Вы находитесь на странице: 1из 12

(1)

a. Jelaskan definisi, konteks, dan evolusi prinsip Humanitarian Intervension.


b. Analisa perkembangan situasi termutakhir di Libya dengan menggunakan konsep
yang telah anda dapatkan di dalam kuliah.
(2)
a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan realism, neorealism, liberalism, serta neoliberalism.
b. Analisa situasi terkini penyebaran demokrasi. Gunakan contoh kontemporer.

Tugas ini disusun untuk memenuhi pemilaian Ujian Tengah Semester (UTS)
Isu-Isu Global Masa Kini
Dosen: Rico Marbun

Oleh:

Siti Octrina Malikah


209000061

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
2011
(1)

a. Definisi, Konteks, dan Evolusi Prinsip Humanitarian Intervention

Definisi Humanitarian Intervention

Ada banyak pemikir mengenai definisi dari humanitarian intervention seperti Adam
Roberts, Tony Brems Knudsen, Martha Finnemore, Bhikhu Parekh, Will D. Verwey, dan
lain-lain. Namun, berbagai pemikiran dari ahli-ahli tersebut dapagt dirangkum menjadi empat
hal, antara lain:

1. Penggunaan militer: memang beberapa kajian turut membicarakan aksi humanitarian


intervention tanpa kekerasan dan paksaan namun mayoritas biasanya menggunakan
kekerasan dan paksaan. Alasan yang dikemukakan mengapa seringkali menggunakan
kekerasan dan paksaan, yang direpresentasikan oleh militer, adalah karena pihak-pihak
yang berkonfrontasi di dalam suatu Negara memang telah pada tahap saling mencederai
satu sama lain, oleh karena itu penanganan mereka juga membutuhkan keterlibatan
militer atas nama keamanan.
2. Tanpa izin Negara yang berdaulat tersebut: hal dasar yang membedakan humanitarian
intervention dari peace keeping adalah eksistensi perizinan dari Negara yang bermasalah
tersebut. Dalam peace keeping, pasti didahului oleh izin Negara yang bersangkutan.
Berbeda dengan peace keeping, humanitarian intervention dieksekusi terhadap Negara
yang dinilai tidak memiliki pemerintahan potensial yang berkuasa untuk menghentikan
konflik atau justru kekerasan dilakukan oleh Negara itu terhadap rakyatnya. Misalnya
seperti kasus di Libya yang masih berlangsung hingga kini.
3. Bertujuan untuk membantu: selain bertujuan untuk melindungi kondisi nasional Negara
tertentu, humanitarian intervention juga berfungsi untuk melindungi non-nasional dari
konfrontasi yang ada.
4. Agensi intervensi: meskipun humanitarian intervention pada dasarnya dilakukan oleh
Negara namun dalam era kontemporer ini ada tendensi untuk menggunakan pola
intervensi di bawah paying United Nations (UN)

Perubahan Konteks Humanitarian Intervention Paska Perang Dingin

Akhir dari Perang Dingin telah banyak mempengaruhi perubahan konsep dan praktik
dari humanitarian intervention karena Perang Dingin itu sendiri telah merubah tatanan norma
dunia internasional. Beberapa perubahan konteks dijabarkan dalam beberapa poin, sebagai
berikut:

1. Setelah berakhirnya Perang Dingin maka tidak ada lagi persaingan antara dua Negara
superpower. Berakhirnya konfrontasi ideologi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat
juga membentuk pola baru di mana rezim yang bersahabat lebih diutamakan.
2. Berakhirnya Perang Dunia, muncul suatu nilai yang memberikan posisi special bagi hak-
hak individu, terutama di kalangan Negara-negara Barat. Ini memberikan atmosfer politik
yang sesuai untuk menginisiasi intervensi karena besarnya hak individu, tanpa kekuasaan
mutlak/ otoriter, ini akan berpotensi lebih besar untuk berkonfrontasi.
3. Humanitarian intervention bukan hanya semata-mata respon terhadap pemerintahan yang
represif, tetapi juga kepada hal-hal yang mengarah kepada konflik internal, misalnya
disintegrasi Negara, sebagai akibat dari pencederaan hak asasi manusia. Misalnya,
mayoritas konflik bersenjata paska Perang Dingin diakibatkan oleh perang sipil.
4. Paska Perang Dingin, banyak instabilitas yang membutuhkan keterlibatan kemanusiaan
dan hal ini mendorong UN Security Council untuk membuat aturan yang lebih rijit lagi
dengan menambahkan beberapa poin baru di dalam resolusinya. Dalam beberapa kasus,
the Security Council mengkategorikan beberapa pencederaan hak asasi manusia dan
konflik sipil sebagai ancaman pagi kedamaian dan keamanan internasional sehingga
akhirnya mereka memutuskan untuk memberikan sanksi ekononomi atau mengintervensi
permasalahan tersebut secara paksa.
5. Pada era Perang Dingin, ide intervensi dianggap illegal sebab hal itu melanggar norma
kedaulatan dan self-determinationi (hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun ada
pergeseran melalui Pasal 2 (4) hingga 2 (7) pada UN Charter yang akhirnya melakukan
interpretasi ulang atas dua norma sebelumnya di mana "… it is no longer tenable to assert
whenever a government massacres its own people or a state collapses into anarchy that
international law forbids military intervention altogether.“
6. Disamping dari bantuan personal dari sebuah Negara, sebagian besar intervensi pasak
Perang Dingin berhubungan erat dengan tindakan regional atau bahkan global dengan
legitimasi dan lisensi yang lebih kuat melalui resolusi UN Security Council. Peningkatan
keterlibatan UN dalam hal humanitarian intervention menjadi semakin mungkin karena
intervensi itu sendiri memiliki kaitan dengan isu-isu yang diusung oleh UN.
7. Berhubungan dengan peningkatan keterlibatan UN, saat ini meningkatnya peran
multilateralisme merupakan perubahan yang dicapai paska Perang Dingin.
Evolusi Konsep Perubahan Humanitarian Intervention

Perbincangan awal mengenai konsep dari humanitarian intervention telah dimulai


oleh para pemikir hokum internasional klasik dari sekitar abad ke-16 dan ke-17 terutama
mengenai konsep ‘just war’. Ketika memasuki abad ke-18 dan ke-19, filsuf-filsuf liberalism,
seperti Mill, mengaitkan konsep humanitarian intervention dengan hak asasi manusia.
Praktik humanitarian intervention pada abad ke-19 dianggap sebagai bagian dari konsep
modernnya karena pada masa inilah Negara menggunakan prinsip kemanusiaan untuk
melegitimasi intervensi yang mereka lakukan.

Motif dibalik intervensi dan siapa yang benar kerap menjadi perdebatan dan
pertanyaan mengenai indikator dari korupsi itu sebenarnya apa. Kurangnya pembatasan
penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional merupakan alasan yang cukup penting
untuk menjelaskan praktik intervensi. The UN Charter memberikan solusi baru untuk
penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional dengan mengkualifikasikan
penggunaan kekerasan dalam masyarakat internasional sekaligus memberi batasan atas hal
tersebut, sebagai berikut:

1. Mengatur prinsip non-intervensi bagi semua Negara sebagai norma universal.


2. Memberikan peluang untuk penggunaan kekerasan hanya untuk self-defense atau ketika
membahayakan keamanan bersama (diatur oleh chapter VII). Dengan kata lain, legitimasi
intervensi satu-satunya adalah ketika suatu hal dianggap membahayakan kedamaian dan
keamanan internasional.
3. Menegaskan prinsip yang diusung hak asasi manusia sebagai pertimbangan utama
organisasi ini di mana pada Pasal 55 UN harus mempromosikan penghormatan terhadap
hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Humanitarian intervention dianggap sebagai
bentuk asertif dalam mempromosikan hak asasi manusia di tingkat global yang mana di
lain sisi sebenarnya hal ini melemahkan kedaulatan Negara dan prinsip non-intervensi.
4. Hasilnya, the UN Security Council sejak 1945 telah memiliki kekuasaan untuk
menentukan penggunaan paksaan atau kekerasan untuk menghentikan pencederaan hak
asasi manusia.
b. Analisa kejadian termutakhir di Libya

Sebelum memutuskan apakah dibutuhkan intervensi atau tidak terhadap krisis hak
asasi manusia dan krisis stabilitas Negara di Libya, ada beberapa poin yang bisa dirangkum
dari perkembangan isu di Libya saat ini, antara lain:
1. Krisis di Libya telah membuat begitu banyak Negara di dunia bergerak untuk
mengevakuasi warga negaranya masing-masing dari Libya karena ada kekhawatiran yang
besar atas keselamatan warga Negara ini. Turki mengevakuasi 3000 warga negaranya,
begitu pula dengan Amerika Serikat dan China yang melakukan hal yang sama.
2. Instabilitas politik di Libya telah mempengaruhi harga minyak dunia. Hal ini pastilah
menjadi konsern bersama mengingat betapa pentingnya posisi energy untuk
kesinambungan setiap Negara di dunia. Oleh karena itu, harapan untuk Libya yang lebih
stabil bukan hanya menjadi fokus domestik tetapi juga fokus internasional karena peran
minyak yang sangat signifikan. Apabila kondisi Libya yang seperti sekarang ini tidak
kunjung diselesaikan maka dikhawatirkan dunia akan mengalami lambungan harga
minyak yang tinggi karena kurangnya pasokan minyak dari Libya.
3. Instabilitas politik domestik Libya yang menuntut turunnya Khadafi dari tampuk
kekuasaan lebih keras dibandingkan Tunisia dan Mesir. Konflik sipil ini telah
menewaskan ribuan penduduk di tangan pemerintahannya sendiri.

Dari tiga poin di atas, sebenarnya sudah cukup representatif mewakili persyaratan
untuk melakukan interfensi karena apa yang terjadi di Libya telah mencederai hak asasi
manusia sementara di lain sisi juga menciptakan instabilitas internasional. Tanpa bermaksud
untuk mengurangi kedaulatan di Libya, namun Negara ini memang membutuhkan bantuan
luar negeri untuk menyelesaikan permasalahannya. Kondisi domestic Libya yang memang
telah menggunakan kekerasan mengharuskan penerapan intervensi yang militeristik pula
sebab tidak mungkin lagi dilakukan metode soft diplomacy seperti negosiasi di tengah situasi
yang kian memanas ini.

Lantas siapakan yang dianggap paling berhak untuk melakukan intervensi? Tentunya
UN sebagai organisasi multilateral yang mempunyai anggota paling banyak di dunia.
Humanitarian intervention yang kini dilaksanakan oleh UN juga didukun oleh liga Arab
karena beberapa pertimbangan seperti yang sudah saya paparkan di awal. Memang intervensi
UN ini menuai banyak pro-kontra seperti tindakan ini merupakan akibat dari AS yang
berusaha memanfaatkan momentum atas nama minyak sehingga ada hidden agenda tersendiri
melalui intervensi ini, dan berbagai isu-isu lainnya. Namun, bagaimanapun derasnya isu
demikian, tetaplah hal itu sebatas teori konspirasi yang tidak bisa diterjemahkan secara
akademik sementara intervensi yang kini dilakukan UN terhadap Libya memiliki alasan yang
kuat.
(2)

a. Paradigma Realisme, Neo-Realisme, Liberalisme, Neo-Liberalisme

Realisme

Realisme adalah suatu faham dalam hubungan internasional yang paling tua diantara
yang lainnya. Realisme telah hadir dalam hubungan internasional sejak zaman yunani kuno
yang diceritakan oleh Thucydides dalam karyanya the pelopponnessian war mengenai
bagaimana kerjaan Athena harus berperang melawan Persia dan memiliki sekutu yaitu Sparta.
Dari Thucydides sebagai sejarawan yang memiliki keterkaitan erat dengan realis banyak
tokoh-tokoh selanjutnya yang kemudian digolongkan menjadi pemikir-pemikir realis di dunia
seperti Niccolo Machiavelli, Clausewitz, Hanz J Morgenthau, Kenneth Waltz, George
Kennan, Raymond Aron, dan lainnya.1

Negara-negara realis ini terkesan selalu bersiap untuk perang dan siap untuk
menginvasi Negara-negara lemah. Namun, tidaklah demikian. Semua kepentingan yang
dilandaskan oleh power tersebut bukan hanya untuk berperang dan berkonflik. Namun, realis
ini menganalogikan sebuah Negara layaknya manusia. Manusia pada dasarnya jahat dan
hanya bergerak berdasarkan kepentingan. Inilah yang menjadi landasan pada realist dalam
mengartikan Negara dan itulah sebabnya kenapa Negara realis itu selalu beranggapan adanya
kompetisi disetiap saat demi power tersebut dengan Negara.negara lain. Pemikirantersebut
dilandasi dengan ketakutan, hal yang sama dan selalu terjadi kepada setiap manusia jika
merasa terancam dengan keberadaan orang-orang terdekatnya.

Negara yang menganut faham realis ini pasti, diasumsikan, lebih menguatkan aspek
militer dan aliansi yang berhubungan dengan keamanan nasionalnya. Negara-negara realis
menganggap kalau isu pertahanan dan keamanan nasional adalah segalanya termasuk untuk
menciptakan sebuah security dilemma bagi Negara lain sehingga jika Negara lain tidak bisa
menyaingi, maka Negara tersebut akan dianggap tunduk dan bisa dengan mudah mengejar
kepentingan atas Negara tersebut. Semua Negara realis selalu melandaskan power dalam
politik luar negerinya.

1
Griffiths, Martin, Steven and Scott Solomon. 2009. Fifty Key Thinkers In International Relations. Routledge.
Hlm. vii
Neo-Realisme

Seiring dengan perubahan zaman yang begitu cepat, dengan dinamika hubungan
internasional yang juga begitu cepat mengalami pergeseran norma, maka setelah realis klasik
hadirlah neo realis sebagai kritik sekaligus pembaharuan terhadap pemikiran realis klasik.
Tokohnya yang cukup terkenal saat ini adalah Kenneth Waltz. Waltz mengatakan bahwa
system internasional memang masih anarki namun bukan berarti system internasional
bukanlah sesuatu yang bukan subjek hukum internasional. System internasional itu sendiri
merupakan subjek internasional dan juga sebagai wadah bagi Negara-negara yang ada
didalamnya dimana Negara-negara tersebut berinteraksi dan tentunya hal itu juga akan
mempengaruhi perilaku dari sebuah Negara.

Neo-Realis ingin mengatakan bahwa Negara bukanlah satu-satunya aktor dalam


hubungan internasional dan Negara pun bukanlah satu-satunya subjek penentu dalam
hubungan internasional karena Negara itu sendiri masih bisa ditentukan, diubah sesuai
dengan sistem yang berlaku. Berarti sistem internasional juga mempunyai peranan penting
dalam menentukan politik luar negeri suatu Negara. Bukan berarti kedaulatan Negara disini
telah hilang dan digantikan oleh sebuah sistem yang memiliki kedaulatan lebih tinggi. Hanya
saja sistem tersebut merupakan pertemuan dari beberapa Negara yang berdaulat dan
menyepakati hal-hal tertentu untuk mencapai kepentingan bersama yang memang menjadi
tujuan didirikannya perkumpulan Negara tersebut.

Neo-Realisme adalah salah satu perpektif hubungan internasional yang mengatakan


bahwa pada dasarnya setiap Negara ini berada dalam suatu sistem internasional yang anarki
karena tidak ada yang lebih berdaulat lagi selain kedaulatan Negara. Neo-Realisme juga
menganjurkan bahwa setiap Negara didunia harus mengejar kekuasaan atau power untuk bisa
mempertahankan dirinya dari serangan luar. Jika kekuasaan tersebut tidak bisa tercapai
setidaknya Negara tersebut mempunyai aliansi yang kuat dengan Negara lain. Semua itu
dilakukan semata-mata hanya untuk mencapai kepentingan nasional. Seperti yang dikatakan
Hans J. Morgenthau “all politics is basically a struggle for power”.

Liberalisme

Liberalisme adalah perspektif kedua yang cukup tua setelah realisme. Liberalisme ini
hadir sebagai lawan dari asumsi-asumsi realis dimana realis mengatakan bahwa manusia pada
dasarnya anarki dan jahat, menusia juga berkehendak atas kepentingannya sendiri untuk
menguasai orang lain (homo Homini Lupus) maka dari itu sama seperti Negara yang
kemudian akan terus mengejar power untuk mendominasi Negara lainnya. Bertolak dari
realism, liberalis justru mengatakan bahwa manusia pada dasarnya baik dan untuk itulah
manusia akan berkelompok untuk membagi kepentingannya menjadi kepentingan bersama
menuju kebaikan bersama.

Liberalisme percaya bahwa perdamaian dapat dicapai melalui kerjasama, selain itu
paham ini juga menjunjung tinggi system demokrasi karena dengan demokrasi Negara-negara
akan lebih terhindar dari peperangan dibandingkan Negara yang tidak demokratis. Seperti
dijelaskan oleh Immannuel Kant melalui Democratic Peace Theory di mana hal ini bisa
ditinjau secara normatif dan institusional. Secara normatif Negara demokratis yang berpusat
pada rakyat akan selalu memikirkan tentang untung rugi dalam memutuskan, oleh karena itu
kemungkinan untuk bernegosiasi, bertukan pemahaman, dan berunding bisa dilaksanakan
untuk mencegah terjadinya perang. Secara institusional Negara demokratis mengenal konsep
check and balances dan distribusi kekuasaan sehingga keputusan bukan hanya di tangan
kepala pemerintahan melainkan terbagi di setiap unsure masyarakat, dalam hal ini diwakili
oleh legislative. Demokrasi dengan seperangkat aturannya yang birokratis dan rijit akan
memperkecil kemungkinan untuk perang karena akan mengalami perundingan berkali-kali
oleh seluruh aspek masyarakat.

Namun demikian, secara pendekatan konstruktivis, Negara demokrasi memiliki


potensi untuk berperang juga namun bukan dengan Negara demokratis lainnya melainkan
dengan Negara yang tidak demokratis, seperti Negara fasis, komunis, dan Negara otoriter
lainnya. Oleh karenanya, ada keinginan oleh kaum liberalis untuk menyebarkan demokrasi,
meskipun dengan paksaan, ke seluruh dunia agar kedamaian lebih mudah tercapai tanpa perlu
dicederai oleh otoritarianisme.

Neo-Liberalisme

Sekelompok kecil orang yang ekslusif terdiri dari para akademisi ekonomi, sejarawan
ekonomi dan filsfu-filsuf ekonomi berkumpul dengan dikepalai oleh seorang filsuf politik
Austria bernama Friedrich Von Hayek yang kemudian membentuk Mont Pelerin Society
pada tahun 1947. Beberapa peserta lain yang terlibat termasuk Ludwig Von Mises, Milton
Friedman, Karl Popper, dll. Kelompok ini menyimbolkan diri mereka sebagai ‘liberals’
karena komitmen dasar mereka yang beracuan kepada ide kebebasan individu. Doktrin
Neoliberal secara tegas menolak teori intervensi Negara yang diajukan oleh J. M. Keynes
yang muncul pada tahun 1930an sebagai respon dari great depression.

Pergerakan MPS ini mencakup kebijakan dan akademis. Seperti, institute of economic
affairs di London dan The Herritage Foundation di Washington. Dalam bidang akademis
secara special pengaruh mereka berada di University of Chicago dimana Milton Friedman
mendominasi. Teori Neoliberal mendapatkan pengakuan dan penghomratan akademis
melalui penganugrahan Nobel kepada Hayek ditahun 1974 dan kepada Friedman di tahun
1976.

Meskipun liberalism dan Neo-liberalisme merupakan bagian dari kapitalisme namun


ada perbedaan di antara kedua paham ini. Liberalisme menempatkan ekonomi sebagai salah
satu bentuk interaksi individu dengan masih membicarakan kepentingan publik, sementara
Neo-liberalisme menempatkan ekonomi sebagai satu-satunya landasan interaksi antar
manusia dalam aspek politik, ekonomi, social, budaya, dan tentunya termasuk hubungan
antar bangsa. Yang sama-sama disepakati oleh liberalism dan neo-liberalisme adalah
mengenai prinsip kebebasan individu dan prinsip anti-negara sebagai landasan perilaku
ekonomi karena perekonomian secara otomatis akan mengatur dirinya sendiri untuk sampai
kepada titik kemakmuran dan keseimbangan.

Titik berat dari paham Neo-liberalisme adalah peran aktif sistem internasional dalam
menciptakan liberalisasi individu, liberalisasi pasar, dan liberalisasi perdagangan. Seperti
diungkapkan oleh Robert O.Keohanne dalam bukunya ‘After Hegemony’ yang mengulas
peran dan pola perilaku organisasi internasional terhadap Negara-negara di dunia. Penelitian
ini diawali dengan dua observasi terhadap kerjasama ekonomi yang mencuat di 1970an yaitu
Bretton Woods2 dan GATT. Kedua kerjasama ekonomi ini hadir sebagai bantuan bagi
kehancuran liberalisme akibat krisis Wall Street yang berdampak besar kepada perekonomian
AS dan Eropa. Dapat disimpulkan bahwa Neo-liberalisme secara umum berkaitan dengan
tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO,
IMF, dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai
titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi
pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan
ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha

2
Robert Gilpin dan Jean M. Gilpin. The Political Economy of International Relations. 1987. Princeton
University Press. New Jersey. Page 131
keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan
hak-hak daya tawar kolektif lainnya3.

b. Analisa Fenomena Demokratisasi di Irak

General Review

Irak memiliki konflik yang sangat kompleks karena lahir dari faktor-faktor internal
yang memang sudah cukup rumit dan juga intervensi dunia internasional yang dalam hal ini
adalah Amerika Serikat yang mengusung strategi demokratisasi-nya. Faktor internal di sini
adalah faktor identitas kelompok, baik suku, politik, regional, maupun aliran agama.
Sementara itu, faktor ekternal yang dimaksud di sini bersumber dari Amerika serikat dan
sekutunya. Dalam usaha untuk memahami konflik yang terjadi di Irak, kita tidak bisa lepas
dari kuatnya pengkotak-kotakan masyarakat baik secara kesukuan, ideologi, maupun aliran
keagamaan. Irak terpecah atas suku-suku kurdi, arab, dan turkmen; antara syiah dan sunni;
dan juga antar berbagai ideologi sosialis, islam, pan arabisme, dan pan Islamisme.4

Konflik yang kerap terjadi di Irak dapat dikelompokkan menjadi konflik vertikal dan
konflik horizontal. Namun, paska pemerintahan Saddam Husein, ketika Irak menuju ke arah
demokratisasi ternyata tidak menurunkan intensitas konflik tetapi justru mempertinggi
intensitas konflik terutama konflik horizontal. Pertama, Sunni yang dahulu mempunyai
legitimasi kekuasaan pemerintahan mutlak di pemerintahan Saddam Husein masih belum
mampu menerima kenyataan bahwa sekarang mereka tidak lagi memiliki kekuasaan seperti
di masa lalu. Hal ini semakin diperuncing dengan nihilnya pengampunan bagi Saddam
Husein dan para pengikut setianya. Hukuman mati bagi bagi Saddam semakin berimplikasi
terhadap tindakan Sunni terhadap Syiah, dan sebaliknya, yang semakin keras dan represif.
Kedua, campur tangan asing, terutama Amerika Serikat, terhadap politik domestik Irak pun
semakin mengobarkan kebencian syiah radikal di Irak.

Setelah runtuhnya rezim Saddam Hussein dengan bantuan pihak AS, awalnya
masyarakat Irak mendukung adanya kehadiran AS di Irak. Namun lama kelamaan rakyat Irak
mulai tidak mendukung kehadiran AS di Irak selain karena kehadiran AS tidak dapat
3
http://www.jurnal-ekonomi.org/2009/06/22/jejak-neoliberalisme-di-indonesia/ diakses pada 27 Maret 2011

4
Sugito: Konflik Etnis dalam Masa Transisi Demokrasi di Irak, jurusan Hubungan Internasional UMY.
mengendalikan suasana domestik Irak setelah jatuhnya Saddam, juga karena rakyat Irak
mulai beranggapan mereka berada di bawah pemerintahan kolonial, walaupun AS
menyatakan tujuan mereka hanya untuk mentransformasi Irak menjadi negara demokrasi
liberal. Aksi perlawanan masyarakat Irak terhadap keberadaan AS pun dimulai.

Dalam kondisi kekosongan di posisi puncak pemerintahan Irak, berbagai tokoh dari
oposisi pun mulai menawarkan diri untuk menjadi orang nomor satu di Irak. Namun tokoh-
tokoh ini tidak lebih dari sekedar kontestan karena nantinya pemimpin Irak akan dipilih oleh
AS dan tentunya mereka akan memilih tokoh yang dapat bekerja sama dan tergolong pro-AS.
Bahkan untuk mengisi kekosongan itu, AS membentuk sebuah pemerintah transisi yang
dipimpin Jay Garner, seorang zionis yang anti Arab. Penunjukkan Jay Garner tentunya
disebabkan adanya kepentingan AS di Irak seperti membentuk kerjasama bidang ekonomi
yang menguntungkan AS, membentuk pemerintahan di Irak yang pro AS dan Israel yang
dikenal sebagai sekutu AS, dan menjadikan Irak sebagai kepanjangan tangan AS di kawasan
Timur Tengah.5

Perselisihan antar etnis hingga sekarang masih terjadi di Irak karena berbagai alasan
mulai alasan politik, historis, budaya, dan agama. Masing-masing etnis di Irak belum dapat
bersatu dan menjalankan pemerintah secara baik karena sentimen rasial yang masih kental di
Irak ditambah dengan adanya fakta historis tentang kekejaman etnis yang pernah terjadi di
Irak. Perselisihan vertikal antara pemerintah dan rakyat juga masih terjadi karena adanya
ketidak setujuan etnis-etnis minoritas terhadap pemerintah yang mayoritas Syiah walaupun
pemerintahan Irak sekarang terdiri dari berbagai etnis.

Hingga kini, Irak telah menjalankan dua kali pemilihan yang pertama pada tahun
2005 dengan adanya kehadiran tentara AS di Irak dan yang kedua adalah pemilihan yang
baru berlangsung pada tahun 2010 ini. Dimana pemilihan yang kedua dinilai lebih demokratis
karena warga etnis Sunni juga turut memberikan suara setelah pada pemilihan 2005 tidak
berpartisipasi. Walaupun rezim Saddam telah berakhir dan pemerintahan Irak telah
mengadopsi sistem pemerintahan demokratis, perselisihan dan konflik etnis di Irak masih
belum terhindarkan, selain karena perebutan kekuasaan yang didasari etnik serta peran Kurdi
sebagai korban berbagai kekerasan yang menentukan juga karena adanya larangan bagi
anggota partai Baath (partai yang pernah dipimpin Saddam dan telah berkuasa sekian lama di
Irak) untuk mencalonkan diri. Irak juga mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai
5
http://www.angelfire.com/planet/ppitunisia/artikel/Iraq%20Pasca%20Rezim%20Saddam%20Husain.htm
sebuah negara dikarenakan kondisi Irak saat ini dikategorikan sebagai negara lemah dengan
pasukan keamanan besar, memiliki berbagai institusi yang tidak efisien, serta pelayanan
umum seperti listrik dan kesehatan yang sangat buruk bagi masyarakat Irak.6

Paradigma Liberalisme

Apa yang terjadi di Irak setelah intervensi AS tidaklah terlepas dari politik luar negeri
AS yang mengusung nilai demokratis sebagai sistem kenegaraan. Dahulu AS merasa dengan
ia, sebagai Negara superpower, mempraktekkan demokrasi yang seutuhnya maka Negara-
negara lain akan meniru kesuksesan demokratis di negaranya. Namun, prediksi AS ternyata
salah, Negara-negara seperti di Timur tengah sebagaian besar tidak memperdulikan
mekanisme demokrasi yang ada di AS. Ditinjau dari constructivist democratic peace theory,
AS memiliki tendensi untuk penerapan dua pandangan di mana di satu sisi memicu
perdamaian namun di sisi lain juga akan berperang melawan Negara-negara yang tidak
demokratis. AS menganggap kehadiran Negara yang otoriter, atau tidak demokratis, hanya
akan memicu perang sehingga untuk menerapkan pemahaman damai yang mutlak harus
dilakukan promosi seluas-luasnya atas demokrasi, bila perlu melalui pemaksaan.

Intervensi yang dilakukan AS terhadap Irak dilakukan dengan dalih demokratisasi


namun ternyata tidak memberikan hasil yang signifikan. Meskipun rezim Saddam Husein
telah lewat, Irak tidak kunjung memperoleh kedamaian walau demokrasi telah diterapkan
dengan bantuan AS. Ternyata demokrasi yang diusung oleh AS belum tentu memberikan
hasil yang baik bagi Negara lain karena setiap Negara haruslah menemukan makna
demokrasinya sendiri. Bukan melalui intervensi asing, dalam hal ini AS.

6
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/10/101711/Irak-Pascapemilu-Perjuangan-
Menuju-Stabilitas

Вам также может понравиться