), John D. Legge (Sukarno: Sebuah Biografi Politik) merupakan buku-buku yang
termasuk versi keenam ini. Intinya, G 30 S merupakan hasil kombinasi unsur-unsur Nekolim

3
atau negara Barat, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang keblinger, serta oknum--
oknum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tidak benar.
Di luar keenam teori tersebut, adalah versi-versi yang lebih melontarkan
pertanyaan dibandingkan memberi jawaban-jawaban. Sebaliknya, enam versi tersebut di
atas juga belum sampai pada kesimpulan yang final. Persoalannya, banyak pengakuan para
saksi sejarah yang belum bisa dijadikan sebagai bahan analisis Yang dibutuhkan, tentu
saja pengakuan yang jujur. Bukan pengakuan yang dikemas dengan tujuan "mencuci
dosa masa lampau", bukan pengakuan akibat "tekanan selama masa penahanan", bukan
pula penulisan sejarah (historiografi) yang dibingkai dengan kepentingan politik.

KESIMPULAN
Apa yang dilakukan dari versi yang beragam itu? Tugas sejarawan kadang
kala ibarat dokter, seperti pernah dikatakan Marc Ferro. Ia melakukan diagnosa.
Berbagai versi itu termasuk bagian dari diagnosa. Sang dokter berusaha
menyimpulkan, artinya membuat sintesa dari berbagai versi tadi dan
mengeluarkan pendapat.
Kasus G 30 S kita jadikan contoh. Kita tahu, gerakan ini menyebut diri.
sebasai Gerakan Tiga Puluh September. Karena itu lebih obyektif bila peristiwa itu
disebut sebagai G30S, bukan Gestapu dan bukan pula Gestok. Ada beberapa fakta
yang dapat diterima. Pertama, yang diculik adalah perwira militer (khususnya
Angkatan Darat). Yang menculik berasal dari resimen Cakrabirawa yang juga
berasal dari unsur Angkatan Darat. Beberapa pimpinan PKI ,(dalam hal ini Biro
Khusus) seperti Aidit dan Sjam, dipercaya terlibat dalam gerakan itu. Sjam sendiri
masih misterius, apakah dia double agent (AD dan Biro Khusus PKI) bahkan
triple agent (AD, Biro Khusu PKI, dan CIA)? Beberapa dinas rahasia asing
juga berperan seperti CIA. Pada tingkat lokal, Kodam Diponegoro, Jawa Tengah,
merupakan Kodam yang paling "terlibat" G30S. Para pelaku dan pemberantas
gerakan ini paling banyak berasal dari Kodam ini. Dari data yang sudah terterima,
dibuat narasi tentang peristiwa G 30 S.
Namun, itu saja tidak cukup. Sebuah peristiwa juga memiliki unsur
kausalitas, hubungan sebab akibat. Kondisi nasional sebelum 30 September 1965
menjadi latar belakang meletusnya gerakan ini. Saat itu Indonesia mengalami
krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah. Dalam konteks internasional,
sedang berkecambuk perang dingin. Amerika Serikat berkepentingan agar
Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.
Tragedi tahun 1965 tidak berhenti sampai 1 Oktober 1965, tetapi
berkelanjutan sampai masa Orde Baru, karena dampak langsung peristiwa ini
adalah pembantaian massal tahun 1965/1966 dan penahanan politik di Pulau Buru
(tahun 1969-1979). Mengungkapkan rangkaian peristiwa secara utuh juga
merupakan bagian dari pelurusan sejarah
DAFTAR PUSTAKA

Abdoerraoef. (1971). Komunisme dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Bulan


Bintang.

Adam, A. W. (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan


Peristiwa. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Center for Information Analysis. (2006). Gerakan 30 September: Antara Fakta


dan Rekayasa Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah. Yogyakarta:
Media Pressindo.

Darmawan. (2008). Soekarno Memilih Tenggelam Agar Soeharto Muncul.


Bandung: Hikayat Dunia.

Dinas Sejarah TNI-AD. (1985). Komunisme dan Kegiatannya di Indonesia. Kota


dan Penerbit tidak tercantum.

DISJAM DAM IV/Siliwangi. (1979). Siliwangi dari Masa ke Masa (Edisi kedua).
Bandung: Angkasa.

Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan.


Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Jakarta: PT.


Serambi Ilmu Semesta.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka:


1965-1973. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1994). Gerakan 30 September


Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan
Penumpasannya. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Sundhaussen, U. (1988). Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi


Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.

Yani, A. (1981). Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan. Bandung: Karya


Kelana.

Вам также может понравиться