Вы находитесь на странице: 1из 12

Al-Tarbiyah bi Dharbi al-Amtsal, Al-Tarbiyah bi al-

Qudwah, Al-Tarbiyah bi al-Mumarasah wa al-‘Amal,


Sebagai Metode dalam Pendidikan Islam

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas semester genap


Mata Kuliah “Ilmu Pendidikan Islam”
Th. 2011

DD

Dosen Pembimbing:

Dr. M. Miftahul Ulum, M.Ag.

Disusun oleh:

Khoirul Ansori

JURUSAN TARBIYAH(TB.E)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) PONOROGO
Th.2011
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanggungjawab besar para pendidik atas pendidikan anak, baik yang


berkenaan dengan iman, moral, mental, jasmani, maupun rohani adal;h
tanggungjawab yang paling besar dalam pendidikan anak didik. Betapa bahagia
orang tua dan para pendidik, ketika di hari kemudian mereka dapat memetik hasil
jerih payah mereka dan berteduh di bawah kerindangan tanaman merka?Betapa
riangnya jiwa, betapa beningnya mata, ketika melihat buah hatinya adalah
malaikat-malaikat yang berjalan di muka bumi, ketika jantung hatinya adalah
mushaf Al-Qur’an yang bergerak di kalangan manusia.
Akan tetapi, apakah seorang pendidik hanya cukup dengan sekedar
menunaikan tanggung jawab dan kewajiban tersebut lantas berpangku tangan dan
masa bodoh, ataukah ia harus mencari metode alternative baru dengan
menyempurnakan sarana dan prasarana pendidikan yang lebih memadai?
Seorang pendidik yang bijaksana, sudah barang tentu akan terus mencari
metode alternative yang lebih efektif dengan menerapkan dasar-dasr pendidikan
yang berpengaruh dalam mempersiapkan anak didik secara mental dan moral,
saintikal, spiritual, dan etos social, sehingga anak dapat mencapai kematangan
yang sempurna, memiliki wawasan yang luas dan berkepribadian integral. Namun
demikian, metode-metode apa apa yang lebih efektif tersebut?.1

B. Rumusan Masalah

1. Al-Tarbiyah bi Dharbi al-Amtsal,(Mendidik melalui perumpamaan)


2. Al-Tarbiyah bi al-Qudwah,(Mendidik Melalui Keteladanan)
3. Al-Tarbiyah bi al-Mumarasah wa al-‘Amal ,(Mendidik Melalui Praktik dan
Perbuatan)

BAB II
1
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam(Jakarta:Pustaka Amani, 1999),141

1
PEMBAHASAN

I. Al- Tarbiyah bi Dharbi al-Amtsal (Mendidik melalui


perumpamaan)

1. Sekilas tentang Perumpamaan

Dalam tafsir Al-Manar, Sayyid Rasyid Ridha menanggapi:


“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api …………(al-
Baqarah: 17) dengan mengatakan Al-Matsal, al-mitsil, dan al-matsil serupa
dengan asy-syabah, asy-syibih, dan asy-syabih dalam hal metrum dan makananya
dalam kalimat. Al-matsal diambil dari ungkapan matsula asy-syai’ bittharik
artinya sifat sesuatu yang menjelasakn dan menyingkapkan hakekat sesuatu itu ‘
atau ‘ sifat dan keadaan sesuatu yang tidak dijelaskan ‘. Kadang-kadang ada juga
ungkapan tamtsilus syai’ ‘artinya’ penyipatan dan penyingkapan hakekat sesuatu
melalui metafora atau makna majasi melalui penyerupaan. Penyingkapan yang
paling dalam ialah pendiskripsian makna-makana logis melalui gambar yang
konkret atau sebaliknya. Dari akar kata di atas, muncul pula ungkapan al-amtsal
al-madhrubah yang artinya ‘contoh-contoh yang diberikan’.2
Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat: “Sesungguhnya Allah tiada segan
membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu…….(al-
Baqarah: 26), Rasyid Ridha mengatakan: Dharbul matsal berarti ‘menyampaikan
dan menjelaskan contoh’. Dalam tuturan, dharbul matsal berarti ‘menuturkan
sesuatu guna menjelaskan suatu keadaan yang selaras dan serupa dengan yang
dicontohkan, lalu menonjolkan kebaikan dan keburukan yang tersamar’. Kata adh-
dharb memiliki nuansa makna ‘mempengaruhi atau mengobarkan emosi’sehingga
terpilih untuk mengungkapkan pemberian contoh. Seolah-olah, si pemberi contoh
(dharibul matsal), dengan contoh tertentu, mengetuk pendengaran penyimak
dengan ketukan yang menembuskan pengaruh ke dalam hati penyimak sehingga
berakar pada kedalaman jiwany. Demikianlah, apa yang dikatakan Al-Ustadz
Muhammad Abduh.”
Pemikiran Rasyid Ridha di atas diakhiri dengan pandangan berikut ini:
“Jika tujuan itu untuk memberikan pengaruh, maka kefasihan berbicara menuntut
pemberian contoh pada sesuatu yang hendak dihinakan atau dijauhkan dari
manusia, melalui pencontohan dengan kondisi perkara yang biasanya dihinakan
dan biasanya manusia pun menjauhi perkara tersebut. 3”Dengan demikian,
diserupakanlah sesuatu yang hendak dihinakan dengan perkara-perkara yang
sudah dimaklumi kehinaannya, seperti penyerupaan sembahan-sembahan dan
penolong-penolong kaum musyrikin dengan sarang laba-laba, sebagaimana firman
Allah SWT ini:

2
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah Sekolah Dan Masyarakat(Jakarta: Gema
Insani Press, 1995),251
3
Ibid

2
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil perlindungan-perlindungan selain
Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah
yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”(al-
Ankabut:41)
Pada dasarnya, bagi orang-orang yang berakal, perumpamaan seperti itu sudah
sangat jelas. Namun, sebagian kaum Yahudi, Nasrani, dan musyrikin hanya
mampu mencela tanpa mampu memahami kandungan Al-Quran tersebut. Mereka
akan senantiasa mencari-cari alasan seraya mengatakan: “Sangatlah tidak layak
bagi Allah untuk mencontoh nyamuk dan laba-laba.”Dan sebagian dari mereka
pun mengatakan: “Itu sih bukan contoh yang layak dikemukan.” Untuk itu Allah
membantah merka melaui firman-Nya ini:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau
yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka
yakin bahwa perumpamaan iyu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang
kafir mengatakan:”Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk
perumpamaan?......”(al-Baqarah:26)
Dari uraian di atas, kita dapat mengatakan bahwa perumpamaan Al-Quran
memiliki maksud tertentu, dan yan terpenting adalah: 4
1) Menyerupakan suatu perkara yang hendak dijelaskan kebaikan dan
keburukannya, dengan perkara lain yang sudah wajar atau diketahui secara
umum ihwal kebaikan dan keburukannya.Seperti contoh diatas.
2) Menceritakan suatu keadaan dari berbagai keadaan dan membandingkan
keadaan itu dengan keadaan lain yang sama-sama memiliki akibat dari
keadaan tersebut. Penceritaan itu dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan
di antara mereka.sebagaimana perbandingan yang teerdapat dalam Q.s.
Muhammad(ayat 1-3):”Orang-orang yang kafir dan menghalang-
halangi(manusia) dari jalan Allah, Allah menghapus perbuatan-perbuatan
mereka. Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan
amal-amal shaleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunka kepada
Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan merek, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Yang
demikian adalh karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang
batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari
Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-
perbandingan merka.”(Muhammad:1-3).
3) Menjelaskan kemustahilan adanya persamaan diantara dua perkara, misalnya
kemustahilan anggapan kaum musyrikin yang menganggap bahwa Tuhan
mereka memiliki persamaan dengan Al-Khaliq sehingga mereka menyembah
keduanya secara bersamaan. Untuk kondisi seperti itu, Allah SWT
memberikan perumpamaan sbb: “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan,
maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang
kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun,
walaupun mereka bersatu untuk menciptakaanya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka,, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali

4
Ibid,252-254

3
dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah.” (al-Hajj:73)
Bagaimana mungkin mereka menyembah Tuhan yang mereka samakan
Allah Sang Pencipta dengan segala sesuatu.

2. Dampak Edukatif Metode Perumpamaan Qur’ani dan Nabawi


Perumpamaan-perumpamaan Qur’ani dan Nabawi tidak hanya
menunjukkan ketinggian karya seni yang hanya ditujukan untuk meraih keindahan
balaghah semata. Lebih dari itu, perumpamaan-perumpamaan tersebut memiliki
tujuan psikologi-edukatif yang ditunjukan oleh kedalaman makna dan ketinggian
maksud selain kemukjizatan balaghah dan dampak metode pengajian yang
digunakannya.5 Tujuan psikolgi-edukatif yang dimaksud Dan juga kebaikan
metode perumpaan ini diantaranya:6
1) Memudahkan pemahaman siswa mengenai suatu konsep. Untuk memahami
makna spiritual suatu perkara, manusia itu cenderung menyukai penyerupaan
persoalan-persoalan abstrak pada perkara-perkara yang konkret. Ini terjadi
karena orang kafir diumpamakan dengan sarang laba-laba. Sarang laba-laba
memang lemah sekali, disentuh dengan lidipun rusak. Dalam Hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim, Nabi mengumpamakan “harga” Dunia ini dengan
anak kambing yang bertelinga kecil dan sudah mati.
2) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam
perumpamaan tersebut. Dalam hal ini Abduh menyatakan, tatkala menafsirkan
kata darb dalam surah Al-Baqarah ayat26, “Penggunaan kata darb
dimaksudkan untuk mempengaruhi dan membangkitkan kesan, seakan-akan si
pembuat perumpamaan menjewer telinga pembacanya sehingga pengaruh
jeweran itu meresap ke dalam kalbu.”
3) Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah logis,
mudah dipahami. Jangan sampai dengan menggunakan perumpamaan malah
pengertiannya kabur atau hilang sama sekali. Perumpamaan harus memperjelas
konsep, bukan sebaliknya. Keistimewaan perumpamaan dalam Al-Quran ialah
natijah (konklusi) silogismenya justru tidak disebutkan hanya premis-prmisnya.
Ini hebat karena begitu jelas konklusinya sampai-sampai tidak disebutkan pun
konklusi itu dapat ditangkap pengertiaannya. Biasanya silogisme selalu
menyebutkan konklusi setelah premis. Konklusi silogisme dan Allah
(perumpamaan itu) kebanyakan harus ditebak sendiri oleh pendengar atau
pembaca; Allah tahu manusia dapat menebaknya.
4) Amsal Qur’ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk
berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan jelas hal ini amat penting dalam
pendidikan Islam.

II. Al- Tarbiyah bi al-Qudwah (Mendidik Melalui Keteladanan)

1. Pentingnya Sebuah Figur Teladan


5
Ibid,254
6
H.M. Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam(Jakarta: PT RINEKA CIPTA,2009),286

4
Kurikulum pendidikan yang sempurna telah dibuat dengan rancangan yang
jelas bagi perkembangan manusia melalui sistematisasi bakat, psikologis, emosi,
mental, dan potensi manusia. Namun, tidak dapat dipungkiri jika timbul masalah
bahwa kurikulum seperti itu masih tetap memerlukan pola pendidikan realistis
yang dicontohkan oleh seorang pendidik melalui perilaku dan metode pendidikan
yang dia perlihatkan kepada anak didiknya sambil tetap berpegang pada landasan,
metode, dan tujuan kurikulum pendidikan.7 Untuk kebutuhan itulah Allah
mengutus Muhammad Saw. sebagai hamba dan Rosul-nya menjadi teladan bagi
manusia dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam, melalui firman-Nya ini:
           
     
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
Melalui metode ini, maka anak/peserta didik dapat melihat, menyaksikan
dan meyakini cara yang sebenarnya sehingga mereka dapat melaksanakannya
dengan lebih baik dan mudah.8 Seorang pendidik yang baik adalah pendidik yang
dapat meneruskan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dengan mencontoh
perilakunya yang penuh kesederhanaan, kreatifitas, dan produktifitas. Hal tersebut
karena Rosulullah SAW. merupakan suri teladan dan figur yang patut dicontoh
(uswah hasanah), karena pribadi beliau merupakan “Qur’an berjalan” dan sebagai
figur bagi orang yang beriman, sehingga apa pun dan tata cara yang dilakukan
dapat dijadikan sebagai referensi dalam aktifitas-aktifitas manusia.9
Untuk merealisasikan Teknik atau Metode Al-Qudwah dapat dilakukan
melalui teknik-teknik berikut:10
1) Teknik Uswatun Hasanah

Teknik ini dapat dijadikan sebagai teknik tersendiri, karena memilki


persyaratan sebagaimana teknik-teknik lainnya, walaupun uswah hasanah
merupakan prinsip umum yang menjadi landasan bagi teknik-teknik yang lain.
Tenik uswatun hasanah adalah teknik yang digunakan dengan cara memberikan
contoh teladan yang baik, yang tidak hanya memberi contoh di dalam kelas, tetapi
juga dalam haliah sehari-hari. Dengan begitu,peserta didik tidak segan-segan
meniru dan mencontohnya, seperti shalat berjamaah, kerja social, partisipasi
kegiatan masyarakat, dan lain sebagainya.

2) Teknik Demonstrasi dan Dramatisasi (Al-Tathbiq)

Teknik yang digunakan dengan cara mengajarkan melalui kegiatan-kegiatan


eksperimen, sehingga membentuk kerangka verbal yang dibarengi kerja fisik atau
pengoperasian peralatan., barang, atau benda. Teknik Demonstrasi biasanya

7
Op Cit
8
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2008), 19
9
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan sekolah(Jakarta: LP3ES,1986),141
10
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), 197-199

5
dipraktikan oleh pendidik sendiri, sedang teknik dramatisasi diperankan oleh
peserta didik. Teknik ini mempunyai kelebihan khusus, yaitu adanya kreatifitas
peserta didik yang semakin meningkat, memperbanyak pengalaman di samping
pengetahuan, pelajarannya bertahan lama karena selalu diminati, siswa cepat
menangkap pengertian karena perhatiannya terfokus pada pelajaran, serta
mengurangi kesalah pahaman.
Banyak Hadits yang berimplikasinya teknik dramatisasi dan demonstrasi yang
dikenal dengan Hadist fi’liyah.Misalnya, Nabi menyuruh ummatnya untuk meniru
cara shalatnya(HR. Muslim dan Bukhari) dan cara ibadah hajinya.

3) Teknik permainan dan simulasi

Tenik yang dilakukan dengan cara pengajaran dalam situasi yang


sesungguhnya. Bagian-bagian terpenting diduplikasikan dalam bentuk permainan,
sehingga peserta didik bertindak langsung memainkan peranannya. Tujuan teknik
ini adalah melatih keterampilan yang bersifat profesional, memperoleh
pemahaman tentang suatu konsep dan prinsip, melatih memecahkan masalah,
memberi motifasi kerja, serta menimbulkan kesadaran diri, rasa simpati,
perubahan sikap, dan kepekaan.

2. Nilai-nilai Edukatif dalam Keteladanan

Ada beberapa konsep yang dapat dipetik dari uraian di atas:11


1) Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Yang memberikan
teladan itu adalah guru, kepala sekolah, dan semua aparat sekolah. Dalam
pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat, para dai,
para ustadz, para kiai. Konsep ini jelas diajarkan oleh Rosul shallallahu ‘alaihi
wasallam seperti diuraikan di atas.
2) Teladan untuk guru-guru (dan lain-lain) ialah Rasulullah. Guru tidak boleh
mengambil tokoh yang diteladani selain Rasulullah shalallallahu ‘alaihi
wasallam. Sebab Rasul itulah teladan yang terbaik. Rasul meneladankan
bagaimana kehidupan yang dikehendaki Tuhan karena Rasul adalah penafsiran
ajaran Tuhan.

Secara psikologis ternyata manusia memang memerlukan tokoh teladan


dalam hidupnya; ini merupakan sifat pembawaan. Taklid (meniru) ialah salah satu
sifat pembawaan manusia. Peneladanan itu ada dua macam, yaitu sengaja dan
tidak disengaja. Keteladanan yang tidak disengaja ialah keteladanan dalam
keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan, dan sebangsanya. Sedangakan
keteladanan yang disengaja ialah seperti memberikan contoh membaca yang baik,
mengerjakan shalat yang benar. Nabi berkata: “Shalatlah kamu sebagaimana
shalatku,” (Bukhari). Keteladanan yang disengaja ialah keteladanan yang memang
disertai penjelasan atau perintah agar meneladani. Dalam pendidikan Islam, kedua
keteladanan itu sama pentingnya. Keteladanan yang tidak disengaja dilakukan

11
Op Cit, H.M. Sudiyono,196

6
secara tidak formal. Keteladanan yang dilakukan tidak formal itu kadang-kadang
kegunaannya lebih besar daripada kegunaan keteladanan formal.12

III. Tarbiyah bi al-Mumarasah wa al-‘Amal (Mendidik Melalui


Praktik dan Perbuatan)

1. Al-mumarasah al-‘Amal

Teknik/metode yang dilakukan dengan cara memberikan pekerjaan pada


peserta didik secara kontinu agar peserta didik dapat terbiasa melakukannya.
Teknik ini sangat efektif untuk pengajaran akhlak, pembinaan sikap mental yang
baik, dan penanaman nilai moral pribadi dan social. Dengan demikian, peserta
didik secara tidak sadar telah membiasakan perilaku yang mulia, serta mempunyai
daya kreatifitas dan produktifitas yang profesional dan terampil dalam
mengerjakan sesuatu.13
Sebagian Ulama salaf menuturkan bahwa ilmu itu dapat bertambah dan
semakin kuat jika diamalkan dan akan berkurang jika tidak diamalkan.
Bertambahnya kekuatan ilmu itulah yang merupakan hakikat pendidikan Islam
dan perkembangan psikologis manusia yang telah dibuktikan melalui berbagai
eksperimen.14
Pada dasarnya, pendidikan dan pengajaran yang dilakukan melalui praktik
atau aplikasi langsung akan membiasakan kesan khusus dalam diri anak didik
sehingga kekokohan ilmu pengetahuan ilmu pengatahuan dalam jiwa anak didik
semakin terjamin. Bagaimanapun, aplikasi ilmu merupakan pendukung kebenaran
ilmu itu sendiri serta penentu keberterimaan pencarian ilmu itu di sisi Allah.
Tujuan ini akan menjadi gambaran bagi anak didik untuk memahami berbagai
masalah yang tengah dipelajarinya sehingga rinciannya lebih luas, dampaknya
lebih dalam, dan manfaatnya lebih banyak bagi hidupnya.
Dari gambaran tersebut jelaslah bahwa seorang pendidik harus
mengarahkan anak didiknya pada kebulatan tekad untuk mengaplikasikan ilmu
yang telah dipelajarinya dalam kehidupan individual dan sosial. Seorang pendidik
dituntut untuk memantau aplikasi ilmu setiap siswanya, misalnya melalui
pengajuan sejumlah pertanyaan realistis kepada setiap siswa hingga aplikasi ilmu
itu dapat dipastikan berjalan. Sebaliknya, pemantauan tersebut dilakukan secara
berulang-ulang sehingga ini pun menuntut setiap pengarang buku-buku teks untuk
menyusun sejumlah pertanyaan aplikatif pada setiap akhir pembahasan.

2. Dampak Edukatif Praktik dan Latihan

Pada dasarnya, pendidikan Islam melalui metode praktik dan latihan akan
mengarahkan anak didik untuk menjadi individu yang stabil, berakhlak mulia,

12
Op Cit, H.M. Sudiyono, 288
13
Op Cit, Abdul Mujib, 199
14
Op Cit, Abdurrahman An Nahlawi, 270

7
serta lebih produktif. Kemuliaan akhlak dapat kita rasakan melalui konsep-konsep
brikut ini:15
1) Kesempurnaan kerja dapat dijadikan tolok ukur dalam memantau
kesempurnaan hapalan dan pelaksanaan ibadah. Melalui metode tersebut, kita
dapat membiasakan anak-anak didik untuk teliti dan menetapkan kesimpulan
yang benar. Dalam hal ini, setiap anak didik mengerjakan tugas-tugasnya di
hadapan pendidiknya untuk kemudian pendidik meluruskan setiap kekeliruan
yang dilakukan anak didiknya, Sebagaimana Rosulullah SAW. meluruskan
ucapan do’a tidur Al-Bara’ bin Azib atau ketika beliau membetulkan cara-cara
shalat yang buruk.
2) Manusia merasa bertanggung jawab untuk bekerja dengan baik sehingga
bentuk kurikulum pendidikan Islam tampil sebagai kurikulum yang dinamis,
bernalar, berperasaan, serta dibangun di atas kesadaran, kelembutan, dan
kebaikan dalam pelaksanaan. Bagaimanapun, kelembutan perasaan,
kecenderungan, dan pikiran hanya dapat terlihat dengan jelas dalam niat yang
ikhlas, yang mengarahkan amal pada pencarian keridhaan Allah Yang Maha
Luhur tanpa sikap riya, congkak, atau gila popularitas. Allah SWT berfirman:
        
         
      
110. Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah
ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Sehubungan dengan itu, para sahabat dan tabi’in menafsirka “amal shaleh”
sebagai amal yang sesuai dengan sunnah, tidak menyekutukan Allah dalam ptidak
riya, dan dalam beribadah itu dia berniat ikhlas karena Allah semata.

3) Tawadhu, mencinamal shaleh, menjauhi tipu daya, dan meninggalkan


kemalasan. Pada dasarnya, kemuliaan manusia itu sangat bergantung pada
perbuatannya sehingga akhirnya, keturunan, pangkat, harta, dan segala sesuatu
yang bersifat material tidaklah berguna. Pada kenyataannya, sekarang ini kita
menyaksikan banyak individu yang bangga dengan keyahudiaannya,
kenasraniannya, kemusyrikannya, atau bahkan bangga dengan keislamannya
yang dibumbui dengan kesombongan. Kaum Musyrikin berkata:
“Sesungguhnya kami tidak akan dibangkitkan.” Untuk itu, Allah SWT
berfirman:

123. (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan
tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak
mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga
dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.
15
Op Cit, Abdurrahman An Nahlawi, 276

8
4) Memiliki batas-batas kepuasan dan keinginan. Untuk itu, Rasulullah Saw. telah
memberikan pelajaran praktis kepada para sahabat agar meninggalkan
kebiasaan minta-minta melalui penanaman rasa percaya diri dalam hal mencari
rezeki.
Anas r.a.menuturkisah tersebutkepada kita: ”Seseorang dari kaum Anshar
datang kepada Nabi Saw. Dengan maksud meminta-minta. Kemudian beliau
bertanya kepadanya: ‘Apakah di rumahmu ada sesuatu?’ Orang Anshar
menjawab: ‘Ada, hanya alas pelana unta yang sebagiannya kami pakai dan
sebagiannya lagi kami jadikan hamparan, serta sebuah bejana besar yang
kami gunakan untuk tempat air”. Nabi bersabda:’ Bawalah kedua barang itu
kemari’. Orang Anshar itu pun membawanya. Rasulullah Saw. mengambilnya
seraya bersabda:’Siapa yang mau membeli kedua barang ini? ‘Waktu itu hanya
ditawar satu dirham. Rasulullah Saw. kembali menawarkan barang itu.
Seseorang berkata:’Saya mau mengambilnya dengan harga dua dirham.
Rasulullah memberikan kedua barang itu kepada si pembeli sambil mengambil
dua dirham yang kemudian diberikannya kepada si Anshar dan bersabda:
‘Yang satu dirham beikan makanan, lalu berikan kepada keluargamu, dan yang
sedirham lagi belikan kapak, lalu bawa kembali padaku. ‘Orang Anshar pun
datang sambil membawa kapak. Rasulullah Saw. membuatkan tangkai
kayudengan tangannya sendiri seraya bersabda, ‘Pergilah, carilah kayu bakar,
kemudian juallah! Setelah 15 hari dating lagi kepadaku, aku ingin melihat
hasilnya.’Orang Anshar pun menjalankan perintah Nabi, dan hasilnya
mendapatkan 10 dirham. Sebagian uang itu dipakai untuk membeli pakaian,
dan sebagian lagi untuk membeli makanan. Kemudian Rasululla Saw.
bersabda: ‘Ini adalah lebih baik bagimu daripada kamu dating untuk meminta-
minta yang akan menjadi noda hitam di wajahmu pada hari kiamat….”(HR
Abu Dawud dan Baihaqi).

Pelajaran Rasulullah tersebut tak terlupakan oleh orang Anshar, tidak pula
oleh seluruh sahabat yang yang melihat perbuatan Rosulullah Saw. mereka
melihat sebuah didikan yang melalui pekerjaan yang baik dengan mata
kepalanya sendiri. Begitulah, seorang pendidik dituntut untuk mampu
menerapkan metode tersebut sehingga mampu menjalankan tugas
kependidikannya engan hasil yang baik.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari semua uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
I. Al- Tarbiyah bi Dharbi al-Amtsal (Mendidik melalui perumpamaan)
Bahwa perumpamaan Al-Quran memiliki maksud tertentu, dan yang
terpenting adalah:

9
1) Menyerupakan suatu perkara yang hendak dijelaskan kebaikan dan
keburukannya, dengan perkara lain yang sudah wajar atau diketahui secara
umum ihwal kebaikan dan keburukannya.Seperti contoh diatas.
2) Menceritakan suatu keadaan dari berbagai keadaan dan membandingkan
keadaan itu dengan keadaan lain yang sama-sama memiliki akibat dari
keadaan tersebut.
3) Menjelaskan kemustahilan adanya persamaan diantara dua perkara, misalnya
kemustahilan anggapan kaum musyrikin yang menganggap bahwa Tuhan
mereka memiliki persamaan dengan Al-Khaliq sehingga mereka menyembah
keduanya secara bersamaan.
Bagaimana mungkin mereka menyembah Tuhan yang mereka samakan
Allah Sang Pencipta dengan segala sesuatu.

II. Al- Tarbiyah bi al-Qudwah (Mendidik Melalui Keteladanan)


Ada beberapa konsep yang dapat dipetik dari metode ini:
1) Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Yang memberikan
teladan itu adalah guru, kepala sekolah, dan semua aparat sekolah. Dalam
pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat, para
dai, para ustadz, para kiai. Konsep ini jelas diajarkan oleh Rosul shallallahu
‘alaihi wasallam seperti diuraikan di atas.
2) Teladan untuk guru-guru (dan lain-lain) ialah Rasulullah. Guru tidak boleh
mengambil tokoh yang diteladani selain Rasulullah shalallallahu ‘alaihi
wasallam. Sebab Rasul itulah teladan yang terbaik. Rasul meneladankan
bagaimana kehidupan yang dikehendaki Tuhan karena Rasul adalah
penafsiran ajaran Tuhan.

III. Tarbiyah bi al-Mumarasah wa al-‘Amal (Mendidik Melalui Praktik dan


Perbuatan)
Pada dasarnya, pendidikan Islam melalui metode praktik dan latihan akan
mengarahkan anak didik untuk menjadi individu yang stabil, berakhlak mulia,
serta lebih produktif .

10
DAFTAR PUSTAKA

Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam(Jakarta: Kencana Prenada Media,


2006)
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah dan sekolah(Jakarta:
LP3ES,1986)
Sudiyono, H.M. Ilmu Pendidikan Islam(Jakarta: PT RINEKA
CIPTA,2009)
An Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam Di Rumah Sekolah Dan
Masyarakat(Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Ulwan, Abdullah Nasih. Pendidikan Anak dalam Islam(Jakarta:Pustaka
Amani, 1999)
Muchtar,Heri Jauhari. Fikih Pendidikan(Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA, 2008)

11

Вам также может понравиться