Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh
Sugiatno1
Abstrak
Pendahuluan
Suatu studi yang dilakukan Selander (1995) menunjukan bahwa pada
umumnya pelajar berhadapan dengan resiko kegagalan dalam membaca. Bahkan
UNESCO (2006) memaparkan bahwa keterampilan membaca semua mata pelajaran
merupakan isu mendunia. Isu mengenai keterampilan membaca matematis antara
lain dapat diketahui dari studi PISA (2000, 2003), Ureyen, et al (2004), dan
Wahyudin (1999).
Beberapa hasil penelitian di manca negara mengindikasikan bahwa para
pengajar sering kurang memiliki persiapan untuk mengajarkan suatu subject matter
menggunakan srategi membaca dan tidak memberikan tugas membaca sebagai basis
pengajaran (Bintz, 1997; Cresson, 1999; Bulgren dan Scanlon, 1998; National
Reading Panel, 2000). Kondisi seperti ini tidak jauh berbeda jika dibanding dengan
hasil studi pendahuluan Sugiatno (2006) dengan kondisi para lulusan sekolah
menengah yang kemudian menjadi mahasiswa calon guru di LPTK. Oleh karena itu,
cara mengajar (metode, pendekatan, model, strategi, atau teknik mengajar) yang
selama ini cenderung (sering) digunakan para pengajar di kelas dalam proses
perkuliahan matematika di LPTK, yaitu cara mengajar yang belum mengintegrasikan
strategi membaca matematis dengan isi subject matter matematika agaknya perlu
1
Staf pengajar Jurusan PMIPA FKIP Untan Pontianak
dicarikan alternatif. Alternatif yang dipilih dalam penelitian ini adalah perkuliahan
matematika menggunakan model pembelajaran TRS untuk mengembangkan KKM.
Metode
Untuk menguji hipotesis penelitian ini, bentuk penelitian yang dipilih adalah
quasy experiment menggunakan rancangan desain kelompok kontrol tes awal-tes
akhir seperti berikut.
Tabel 1.: Rancangan Penelitian
Pemilihan
Kelompok Tes Awal Perlakuan Tes Akhir
Subjek
Eksperimen (A) Acak O X1 O
Kontrol (B) Acak
O X2 O
50
40
Rerata
30
44.67
20
37.25
29.29 30.00
10
15.21
7.17
0
Kooperatif Klasikal
PenerapanModel Pembelajaran
TRS
Berdasarkan Tabel 3., Tabel 4., dan Tabel 5. dapat disimpulkan bahwa:
(1) skor rerata tes akhir KKM yang perkuliahan matematikanya menggunakan model
pembelajaran TRS dalam setting kooperatif (44.67) secara signifikan lebih besar
daripada skor rerata tes akhir KKM yang perkuliahan matematiknya menggunakan
model pembelajaran TRS dalam setting klasikal (37.25); (2) skor rerata tes akhir
KKM mahasiswa yang berada pada kemampuan tingkat atas (53.83) lebih besar dari
mahasiswa tingkat menengah (43.42) maupun tingkat bawah (28.17); (3) tidak ada
perbedaan yang signifikan antara mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan
dalam perkembangan KKM.
Effect size (kontribusi) perkuliahan matematika menggunakan model pembel-
ajaran TRS dalam setting kooperatif terhadap keempat aspek KKM mahasiswa yang
dikaji menurut gender diperoleh untuk aspek kemampuan: (1) bahasa matematis,
mahasiswa laki-laki (31.86%) lebih kecil dari mahasiswa perempuan (39.44%);
(2) tabel, mahasiswa laki-laki (17.00%) lebih rendah dari mahasiswa perempuan
(22.91%); (3) grafik, mahasiswa laki-laki (12.55%) lebih rendah dari mahasiswa
perempuan (22.24%); (4) diagram, mahasiswa laki-laki (29.67%) lebih tinggi dari
mahasiswa perempuan (21.23%). Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian
Sapienza, et al. (2008), anak perempuan justru mampu sejajar atau bahkan
mengungguli anak laki-laki dengan kondisi sosio-kultural kelas yang mendukung
pemberdayaan potensi perempuan—kondisi ini sejalan dengan pembelajaran
matematika yang menggunakan TRS.
Hal ini terjadi selain karena dilibatkannya pengetahuan awal matematis
mahasiswa (prior knowledge) sebagai bahan ajar—terutama sebagai bahan
pemberian scaffolding oleh dosen, juga disebabkan oleh terbukanya hambatan
psikologis (takut berbuat salah) mahasiswa dalam mempelajari matematika melalui
strategi say something maupun strategi cloning an author sehingga mendorong
terjadinya peningkatan aktivitas komunikasi antar mereka di dalam kelas. Dari
catatan peneliti diperoleh bahwa kecenderungan mahasiswa dalam tahap say
6
something, mereka pada umumnya memiliki konsep bahwa x 2 = x3 untuk setiap x di
6
sama (yaitu = 3 ). Sementara itu, ada juga mahasiswa yang menyatakan bahwa
2
6
x 2 = x3 adalah salah untuk setiap x di ¡ , tetapi alasan yang diberikan mereka kurang
lengkap:
1 6
Untuk x = 1, ( −1) 2 = ( (−1)6 ) 2 = 1 dan (−1)3 = −1 sehingga
6
x2 = x3 tidak
berlaku.
( )
6
Jika (−1)6 2 =1 dan (−1) 2 tidak ada, maka ( −1) 2 = ...
Pada umumnya mereka dapat menerima bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut
adalah “tidak terdefinisi”. Kemudian dosen mengajukan pertanyaan:
6
Apakah untuk setiap x di ¡ , berlaku x 2 = x3 ?
1
“untuk x = −1, ( −1) 2 = ( (−1)6 ) 2 = 1 dan (−1)3 = −1 sehingga ( −1) 2 ≠ (−1)3 ”
6 6
Agar terjadi jawaban yang lebih kaya dari mahasiswa, mereka didorong oleh
dosen untuk masuk ke tahap Sketch-to-Stretch. Di dalam tahap ini, mereka diminta
untuk memperluas gagasan matematika yang telah diperoleh melalui tahap
sebelumnya (say something dan cloning an author) dengan menggunakan berbagai
macam representasi (bahasa matematis, tabel, grafik, dan diagram). Pada umumnya
ketika mengerjakan tugas tersebut, mereka kelihatan lebih leluasa untuk
mengekspresikan gagasannya melalui LKM yang sengaja didesain untuk mendukung
tahap Sketch-to-Stretch. Aktivitas tahap ini semakin terdukung dengan diberikannya
kesempatan kepada mahasiswa untuk mendiskusikan hasil bacaannya dengan teman
sebangku, teman sekelompok, dan teman sekelas. Hasil akhir dari diskusi kelas ini
oleh dosen ditindaklanjuti dengan memberikan refleksi terhadap kesimpulan masing-
masing kelompok diskusi. Pada umumnya hasil kesimpulan yang mereka hasilkan
6
kurang akurat, misalnya agar ungkapan “ ∀x ∈ ¡ , berlaku x 2 = x3 ” menjadi benar
6
diubah mereka menjadi “ ∃x ∈ ¡ , berlaku x 2 = x3 ” . Ketika kesimpulan ini direflesi
oleh dosen dengan menggunakan tabel, grafik, dan diagram serta dikoneksikan
6
dengan ungkapan “ ∀x ∈ ¡ , berlaku x2 = x
3
” dan ungkapan “ ∀x ∈ ¡ , berlaku
n
6
( )
3 n
x2 = x ”. semula mereka diam, tetapi setelah dosen mengajukan pertanyaan
DAFTAR PUSTAKA