Вы находитесь на странице: 1из 21

Klak…buggg!!!!!

“Ya ampun!” seru Alexei kaget seraya bangkit berdiri untuk membenahi buku-
bukunya yang jatuh menghantam lantai kayu ek merahnya. Bagaimana buku-buku itu
bisa jatuh? Letaknya di tengah dan ditumpuk dari yang paling tebal dan berpermukaan
lebar sampai yang tipis dan permukaannya kecil, pokoknya nyaris tidak alasan mengapa
tumpukan buku-buku itu bisa roboh seperti World Trade Center setelah ditabrak pesawat.
Janggal sekali, pikir Alexei sambil mengangkat buku-buku referensi untuk novel barunya
yang rencananya akan menceritakan tentang pencarian makam seorang pharaoh di Mesir.
Alexei adalah seorang novelis muda yang mendadak terkenal setelah menulis
novel yang berjudul ‘Revenge of the Consigliore’ – Pembalasan Sang Consigliori- dan
diterjemahkan dalam bahasa Inggris.Consigliori adalah istilah dalam bahasa Italia yang
artinya ‘penasihat’ dalam struktur Keluarga yang merujuk pada keluarga kejahatan mafia.
Di luar dugaan, novel itu dipuji habis-habisan oleh Entertainment Weekly dan The New
York Times sebagai karya masterpiece seorang penulis Asia yang langsung digelari
‘Mario Puzo Indonesia’. Mario Puzo adalah penulis novel legendaris The Godfather.
Kariernya sangat cemerlang untuk seseorang yang bahkan belum berumur 25 tahun.
Kriing.. kriing..
“Halo?” sapa Alexei ogah-ogahan. Ia tidak suka diganggu kalau sedang menulis.
“Lexei? Ini Shareya,” ujar si penelepon di seberang sana yang ternyata adik dari
tunangan Alexei, Sharhina, yang bernama Shareya dengan suara yang sangat serak.
“Ada apa, Rey? Are you okay? Kamu lagi menangis?” tanya Alexei khawatir.
Usia Shareya baru menginjak 15 tahun dan entah untuk alasan apa, sering menangis.
Pengaruh puberitas mungkin? Hormon yang diproduksi saat menarche (mens pertama)?
“Pesawat Sharhina jatuh… Tidak ada korban selamat.”

Dua jam sebelumnya,


“Yakin nggak masalah kalau aku nggak antar kamu ke Jakarta, S?” tanya Alexei
dengan nada menyesal pada Sharhina, tunangannya, yang hari ini tampak très cantik
dalam balutan knitted tunic berwarna kuning cerah, thight tebal hitam dan sepasang boots
Chanel merah marun. Sharhina bekerja sebagai model, dan sebentar lagi taksi akan
membawanya ke Bandara Hussein Sastranegara yang akan membawanya ke Jakarta
kemudian disambung penerbangan ke Singapura, baru pesawatnya akan lepas landas
menuju Bandara Fiumacino di Roma untuk pemotretan kampanye Ferragamo musim
semi/musim panas tahun depan.
“Certamente, Signor. I ain’t a kid for God’s sake! (Tentu saja, Tuan. Aku bukan
anak kecil, demi Tuhan!). Kamu ‘kan ada janji sama agen kamu, Tuan Novelis. Aku
nggak tega menghambat jalan kamu menuju kesuksesan. Kalau ’The Pharaoh’ sesukses
’Revenge of the Consigliore’, kamu baru boleh liburan ke Roma bareng aku,” jawab
Sharhina yakin. Jelas ini bukan pertama kalinya gadis itu pergi ke luar negeri sendirian.
Dari Roma, ia akan pergi ke Milan untuk menonton Milan Fashion Week dimana
perancang busana favoritnya, Missoni, akan menggelar fashion show untuk trend musim
dingin tahun depan.
”Kayaknya jidat kamu rada panas deh, S. Mendingan kamu batal pergi. Firasat
aku nggak enak. Bisa-bisa kamu sakit di sana!” saran Alexei cemas sambil menempelkan
tangan di kening Sharhina yang memang panasnya di atas suhu tubuh normal 36-37° C.
”Non. Aku sehat sesehat-sehatnya. Justru aku bakalan sakit keras sampai harus
diinfus kalau aku melewatkan kesempatan jadi model Ferragamo!” gerutu Sharhina
seraya mengelak dari sentuhan Alexei.
”Prenda queste aspirin (Minum aspirin), S. Adesso (Sekarang). E molto
importante! (Itu sangat penting!)” perintah Alexei tegas. Ia bisa berubah menjadi Benito
Musolini kalau ia mau dalam sekejap dan mulai mengoceh dalam bahasa ibunya.
”Non adesso, amore (tidak sekarang, sayang). Andiamo (Aku berangkat)!
Dobbiamo prendere il aereo (Kami harus mengejar pesawat)!” seru Sharhina kemudian
mengecup singkat pipi tunangannya sebelum menghambur masuk ke dalam taksi. Alexei
hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi Sharhina yang kekanak-kanakan.
”Sampai ketemu minggu depan, fiancé (tunangan)! Arrivederci! (sampai jumpa!)”
seru Sharhina seraya menjulurkan kepalanya lewat jendela taksi, “Ti amo, piacente! (Aku
menyayangimu, ganteng!)” ia menambahkan seiring melajunya taksi yang dinaikinya.
Alexei melambaikan tangannya dan tersenyum. It’s definitely not him to be so romantic
(Sangat bukan Alexei untuk bersikap romantis), seolah ia akan dihukum mati oleh regu
tembak seperti zaman Perang Dunia II kalau ia menimpali kalimat romantis Sharhina.
Dan tampaknya Alexei akan sangat menyesal.
Sehari setelahnya,
“Pesawatnya gagal mendarat dengan sempurna di Cengkareng. Katanya gara-gara
human error. Kasihan Alexei, padahal tahun depan mereka mau nikah.”
”Katanya mereka sudah booking tempat resepsi di château di sekitar Côte d’ Azur
(Riviera, daerah di Prancis Selatan yang kerap dikunjungi turis mancanegara untuk
berlibur)! Sayang sekali calon pengantinnya kecelakaan.”
”Minggu depan Sharhina ulangtahun. Kebayang pestanya di Hotel Hilton Jakarta
yang bakal dicancel ya? Orangtuanya tampak stress sekali.”
”Bisa-bisa Alexei bunuh diri. Mereka sudah pacaran hampir satu dekade ‘kan?
Kemungkinan paling bagusnya sih skizofrenia (gangguan jiwa dimana otak merubah cara
berpikir penderitanya). Mayoritas orang bisa depresi terus bunuh diri.”
Orang-orang dan gosip. Sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, pikir Alexei. Di hari
pemakaman Sharhina, mereka masih sempat menggosipkan lokasi resepsi pernikahan.
Kalau mereka nggak berhenti ngomong, gue jadi gila betulan dan membabat mereka
satu-satu dengan golok buat belah kelapa, pikirnya jengkel. Apa tidak ada yang tahu
benar perasaannya ditinggal Sharhina? Apa ada yang mengerti perasaan kehilangannya?
Apa ada yang peduli bagaimana ia bisa mengenyahkan bayangan Sharhina? Air mata
Alexei berjatuhan. Dia tidak peduli kalau ada yang menganggapnya cengeng, bahkan
orang sekuat Napoleon Bonaparte pun pernah menangis. Juga Hitler, walaupun itu di hari
lahirnya karena sulit membayangkan orang sebengis Hitler bisa menangis.
”Jangan peduliin apa kata orang-orang, Lex,” kata sebuah suara kalem diiringi
tepukan menenangkan di pundak Alexei. Ternyata Ben-kependekan dari Benedetto,
sepupu Alexei dari pihak ibunya yang masih berdarah Italia. ”Deve strae a letto (kamu
harus beristirahat),” saran Ben pelan. Ia tahu betul sepupunya saat ini sedang breakdown-
hancur total. Sharhina bisa dianalogikan sebagai air bagi Alexei dan orang bisa mati
tanpa air dalam waktu kurang lebih 5 hari. Apa Alexei akan mati seperti Juliet yang
langsung mati setelah menyaksikan kematian Romeo?
”Terimakasih untuk perhatian lo, Ben. Tapi gue betul-betul ingin ikutan Yaasin-
an sama yang lain,” jawab Alexei lelah. Ben tahu betul sepupunya baru mengalami
malam paling menyedihkan yang pernah ada dalam hidupnya.
Ternyata melupakan seseorang yang dicintai sama sekali bukanlah suatu perkara
yang mudah untuk dilakukan. Walaupun sudah lewat seminggu sejak Sharhina
meninggal, Alexei seolah masih diselubungi awan kumulunimbus yang gelap dan
kebanyakan air. Ia mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan dengan mengetik
kelanjutan cerita The Pharaoh tanpa henti akan tetapi keanggunan dan selera fashion
Cleopatra hanya mengingatkannya pada keanggunan Sharhina, kecantikan Nefertiti
hanya membuatnya terbayang kecantikan Sharhina, dan keagungan Hatshepsut hanya
mengingatkannya pada aura keagungan Sharhina. Semuanya Sharhina. Bahkan mumi
kucing pun mengingatkannya pada kesukaan Sharhina pada kucing.
Dalam hal lainnya pun sama saja. Alexei tidak mampu menelan makanan lain
selain biskuit Oreo dan permen gummi worms warna-warni dan hanya menenggak
Singapore Sling (campuran gin, benedict dom, jus limau, grenadine dan soda) atau
berliter-liter Jack Daniel’s. Heran sebenarnya bagaimana bisa Alexei selamat dari
disfagia-kerusakan lambung karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol dan racun.
Intinya, Alexei seperti robot yang merusak dirinya sendiri dalam film The Incredibles.
”Alexei...”
Kuping Alexei langsung berdiri tegak seperti anjing doberman mendengar suara
maling di dekatnya. Mungkinkah itu.. Sharhina? Suaranya sangat mirip suara kekasihnya
yang sdah meninggal itu! Mungkinkah? Chi é? Siapakah itu? Alexei segera berlari
dengan kecepatan cheetah keluar dari rumahnya dan tingkat kekecewaannya segera naik
drastis.
Sekelompok siswi SMU yang sedang cekikikan dengan masing-masing satu
eksemplar Revenge of the Consigliore di tangan. ”Mas Alexei, ’kan? Bole nggak kita
minta tanda tangan? Kita fans berat Mas lho..”
Braak!
Alexei membanting pintu rumahnya di depan muka anak-anak SMA kegenitan
itu. Sebutir air mata sebesar berlian Harry Winston mengalir dari sudut mata Alexei.
Kenapa bukan Sharhina?

Alexei bergegas memasuki dapurnya. Dengan tergesa-gesa tangannya mengambil


sebotol Xanax-obat anti depresan- dari lemari obatnya. Cara paling elegan untuk mati,
’kan? Walaupun nantinya jenazahmu akan menggelepar dan mulutmu berbusa. Daripada
mengiris pembuluh nadimu, sangat klise. Gantung diri? Astaga, sinetron sekali.
Menenggelamkan diri? Alexei punya aquaphobia kalau menghadapi bathub. Intinya,
minum sebotol Xanax akan terlihat lebih bergaya. Jalan pikiran penulis hebat memang
kadang-kadang sangat kompleks. Makin hebat, biasanya makin eksentrik. Hans Christian
Andersen contohnya, orang jenius di belakang dongeng terkenal Itik Buruk Rupa dan
Gadis Penjual Korek Api sebetulnya orang yang sangat,sangat aneh.
Alexei mengangkat botol Xanax dan menuangkan isinya ke dalam mulutnya.

”Kukira kamu tidak akan seidiot itu, Alexei,” kata sebuah suara yang asing di
telinga Alexei. Dan berani-beraninya orang asing ini mengatainya idiot! Apa Alexei
berhasil bunuh diri? Apa sekarang dia berada dalam perjalanan menuju alam baka?
Astaga, kepalanya pening sekali. Sepertinya ada keluarga setan yang bermain musik
heavy metal dalam kepalanya. Pelan-pelan Alexei membuka matanya dan melihat
sekelilingnya. Replika lukisan ’Gadis Bermata Hijau’ karya Henri Mattisse, foto-foto
Sharhina ukuran jumbo dan juga tiruan patung Thutmose III dan artinya, ruangan ini
adalah kamarnya. Tunggu, ia bisa merasakan kakinya. Hanya ada satu konklusi dari
kejadian itu, Alexei belum mati.
”Bangun, stupidi bambini (anak bodoh)!” bentak suara asing tadi. Ternyata Ben.
Italiano itu bermandikan keringatan dan tampak sangat panik. “Do you have any idea
what the hell was that (Apakah kau bisa menjelaskan apa yang baru terjadi)?!” bentak
Ben kasar. Alexei menerjang maju dan menarik kerah polo shirt Ralph Lauren milik Ben
dengan kesal. “Kenapa lo bawa gue ke sini, merda (brengsek)?!” gerung Alexei murka.
Kemurkaan yang bodoh sebenarnya.
BUK!
“Che cosa ha detto (Apa lo bilang)? Jadi lo mau mati! Susah payah gue tolong
dan sekarang, bukannya berterimakasih lo malah ngomel-ngomel? A simple ‘grazie’ is
enough (Sebuah ucapan ‘terimakasih’ sudah cukup)!” Ben balas membentak setelah
sukses meninju wajah ‘malaikat berubah jadi setan’ Alexei ala Muhammad Ali. Alexei
jatuh tersungkur sambil memegangi pipinya. Ia benar-benar tak tahu Ben susah payah
memasukkan susu ke dalam mulut Alexei dan melakukan pernapasan buatan.
“Mi dispiace (maaf), Ben. Gue cuma lagi hancur. Lo tahu bagaimana pentingnya
Sharhina buat gue. Dia.. dia semacam roh buat gue. Lo tahu apa yang terjadi pada tubuh
tanpa roh? Hampa kalaupun nggak mati.. sekarang, seluruh hidup gue cuma untuk ini!”
ujar Alexei seraya melempar draf The Pharaoh yang belum selesai.
Ben membaca,

Khnumt- Amun Hatshepsut, begitulah cara hieroglyph di atas dibaca. Hatshepsut adalah
pharaoh wanita paling berkuasa dalam sejarah Mesir Kuno. ‘Bergabung dengan Amun,
perempuan bangsawan paling berkuasa’. Walaupun Ratu Sobekneferu sudah
mendahuluinya sebagai penguasa Mesir Hulu dan Mesir Hilir, ia memakai mahkota
rangkap sebagai penguasa Mesir Hulu dan Mesir Hilir wanita yang paling berkuasa.
Kami, tim pencari makam Sang Pharaoh berusaha keras… melupakan Sharhina.

“Wow, apa hubungannya Sharhina sama Ratu Hatshepsut? Menurut gue, lo


mendingan nulis tentang marchioness (gelar kebangsawanan kerajaan-kerajaan di Eropa
yang setingkat dengan viscountess, countess dan baroness) di Inggris yang dipaksa
married sama Ratu Elizabeth I sama The Great Lord Chamberlain atau apa karena ini
jelas nggak akan laku…” Ben berhenti mengoceh saat melihat sepupunya itu
mengabaikan segala kode etik kemaskulinan dengan menangis terisak-isak di depannya.
Jelas sekali kalau sepupunya itu sedang mengalami masa breakdown. Hancur berat.
“Kalau gue bisa mutar balik waktu, gue akan mencegah Kematian mengambil
Sharhina dari gue… kalau.. kalau..”

Alexei terbangun di tengah malam dalam keadaan lapar. Ia menggeliat sejenak


baru kemudian turun dengan ogah-ogahan untuk berjalan ke dapur. Sandalnya
berkeletak-keletok di keheningan malam saat benda itu dijejakkan di lantai kayu ek
merah. Rumahnya terlihat seperti kapal Titanic setelah tenggelam, sangat berantakan
tanpa air yang menggenanginya. Menyedihkan sekali. Ibunya akan segera berlari
kesetanan mencari sapu kalau melihat keadaan rumahnya. Coba ada Sharhina...
Sial. Sharhina lagi. Kenapa sih Sharhina seperti sesuatu yang ditempeli Superglue
permanen ke otaknya. Ia membuka kulkasnya untuk mengambil sebotol JD dan
sebungkus Oreo krim strawberry lagi.
”Aku tidak akan melakukannya kalau aku jadi kau. Lambungmu sudah tinggal
selangkah lagi dari kerusakan fatal, tahu.”
”Diam, Ben. Lo nggak kasih tahu juga gue ta..” tunggu dulu! Itu bukan suara Ben.
Alexei segera membalikkan tubuhnya dan bersiap melempari sosok misterius itu dengan
botol Jack Daniel’s. ”Siapa di situ?” teriak Alexei, berusaha garang.
”Buona sera, Signor. Io sono Angelo, felice di conocerla. (Selamat malam, Tuan.
Namaku Angelo, senang berkenalan dengan Anda).”
Angelo? Siapa pula Angelo? Tidak ada kenalan Italianya yang bernama Angelo.
Satu-satunya yang berkomunikasi dalam Bahasa Italia hanya Ben dan ibunya! Dan
bagaimana ’Angelo’ ini bisa masuk ke dalam rumahnya? Apa dia perampok? ’
”Jangan lempar aku dengan botol racunmu, please. Aku di sini untuk
membantumu, Alexei. Kebetulan aku mendengar doamu soal ‘membalikkan waktu’ tadi.
Dan, kebetulan juga aku mampu membantumu dalam hal itu!” Sosok misterius bernama
Angelo itu mengumumkan dengan bangga. Sekarang bukan April Mop, ’kan? Kalau ini
diikuti dengan kalimat ’Smile! You’re on candid camera!’ maka Alexei akan benar-benar
bunuh diri.
”Sebenarnya siapa sih kamu ini?” seru Alexei mulai jengkel. Sejak kecil ia benci
dipermainkan atau diolok-olok.
Sosok bernama Angelo itu mendekatkan dirinya ke bawah jendela, sehingga ia
disinari sinar bulan yang menerobos masuk. Jangkung, berambut panjang dan
mengenakan jubah satin abu-abu. Sosok yang sangat anggun sekaligus gagah walaupun
sama sekali tidak mirip orang Italia. ”Sudah kubilang namaku Angelo, baka. Itu artinya
bodoh, omong-omong, dalam Bahasa Jepang kalau-kalau kau kehilangan memorimu
karena pengaruh JD dan semua permen kenyal itu, Alexei. Aku kenal inspirator namamu,
omong-omong. Alexei Romanov, putra Tsar Nicholas II yang tewas saat revolusi di
Rusia itu. Dia memang hemofilia tapi jelas tidak idiot sepertimu...”
Alexei hanya termangu menatap makhluk aneh ini. Siapa sih dia? ”Hei, lo bilang
lo bisa membalik waktu ’kan? Show me. Dan kalau semua ini cuma lelucon, gue akan
nuntut lo karena menerobos masuk tanpa izin!” serunya.
Angelo tersenyum angkuh seraya merogoh ke balik jubahnya dan mengeluarkan
sebuah jam saku kecil yang sangat cantik, sepertinya dibuat dari berlian dan dipenuhi
batu mulia. Sangat indah. ”Benda ini,” Angelo mengacungkan jam saku indah itu, ”bisa
mengirimmu kembali ke waktu yang kau inginkan. Bayangkan saja tempat dan waktunya
dan BOOF! kau ada di sana. Tapi ingat, benda ini hanya bisa bekerja tiga kali dan setiap
kali kau kembali, dirimu saat itu tetap ada di sana. Yah, intinya ada dua kau di waktu
yang sama. Istilahnya time-traveling. Ya ’kan? Berpergian menembus dimensi waktu.”
Alexei mengerutkan keningnya dengan curiga. ”Dari mana gue tahu lo nggak
berbohong, Signor Angelo? Maksud gue, secara teoritis ini mustahil!” tanyanya penuh
selidik.
Angelo lagi-lagi tersenyum angkuh. ”Buktikan saja sendiri, geni (jenius),” ujarnya
seraya mengangsurkan jam saku indah itu. Alexei menerimanya dengan hati gamang.
Tidak butuh Albert Einstein untuk tahu kalau semua ini hanya isapan jempol, ’kan? Time
traveling hanya ada dalam komik Doraemon, novel Timeline karya Michael Crichton dan
tentunya novel drama The Time Traveler’s Wife karya Audrey Niffenegger! Tapi Alexei
tetap memejamkan matanya dan membayangkan ia berada di depan rumahnya seminggu
yang lalu, tepat sebelum kepergian Sharhina ke bandara.
BOOF!

Seminggu yang lalu,


”Yakin nggak masalah kalau aku nggak antar kamu ke Jakarta, S?” Alexei
mendengar dirinya sendiri-dirinya seminggu yang lalu- bertanya kepada sosok di
depannya. Sharhina! Masih hidup dan sangat memesona. Ya ampun, bagaimana bisa ada
gadis secantik Sharhina? Bahkan Gisele Bündchen boleh menyingkir! Angelo benar. Ia
bisa kembali ke waktu yang ia inginkan! Ia bisa mencegah Sharhina pergi! Alexei
menunduk kemudian berlari ke garasinya selagi Alexei lama dan Sharhina sedang
berbicara. Alexei menjangkau kunci mobil Honda Accord VP-nya dengan berusaha keras
agar suaranya tidak terdengar dan Alexei lama akan mengiranya alien pengopi wujud.
Didengarnya derum taksi yang ditumpangi Sharhina berjalan pergi meninggalkan
pekarangan rumah Alexei. This is it! Ia menginjak pedal gasnya keras-keras setelah
membuka pintu garasi otomatis dengan remote control terlebih dahulu. BRRRMMM....
”Hei! Hei! Mobil gue!” teriak Alexei lama kaget. Jelas, siapa yang tidak kaget
melihat mobilnya tahu-tahu dicuri?
Alexei yang datang dari masa depan (atau Alexei saja) mengemudikan mobilnya
seolah dia ini Ricky Bobby atau siapa untuk mengejar taksi Sharhina. Itu dia taksinya!
Alexei mengerem sampai mengeluarkan bunyi berdecit keras di depan taksi untuk
memblokade jalan taksi yang ditumpangi Sharhina. Ia buru-buru keluar dan menggedor
jendela mobil Sharhina yang kebingungan.
”Sweetie, kamu kenapa? Non capisco (aku nggak mengerti), kamu tampak
mengerikan,” tanya Sharhina kebingungan. Gadis itu turun dari taksi dan merangkul leher
Alexei walaupun tinggi Alexei sekitar 6,3 kaki. ”Kamu harus ikut aku,S! Kamu nggak
boleh pergi ke Jakarta! Pesawat kamu bakalan jatuh! Please, jangan pergi!” cegah Alexei
ngos-ngosan. Sungguh perkara yang melelahkan mengemudi secepat itu. Ia harusnya ikut
NASCAR atau A1. ”Kamu nggak pernah fobia naik pesawat sebelumnya. Lagian, yang
naik pesawat ’kan aku. Maskapai penerbangannya terjamin kok. I’ll be fine (aku akan
baik-baik saja)...” kata-kata Sharhina terpotong dering ponsel dari dalam day bag Marc
Jacobs-nya yang dipenuhi zipper emas.
”Halo? Lho? Alexei? Ini nggak mungkin kamu! Kamu ada di depanku!” Sharhina
melirik Alexei di depannya dengan ketakutan. Kemungkinan besar penelepon itu adalah
Alexei lama yang mengabarkan kalau mobilnya dicuri. Tatapan ngeri Sharhina berulang
kali jatuh kepada Alexei. Sharhina menutup flip fashion phone miliknya dan melangkah
mundur dengan ketakutan. ”Jauh-jauh dari aku! Aku nggak tahu kamu siapa tapi kamu
jelas bukan Alexei! Kamu maling yang pakai topeng atau apapun biar mirip dia!”
Alexei berusaha menjelaskan tapi ia benar-benar tidak tahu harus bilang apa.
Siapa sih yang akan percaya kalau ada yang bilang : ’Halo, aku datang dari masa depan
untuk mencegahmu mati!’? kecuali orang itu kebanyakan menonton film sci-fi tentunya.
”Pergi sebelum aku panggil polisi! Dan jangan pakai mobil Alexei!” jerit Sharhina
sebelum sadar kalau di belakangnya ada sekumpulan anak muda yang menyetir ugal-
ugalan. Dan Porsche Carrera anak-anak itu menabrak Sharhina.
”Sharhinaaaa.....”

Sekeliling Alexei berubah menjadi pusaran warna dan tahu-tahu ia berada


kembali di dapurnya. Seminggu setelah Sharhina tewas, kali ini karena tertabrak mobil.
Di hadapannya, Angelo tertawa sinis. ”Aku tak akan sebodoh itu kalau jadi kau, Alexei.
Kau tidak bisa menyelamatkannya, malah membuatnya mati penasaran. Alexei mana
yang asli... sungguh menyedihkan. Oh ya, pencuri mobilmu sedang diselidiki polisi lho.
Tersangka atas kematian Sharhina pula. Sopir taksi itu bilang kau membunuhnya. Tapi
tak ada yang curiga pada Alexei yang malang karena tepat sebelum menelepon,
Benedetto datang dan membuat alibinya sempur..”
”Diam! Kamu tahu apa soal itu?!” bentak Alexei marah. Ia menerjang maju untuk
menggebuk Angelo tapi pria itu melayang. Benar, melayang pergi dengan sayapnya.
Sepasang sayap besar berwarna putih seperti sayap pegasus, kuda terbang khayalan itu.
“Nah-nah-nah. Jangan coba-coba, Alexei. Jangan marah padaku karena kebodohanmu.”
Alexei menatap Angelo dengan terperangah ditambah napas yang memburu.
Tidak ada orang yang bisa terbang selain tipuan sulap David Blaine atau Criss Angel! Ia
menggenggam erat jam sakunya. Daripada membuang waktu memikirkan Angelo, lebih
baik ia berusaha menyelamatkan Sharhina. Ia memejamkan matanya rapat-rapat dan
memikirkan suatu tempat.

Bandara, seminggu yang lalu


“Terimakasih ya, pak. Kembaliannya untuk bapak saja,” kata Sharhina pada sopir
taksi yang baru saja menurunkannya di muka Bandara Hussein Sastranegara. “Kembali,
Neng. Semoga penerbangannya selamat,” sahut sopir taksi itu diiringi doa singkat untuk
Sharhina. Saat gadis itu mendongak, serta-merta ia berseru kaget, “X! Kenapa kamu bisa
ada di sini? Terbang? Jangan-jangan kamu Superman, bisa terbang!”
“Sayangnya aku bukan, S. Walaupun aku memang lagi berusaha jadi pahlawan.
Tolong jangan naik pesawat itu. Please? Tetap di sini, sama-sama aku ya?” Alexei
memohon. Sungguh ia tak sanggup hidup tanpa Sharhina. Bayangkan saja manusia hidup
tanpa air sementara hampir 65% tubuh manusia itu air. Sharhina memasang mimik
bingung. Entah kenapa atau hanya perasaan, cara berdirinya agak goyah.
”What’s wrong with you? Kamu keracunan gummi worms atau kemasukkan
kumbang scarab gara-gara penelitianmu tentang Mesir Kuno itu!” goda Sharhina diiringi
ledakan tawanya yang melodik.
“Aku serius, S. kamu nggak boleh naik pesawat itu. Tunda! Untuk waktu yang tak
terbatas! Kita bisa ke Phuket.. atau Paris! Tapi jangan sekarang. Aku bakal temani kamu,
aku janji!” sergah Alexei sarat emosi. Ia menggenggam tangan Sharhin kuat-kuat, seolah
kalau melepaskannya akan terjadi kiamat kubra. Sharhina tersenyum lebar walaupun
butir-butir keringat mengalir di keningnya entah untuk alasan apa. ”Promise?”
Alexei segera mengangguk. ”Janji. Aku janji. You do have my word! Ke Paris, ke
Milan, Honolulu.. bahkan Antartika kalau kamu mau!” jawabnya buru-buru. Kalau ia
memenuhinya dan tidak kehilangan Sharhina, disuruh makan setruk scarab dalam acara
Fear Factor pun Alexei sudi.
”Well..oke. melihat muka kamu, aku jadi nggak tega. Duh, kamu betul, X, aku
harus minum aspirin,” Sharhina merogoh-rogoh ke dalam tas Marc Jacobs seharga $650
miliknya, ”Ya ampun! Blackberryku ketinggalan di taksi! Semoga taksinya belum jauh..”
”Biar aku yang ambil. Kamu tunggu di sini aja. Tapi hati-hati, kelihatannya bakal
ada rombongan Duta Besar Amerika Serikat yang pesawatnya mendarat sebentar lagi,”
Alexei menunjuk diri untuk menjadi dewa penolong Sharhina. Tunangannya
mengangguk. Gadis itu berjalan menepi dan bersandar pada tembok, menyaksikan
punggung Alexei yang kian menjauh.
Di luar bandara, Alexei mencari-cari taksi yang tadi dinaiki Sharhina.
Terimakasih kepada memorinya yang bagus, Alexei masih ingat nomor pelat mobil taksi
tadi. BRUK! Sekonyong-konyong ia ditabrak oleh seorang pemuda yang memakai fedora
kelabu gelap. Ia menyandang ransel superbesar yang kelihatannya mampu memuat
sekarung beras 10 kg. “Maaf, Mas, saya nggak sengaja! Oh ya, mas, saya dikejar-kejar
lintah darat yang pakai jaket kulit. Tolong Mas jangan bilang saya ke mana, ya?” pinta
pemuda berfedora itu. Alexei mengangguk menyanggupi. Pemuda itu tampak memelas
sekali. Mungkin lintah darat tadi mendepak pemuda itu dari rumahnya. Malang sekali.
Mungkin baru tiga menit setelah pemuda berfedora tadi pergi saat sekelompok
pria bertampang garang yang memakai jaket kulit. Persis dengan deskripsi lintah darat
yang diberikan pemuda tadi. “Mas,” panggilnya pada Alexei, “Lihat anak muda yang
umurnya sekitar 18 tahun dan memakai fedora abu? Membawa tas besar?”
Alexei mengangkat bahu. “Nggak tuh. Nggak ada orang yang ciri-cirinya seperti
itu,” jawab Alexei berbohong. Sepertinya ia diam-diam ketularan Robin Hood, jahat
untuk menolong orang hanya saja ia tidak mencuri. Sepertinya kawanan jaket kulit itu
memiliki lie detector tersembunyi di balik jaketnya karena ia langsung berkata, “Jangan
bohong dong, Mas. Anda menghambat penyelidikan kami!”
Penyelidikan? Penyelidikan untuk melakukan tindak anarkis? Alexei bersikeras
pada pendiriannya. Ia menggeleng. “Nggak ada, Mas. Saya nggak bohong kok. Ngapain
juga saya bohong? Nggak dikasih duit juga kalau saya bohong...”
“Dia itu tersangka pengeboman, Mas! Dia diduga anggota kawanan pro-Irak yang
anti Amerika! Kemungkinan dia mau mengebom Bandara Hussein Sastranegara karena
ada rombongan Duta Besar Amerika untuk Indonesia yang pesawatnya sedang landing
sekarang!” sergah pemimpin kawanan jaket kulit tidak sabar. Tadinya ia berniat
merahasiakan urusan pertahanan dan keamanan tapi mengingat situasinya sedang pelik,
ia membocorkannya.
Bom? Hussein Sastranegara? Rombongan Duta Besar? Masya Allah, Sharhina
masih ada di dalam!
“Dia masuk ke dalam bandara! Kenapa orang seberbahaya dia dilepas sih?” omel
Alexei sebal bercampur panik. Belum sempat polisi yang menyamar itu menjawab...
BLAAARRRRRR!!!
Sepertiga bagian depan Bandara Hussein Sastranegara hancur berkeping-keping
akibat ledakan bom rakitan yang kekuatannya walaupun tidak sehebat bom Hiroshima-
Nagasaki atau bahkan bom Bali tapi tetap saja menewaskan cukup banyak orang.
Termasuk rombongan Duta Besar Amerika yang saat itu akan segera berangkat ke hotel.
Tidak terkecuali Sharhina.

Mengira akan mendarat di atas aspal kemudian dihujani serpihan beton atau
bongkahan semen, Alexei sudah sibuk melindungi kraniumnya agar tidak retak. Rupanya
ia mendarat di tempat yang keras, seperti aspal, hanya saja licin. Dapur rumahnya. Ia
mendongak dan mendapati Angelo memutar bola mata dengan jengkel kepadanya.
”You just blew up your chances, dork (Kau baru saja menghancurkan
kesempatanmu,bodoh)! Membunuh pacarmu dengan menyelundupkan pengebom ke
dalam bandara. Apa sih yang terlintas di otakmu? Senang melihat pacarmu terpanggang?
Diidentifikasi lewat tulang femurnya? Allahuakbar! Kamu memang orang paling bodoh
di dunia ini, Alexei. Harusnya namamu itu Jahiliyah (zaman kebodohan) atau Stupidity
(kebodohan), bukannya Alexei. Bagaimana sih cara mengeja namamu? B-O-D-O-H ya?
Aku memberimu kesempatan dan yang kau lakukan hanya membunuhnya! Kamu jenius
paling idiot yang pernah Allah ciptakan, Alexei,” Angelo berceramah dengan nada
mencela.
“Gue berusaha keras menolong dia, bukannya membunuhnya! Asal lo tahu!”
bentak Alexei marah. Apa sih yang akan dilakukan Angelo seandainya ia Alexei?
Dimana lagi ia harus menghentikan Sharhina?
Angelo berputar-putar di udara, melalukan plié (gerakan balet, punggung lurus
dan kaki ditekuk) kemudian meniru balerina yang menarikan resital The Swan Princess
kemudian mendarat tepat di depan Alexei, nyaris membuat Alexei menjadikan Angelo
karung tinjunya. “Coba aku tanya, untuk apa kamu berusaha mengembalikan apa yang
sudah digariskan Tuhanmu kepadanya, Alexei? Mengapa kamu berusaha keras
melakukan sesuatu yang mustahil? Aku menikmati pembicaraan cerdasku dengan
Aristoteles tapi aku tak mau menghidupkannya lagi. Di samping kebiasaan ogah
bercukurnya itu, aku tak mau menentang kehendak Tuhanku. Kesempatanmu tinggal satu
kali lagi, amici (teman). Now or never (sekarang atau tidak selamanya).”
Alexei memejamkan matanya kuat-kuat. Ia memikirkan suatu tempat dan waktu.
Lagi-lagi ia tersedot ke dalam pusaran cahaya dan mendarat di tempat yang sangat
dikenalnya.

Seminggu yang lalu


”Hei, sexy, kenapa kamu tiba-tiba muncul di rumahku?” sapa Sharhina setelah
membukakan pintu dan mendapati Alexei berdiri di depan pintu rumahnya. Pada waktu
yang sama, Alexei yang satu lagi tengah berkonsentrasi penuh menyelesaikan bab ketiga
The Pharaoh. ”Lagi apa, S?” tanya Alexei ingin tahu. Sharhina mengangkat bahunya.
”Packing. Besok aku berangkat ke Roma, ingat?”
Alexei mengangguk pedih. Tenggorokannya serasa terganjal sebongkah batu kali.
Kalau bersamanya, bagaimanapun caranya Sharhina tetap akan meninggal. Sepertinya
mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama di masa sekarang. Mungkin nanti,
mungkin hanya dalam kenangan.. siapa yang tahu?
”Mau temani aku jalan-jalan? Banyak sekali yang mau aku bicarakan sama kamu,
S,” Alexei menawarkan. Tawaran itu langsung diterima Sharhina dengan senang. Selama
ini, Alexei sering sekali sibuk dengan proyek novelnya. Baik Revenge of the Consigliore,
The Pharaoh maupun novel-novel dan artikel majalah di tempatnya bekerja. ”Tentu.
Tunggu lima menit dan kita langsung ciao!”
Alexei hanya tersenyum. Keriangan Sharhina hanya akan disaksikannya sebentar
lagi. Kalau saja ada cara agar ia bertukar tempat dengan Sharhina, agar ia saja yang mati
sehingga Sharhina bisa hidup bahagia..
Lima menit kemudian Sharhina muncul dalam balutan sweter tebal Nicole Farhi
sewarna gading dipadu legging merah manyala dan sepasang sepatu datar keluaran
Chanel. ”Kamu kelihatan nggak sehat lho, S. Mau ke dokter?” Alexei menyadari jalan
Sharhina yang goyah dan keringatnya yang terus menerus mengalir.
”Per niente (tidak sama sekali). I’m peachy (aku baik-baik saja). Ayo kita pergi.
Dove vuole andare (Anda mau pergi kemana)? Mal? Atau restoran Italia yang insalata
caprese-nya enak?”
”Kemana pun yang kamu mau,” jawab Alexei diiringi senyum yang tulus. Ia
bahkan lupa kapan pernah tersenyum setulus itu. Mungkin di hari Sharhina menerima
lamarannya di puncak Menara Eiffel tiga bulan yang lalu?
”Perché no (mengapa tidak)? A che ora si parte (kapan kita berangkat)?” tanya
Sharhina, tersenyum manis. Sepertinya sudah lama sekali Alexei tidak tersenyum seperti
itu padanya.
“Adesso (sekarang).”

“Aku nggak percaya kamu mau ikut aku ke sini! Ini rumah impianku. Dari dulu
aku selalu berharap rumah ini nggak pernah terjual karena aku ingin someday bisa tinggal
di sini,” Sharhina memberitahu Alexei dengan antusias. Hati Alexei serasa digigit.
Tahukah Sharhina kalau ia tak akan pernah menempatinya? Alexei susah payah menahan
tangis. Tahukah ia kalau mereka tidak akan pernah menikah?
“Tapi kayaknya aku nggak akan tinggal di sini deh,” kata Sharhina tiba-tiba. Eh?
Alexei mengerutkan kening dengan bingung. Apakah Sharhina sudah tahu kalau
hidupnya tak akan lama lagi?
“Kenapa?” Alexei memberanikan diri untuk bertanya.
Sharhina tidak menjawab. Ia hanya berdiri mematung mengagumi rumah
impiannya itu. Rumah itu tidak besar tapi tetap cantik. Bercat lembayung muda, atapnya
dirambati sulur tanaman mawar seperti juga gerbang lengkung sebelum pintu dan
halamannya yang luas ditumbuhi entah berapa jenis spesies bunga. Di salah satu dahan
pohon besar di pekarangan, digantungi ban mobil yang berfungsi sebagai ayunan. Benar-
benar rumah impian dalam dongeng. Sharhina berjalan mendekati pohon itu kemudian
duduk di bawahnya. Alexei mengikutinya dan duduk di sebelahnya.
“Kadang aku takut,” Sharhina membuka obrolan, “kalau seandainya aku pergi
duluan, siapa yang jagain kamu ya? Kamu bisa bertindak seperti bayi kadang-kadang,X.”
Kepala Alexei serasa dihantam gada. Bagaimana Sharhina bisa tahu?
“A..apa yang kamu omongin sih, S? Aku nggak ngerti..” Alexei merasa, pura-
pura bego, walaupun sangat sinetron, adalah reaksi yang terbaik.
“Well, aku hanya penasaran. Kalau aku nggak ada, siapa yang bakal temani
kamu? Siapa yang kira-kira mau belajar Bahasa Italia untuk kamu? Siapa yang bakal
mengingatkan kamu makan? karena sejak The Pharaoh mulai ditulis, kamu suka nggak
ingat makan. Yang jelas, aku berharap kamu bahagia sama siapapun yang kamu pilih
untuk menggantikan aku. Dan dimanapun kamu berada, seandainya kamu mau ketemu
aku, lihat ke atas dan aku bakal ada di sana,” Sharhina menunjuk langit malam di atasnya
dimana ratusan bintang berkerlap-kerlip di dalamnya. Padahal, biasanya langit malam
tidak seberbintang itu. Mungkin, benda-benda langit pun menghidupkan suasana indah
bagi Sharhina.
”Jangan ngomong yang aneh-aneh, S. Kamu nggak akan mati,” Alexei
berbohong. Tanpa disadari, air mata Alexei meluncur jatuh ke pipinya seperti orang yang
melakukan bungee jumping.
”Tidak ada yang tahu kapan seseorang akan mati, X. Tapi aku yakin waktuku
nggak akan lama lagi. Dan kalau perkiraanku benar, kuharap kamu nggak bertindak
bodoh yang merusak diri sendiri. Mau ’kan kamu janji nggak akan ngerusak diri sendiri?
Be strong (kuatlah), ’cause you are always my superhero (karena kamu selalu jadi
pahlawan superku). Aku tahu kamu bukan seorang idiot yang bakal depresi karena faktor
sosio-lingkungan seandainya aku pergi.”
Alexei tersenyum getir. Sepertinya Sharhina tidak bisa menilai dengan baik. Apa
reaksinya kalau tahu Alexei berusaha bunuh diri dengan sebotol Xanax? Ditambah lagi
berliter-liter Jack Daniel’s yang sudah dikonsumsinya.
”S, terserah kamu mau percaya atau nggak, tapi aku yang sekarang datang dari
masa depan! Aku lebih tua seminggu dari aku yang sekarang. Alexei yang hidup di masa
ini lagi mengetik The Pharaoh dengan serius di kamarnya! Bagaimanapun caranya,
pokoknya aku bisa kembali ke sini untuk menyelamatkan kamu! Aku nggak mau kamu
mati. Aku nggak mau ditinggal. Aku..” mendadak suaranya pecah dan digantikan dengan
isak tertahan. Kalau ada yang menganggapnya cengeng, cobalah ada dalam situasinya.
Kehilangan seseorang yang kau sayangi bukan sesuatu yang mudah dilupakan.
”’Aku tidak akan bilang ’jangan menangis’ karena tidak semua air mata jahat’.
Kamu ingat kalimat itu? Pahlawan kamu yang bilang lho..” Sharhina mengutip kata-kata
tokoh rekaan pujaan Alexei sepanjang masa. ”Gandalf. Itu kata-kata Gandalf dari novel
The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien..” sahut Alexei setelah memorinya mengingat
kata-kata penyihir bijak itu kepada para hobbit sebelum ia berangkat ke Havens.
”By the way, pernahkah kepikiran sama kamu kalau aku bakal menolak
diselamatkan? Kalau aku lebih suka menjalani takdirku sendiri. Ada sesuatu yang nggak
dapat diubah, X. Itu salah satunya. Lepasin aku, oke? Biarin aku pergi dengan tenang.
Jangan menangis di kemudian hari dan jangan rusak diri kamu sendiri. Kamu harus kuat
dan buat aku bangga. Jadi penulis best-seller lagi, banyak beribadah, banyak doain aku
dan.. cari penggantiku. Sangat nggak adil buat kamu kalau kamu nggak bahagia di dunia
cuma karena aku.” Sharhina mengatakannya dengan suara kalem dan bernada tenang.
Berbeda dengan Alexei yang justru menerimanya dengan isak tangis yang keras.
”Aku malah berdoa biar aku aja yang mati, jangan kamu!”
Sharhina merebahkan kepala Alexei di pangkuannya dan dengan lembut
membelai-belai kepalanya. ”Kalau gitu, kamu nggak sayang sama aku, X. Kamu mau ya
lihat aku menderita? Aku nggak sekuat kamu. Mungkin aku bisa mati karena sedih
menangisi kepergian kamu. Kasihan arwah kamu juga ’kan?”
Butiran-butiran air mata Alexei membasahi sweter Sharhina. Hei, bukankah ada
pepatah bilang : ’Tak ada pesta yang tak usai’? Alexei menggigit bibirnya kuat-kuat
dalam rangka mencegah tangisnya terus berkelanjutan. Ia tak mau membuat Sharhina
sedih dan tidak tenang. Ia ingin Sharhina pergi dengan lega, bagaimanapun caranya.
”Maafin aku, S. Aku sering mengabaikan kamu. Kita memang nggak pernah
menghargai sesuatu sampai sesuatu itu hilang. Aku sayang kamu, S. Yo quiero mucho
(sangat menyayangimu). Aku bahkan nggak pernah berpikir untuk menyayangi orang
lain seperti menyayangi kamu? Awalnya aku benci, kenapa aku dikasih kesempatan
untuk ketemu kamu lagi, karena itu hanya akan menambah sakit hatiku lihat kamu pergi.
Tapi, sekarang aku bersyukur karena dikasih perpanjangan waktu sebelum wasit betul-
betul meniup peluit panjang..” Sharhina tersenyum mendengarnya. Walaupun ia
mendengar kata-kata manis dari mulut Alexei di hari terakhirnya. Dan ia tahu Alexei
berkata sejujur-jujurnya, itu bahkan lebih dari cukup. Apa sih yang diminta seseorang
saat mencintai? Dicintai kembali, ’kan?
”Selalu ingat ya, aku akan ada bersama kamu selamanya. Dimana pun itu. I will
be up there, watching you (aku akan berada di atas sana, mengawasimu).Buona notte,
amore. Arrivederci. Go to sleep (tidurlah)...”
Kata-kata terakhir Sharhina seperti dongeng sebelum tidur yang mengantar Alexei
ke dalam tidur nyenyak yang tidak pernah didapatkannya selama seminggu semenjak
Sharhina meninggalkannya. Walaupun sedih, kepergian Sharhina pasti akan ada dalam
hidupnya, seperti hujan yang tetap akan turun walaupun dihadang ratusan pawang hujan.
Dan kali ini, ia menerimanya dengan lapang dada.

”Molto bene, amici (Bagus sekali, temanku)! That’s what I’m talking about (Ini
dia maksudku). Sharhina Dharmawangsa meninggal karena penyakit demam berdarah
yang telat ditangani di kamarnya,itu yang tertulis di buku catatanku setidaknya!” sambut
Angelo begitu melihat Alexei seolah Alexei pahlawan Perang Troya atau bagaimana.
“Sharhina meninggal di rumah impiannya!” Alexei memprotes. Ia ingat dimana,
bentuk bahkan nomor ponsel agen real estate yang menangani penjualan rumah itu.
Angelo tersenyum penuh arti. “Memangnya kamu sendiri yang mendapat kehormatan
memakai jam ini?” tanyanya retoris. Angelo mengambil jam saku berlian itu dari tangan
Alexei dan memutar-mutarnya. “Waktu. Sesuatu yang sangat penuh misteri,” gumamnya.
Ia melayang semeter dari lantai dan membungkuk memberi hormat berlebihan seolah
sedang membungkuk pada raja. “Sampai ketemu lagi, Alexei! Mungkin Alexei Romanov
akan bangga karena namanya digunakan seseorang yang baik. Omong-omong, The
Pharaoh akan jadi best-seller. Diterjemahkan ke 48 bahasa bahkan dibuat filmnya oleh
Warner Bros. Omedetto dariku deh. Oh ya itu Bahasa Jepang untuk..”
“Selamat. Gue nggak idiot, Angelo. Grazie (Terimakasih), Angelo,” potong
Alexei diiringi senyum penuh terimakasih pada Angelo, si sinis yang baik hati.
“Prego (Kembali), Alexei. Arrivederci!” balas Angelo sopan. Ia melayang
menembus tembok dan menghilang di langit malam. Alexei tersenyum sendiri
sepeninggal Angelo. Kata ‘angelo’ berarti ‘angel’ dalam Bahasa Inggris dan dalam
Bahasa Indonesia disebut dengan istilah ‘malaikat’.

Milan, 3 tahun kemudian


Piazza Della Scala
BUK!
“Ouch!” jerit seorang gadis muda berusia pertengahan dua puluhan yang
berambut cokelat kemerahan dengan sepasang mata hijau kekuningan yang sangat cantik
ketika punggungnya ditabrak dari belakang.
“Ya ampun! Mi dispiace, signorina!” Alexei segera meminta maaf pada gadis
yang baru ditabraknya. Untung kamera besar antik di tangan gadis itu tidak jatuh.
Sepertinya ia seorang fotografer kalau dilihat dari caranya memotret. Mau bagaimana
lagi, Piazza Della Scalla memang dekat dengan galeri Vittorio Emanuele plus di sini
terdapat patung Leonardo Da Vinci dan teater La Scala. Pecinta seni pasti kemari.
“Perché va a Milano, Signor (Apa yang kau lakukan di Milan, Tuan)?” tanya
gadis cantik itu dengan nada bersahabat.
“San Siro. AC Milan. Parla lei ingles (Apakah Anda berbicara Bahasa Inggris)?”
Gadis itu mengangguk. “Bahasa Indonesia juga bisa sebetulnya. Anda penulis
Revenge of the Consigliore ‘kan? Sebagai separuh Italia-Indonesia, saya kagum sekali
pada novel Anda. Juga novel drama satu-satunya Anda itu, What You Can’t Change A
Week Ago : Apa yang Tak Bisa Kau Ubah Minggu Lalu! It’s a phenomenon. Saya fans
berat! Mau minum macchiato sambil mengobrolkan novel Anda?”
Gantian Alexei yang mengangguk menyetujui tawaran si nona cantik dengan mata
mengagumkan seperti milik Helena Christensen. Faktanya, gadis ini agak mirip dengan
Sharhina. “Certamente, Signorina.”
Tanpa sadar, Alexei mendongak ke atas dan menatap lautan bintang di atasnya.
Apakah hanya perasaannya atau memang benar, satu dari jutaan bintang di langit malam
kota Milan berkerlap-kerlip paling terang di antara yang lain, seperti mata yang
mengedip-ngedip. Alexei teringat ucapan Sharhina. ”Selalu ingat ya, I will be up there,
watching you.”
“Il sou nome, prego (Siapakah nama Anda)?” tanya Alexei seraya mengulurkan
tangannya dengan sikap bersahabat.
“Isabella. Isabella Mercado.”
“Molto piacere di conocerla (Senang sekali berkenalan dengan Anda), Signorina
Mercado. Nama yang secantik orangnya,” kata Alexei jujur. Dalam Bahasa Italia, ‘bella’
artinya cantik.
Di atas mereka berdua, si bintang berkerlap-kerlip penuh semangat.

Tamat

All the stars are coming out tonight

They’re lighting up the sky tonight

For you.. for you..

(Rule the World- Take That)


Apa yang Tak Bisa Kau Ubah Minggu Lalu

Oleh :

Mariska S. Rompis

Kelas : XI-C

Nomor Absen : 27

Вам также может понравиться