Вы находитесь на странице: 1из 14

Kholid Musyaddad, Idealisme …

IDEALISME DAN REALISME DALAM PENDIDIKAN


Oleh : Kholid Musyaddad

Abstraksi
Setiap manusia baik sebagai individu atau
sebagai kelompok masyarakat memiliki thought
style (pola pikir) yang khas dan terkadang
berbeda antara satu dengan lainnya. Kekhasan
dan atau perbedaan-perbedaan pola pikir
manusia ini terbentuk atau dipengaruhi oleh
banyak faktor, yang kemudian juga menjiwai
atau mewarnai aktifitas dalam kehidupannya.
Idealisme dan Realisme adalah istilah
yang dapat dipahami sebagai sebuah
pandangan atau sikap hidup, atau pola pikir
(thought style) manusia dalam memahami hidup
dan kehidupannya, yang juga dapat dikatakan
sebagai falsafah hidup.
Tulisan ini, sebagaimana tergambar dari
judul di atas, mencoba mengangkat suatu
diskursus filosofis tentang dua model atau pola
pemikiran (thought style) yang kemudian
mempengaruhi sistem dan kegiatan pendidikan.
Kata Kunci; Pola pikir, Model pendidikan

A. Pendahuluan
Pemikiran, sebagai hasil aktivitas akal, menempati
posisi yang sangat penting dan menentukan bagi
kehidupan manusia dan bahkan bagi kelangsungan
kehidupan di bumi pada umumnya. Hasil pemikiran, yang
berisi nilai-nilai, dapat digunakan manusia untuk
menentukan arah dan corak kehidupannya, selain itu hasil
pemikiran juga dapat membantu manusia untuk bertahan
hidup menyesuaikan diri dengan alam dan mengatasi
keterbatasan alamiahnya sehingga manusia mendapatkan
kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya.
Hasil kegiatan berpikir manusia ini pada dasarnya

1
Paedagogy Vol. VII, No.1, Maret 2007

dapat dikelompokkan pada dua model. Model pertama;


adalah pemikiran yang berkaitan dengan masalah sistem
nilai, atau norma-norma tata kehidupan manusia, dan
model kedua; adalah pemikiran yang berkaitan dengan
pengetahuan-pengetahuan teknis dan bersifat mekanistik.
Model pertama melahirkan suatu pengetahuan
tentang pandangan hidup manusia (hukum-hukum tidak
tertulis masyarakat seperti adat istiadat dan sebagainya)
dan undang-undang formal atau hukum tertulis yang,
secara langsung maupun tidak, mengatur manusia dalam
menjalani kehidupan, baik kehidupan individual maupun
sosialnya. Model kedua dari hasil kegiatan berpikir
manusia melahirkan suatu pengetahuan teknologik yang
secara lebih nyata telah menampakkan diri dalam bentuk
penemuan-penemuan peralatan teknologi dalam segala
bidang kehidupan, mulai dari peralatan rumah tangga,
alat-alat kedokteran termasuk di dalamnya obat-obatan,
peralatan kantor, konstruksi bangunan, dan sebagainya
hingga peralatan bagi kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan bahkan peralatan yang
dapat berakibat pada kehancuran kehidupan manusia itu
sendiri.
Selanjutnya hasil pemikiran manusia model
pertama dalam perkembangan sejarahnya, secara sadar
atau tidak, telah pula mengikat manusia hingga
terbelenggu dalam suatu pola hidup (life style), dan
pandangan hidup tertentu yang pada gilirannya kemudian
berpengaruh pada “tindakan-tindakan” yang dilakukannya
baik secara perorangan maupun tindakan kolektif
masyarakatnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang atau
kelompok pada dasarnya merupakan gambaran dan
manifestasi dari pola pikir (thought style)nya.
Tulisan ini, sebagaimana tergambar dari judul di
atas, mencoba mengangkat suatu diskursus filosofis
tentang dua model atau pola pemikiran (thought style)
yang kemudian mempengaruhi sistem dan kegiatan

2
Kholid Musyaddad, Idealisme …

pendidikan.
B. Pola Pemikiran (Thought Style)
Akal, sebagai potensi berpikir, yang dimiliki oleh
manusia telah menjadikannya berbeda dari makhluk lain.
Manusia tidak hanya menjadi bagian dari alam, dan hidup
diantara makhluk lain di bumi, akan tetapi, dengan
kemampuan berpikirnya, manusia mampu menyadari
kehidupannya, sehingga ia mampu mengarahkan proses
hidupnya dan tidak hanyut dalam proses kehidupan
alamiahnya semata. Dengan akalnya manusia berupaya
memahami alamnya, memahami makna kehidupannya dan
makna keberadaanya diantara benda-benda alam dan
makhluk hidup selain dirinya.
Dengan pemikiran dan pemahamannya tentang
alam, kehidupan dan makna keberadaan dirinya tersebut,
manusia memiliki konsep-konsep tentang nilai-nilai dan
pandangan dunia. Dengan pikirannya manusia memiliki
thought style.
Istilah thought style (pola pikir), dipopulerkan oleh
Karl Mannheim dalam bukunya Ideology and Utopia (Fuad
Baali dan Ali Wardi, 1981; 22). Dalam bahasa aslinya
yang digunakan Mannheim, pola pikir adalah denkstil,
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
menjadi thought style, yang mempunyai arti kebahasaan
sama yaitu pola pikir. Pola pikir yang dimaksud di sini
adalah prakonsepsi-prakonsepsi atau kategori-kategori
yang implisit, yang membentuk kerangka acuan atau
perspektif, darimana seseorang memandang dunia, yang
kemudian cenderung menbentuk sikap mental, pandangan
hidup atau falsafah hidup (Fuad Baali; 22).
Setiap manusia baik sebagai individu atau sebagai
kelompok masyarakat memiliki thought style (pola
pemikiran) yang khas dan terkadang berbeda antara satu
dengan lainnya. Kekhasan dan atau perbedaan-perbedaan
pola pikir manusia ini terbentuk atau dipengaruhi oleh
banyak faktor. Penulis, dalam artikel ini tidak akan
membicarakan satu persatu faktor yang mempengaruhi

3
Paedagogy Vol. VII, No.1, Maret 2007

terbentuknya pola pikir ini, dengan alasan pertama bahwa


pembahasan seperti itu tidak mungkin dilakukan pada
penulisan artikel singkat seperti ini, alasan kedua bahwa
fokus tulisan ini memang bukan ditujukan pada kajian
tersebut. Sungguhpun demikian, demi sedikit melengkapi
tulisan ini, penulis akan mencoba, secara singkat,
membahas bagaimana pola pikir ini terbentuk dalam
kehidupan manusia.
Mengutip pemikiran Fuad Baali (1981; 2), secara
garis besar, terbentuknya pola pikir (thought style)
manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: (1)
Kultur, (2) Kedudukan sosial, dan (3) Kecenderungan
personal. Dalam hal ini penulis cenderung menambah
satu faktor lagi menjadi yang keempat, yang juga tidak
bisa dikesampingkan yaitu (4) Kekayaan informasi
pengetahuan.
Manusia pada awalnya terpengaruh, dalam
pemikirannya, oleh sistem prakonsepsi dan nilai-nilai
kultur yang tertanam dalam benaknya sejak kanak-kanak
disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosialnya.
Prakonsepsi dan nilai-nilai ini tersembunyi dalam alam
bawah sadar pikirannya. Manusia biasanya
menerapkannya pada obyek-obyek yang dilihatnya dan
seringkali menganggapnya sebagai dasar-dasar hukum
alam yang telah diterima secara umum. Apabila
seseorang atau sekelompok masyarakat menemukan atau
melihat nilai-nilai tertentu yang ada dalam masyarakat
lain, yang berbeda dengan nilai-nilai yang ada dalam
kebudayaannya sendiri, biasanya ia akan merasa kagum
atau sebaliknya akan menjadi marah dan tidak suka,
karena ia menganggap nilai-nilai yang berbeda dengan
nilai-nilai kebudayaannya tersebut keliru atau bahkan
dianggapnya sebagai sebuah kejahatan yang besar.
Selanjutnya, pola pikir manusia juga selalu
dipengaruhi oleh klasifikasi kelas kelompok dan pisisi
sosialnya. Misalnya, kelompok masyarakat kelas atas
(penguasa) biasanya memandang revolusi atau gerakan

4
Kholid Musyaddad, Idealisme …

sosial lainnya sebagai suatu tindak penyimpangan dan


bahkan dianggap sebuah kejahatan yang pelakunya harus
dihukum berat, karena bagi mereka hal itu dapat merusak
ketentraman dan kedamaian umum atau merusak tatanan
sosial yang mereka anggap “sakral”. Sebaliknya kelas
atau kelompok oposan memandang revolusi sebagai suatu
fenomena yang membawa rahmat atau suatu “tindakan
Tuhan” untuk mengembalikan keadilan sosial hilang.
Pemikiran manusia juga tidak dapat menghindar
dari kecenderungan emosional personalnya. Tidak ada
manusia yang benar benar dapat, secara seratus persen,
menghindar dari kecenderungan atau keadaan
emosionalnya. Bahkan Aristoteles, yang sangat
mempercayai kemampuan logikanya yang mutlak,
mengakui pengaruh emosi atas pikiran manusia (Fuad
Baali; 2-3). Seseorang yang dasarnya suka atau tidak
suka terhadap sesuatu, akan memiliki kesimpulan yang
berbeda dalam menentukan sebuah pilihan atau penilaian.
Akhirnya, Kekayaan informasi pengetahuan yang
dimiliki seseorang atau kelompok orang juga merupakan
satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir.
Seorang atau kelompok yang memiliki keluasan
pengetahuan biasanya juga memiliki kesimpulan berbeda
tentang suatu masalah dengan orang atau kelompok yang
tidak berpengatahuan. Seorang sarjana tentu mempunyai
pola pikir yang berbeda dengan orang yang hanya
berpendidikan rendah. Selanjutnya, pandangan atau
pemahaman seseorang tentang realitas alam (pandangan
dunia), pandangan tentang nilai-nilai dan sebaginya juga
menentukan thought style seseorang atau masyarakat.
Tampaknya manusia akan selalu terpenjara dalam
empat lingkaran konsentris. Apabila seseorang dapat
terlepas dari belenggu kondisi emosional pribadinya, dia
masih akan dibatasi oleh belenggu kedua yaitu sikap-
sikap kelas dan kedudukan sosialnya. Dan kalau ia dapat
terbebas dari kungkungan belenggu kedua, dia barangkali
dibatasi oleh belenggu ketiga yaitu kungkungan

5
Paedagogy Vol. VII, No.1, Maret 2007

budayanya. Begitu seterusnya, yang kebanyakan


kungkungan belenggu itu tidak disadari sehingga tidak
bisa dihindari.
C. Idealisme dan Realisme
Istilah Idealisme dan Realisme yang dibicarakan
dalam artikel ini didefinisikan dari perspektif sosiologis,
bukan filosofis. Ini pelu dijelaskan agar pembaca memilki
pemahaman sesuai dengan apa yang penulis maksudkan
dalam artikel ini.
Orang biasanya lebih dahulu mengenal istilah ini
dalam tradisi kajian filsafat ketimbang sosiologi. Dalam
tradisi filsafat, ketika kita membicarakan kedua istilah
idealisme dan realisme, biasanya akan dirujuk kepada dua
tokoh besar filsafat Yunani abad klasik yakni Plato dan
muridnya Aristoteles (Titus, 1984; 315-331). Idealisme
dan realisme dalam filsafat, adalah suatu kajian yang
ditujukan untuk menyingkap atau untuk mengerti hakikat
yang “ada”.
Idealisme, yang mana Plato dianggap sebagai
tokoh utama dan pertama, adalah suatu pandangan
filsafat yang mengatakan bahwa hakikat yang ada ini
bukanlah terletak pada alam yang tampak dan bisa diraba
(alam empirik), karena alam empirik ini adalah merupakan
manifestasi atau ekspresi dari suatu “keberadaan” yang
abadi dan absolut, yang bersifat spiritual (Nelson B.
Henry, Ed. 1962; 139-140). Jadi realitas hakiki bagi aliran
ini adalah realitas yang berada “di luar” realitas empirik,
yang oleh Plato disebut dengan istilah idea (alam idea)
yang abadi dan tidak mengalami perubahan.
Berbeda dengan idealisme, realisme (Aristoteles)
memandang bahwa hakikat yang ada adalah alam yang
tampak ini, yang jamak dan beraneka ragam. Dengan kata
lain bahwa alam empirik adalah real adanya (Titus, 1984;
328-331), ia bukan bayang-bayang atau hanya sebuah
manifestasi seperti yang dikatakan Plato.
Aristoteles menolak “idea transendental” dari Plato

6
Kholid Musyaddad, Idealisme …

dengan alasan bahwa : 1. Konsep “idea” sangat abstrak,


sehingga sulit untuk dihubungkan dengan realitas empirik.
2. Konsep “idea” sifat statis dan kekal, karena itu tidak
dapat digunakan untuk menerangkan gerak dan
perubahan yang terjadi pada benda-benda indifidual yang
konkrit. 3. Bahwa “idea” adalah tiruan atau kopi dari
benda dan bukan sebab dari bendanya. 4. “Idea” tidak
lebih dari reduplikasi, tiruan yang tidak ada gunanya, dan
tidak menerangkan sesuatu apapun terhadap bendanya.
5. Tidak menjadi jelas dengan mengatakan apa yang
dimaksud bahwa sesuatu itu adalah tiruan atau kopi dari
“idea”. 6. Apabila kita mencari hubungan antara “idea” dan
benda, maka berarti kita terjun ke dalam regresi yang
tidak akan berakhir atau tidak terbatas. 7. Teori “idea”
benar-benar memisahkan hakikat atau bentuk dari suatu
benda dari bendanya itu sendiri (Ali Saifullah, tt; 81-82).
Untuk mengatasi kelemahan teori “idea
transendental” Plato, Aristoteles mengemukakan teori
hule-morphisme yang mengatakan bahwa keseluruhan
alam empirik ini real adanya, dan seluruh benda benda
terdiri dari dua unsur yakni unsur yang tetap dan unsur
yang berubah, yaitu unsur “hule” (materi, bendanya atau
bahannya), dan “morph” (bentuknya). Kedua unsur itu
menbentuk kesatuan tak terpisah yang masing-masingnya
bukan merupakan bagian dari sesuatu, akan tetapi
inherent dalam sesuatu itu, tidak pula bersifat
transendental (di luar bendanya), akan tetapi immanent
atau di dalam bendanya (Ali Saifullah, 82).
Untuk memperkuat teori hule-morphisme-nya ini,
Aristoteles mengemukakan juga teori kausalitas tentang
kejadian alam, yang mana dikatakan bahwa alam terjadi
berdasarkan rangkaian sebab yang berujung pada sebab
pertama (causa prima) yaitu Tuhan. Dalam hal kenyataan
yang berubah, Aristoteles juga mengatakan, terjadi oleh
berbagai sebab. Secara garis besar sebab-sebab ini
didefinisikannya menjadi empat sebab yaitu; Material
cause, formal cause, efficient cause, dan final cause

7
Paedagogy Vol. VII, No.1, Maret 2007

(Louis O. Kattsoff, 1992; 57). Filosof muslim pertama, Al-


Kindi, tampak juga terpengaruh oleh pemikiran ini, yang
mana dalam hal sebab gerak dan perubahan alam, ia juga
mengemukakan empat sebab yatu; Sabab maddah, sabab
shurah, sabab fa’ilah, dan sabab Tammiyah (Hasyimsyah
Nasution, 2002; 21).
Istilah idealisme dan realisme dalam artikel ini tidak
dimaksudkan untuk dipahami dalam makna filosofis
seperti tersebut di atas, akan tetapi dipahami dalam
perspektif sosiologis. Secara populer ada dua tipe pola
pikir manusia yang saling bertentangan (Fuad Baali; 6),
yakni kaum idealis di satu pihak dan kaum realis pada
pihak yang lain.
Idealisme dalam kajian sosiologis adalah suatu
sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, nilai-nilai
estetika dan nilai-nilai relegius. Jadi, kaum idealis adalah
orang-orang yang menerima dan hidup menurut standar-
standar moral, estetika dan standar agama yang dianggap
tinggi dan sakral (Titus, 1984; 316). Sedangkan realisme
adalah suatu pandangan atau sikap yang tunduk atau
patuh kepada fakta, kepada apa yang terjadi, dan bukan
kepada apa yang diharapkan atau diinginkan oleh nilai-
nilai tertentu. Maka kaum realis adalah orang-orang yang
patuh atau tunduk pada fakta atau realitas yang terjadi,
yang dirasakan, dan bukan pada cita-cita moral atau cita-
cita agama yang diinginkan (Titus, 1984; 328).
Jadi pemaknaan istilah idealisme dan realisme
dalam perspektif sosiologis berbeda dengan filsafat.
Perhatian filsafat lebih ditekankan pada pemahaman
tentang apakah realitas asal alam berupa “idea” ataukah
materi, apakah kenyataan yang tampak ini merupakan
realitas yang sebenarnya, ataukah hanya merupakan
penampakan atau manifestasi dari sesuatu yang immateri
dan spiritual. Sementara secara sosiologis kedua istilah
tersebut dipahami sebagai sebuah pandangan atau sikap
hidup, atau pola pikir (thought style) manusia dalam
memahami hidup dan kehidupannya, yang juga dapat

8
Kholid Musyaddad, Idealisme …

dikatakan sebagai falsafah hidup.


D. Thought Style dan Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu fenomena khas
kehidupan manusia. Pendidikan memiliki fungsi yang
hakiki dalam mempersiapkan sumber daya manusia dan
akan menjadi aktor dalam menjalankan fungsi dari
berbagai bidang kehidupan manusia. Lebih dari itu bahkan
Cohn (1979) mengemukakan bahwa pendidikan sangat
erat hubungannya dengan tingkat penghasilan dan
kesuksesan yang diraih seseorang. Karena pendidikan
sebagai salah satu bentuk investasi pembangunan sumber
daya manusia, yang telah memberikan keuntungan yang
tidak hanya bagi individu yang bersangkutan namun juga
masyarakat dan bangsa pada umumnya. Selain itu
pendidikan juga telah memperlihatkan proporsi yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
(Cohn,1979:163).
Van Cleve Morris mengatakan, sebagaimana
dikutip H.M Arifin dalam bukunya Filsafat Pendidikan
Islam (1994; 2-3), bahwa pendidikan tidak semestinya
hanya dipahami sebagai alat sosial untuk mengalihkan
cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi,
akan tetapi juga harus dipahami sebagai agen perubahan
sosial untuk mencapai hari depan yang lebih baik.
Hubungan antara manusia dan pendidikan adalah
merupakan hubungan antara subyek dengan aktifitasnya.
Manusia sebagai subyek pendidikan, memiliki pandangan
dunia dan pandangan tentang nilai-nilai kehidupan yang
kemudian membentuk suatu sistem kebudayaan dan
peradabannya. Pemikiran yang menjadi sumber
kebudayaan suatu kelompok manusia (masyarakat) selalu
menjadi acuan bagi kesinambungan perjalanan
sejarahnya, dan cenderung selalu dilestarikan melalui
proses pendidikan, baik pendidikan dalam maknanya yang
umum maupun dalam pengertiannya yang khusus.
Kegiatan pendidikan adalah upaya membimbing

9
Paedagogy Vol. VII, No.1, Maret 2007

dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan


manusia kepada tujuan tertentu. Karena pendidikan
merupakan sebuah proses yang bertujuan, maka
pendidikan adalah suatu kegiatan yang penuh dengan
muatan nilai-nilai, pandangan hidup dan cita-cita
kemanusiaan. Pendidikan mengemban tugas dan fungsi
untuk menyerap, mengolah dan menganalisa serta
menjabarkan aspirasi dan idealitas masyarakat, dan harus
mampu mengalihkan aspirasi dan idealitas masyarakat itu
ke dalam jiwa generasi penerusnya (H.M Arifin, 1994; 3).
Melalui perspektif inilah maka, secara filosofis, kegiatan
pendidikan dipahami sebagai upaya realisasi dari ide-ide
filsafat (M. Noor Syam,1988; 41,43).
Manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
suatu kelompok masyarakat hidup dalam sosio-budaya.
Manusia menciptakan kebudayaan, membina dan
mengembangkannya, melestarikannya, serta hidup dalam
warna atau corak kebudayaannya sendiri.
Pendidikan, baik sebagai sebuah sistem maupun
sebagai suatu proses, adalah juga merupakan salah satu
bentuk kebudayaan manusia. Oleh karena pemahaman
manusia tentang dunia dan kehidupannya berbeda-beda,
yang kemudian melahirkan sistem nilai dan thouhgt style
(pola pikir) yang berbeda, maka muncul pulalah
keanekaragaman corak pendidikan dalam kehidupan
manusia, baik dalam sistem maupun tujuannya.
Tidak ada satupun kegiatan pendidikan yang
terlepas dari sistem nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat, karena hanya dengan kegiatan pendidikanlah
thouhgt style suatu kelompok masyarakat dapat lestari,
berkembang dan termanifestasikan dalam kehidupan
nyata.
Setiap kelompok masyarakat atau bangsa
melaksanakan aktifitas pendidikannya secara prinsipiil
untuk menjaga dan menanamkan nilai-nilai filosofis atau
thouhgt style kelompoknya. Suatu kelompok masyarakat
beragama, komunitas muslim misalnya, berupaya
menanamkan dan bahkan upaya mendakwahkan nilai-nilai

10
Kholid Musyaddad, Idealisme …

agamanya melalui kegiatan pendidikan.


Secara historis pelembagaan Islam dalam bidang
pendidikan memang bermula dari fungsi dakwah dan
ta’lim dari masjid yang dulu sering disebut dengan langgar
atau surau tempat dimana para guru, da’i, Kiyai
melakukan dakwah dan ta’lim, dan kemudian melembaga
menjadi pesantren (Abdurrahman Wahid, 1974),
Melaui penelusuran akar sejarah, sesungguhnya
pendidikan Islam tidak pernah berpisah dari dakwah yang
menjadi tujuan utama dari seluruh gerakan keagamaan
Islam di seluruh dunia. Berakar pada latar kesejarahan
dimana pendidikan Islam berawal dari pelaksanaan
dakwah, maka dunia pendidikan Islam yang
sesungguhnya adalah bentuk riil upaya mentransfer
doktrin agama Islam menjadi nilai-nilai kongkrit etis bagi
individu pemeluknya, dan pewarisan nilai-nilai tersebut
kepada generasi selanjutnya. Karena itulah maka sulit
sekali bagi kegiatan pendidikan Islam untuk
membebaskan diri dari pemahaman-pemahaman
keagamaan baik yang bersifat lokalistik, parsial dan
doktrinal, maupun rasional (Affandi Mochtar ; 2001).
E. Idealisme dan Realisme dalam Pendidikan
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa
aktifitas pendidikan pada dasarnya merupakan upaya
realisasi dari ide-ide filsafat, dan aktivitas pendidikan
merupakan kegiatan yang tidak pernah bisa terlepas dari
sistem nilai atau thouhgt style yang dianut subyeknya
(manusia), maka Idealisme dan Realisme, sebagai suatu
thouhgt style, memiliki corak dan sistem pendidikan yang
khas, dan berbeda.
Kaum idealis adalah orang-orang yang menganut
sistem nilai universal, yang cenderung mereka anggap
mapan dan tidak berubah. Karena itu penganut paham ini
biasanya sulit menerima adanya perubahan. Sistem dan
aktifitas pendidikan kaum idealis, sebagai orang yang
menerima dan hidup menurut standar-standar moral,
estetika dan standar agama yang dianggap tinggi dan
sakral, mengacu pada upaya pelestarian nilai-nilai yang

11
Paedagogy Vol. VII, No.1, Maret 2007

mereka anut. Pendidikan model ini biasanya bersifar


konservatif dan memiliki kecenderungan untuk terjebak
pada regresi budaya dan peradaban serta bersifat jumud.
Kelompok masyarakat yang termasuk dalam tipe ini
biasanya adalah kaum Perennialis, Essensialis dan
kelompok agamawan. Perennialis berpegang pada prinsip
bahwa nilai nilai itu bersifat universal, abadi, berlaku di
waktu dan tempat manapun. Aliran ini didasarkan pada
pandangan ontologi bahwa Reality is universal, that is
every where and at every moment the same. Karena itu,
bagi perennialisme, pendidikan harus bersandar pada
nilai-nilai abadi yang hidup terus di manapun dan
kapanpun. Dalam kajian filsafat pendidikan aliran ini
dikenal dengan sikap regresifnya, yaitu regressive road to
culture, khususnya nilai-nilai budaya abad pertengahan
(M. Noor Syam, 1988; 296-310). Essensialis adalah
kelompok masyarakat yang juga percaya pada nilai-nilai
universal, hanya saja sumber nilai universal yang dianut
kaum ini berbeda dengan kaum perennialis, dan aliran ini
bersifat konservatif (M. Noor Syam, 1988; 260-266).
Sementara kaum agamawan (meski tidak seluruhnya) juga
cenderung terjebak pada sifat regresif atau konservatif
tradisional karena mereka dipengaruhi oleh sikap kehati-
hatian dan menjaga kemurnian ajaran Tuhan, atau
disebabkan karena pemahaman keagamaan yang
tekstual.
Sedangkan realisme adalah suatu pandangan atau
sikap yang tunduk atau patuh kepada fakta, kepada apa
yang terjadi, dan bukan kepada apa yang diharapkan atau
diinginkan oleh nilai-nilai tertentu. Maka, kaum realis
berarti orang-orang yang patuh atau tunduk pada fakta
atau realitas yang terjadi, yang dirasakan, dan bukan
pada cita-cita moral atau cita-cita agama yang diinginkan.
Konsep dan tindakan pendidikan yang lahir dari kaum
realis ini biasanya bersifat dinamis, lebih menekankan
pada progresivitas, dan lebih menyuarakan optimisme,
serta tidak ingin terikat ketat pada sistem nilai tertentu.

12
Kholid Musyaddad, Idealisme …

Fokus tujuan pendidikan dari kaum realis adalah lebih


kepada pengembangan potensi diri manusia untuk
mencapai kemajuan kebudayaan dan peradaban. Yang
termasuk dalam kelompok ini, dalam kajian filsafat
pendidikan, misalnya adalah progressivisme (M. Noor
Syam, 1987; 225-248), dan eksistensialisme (Ali Saifullah,
157-165).

Wa Allah a’lam bi al shawab

Daftar Pustaka

Abdurrahman Wahid, (1974), Pesantren Sebagai Subkultur,


dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan
Pembaharuan, Jakarta : LP3ES,
Affandi Mochtar, (2001), Dinamika Internal Kajian dan
Pendidikan Islam di Indonesia, dalam Husni
Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta : Logos Wacana Ilmu
Ali Saifullah, HA., (tt), Antar Filsafat dan Pendidikan,
Surabaya: Usaha Nasional
Cohn, E. (1979), The Econimics of Education. Cambridge,
Massachusetts : Ballinger Publishing
Company.
Fuad Baali & Ali Wardi, (1989), Ibnu Khaldun dan Pola
Pemikiran Islam, (terj.) Mansuruddin &
Ahmadie Thaha, Jakarta; Pustaka Firdaus,
Cet. I.
Gunawan. H. Ari, (1986), Kebijakan-kebijakan di Indonesia,
Jakarta: Bina Aksara
Hasyisyah Nasution, (2002), Filsafat Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, Cet. III
Henry, Nelson B. (Ed.), (1962), Philosophies of Education,
Chicago, University Of Chicago Press, Cet.
XVII

13
Paedagogy Vol. VII, No.1, Maret 2007

HM. Arifin, (1994), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi


Aksara, Cet. IV
Kattsoff, Louis O, 1992, Pengantar Filsafat, Yogyakarta;
Soejono Soemargono (Pent),Tiara Wacana
Yogya, Cet. V.
Titus, Harold H., (1984), Persoalan-Persoalan Filsafat, (terj.)
HM. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I
Muhammad Noor Syam, (1988), Filsafat Pendidikan dan
Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
Surabaya: Usaha Nasional, Cet. IV
Siagian S. P, (1995), Teori Pengembangan dan Inovasi
Kurikulum, Jakarta: Grafindo Persada

14

Вам также может понравиться